This was probably one of the most hilarious books I’ve read this year! Premisnya saja sudah agak nyeleneh: Lilian sudah cukup lama tidak berhubungan dengan teman masa kecilnya, Madison. Pasalnya, kehidupan mereka sangat berbeda. Lilian stuck di kota kecil tempat ia dibesarkan, dengan pekerjaan yang tidak ke mana-mana, dan hidup yang seolah tanpa tujuan. Sementara itu, Madison memiliki nasib yang amat berbeda. Menjadi public figure, dan menikahi senator yang digadang-gadang sebagai presiden masa depan Amerika.
Namun suatu hari, Madison menghubungi Lilian untuk meminta bantuan. Bantuannya super aneh, pula. Ternyata, suaminya sang senator, memiliki dua orang anak dari pernikahan sebelumnya. Yang disembunyikan selama ini adalah keunikan dua anak kembar tersebut: mereka bisa tiba-tiba terbakar kalau sedang stress. Ajaibnya, mereka tidak bisa melukai diri sendiri – tapi tentu saja kemampuan itu membuat mereka berbahaya bagi orang lain.
Dan Lilian, tanpa pengalaman mengasuh anak, apalagi yang bisa membakar diri, setuju untuk mengasuh kedua anak tersebut. Namun yang ia hadapi ternyata lebih dari sekadar anak-anak yang bisa terbakar, apalagi setelah si kembar berhasil mencuri hatinya.
Buku yang kelihatannya gila dan penuh chaos ini menyimpan tema yang sebenarnya cukup menyentuh: relationship, found family, being different. Tapi isu-isu serius tersebut dengan cerdas disembunyikan oleh Kevin Wilson ke dalam sebuah kisah yang kocak, kacau, dan punuh momen-momen ajaib.
Beberapa bagian terasa begitu absurd, tapi saya tidak begitu peduli, karena telanjur menikmati storytelling dan writing yang menunjukkan skills Wilson sebagai penulis andal. Karakter-karakternya aneh namun memorable, dan meski kisahnya benar-benar di luar nalar, namun entah kenapa bisa terasa relatable. I can say that this book lives up to its hype 🙂
Rating: 4/5
Recommended if you like: absurd story, witty dialogues, weird but memorable characters, original plot
Penerbit: Little, Brown Books for Young Readers (2012)
Halaman: 214p
Beli di: Betterworldbooks.com (USD 6)
Rose memang sudah meninggal dunia, namun sepertinya kehadirannya tidak pernah meninggalkan rumah Jamie dan Jas. Malah, Rose seperti semakin nyata, karena bukan saja abunya menempati meja perapian dan bisa dilihat oleh semua orang, namun ayah mereka pun tetap menganggap Rose masih bersama mereka.
Untuk Jamie, yang masih terlalu muda saat Rose meninggal, Rose hanyalah semacam legenda dan mitos dalam hidupnya, sosok tak kelihatan yang memiliki peran penting dalam keluarga mereka. Sedangkan bagi Jas, saudara kembar Rose, kepergian Rose meninggalkan konflik hebat dalam dirinya, antara rasa kehilangan, namun juga kebencian karena kedua orang tuanya menganggap ia bukan sebagai Jas, namun sebagai kembaran Rose yang bertahan hidup.
Ketika ibu mereka memutuskan untuk pergi dari keluarga mereka, Jamie dan Jas harus hidup bersama ayah mereka yang masih dipenuhi kesedihan dan denial. Di tempat yang baru, mereka bertemu dengan teman baru, namun hal ini ternyata malah memicu kemarahan ayah mereka yang tidak suka dengan si teman baru. Apakah mungkin keluarga mereka akan utuh kembali dan menerima kenyataan kalau Rose sudah pergi?
My Sister Lives on the Mantelpiece merupakan buku middle grade/young adult dengan tema grieving. Meski topiknya serius, buku ini dipenuhi nuansa dark humor yang menggelitik, terutama karena naratornya adalah Jamie, anak laki-laki 10 tahun yang masih berusaha mengerti apa yang sebenarnya terjadi dengan keluarganya, dalam kepolosan anak-anak yang menyegarkan namun tetap cerdas.
Buku ini juga bergumul dengan isu-isu yang tak kalah serius, seperti Islamophobia, perceraian, dan terorisme. Namun untungnya, tidak terjebak dalam narasi yang membuat overwhelming. Semuanya disampaikan dengan cukup sederhana, tapi tanpa oversimplified isu yang ada. Saya juga suka endingnya yang realistis, menyentuh namun tidak fairy tale. A recommended book for younger readers who have to deal with grief.
Rating: 4/5
Recommended if you want to read: British middle grade, book about grieving, honest-adorable narrator, serious issues with easier writing
First of all – the cover of this book is so exquisite!! Bener-bener pas dengan tone nya yang suram, full of abandonment feeling dan being in a rotten life.
Kisahnya adalah tentang kakak beradik kembar, Jeanie dan Julius, yang hidup di sebuah desa bersama ibu mereka. Suatu pagi, mereka menemukan ibu mereka meninggal dunia, dan tiba-tiba saja Julius dan Jeanie ditinggalkan berdua, dan harus menghadapi dunia yang sebelumnya tidak pernah mereka lakukan sendiri.
Jangan membayangkan kalau Julius dan Jeanie adalah dua anak kecil tak berdaya. Sebaliknya, mereka adalah dua orang dewasa paruh baya, yang tidak memiliki cacat tubuh apapun, namun sejak masih muda, selalu berada dalam lindungan ketat ibu mereka. Jeanie dan Julius tidak diberikan bekal pendidikan, keahlian khusus baik soft skills maupun hard skills, yang bisa membuat mereka menjadi orang-orang mandiri. Jeanie selalu merasa ia lambat dalam belajar, dan jantungnya pun tak sekuat orang lain, sementara Julius amat pemalu, dan hanya bekerja sesekali saja menjadi buruh kasar bila keluarga mereka memerlukan uang.
Meninggalnya sang ibu memaksa Jeanie dan Julius untuk keluar dari zona nyaman mereka, sekaligus bersinergi untuk bertahan hidup. Namun, masalah demi masalah menghampiri mereka. Mulai dari diusir landlord dari rumah yang seumur hidup mereka tinggali, tidak punya uang untuk mengubur ibu mereka, mencari pekerjaan padahal sebelumnya tidak pernah bekerja, dan bahkan, jatuh cinta di tengah situasi yang serba tidak pasti ini, mengancam ikatan persaudaraan yang selama ini menjadi dasar kehidupan mereka.
Unsettled Ground adalah buku yang tidak panjang, hening, namun sangat menghantui, karena kisahnya yang seolah terjadi di dunia lain, sebenarnya amat dekat dengan keseharian kita. Julius dan Jeanie adalah wakil dari kaum marginal yang kadang terselip di celah-celah peradaban. Mereka tidak tinggal di lokasi terpencil, dan penduduk desa sebenarnya mengetahui kondisi kehidupan mereka. Tapi berapa banyak yang mau peduli dan rela membantu tanpa pamrih? Justru kebanyakan malah membully, atau membantu tapi dengan mengasihani mereka. Mereka lupa, Jeanie dan Julius juga manusia, yang tidak butuh charity, tapi humanisme.
Ini adalah pertama kalinya saya membaca buku karya Claire Fuller, and I’m hooked. Memang kisahnya agak lambat, dan kita harus bersabar membacanya. Tapi penggambaran karakter serta setting yang vivid membuat saya serasa berada bersama dengan Julius dan Jeanie, berempati dengan mereka, sekaligus amaze karena masih ada (dan banyak!) orang seperti mereka di dunia sekitar kita.
Unsettled Ground mengajarkan kita untuk menggali empati dalam diri masing-masing, tanpa nada yang menggurui.
Rating: 4/5
Recommended if you like: British lit, siblings and twins interaction, haunting prose, thought provoking issues
Saya pertama kali familiar dengan Lisa Jewell ketika ia masih menulis novel bergaya chicklit, dengan tema drama domestik berbumbu romance. Namun beberapa tahun terakhir ini, nama Jewell justru besar karena genre thriller/mystery, dan ia termasuk produktif menerbitkan buku hampir setiap tahun.
The Girls in the Garden adalah buku pertama Jewell yang saya baca setelah sekian tahun, terutama yang bergenre misteri. Kesan pertama saya adalah alangkah unik dan menariknya setting yang dipakai Jewell di buku ini. Lingkungan perumahan komunal, dengan rumah teras/apartemen bergaya Victoria, yang kini ditempati banyak keluarga muda yang mencari affordable housing, maupun pemilik lama yang tidak mau berpisah dari tempat tinggal keluarga yang sudah diwariskan turun temurun. Yang membedakan Virginia Terrace dari lingkungan perumahan sejenis adalah adanya taman komunal yang bisa diakses oleh penghuni.
Area taman ini memiliki playground, taman bunga, bahkan pojok cantik untuk duduk-duduk membaca buku. Saya sendiri senang dengan referensi peta yang digambarkan di bagian awal buku, sehingga memudahkan saya untuk membayangkan setting kisah ini.
Sayangnya, di taman yang terlihat tenteram dan damai inilah sebuah tragedi terjadi, seusai pesta midsummer yang diadakan oleh para penghuni. Grace, yang baru pindah ke Virginia Terrace, ditemukan tergeletak tak sadarkan diri dan setengah telanjang. Apa yang terjadi? Bukankah lingkungan mereka adalah lingkungan perumahan yang aman?
Pip, adik Grace yang berusia 11 tahun, merasa ada yang aneh dengan para penghuni Virginia Terrace. Adele dan Leo, beserta anak-anak mereka, yang terlihat seperti keluarga sempurna namun menyimpan rahasia masa lalu yang gelap, Dylan yang ditaksir Grace, beserta kakaknya yang memiliki kondisi mental terbelakang, serta Tyler, anak perempuan sok jago yang selalu merasa paling tahu tentang segalanya. Semuanya memiliki dinamika yang aneh, yang menurut Pip menguarkan aura sinis, mungkin karena ia dan keluarganya adalah pendatang baru yang tidak mengerti sejarah masa lalu para penghuni lama Virginia Terrace.
Dan meski kulminasi The Girls in the Garden adalah tentang misteri kejahatan yang menimpa Grace, serta siapa yang berada di balik insiden tersebut, namun saya merasa Jewell lebih fokus untuk menggali drama dan dinamika antara karakter para penghuni Virginia Terace. Masa lalu mereka, tragedi mirip yang pernah terjadi sebelumnya, tokoh-tokoh yang sudah meninggal, yang kembali lagi setelah sekian tahun, atau yang masih menetap di perumahan tersebut, semua memiliki kisah menarik yang cukup berhasil diramu oleh Jewell.
Tapi, menurut saya, Jewell jadi agak keteteran di bagian unsur misternya sendiri, karena crime yang terjadi rasanya tidak bisa dikategorikan ke dalam genre psychological suspense atau thriller yang selama ini digadang-gadang sebagai spesialisasi Jewell. Saya sendiri mengategorikan kisah ini lebih seperti kisah-kisah drama domestik ala Lianne Moriarty atau Jodi Picoult. Juicy, page turner, tapi tidak memiliki gigitan yang sama dengan crime stories pada umumnya.
Let’s see if I have another opinion with Jewell’s other books.
Rating: 3.5/5
Recommended if you like: mystery, juicy neighbor drama, domestic semi-thriller, tamped down crime story, unique setting, other side of London’s life
Cerita tentang anak kembar selalu intriguing buat saya, mungkin karena saya tidak pernah bisa membayangkan bagaimana rasanya memiliki saudara yang lahir bersamaan, dan memiliki penampakan yang serupa.
Dan Britt Bennett bahkan menambahkan unsur yang lebih menarik lagi: apa jadinya bila sepasang anak kembar memilih jalan hidup yang benar-benar berbeda?
Vignes bersaudari (baca: Vi-nya) tumbuh besar di tahun 1950-an di Mallard, sebuah kota kecil di Louisiana yang dihuni oleh komunitas kulit hitam. Uniknya, karena genetik dan pernikahan turun-temurun, termasuk dengan imigran awal asal Prancis, mayoritas penduduk Mallard berkulit terang, bahkan bisa “passing” (alias lolos) sebagai kulit putih.
Desiree dan Stella, yang hidup di garis kemiskinan karena ayah mereka meninggal sejak mereka kecil, dan ibu mereka tidak disupport oleh keluarganya, bertekad untuk pergi dari Mallard dan mencari kehidupan yang lebih baik di luar sana. Dan itulah yang mereka lakukan saat menginjak usia 16 tahun, kabur ke New Orleans dan memperoleh kebebasan mereka.
Namun suatu hari Desiree dikejutkan dengan menghilangnya Stella, yang pergi begitu saja meninggalkannya untuk menjalani hidup yang baru. Apa yang terjadi? Apa yang menurut Stella lebih penting daripada ikatan persaudaraannya dengan Desiree?
Melalui perjalanan kedua karakter ini kita diajak melihat bagaimana kehidupan dua orang yang terlahir sama, berpenampilan sama, dan berasal dari root yang sama, akhirnya menjadi begitu berbeda.
Desiree bertemu seorang laki-laki kulit hitam dan melahirkan anak perempuan yang penampilannya sangat berbeda dari kebanyakan penduduk Mallard. Dan hal ini menimbulkan kontroversi saat ia memutuskan kembali ke kampung halamannya tersebut.
Sedangkan Stella, yang mengambil keputusan untuk mengaku sebagai perempuan kulit putih, menjalani hidupnya dengan mengkhianati identitasnya sendiri. Ya, dalam banyak hal ia mengalami kemudahan, memiliki keluarga kelas menengah khas suburban Amerika. Namun deep down, ia selalu merasa takut. Takut ketahuan, takut dihujat, takut dipermalukan.
Dan apapun yang dijalani oleh kedua saudari kembar ini, hati mereka selalu terasa tidak lengkap, karena separo bagiannya masih menghilang.
The Vanishing Half adalah sebuah novel yang lengkap: thought provoking issues, intriguing characters and settings, dan beautiful prose as usual. Brit Bennett adalah pencerita yang amat baik, dan salah satu yang paling konsisten di genrenya menurut saya. Mallard sendiri adalah suatu tempat yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Namun, di acara Hay Festival, saya sempat bergabung dengan live event Britt dan bertanya padanya tentang inspirasi Mallard, dan menurut Britt, tempat itu (meski namanya bukan Mallard) memang exist di era 1950an, dan menjadi salah satu fenomena paling aneh bagi orang kulit hitam di bagian Selatan Amerika Serikat.
Isu mengenai “passing as a white woman”, di era di mana diskriminasi rasial masih tinggi, dan bila ketahuan, Stella bisa dianggap melakukan tindakan kriminal, juga merupakan hal baru bagi saya, yang tidak pernah benar-benar aware akan isu ini. Britt mampu mengetengahkan isu identiti dan rasial dengan tema unik yang memang berbeda dari buku-buku lain yang pernah saya baca.
Memang, ketika narasi diambil alih oleh generasi berikutnya dari Stella dan Desiree, kisah tidak lagi semenggigit bagian awal buku, saat kita mengenal Desiree dan Stella lebih jauh. Kedua anak perempuan mereka terasa agak seperti tempelan, meski ada isu identitas yang tetap diselipkan oleh Britt.
Overall, ini adalah salah satu buku favorit saya di tahun 2021. Meski endingnya terasa agak sedikit gantung, tapi masih pas dengan keseluruhan gaya bercerita Britt yang memang sarat akan nostalgic vibes.
Rating: 4/5
Recommended if you like: thought provoking fiction, unique perspectives, twin stories, racial issues, different sides of America
Representasi tokoh bookworm dalam sebuah cerita adalah hal yang penting. Tidak ada yang lebih menyenangkan selain membaca buku dengan karakter utama seorang booknerd, sama seperti kita, sang pembaca. Dan Nina Hill, awalnya, terasa sangat relatable.
Nina mencintai buku dan tidak bisa hidup tanpa buku. Ia tinggal di sebuah suburb asri dan menyenangkan di pinggir kota Los Angeles, yang terkenal dengan komunitas para pencinta seni dan budaya.
Nina bekerja di sebuah toko buku, dan meski awalnya ia hanya menganggap pekerjaannya sebagai batu loncatan, lama kelamaan ia malah merasa sangat betah dan mencintai pekerjaannya. Ibu Nina adalah seorang fotografer terkenal yang sibuk melanglang buana, dan ia tidak mengenal ayahnya – yang memang out of the picture sejak ia lahir.
Karena memiliki anxiety yang lumayan akut, Nina selalu mencari jalan yang aman dalam hidupnya: tinggal dan bekerja di lingkungan yang familiar, dan sebisa mungkin menghindari konflik sehingga lebih baik tidak usah terlibat dalam hubungan percintaan yang serius.
Nina amat senang merancang hari-harinya dan selalu memiliki agenda untuk setiap kegiatannya, karena ia amat membenci hal-hal yang tidak terduga. Namun, suatu hari dunianya serasa jungkir balik saat ia menerima kabar kalau ia memiliki keluarga yang tidak pernah ia kenal sebelumnya dari pihak ayahnya. Ditambah lagi, saat yang bersamaan, ada seorang cowok yang masuk dalam hidupnya.
Nina Hill adalah kita, para pembaca yang mengaku introvert, nerd, geeks, yang menyukai trivia dan buku, dan bisa diajak mengobrol tentang berbagai hal dalam kehidupan, tapi langsung membeku saat harus menghadapi orang banyak yang tidak dikenal.
Nina menjanjikan kisah yang sangat relatable – dan itulah harapan saya saat membaca buku ini. Hanya saja, ternyata kenyataannya tidak sesempurna itu. Nina memang (tampak luar) terlihat seperti sahabat kita semua. Tapi lama kelamaan, saya agak jengah dengan kebiasaannya menjudge orang (terutama yang tidak suka membaca buku), yang merasa paling benar, dan bahkan cara dia memperlakukan orang-orang di sekelilingnya. Saya juga tidak bisa relate dengan kisah cinta serba instan yang sepertinya amat di luar karakter Nina sendiri, dan lumayan banyak menghabiskan bab-bab buku ini.
Tapi yang paling mengganggu saya sepertinya adalah generalisasi yang seringkali dibahas dalam buku ini, baik melalui karakter bookworm dan nerd (oh, all booklovers love cats!), karakter yang tidak suka membaca, dan terutama – karakter-karakter yang menjadi keluarga Nina. Seringkali Nina berasumsi karena mereka menyukai hal yang sama, maka tak heran mereka memiliki hubungan darah. “Oh, you like trivia? Me too! No wonder we’re family”. This is soooo…far from real life. Kadangkala, justru anggota keluarga terdekat kita adalah orang-orang dengan sifat dan kesukaan yang sama sekali berbeda dari kita. Inilah yang menyebabkan saya tidak bisa relate dengan kisah Nina, terutama yang berhubungan dengan keluarga barunya.
Saya juga merasa buku ini terlalu lama dan bertele-tele membahas hubungan Nina dengan Tom, si cowok idaman yang sebenarnya tidak jelas juga ujung pangkalnya bisa menarik perhatian Nina, kecuali dari sisi fisik XD
As a concept, I like this book. Tapi eksekusinya sepertinya kurang cocok untuk selera saya. Gaya menulis yang terlalu sarkastik dan berbau joke kekinian juga membuat saya tidak hanya embarrased for Nina, but also for myself, haha.. Anyway, a cute little book, but don’t expect too much from it.
Rating: 3/5
Recommended if you like: cute little romance, sometimes relatable but inconsisten characters, bookish setting, bookshop story, trivia stuff
Danny tumbuh besar di Dutch House, rumah megah di pinggiran kota Philadelphia. Danny tidak dekat dengan ayahnya, sementara ibunya meninggalkan keluarga mereka saat ia masih kecil, meninggalkan lubang di kehidupannya. Tapi, Danny memiliki Maeve, kakak perempuan yang amat ia cintai dan yang adalah segala-galanya. Mereka berjuang bertahan hidup bersama, bahkan saat ayah mereka menikahi Andrea, perempuan yang merupakan perwujudan sosok ibu tiri ala dongeng anak-anak.
Suatu tragedi menyebabkan Danny dan Maeve terusir dari rumah mereka, dan mereka harus menyokong hidup secara mandiri sejak muda. Maeve bersikukuh menyuruh Danny memaksimalkan trust fund yang ditinggalkan ayah mereka untuk menempuh pendidikan kedokteran, meski Danny sebenarnya hanya ingin meneruskan jejak ayahnya menjadi seorang kontraktor bangunan.
Hidup Danny dan Maeve berlanjut, dengan segala tantangan baik dalam karier, relationship, bahkan uang – tapi satu hal yang selalu menyatukan mereka adalah Dutch House. Bahkan bertahun-tahun sejak terakhir kalinya mereka menginjakkan kaki di rumah itu, kedua bersaudara tersebut kerap menyambangi Dutch House meskipun hanya dari luar, mengobrol dalam mobil sambil mengingat masa lalu.
Ann Patchett memang ahlinya storytelling. Tema apapun bisa dibuat menarik dan engaging, lewat penuturan yang halus, karakter-karakter penuh flaws dan baggage, serta tentu saja detail setting yang membuat saya bisa membayangkan dengan jelas seperti apa bentuk Dutch House yang menjadi inti kisah ini.
Tidak ada karakter yang 100% jahat atau 100% baik dalam buku ini. Saya suka Danny, tapi keputusan-keputusannya patut dipertanyakan. Maeve terlalu terpaku pada masa lalu, sedangkan Andrea (yang sangat menyebalkan awalnya) menunjukkan sisi lainnya di bagian akhir cerita. Membaca karya Ann Patchett memang melatih kita untuk bersikap objektif, karena selalu ada dua sisi dari setiap kisah.
Dan tentu saja, Dutch House menjadi salah satu karakter utama buku ini, yang menjanjikan segala hal yang menjadi mimpi ayah Danny yang datang dari keluarga miskin dan berhasil mewujudkan American dream nya. Namun ternyata rumah itu malah mendatangkan kesedihan, konflik, dan dendam yang terus berlangsung bertahun-tahun lamanya.
Buku ini memang terasa agak panjang, terutama di bagian awal dan pertengahan, dan bab-babnya seringkali ditulis tidak kronologis namun tanpa penjelasan rinci, sehingga kita kadang harus menebak-nebak apakah ini masa sekarang, masa lalu, atau kemarin, atau tahun sebelumnya. Tapi overall, Dutch House masih tetap enak diikuti dan mampu menghasilkan momen-momen kontemplasi yang cukup memorable.
Rating: 3.5/5
Recommended if you like: dysfunctional family, American dream goes wrong, strong characters, detailed setting, sibling moments.
Gifty adalah seorang anak imigran dari Ghana yang sedang menyelesaikan studi PhD nya di bidang neuroscience. Fokus risetnya adalah tentang bagaimana otak tikus bekerja, dan apa hubungan antara reward-seeking behaviour dengan syaraf yang menyebabkan depresi dan adiksi. Terdengar ribet, tapi sebenarnya riset ini sangat berhubungan erat dengan kehidupan pribadi Gifty. Kakak laki-lakinya, Nana, meninggal akibat OD, gara-gara kecanduan opioid setelah cedera yang dialaminya. Padahal Nana adalah calon atlet basket yang masa depannya tampak begitu cemerlang. Sementara itu, ibu Gifty menderita depresi parah setelah ditinggal oleh anak laki-lakinya, dan bahkan memiliki kecenderungan suicidal.
Gifty yang berotak cemerlang bertekad akan menemukan jawaban scientific akan hal-hal yang dialami keluarganya, supaya orang lain terhindar dari tragedi yang sama. Saat penelitiannya hampir selesai, Gifty menerima kabar kalau ibunya lagi-lagi mengalami depresi, dan ia akhirnya meminta agar ibunya yang tinggal di Alabama sementara pindah ke apartemennya di California.
Yaa Gyasi did it again. Transcendent Kingdom memang tidak sepowerful Homegoing yang lebih kental unsur historical dramanya, tapi buku ini tetap meninggalkan kesan mendalam buat saya. Leave it to Gyasi to write any kind of topic and make it a beautiful read. Di Transcendent Kingdom, Gyasi lebih fokus pada isu imigran (orang tua Gifty adalah imigran dari Ghana yang menetap di Alabama) dengan segala tantangannya, dari mulai mencari pekerjaan, menghadapi isu rasisme, hingga usaha keras yang harus dilakukan untuk membuktikan kalau anak-anak imigran pun bisa sukses.
Dan di sinilah kita disuguhi salah satu permasalahan kompleks namun sangat marak terjadi, termasuk di keluarga imigran: adiksi opioid, yang awalnya biasanya hanya diresepkan sebagai painkillers, namun karena mudah diakses, dengan cepat bisa menyebabkan kecanduan.
Gyasi banyak sekali membahas isu rumit dan kompleks di buku ini. Selain isu kecanduan opioid, juga ada isu mental health dan stigma depresi yang masih dipegang oleh budaya para imigran, termasuk keluarga Gifty. Dan tentu saja, sajian utama Transcendent Kingdom adalah penelitian Gifty sendiri, yang begitu kompleks namun terkait erat dengan permasalahan hidupnya.
Kalau dilihat sepintas, memang buku ini seolah ingin membahas terlalu banyak isu kompleks yang terancam akan membuat pusing pembacanya. Namun, sekali lagi saya ingin menegaskan pendapat saya, kalau Gyasi adalah penulis yang amat andal. Topik-topik tadi bisa dirangkum dengan begitu hati-hati, mengalir, dengan pemaparan karakter yang detail tapi tidak membosankan, dan membawa kita masuk ke dalam kehidupan Gifty dengan begitu mudah. Hingga buku ini berakhir, saya seolah sudah melakukan penelitian bersama-sama Gifty di labnya di Stanford XD
Can’t wait to see what Yaa Gyasi brings on next.
Rating: 4/5
Recommended if you like: immigrant story, science related topic, haunting prose, beautiful writing, realistic fiction
Kristin Hannah is a good writer. Spesialisasinya memang historical fiction berlatar belakang perang dunia, tapi kali ini, dengan latar belakang yang amat berbeda, Hannah tetap berhasil menyajikan kisah yang memikat dengan gaya tulisan yang elegan seperti ciri khasnya.
Leni dibersarkan di keluarga yang tidak biasa. Ibunya kawin lari ketika berumur 16 tahun, dan ayahnya, setelah pulang dari Perang Vietnam, berubah menjadi pribadi yang abusif. Namun meski sudah disakiti berkali-kali, ibu Leni tetap bertahan, dengan alasan di balik kekasaran tersebut masih ada pribadi sang ayah yang sebenarnya baik hati dan amat mencintai keluarganya.
Suatu hari, Ernt, ayah Leni, mendapatkan kabar bahwa ia mewarisi sebidang tanah di ujung Alaska. Meski terdengar gila, Cora, ibunya, antusias dengan ide Ernt untuk pindah ke negara bagian antah berantah tersebut. Dan dimulailah petualangan keluarga kecil mereka di Kenai.
Namun, tentu saja banyak hal yang tidak mereka bayangkan sebelumnya. Tanpa pengalaman apapun, kini mereka harus mengelola kabin beserta kebutuhan hidup sehari-hari. Desa kecil tempat mereka tinggal amat terpencil, untuk menuju kota terdekat, Homer, mereka harus menempuh perjalanan dengan ferry. Dan setting di tahun 70-an semakin membuat kesan klautrophobic menjadi kental, karena terbatasnya alat komunikasi dan teknologi modern. Keluarga Leni harus belajar berjuang dari awal, mulai dari menanam tanaman untuk dimakan, memelihara binatang, hingga belajar menembak dan berburu untuk bertahan hidup.
Awalnya Ernt amat kerasan dan cocok di Alaska. Namun perlahan-lahan, sikapnya yang membenci pemerintah dan merasa yakin armagedon akan segera datang, membuat ia kerap melakukan hal-hal ekstrim, seperti memaksa keluarganya bangun tengah malam untuk latihan memasang senjata, juga kerap overprotective terhadap Leni dan Cora.
Leni sendiri serasa menemukan rumah di Alaska, apalagi setelah ia mengenal Matthew, satu dari sedikit anak yang seumuran dengannya. Persahabatan mereka membuat Leni semakin merasa betah di Alaska. Hanya saja, musim dingin panjang dan berat menjadi masalah bagi keluarga mereka, karena selama musim dingin yang gelap dan mengungkung, emosi Ernt semakin sulit untuk dikendalikan.
Ini adalah buku yang panjang tentang kisah luar biasa sebuah keluarga bertahan di kerasnya alam Alaska. Di tahun 70-an, Alaska belum menjadi tujuan pariwisata seperti sekarang. Fasilitas di desa kecil seperti desa Leni masih amat primitif: toilet di luar rumah, belum ada listrik, dan tidak ada telepon. Belum lagi, alam yang memang amat keras terutama di musim dingin yang panjang, di mana setiap langkah yang tidak hati-hati bisa membawamu ke kematian. Semua ini digambarkan Kristin Hannah dengan amat detail, namun ia justru menekankan kontras bahwa walaupun kondisi alam Alaska sangat berbahaya, justru bahaya paling utama dalam hidup Leni dan Cora ada di rumah mereka sendiri.
Isu KDRT dikupas amat dalam di buku ini, mulai dari tindakan abusive Ernt, hingga Cora yang selalu tidak berdaya, tidak mampu meninggalkan Ernt, dan selalu berharap bahwa ini adalah yang terakhir kalinya ia disakiti. Cintanya seolah dibutakan, mengingatkan saya akan Stockholm Syndrome yang juga sama tidak logisnya. Leni sendiri berada di pertengahan, di satu sisi ia ingin meninggalkan ayahnya dan pergi memulai hidupnya sendiri, namun di sisi lain, ia tidak sanggup meninggalkan ibunya sendirian.
Hannah membangun kisah ini perlahan-lahan, seperti yang biasa ia lakukan. Ia sangat menaruh perhatian pada pengembangan karakter, penggambaran setting waktu maupun tempat, dengan gaya bahasa yang tetap enak dibaca dan tidak bertele-tele. Namun setelah kejadian penting di pertengahan buku, ia seolah ingin memasukkan sebanyak mungkin plot untuk cepat-cepat menyelesaikan kisah ini, sehingga di separuh akhir buku, banyak adegan yang terlalu diburu-buru dan kesannya agak dipaksakan. Bahkan ada beberapa kali saya merasa Leni mengambil keputusan-keputusan yang aneh dan tidak masuk akal.
Namun secara keseluruhan, The Great Alone masih enak untuk dinikmati. Kristin Hannah masih bisa mengukuhkan posisinya sebagai salah satu penulis historical fiction terbaik di masa ini, terlepas dari tema dan setting apapun yang diambilnya. Di bagian catatan akhir, Hannah membuka fakta bahwa ia memang pernah tinggal di Alaska, dan masih memiliki kerabat di sana hingga saat ini. Mungkin itu yang membuat buku ini begitu hidup dan penggambarannya pun begitu nyata.
Rating: 4/5
Recommended if you want to read about: family adventures, Alaska story, survivalists, beautiful setting, domestic fiction (trigger warning: abusive husband)
Queenie bukanlah karakter yang mudah disukai. Itu kesan pertama saya saat membaca buku ini. Sebagai karakter utama sekaligus narator yang juga menjadi judul buku ini, kita diajak melihat kehidupan Queenie secara detail. Namun kadang susah sekali bersimpati padanya, terutama karena keputusan-keputusan buruk yang diambilnya, yang membuat hidupnya tak terkontrol.
Tapi untuk bisa memahami Queenie, kita harus memahami situasinya terlebih dahulu. Dan inilah menurut saya yang menjadi kekuatan utama buku ini. Kita diajak menelusuri latar belakang kehidupan Queenie yang membentuknya menjadi pribadi yang sulit percaya dengan orang lain, selalu berpikiran negatif, self destruct, dan selalu mengambil keputusan yang buruk.
Queenie adalah keturunan imigran dari Jamaica yang bermukim di London. Meski sudah lahir di Inggris, Queenie tetap tidak pernah merasa “belong”, dan selalu mengalami diskriminasi, baik yang terang-terangan ataupun tersembunyi. Banyak orang yang masih menganggapnya warga kelas dua, tidak layak mendapat perlakuan yang sama dengan orang-orang kulit putih, dan bahkan di tempat kerjanya pun Queenie sering dimasukkan kategori “pemenuh kuota”, tanpa dianggap serius oleh bosnya.
Hidup Queenie semakin tak terkendali setelah ia berpisah dengan pacarnya, Tom, dan meyadari kalau ia tidak bisa menghadapi kesendirian. Ia banyak terlibat dengan cowok-cowok hasil bertemu di dating apps, dari mulai yang tidak jelas sampai yang abusive. Queenie seperti membenarkan pendapat semua orang yang menganggap ia tidak layak mendapatkan kebahagiaan, sehingga ia perlahan-lahan menghancurkan hidupnya sendiri.
Buku ini memiliki banyak tema yang ingin diangkat, dari mulai diskriminasi, casual racism, Black Lives Matter, abusive relationship dan sexual harassment, hingga mental health dan bagaimana budaya konvensional masih memandang aneh terapi. Beberapa bagian buku ini terasa cukup real, membuat saya bertanya-tanya apakah memang dialami sendiri oleh sang penulis, tapi ada beberapa bagian yang terasa agak dipaksakan dan hanya menjadi sempalan belaka, misalnya saat Queenie tiba-tiba menjadi woke dan ikut serta marching Black Lives Matter, tapi tidak jelas juga apa siginifikansinya terhadap keseluruhan cerita.
Saya suka beberapa karakter di buku ini, terutama Darcy, teman Queenie yang super naive, serta Diana, sepupu Queenie yang amat gen-Z. Yang juga saya suka adalah penggambaran kehidupan POC di London, yang meski sedikit mirip kondisinya dengan di Amerika, tapi lebih jarang diekspos dan dibahas lebih lanjut. Casual racism lebih banyak terjadi, di mana orang-orang masih denial tentang isu rasisme di negara tersebut.
Sepertinya Queenie sedikit banyak merupakan penggambaran hidup Candice Carty-Williams, setidaknya dari sisi profesi, latar belakang budaya dan usia – jadi saya rasa memang banyak kisah yang diambil dari kejadian nyata yang dialami langsung oleh Carty-Williams. Namun kadang beberapa isu yang dipaksakan tadi agak membuat buku ini kehilangan fokus, dan banyaknya keputusan buruk yang diambil oleh Queenie membuat kita makin sulit relate dengannya, karena – when will enough be enough? Banyak adegan cringey yang membuat saya ingin menskip beberapa halaman saking sebalnya dengan Queenie.
Tapi bagaimanapun, this is a good book, written pretty well even though a bit all over the place, dan yang pasti, memberikan sudut pandang yang cukup segar tentang isu rasisme dan immigrant live di Inggris.
Rating: 3.5/5
Recommended if you want to read about: racism in London, modern relationship, own voice story, British dry humor, disaster dating stories, insight Black culture.