Tags
africa, award, ethiopia, historical fiction, man booker prize, war, women, world war
Judul: The Shadow King
Penulis: Maaza Mengiste
Penerbit: Canongate Books (2020)
Halaman: 428p
Beli di: @__lesens (IDR 235k)
Tahun 1935, Ethiopia berada di ambang peperangan, setelah sebelumnya berhasil mengalahkan Italia di tahun 1896. Kali ini, Italia di bawah kepemimpinan fasis Mussolini, ingin membalas dendam dan menggapai impian mereka yang belum tercapai, yaitu menguasai Ethiopia. Didukung oleh situasi dunia yang sedang bersiap-siap menghadapi Perang Dunia II, plus menguatnya kekuatan fasis di belahan bumi barat, Italia yakin kali ini mereka akan memenangkan perang tersebut.
Hirut adalah seorang yatim piatu yang dipekerjakan di rumah salah satu tentara kepercayaan Emperor Haile Selassie, yang bernama Kidane. Hirut dan pekerja perempuan lainnya diharapkan untuk ikut membantu persiapan perang, termasuk mendampingi pasukan sebagai perawat dan menyiapkan makanan. Namun Aster, istri Kidane, menginginkan lebih daripada itu. Kesedihannya yang mendalam akibat kematian anak laki-lakinya menyebabkan Aster berubah menjadi seorang perempuan yang getir, keras, dan tangguh. Ia ingin membentuk pasukannya sendiri, yang terdiri dari para perempuan kuat Ethiopia yang ia yakin sanggup menyamai bahkan melebihi kecerdikan pasukan tentara Emperor.
Meski Hirut dibenci Aster karena kedekatannya dengan Kidane, namun ia belajar banyak dari istri majikannya ini selama peperangan berlangsung. Bahkan Hirut ikut berperan penting dalam merancang strategi Shadow King, alias Raja Bayangan, yang menjadi legenda peperangan gerilya Etiophia. Pada akhirnya, Ethiopia memang bukan merupakan tandingan Italia yang super kejam. Tapi, sokongan moral dari The Shadow King mengambil tempat tersendiri di hati rakyat Etiophia, bahkan ceritanya diturunkan ke generasi-generasi selanjutnya.
The Shadow King adalah salah satu buku yang berhasil mengungkapkan fakta sejarah yang saya tidak tahu sebelumnya. Sedikit yang selama ini saya tahu tentang Ethiopia, dan Maaza Mengiste sukses mengedukasi saya tentang negara asalnya ini. Dan beberapa sudut pandang yang dipakai buku ini, mulai dari Hirut, sang Emperor sendiri, hingga tentara Italia, menambahkan detail-detail yang menarik di sepanjang buku.
Hanya saja, jujur saya tidak bisa menikmati sepenuhnya buku ini. Ada dua alasan utama mengapa buku ini belum bisa mendapatkan rating sempurna dari saya. Yang pertama, saya berharap buku ini lebih banyak mengambil sudut pandang Hirut, terutama karena dari yang saya baca di bagian Acknowlegment, sosok Hirut serta latar belakang sejarah Shadow King terinspirasi dari kisah keluarga Mengiste sendiri, terutama dari nenek buyutnya, Getey. Dan menurut saya kisah ini memang sangat menarik, namun sayangnya di bagian tengah hingga akhir buku, kita malah lebih banyak disuguhi oleh sudut pandang tentara Italia yang diwakili oleh Ettore sang fotografer. Memang kisah Etorre cukup penting juga dan berkaitan erat dengan masa depan Hirut, tapi saya jadi kehilangan suara Hirut dan sayangnya tidak merasa terkoneksi sepenuhnya dengan tokoh perempuan tersebut.
Alasan kedua, yang lebih mendominasi buat saya, adalah gaya penulisan Maaza Mengiste. Mengiste adalah seorang scholar dan professor Creative Writing, bahkan pernah menerima beasiswa Fulbright (WHOOP!). Dan memang, gaya menulisnya amat berkesan “nyastra” sekali, penuh dengan matefora dan penggambaran detail yang luar biasa puitis. Awalnya, saya senang-senang saja membaca kalimat demi kalimat yang penuh keindahan ini. Namun lama kelamaan, rasanya lelah juga, apalagi Mengiste amat senang menggambarkan detail setting seperti sudut jatuhnya cahaya matahari, perbedaan suara burung yang satu dengan burung yang lain, dan sebagainya, yang tujuannya mungkin untuk menampilkan setting yang amat nyata, namun karena banyak pengulangan di sini, saya jadi bosan juga membacanya. Satu lagi, Mengesti adalah penggemar “tanpa tanda kutip”, sehingga tidak ada dialog yang diapit tanda kutip di buku ini, satu tren yang saya kurang suka karena seringkali menciptakan kebingungan.
Overall, The Shadow King adalah buku yang amat penting, menyajikan sekelumit kisah sejarah yang jarang diangkat ke permukaan, Secara kualitas pun buku ini amat baik, tak heran dinominasikan dan mendapat penghargaan di mana-mana, termasuk short list Man Booker Prize 2020. Tapi memang buku ini, menurut saya, bukanlah tipe buku yang bisa dinikmati 🙂
Rating: 3/5
Recommended if you want to read about: African history, Ethiopia, women fighters, high quality literature, creative writing at its best