• About this blog
  • Clearance Sale!
  • Newbery Project
  • Popsugar Reading Challenge 2023
  • Previous Challenges
    • BBI Read and Review Challenge 2017
    • Challenges 2014
    • Challenges 2015
    • Lucky No.14 Reading Challenge
    • Lucky No.15 Reading Challenge
    • POPSUGAR Reading Challenge 2017
    • Popsugar Reading Challenge 2018
    • Popsugar Reading Challenge 2020
    • Popsugar Reading Challenge 2021
    • Popsugar Reading Challenge 2022
    • What’s in a Name 2018
    • Twenty-Ten Challenge
    • Challenges 2012
    • Challenges 2013
  • Round Ups
  • The Librarian

~ some books to share from my little library

Tag Archives: secondhand books

The Familiars by Stacey Halls

24 Monday Jan 2022

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

british, english, fiction, gothic, historical fiction, paranormal, popsugar RC 2022, secondhand books, witch, women

Judul: The Familiars

Penulis: Stacey Halls

Penerbit: Zaffre (2019)

Halaman: 420p

Beli di: @therebutforthebooks (IDR 96k)

Fleetwood Shuttleworth adalah perempuan 17 tahun yang menikah dengan tuan tanah pemilik Gawthorpe Hall di Lanchashire. Keinginan utamanya adalah memberikan keturunan bagi suaminya, namun Fleetwood sudah tiga kali keguguran, dan ia mulai panik, apalagi saat menemukan sepucuk surat dari dokter yang menyatakan ia tidak akan survive bila hamil lagi.

Dan ketika Fleetwood menyadari ia kembali hamil, ia bertekad untuk bisa melahirkan bayinya dengan sukses, dan sekaligus bertahan hidup. Secara tidak sengaja, Fleetwood bertemu dengan Alice Gray, bidan muda yang akhirnya ia angkat sebagai bidan pribadinya. Namun latar belakang Alice yang misterius membuat Fleetwood penasaran, apalagi saat Alice dituduh terlibat dalam perkumpulan penyihir, yang sedang marak di Lancashire, dan ingin ditumpas habis oleh para penguasa setempat.

Bayinya adalah prioritas Fleetwood, dan ia melakukan segala cara untuk menyelamatkan Alice, yang artinya menyelamatkan ia dan bayinya juga, meski ia harus menempuh berbagai bahaya.

Kisah berlatar belakang penyihir di abad ke-17 selalu menarik. Apakah benar para penyihir itu ada, atau hanya sekumpulan perempuan yang memiliki keahlian khusus (obat-obatan, penyembuhan, dan bercocok tanam) yang membuat mereka dicurigai sebagai penyihir? Belum lagi, banyak motif politik yang kerap menjadi dasar penangkapan dan pengadilan penyihir, yang digunakan penguasa untuk mencari muka di hadapan pengikutnya.

The Familliars sendiri awalnya menjadi kisah yang cukup menjanjikan. Saya suka atmosfer Gawthorpe Hall dan desa di sekitarnya, juga penggambaran beberapa karakter di awal. Namun, semakin ke belakang, saya semakin tidak bersimpati dengan Fleetwood, yang menurut saya tidak pas menjadi karakter utama. Lemah, plin plan, dan banyak mengambil keputusan yang membuat saya ingin mengguncang-guncangnya. Fleetwood juga lumayan sering melakukan hal-hal yang sepertinya tidak mungkin (atau sulit) dilakukan perempuan sekelasnya di abad ke-17, seperti berkeliaran ke mana-mana naik kuda sendirian, bahkan di saat sedang hamil besar, atau mengobrol dengan tokoh-tokoh bangsawan seolah ia sepantar dengan mereka, padahal usianya masih muda dan ia adalah seorang perempuan.

Di satu sisi, saya suka spirit Fleetwood yang ingin membuktikan bahwa perempuan bukan makhluk lemah, dan keinginannya mendobrak stereotype tentang perempuan bangsawan rumahan. Namun, seringkali spirit ini tidak konsisten dibarengi dengan tindakan dan pengambilan keputusan yang sesuai, sehingga lama-lama saya jadi skeptis dengannya.

Saya rasa, kisah ini akan jauh lebih seru bila mengambil sudut pandang Alice, yang hidupnya lebih berwarna, dan sikap serta karakternya setidaknya lebih konsisten dengan apa yang ia perjuangkan. It’s actually a shame!

Oiya, saya juga tidak begitu suka ending kisahnya, karena sekali lagi menegaskan pendapat saya tentang karakter Fleetwood yang lemah, dan membaca endingnya sama sekali tidak memuaskan!

Rating: 3/5

You might like it if you like: historical England, witches story, atmospheric setting, some elements of surprise

Submitted for:

A book about witches

My Sister Lives on the Mantelpiece by Annabel Pitcher

10 Wednesday Nov 2021

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ Leave a comment

Tags

british, dysfunctional family, english, fiction, grief, middle grade, popsugar RC 2021, realistic, religion, secondhand books, young adult

Judul: My Sister Lives on the Mantelpiece

Penulis: Annabel Pitcher

Penerbit: Little, Brown Books for Young Readers (2012)

Halaman: 214p

Beli di: Betterworldbooks.com (USD 6)

Rose memang sudah meninggal dunia, namun sepertinya kehadirannya tidak pernah meninggalkan rumah Jamie dan Jas. Malah, Rose seperti semakin nyata, karena bukan saja abunya menempati meja perapian dan bisa dilihat oleh semua orang, namun ayah mereka pun tetap menganggap Rose masih bersama mereka.

Untuk Jamie, yang masih terlalu muda saat Rose meninggal, Rose hanyalah semacam legenda dan mitos dalam hidupnya, sosok tak kelihatan yang memiliki peran penting dalam keluarga mereka. Sedangkan bagi Jas, saudara kembar Rose, kepergian Rose meninggalkan konflik hebat dalam dirinya, antara rasa kehilangan, namun juga kebencian karena kedua orang tuanya menganggap ia bukan sebagai Jas, namun sebagai kembaran Rose yang bertahan hidup.

Ketika ibu mereka memutuskan untuk pergi dari keluarga mereka, Jamie dan Jas harus hidup bersama ayah mereka yang masih dipenuhi kesedihan dan denial. Di tempat yang baru, mereka bertemu dengan teman baru, namun hal ini ternyata malah memicu kemarahan ayah mereka yang tidak suka dengan si teman baru. Apakah mungkin keluarga mereka akan utuh kembali dan menerima kenyataan kalau Rose sudah pergi?

My Sister Lives on the Mantelpiece merupakan buku middle grade/young adult dengan tema grieving. Meski topiknya serius, buku ini dipenuhi nuansa dark humor yang menggelitik, terutama karena naratornya adalah Jamie, anak laki-laki 10 tahun yang masih berusaha mengerti apa yang sebenarnya terjadi dengan keluarganya, dalam kepolosan anak-anak yang menyegarkan namun tetap cerdas.

Buku ini juga bergumul dengan isu-isu yang tak kalah serius, seperti Islamophobia, perceraian, dan terorisme. Namun untungnya, tidak terjebak dalam narasi yang membuat overwhelming. Semuanya disampaikan dengan cukup sederhana, tapi tanpa oversimplified isu yang ada. Saya juga suka endingnya yang realistis, menyentuh namun tidak fairy tale. A recommended book for younger readers who have to deal with grief.

Rating: 4/5

Recommended if you want to read: British middle grade, book about grieving, honest-adorable narrator, serious issues with easier writing

Submitted for:

The book that’s been on your TBR list for the longest amount of time

The Amazing Adventures of Kavalier and Clay by Michael Chabon

02 Tuesday Nov 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

arts, bargain book!, english, family, fiction, historical fiction, modern classics, new york, popsugar RC 2021, secondhand books, world war

Judul: The Amazing Adventures of Kavalier and Clay

Penulis: Michael Chabon

Penerbit: Picador USA (2000)

Halaman: 639p

Beli di: The Last Bookstore, Los Angeles (USD 6, bargain!)

Joe Kavalier, seniman muda berbakat, keturunan Yahudi dan berasal dari Praha. Sejak kecil, Joe tertarik pada dunia magic, dan bahkan sempat dilatih oleh salah satu escape artist legendaris di Praha. Ketika Perang Dunia II mulai memanas di Praha, Joe diutus keluarganya untuk melarikan diri ke Amerika. Di New York, Joe bertemu dengan Sammy Clay, sepupunya yang tinggal di Brooklyn dan bercita-cita untuk merintis bisnis komik. Sam jago membuat konsep, tapi tidak bisa menghasilkan gambar yang artistik. Berdua, mereka pun berjuang untuk menggapai cita-cita yang tampak mustahil: menjadi komikus terkenal.

Dan di hari yang bersejarah, Sam dan Joe, dibantu oleh beberapa seniman New York, membuahkan the Escapist, tokoh superhero yang kemudian disusul dengan karakter lain seperti the Monitor dan Luna Moth, yang terinspirasi dari Rosa Saks, perempuan cantik yang memikat hati Joe.

Kisah dua anak Yahudi di tengah berkobarnya Perang Dunia II, yang berjuang di luar medan perang namun tidak kalah sengitnya berusaha mengenyahkan stereotyping yang kerap melekat pada orang Yahudi dan kaum pekerja seperti mereka, serta berusaha memperjuangkan hak mereka di tengah kesadisan dunia bisnis New York yang dipenuhi oleh orang-orang serakah. Ditambah lagi, Joe dan Sam memiliki baggage masing-masing. Joe dengan perasaan bersalahnya akibat ia berhasil lolos dari Praha, sementara ia tidak tahu nasib yang menimpa keluarganya. Sementara Sam bergumul dengan identitas orientasi seksualnya, di mana menjadi gay masih dipandang hina, dan belum bisa diterima secara terbuka.

Saya cukup menikmati buku yang digadang-gadang sebagai salah satu modern classics ini. Premisnya menarik, terutama yang menyangkut sejarah buku dan seni komik di Amerika, sebelum dan setelah Perang Dunia II, dan bagaimana komik turut berpengaruh dalam membentuk opini publik, misalnya tentang Hitler dan Nazi. Saya suka setting kota New York (of course!) yang terasa sangat hidup di sini, serta proses kelahiran the Escapist yang legendaris, yang berkaitan erat dengan pengalaman Joe melarikan diri dari Praha saat Hitler berkuasa.

Namun, sejujurnya saya merasa buku ini agak terlalu panjang. Beberapa bagian terasa bertele-tele dan membosankan, dan saya tidak begitu suka bagian terakhir buku ini, terutama saat kisah terlalu fokus pada Joe dan romansanya. Saya lebih suka dengan karakter Sammy karena digambarkan lebih real dan otentik, dan pergumulannya mencari identitas terasa lebih relatable dibandingkan kisah Joe, namun sayangnya tidak diberikan porsi yang sama banyaknya.

Chabon adalah penulis yang baik, dan meski ini adalah pengalaman pertama saya membaca karyanya, saya langsung merasakan auranya yang khas, terutama saat ia menulis tentang buku komik dan sejarahnya. Hanya saja, menurut saya Chabon kurang adil dalam membagi porsi kedua sepupu (yang padahal sama-sama ada di judul buku), dan saya kurang terkesan dengan kisah cinta Rosa dan Joe.

Anyway- a solid historical book, although not very remarkable.

Rating: 3.5/5

Recommended if you wan to read about: comic book history, different side of World War II, amazing NYC setting, cousins dynamic, magical escapism

Submitted for:

Category: A book from your TBR list you meant to read last year but didn’t

Then She was Gone by Lisa Jewell

06 Wednesday Oct 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

british, domestic thriller, english, psychological thriller, secondhand books, thriller, twist

Judul: Then She was Gone

Penulis: Lisa Jewell

Penerbit: Arrow Books (2017)

Halaman: 426p

Beli di: @therebutforthebooks (IDR 80k)

Sepuluh tahun lalu, Laurel kehilangan segalanya. Ellie, puteri bungsu yang amat ia sayangi, menghilang dari rumah ketika menuju perpustakaan. Polisi menyimpulkan kalau itu adalah kasus melarikan diri dari rumah, tapi Laurel yakin, Ellie tidak akan kabur, apalagi di tengah kehidupannya yang bahagia dan penuh rencana masa depan.

Tragedi menghilangnya Ellie membuat Laurel berubah menjadi pribadi yang obsesif, sehingga ia menelantarkan anak perempuannya yang lain, Hanna, dan bahkan pernikahannya pun berujung pada perceraian.

Namun, sepuluh tahun setelah kejadian tersebut, Laurel bertemu dengan Floyd, yang memikat hatinya dan membuatnya jatuh cinta kembali, bahkan berani berharap akan datangnya kebahagiaan. Namun, satu hal yang mengusik Laurel, anak perempuan Floyd amat sangat mirip dengan Ellie!

Buat saya, premis buku ini cukup menarik, tapi eksekusinya kurang menggigit. Not the strongest of Lisa Jewell’s, but I think I’m the minority here, karena rating buku ini termasuk tinggi di Goodreads.

Saya sebenarnya berharap lebih, ada satisfying twist, unexpected ending atau genius revealing di bagian akhir buku, tapi sepertinya, buku ini memang termasuk thriller straightforward yang lumayan predictable sejak bagian pertengahan cerita. Vilainnya sudah jelas terungkap, dan meski ada adegan dark yang lumayan bikin kaget (dan ngilu), crime nya sendiri termasuk gampang ditebak meski terkesan mustahil. Tadinya saya masih berharap tebakan saya salah, at least ada penjelasan yang lebih masuk akal di bagian akhir buku, tapi memang Lisa Jewell kelihatannya tidak berusaha terlalu keras untuk membuat buku ini masuk ke dalam kategori thriller cerdas XD

Yang agak mengganggu juga adalah karakter-karakternya yang memang kurang menarik. Saya tidak bisa relate dengan Laurel, sedangkan Poppy, anak yang mirip Ellie, juga cukup annoying dan menyebalkan.

Bagaimanapun, Lisa Jewell tetap merupakan penulis yang andal, yang bisa dengan mudah membuat saya tetap terpaku di buku yang bahkan tidak terlalu saya nikmati sepenuhnya. Buku ini termasuk page turner, dan tetap terjaga unsur thrillingnya hingga akhir.

Rating: 3/5

Recommended if you like: thriller that is a bit unplausible, dark and twisted mystery, British setting

The Bookshop by Penelope Fitzgerald

19 Monday Apr 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

book about books, british, historical fiction, man booker prize, popsugar RC 2021, secondhand books

Judul: The Bookshop

Penulis: Penelope Fitzgerald

Penerbit: Second Mariner Books (2015, first published in 1978)

Halaman: 156p

Beli di: @Therebutforthebooks (IDR 140k)

Buku yang berkisah tentang buku dan toko buku biasanya menjadi favorit para pencinta buku, karena temanya sangat relatable dengan booklovers. Dan biasanya, books about books memiliki kisah yang hangat, seringkali dengan bumbu romans atau cerita yang kental dengan nuansa persahabatan.

Tapi ternyata, The Bookshop tidak termasuk dalam kategori di atas. Bukan berarti buku ini jelek, sih, hanya saja, memang tidak seperti ekspektasi buku-buku tentang books yang selama ini sering saya baca.

Yang pertama, kisahnya sama sekali tidak hangat. Alih-alih bercerita tentang kecintaan karakter-karakternya pada buku, The Bookshop justru berkisah tentang sebuah kota kecil di Inggris, Hardborough, yang penduduknya justru tidak mau kota mereka memiliki toko buku. Segala cara dilakukan untuk mencegah Florence Green sukses membangun toko bukunya. Digawangi oleh Mrs. Gamart, yang bercita-cita membangun pusat seni dan kebudayaan di gedung tempat Florence membuka toko buku, kesulitan demi kesulitan dialami oleh Florence. Dari mulai pengunjung yang cuma sedikit, profit yang sulit didapat, hingga terancam kehilangan gedungnya.

Hal kedua yang membuat buku ini beda dari kebanyakan bookish books lain adalah minimnya pembahasan tentang buku itu sendiri. Jangan terlalu berharap buku ini banyak menyinggung judul-judul buku yang kita kenal, karena kebanyakan buku yang dicari oleh penduduk Hardborough adalah buku sejarah alot, petunjuk teknis manual, dan buku membosankan lainnya. Satu-satunya buku literatur yang dibahas agak banyak adalah Lolita, saat Florence berkontemplasi akan menjual judul tersebut di tokonya setelah mendengar review yang bagus dari beberapa sumber. Tapi selain itu, diskusi tentang buku amat jarang terjadi di sini, bahkan Florence sendiri pun bukan seorang kutu buku, dan membuka toko buku bukan dengan alasan karena ia adalah seorang pencinta buku.

The Bookshop adalah buku yang kering dan dingin. Dilengkapi juga oleh setting Hardborough yang terletak di tepi laut yang berangin, dengan kondisi cuaca yang selalu buruk dan lokasi yang terpencil, membuat buku ini semakin gloomy. Untungnya di tengah kesenduan itu, terselip sedikit momen-momen yang menghangatkan hati, termasuk persahabatan tak terduga antara Florence dan asisten tokonya, Christine, yang masih muda namun memiliki semangat luar biasa. Juga pertemanan platonik Florence dengan aristokrat kota kecil mereka, Mr. Brundish yang misterius.

Setelah membaca kata pengantar dari David Nicholls, saya jadi lebih bisa menghargai gaya penulisan Penelope Fitzgerald, yang sangat underrated dibandingkan dengan penulis Inggris lain seangkatannya. Gaya sederhana, dengan karakter-karakter yang dibuat tidak menonjol, terkesan mengalah, dan sama sekali tidak seperti heroine pada umumnya, membuat buku-buku Fitzgerald memiliki aura yang khas. Saya sendiri baru pertama kali membaca buku Penelope Fitzgerald, sehingga tidak memiliki pembanding lain, dan awalnya agak sulit menikmati dan masuk ke dalam ceritanya. Namun lama kelamaan, saya bisa merasa terhubung juga dengan penghuni kota kecil Hardborough yang memang kehidupannya serba hard itu. Fitzgerald merupakan penulis yang efektif, meski banyak memakai metafora dan simbolisme, baik dari karakter maupun settingnya, namun semuanya dilakukan dengan suatu maksud tertentu yang memang memiliki tujuan tersendiri.

Oh, satu lagi: buku ini memiliki salah satu ending paling menyedihkan dan membuat frustrasi, yang ternyata merupakan ciri khas buku-buku Penelope Fitzgerald. So – if you don’t like sad endings, just stay away from this book đŸ˜€

Rating: 3/5

Recommended if you want to read about: gloomy bookshop, dubious characters, British self deprecating humor, unsatisfying ending.

Submitted for:

Category: A book from your TBR list you associate with a favorite person, place, or thing

The Salt Path by Raynor Winn

12 Monday Apr 2021

Posted by astrid.lim in non fiction

≈ Leave a comment

Tags

adventures, british, illnesses, inspirational, memoir, popsugar RC 2021, secondhand books, social issues, travel

Judul: The Salt Path

Penulis: Raynor Winn

Penerbit: Penguin Books (2019)

Halaman: 282p

Beli di: @ThereButForTheBooks (IDR 120k)

Sudah jatuh, tertimpa tangga. Mungkin itu adalah ungkapan yang tepat untuk hidup Raynor Winn, karena masalah datang padanya dengan bertubi-tubi. Suaminya, Moth, didiagnosa penyakit degenerasi langka yang tidak bisa disembuhkan, sementara itu, keluarga mereka mengalami krisis finansial parah akibat investasi gagal yang berlanjut ke ranah hukum, sehingga rumah merangkap pertanian mereka pun terpaksa disita. Raynor dan Moth resmi menjadi homeless, tanpa tahu harus tinggal di mana.

Suatu ide gila menghampiri Raynor di titik ter-desperate-nya, terinspirasi dari salah satu buku yang pernah ia baca. Raynor mengajak Moth untuk menyusuri South West Coast Path, jalur pejalan kaki di sebelah Barat Daya Inggris, yang melewati beberapa county termasuk Devon dan Cornwall. Rencananya, mereka berangkat dari Minehead, terus menuju ke Selatan hingga titik paling ujung bernama Land’s End, dan dari sana naik kembali ke Utara hingga berakhir di Poole. Total perjalanan mereka adalah 630 mil, dan mereka menggunakan buku Paddy Dillon sebagai acuan rute mereka.

Karena nyaris tidak punya uang, kecuali mengandalkan pemasukan mingguan seadanya dari tunjangan Moth, Raynor memutuskan mereka harus berkemah di sepanjang jalan, yang artinya melanggar peraturan pemerintah yang sebenarnya melarang perkemahan liar. Namun, karena mereka tidak mampu untuk menyewa space di perkemahan resmi, tidak ada pilihan lain kecuali mencari tempat tersembunyi di penghujung hari untuk mendirikan tenda.

Baik Raynor dan Moth sudah berusia separuh baya, dan kesehatan Moth pun makin menurun, sehingga banyak sekali tantangan yang harus mereka hadapi di sepanjang perjalanan. Cuaca buruk, medan yang berat, kehabisan uang, kekurangan makanan bergizi, bertemu dengan orang-orang dari mulai yang ingin tahu sampai menghakimi status homeless mereka. Namun di tengah kesulitan tersebut, masih banyak hal yang bisa disyukuri oleh Raynor dan Moth. Kesehatan Moth yang membaik setelah terbiasa dengan udara luar, orang-orang yang selalu ada saja yang ingin menolong, serta keindahan pesisir Inggris Selatan yang amat memukau.

Raynor Winn berhasil menuangkan petualangannya ke dalam deskripsi yang detail dan memikat, sehingga saya dengan mudah bisa membayangkan perjalanan yang mereka lalui, bahkan kadang-kadang sampai bisa mencium aroma laut yang asin. Tajamnya angin laut, koakan burung camar, hingga perubahan cuaca ekstrim dari yang panas terik menjadi dingin menggigit pun berhasil digambarkan oleh Raynor Winn dengan baik. Hanya saja, yang saya sayangkan adalah tidak adanya foto dalam buku ini, yang sebenarnya bisa membuat kisahnya semakin memukau, dan membuat kita lebih relate dengan Raynor dan Moth.

Satu hal yang juga menarik dalam buku ini adalah pembahasan tentang isu homeless di Inggris, karena Raynor dan Moth menjumpai banyak orang tanpa rumah seperti mereka, dengan berbagai kondisi dan alasan, yang mencoba bertahan di kerasnya dunia yang penuh dengan tuntutan standar kehidupan normal. Saya sendiri, yang sampai sekarang masih mengontrak rumah, tidak bisa membayangkan berada di posisi Raynor yang secara tiba-tiba kehilangan tempat tinggal. Buat saya, setidaknya ada support system seperti keluarga yang pasti masih akan membantu, entah memberi tumpangan sementara atau menguatkan mental kita. Tapi saya lihat, dalam kasus Raynor, bukan hanya sekadar tidak ada yang membantu, tapi prinsip dan budaya yang membuatnya sulit menerima bantuan orang lain, dan mempertahankan dignity saat tidak ada hal lain yang bisa ia pertahankan.

A truly eye opener, indeed.

Rating: 4/5

Recommended if you like: adventures, British outdoors, touching memoirs, beautiful views, real life struggles

Salah satu jalur South West Coast Path yang juga dikenal sebagai Salt Path
Rute yang ditempuh oleh Raynor dan Moth

Submitted for:

Category: A book set mostly or entirely outdoors

The Color Purple by Alice Walker

12 Friday Mar 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

african american, america, classics, historical fiction, LGBT, popsugar RC 2021, race, secondhand books, women

Judul: The Color Purple

Penulis: Alice Walker

Penerbit: Weidenfeld & Nicolson (paperback, 2017)

Halaman: 262p

Beli di: @birdfish.preloved.books (IDR 80k, bargain!)

Celie adalah seorang perempuan kulit hitam yang tinggal di Georgia di era 1930-an, tahun-tahun yang amat sulit karena perempuan kulit hitam masih dianggap sebagai kasta terendah di masyarakat. Cellie menjadi korban perkosaan keluarganya sendiri, dipaksa menyerahkan anak-anak yang dilahirkannya, kemudian dipaksa menikah dengan Mr. — yang amat dibencinya (hingga ia tidak mau menyebut nama laki-laki itu di sepanjang buku), dan dipisahkan dari Nettie, adik kandung yang amat disayanginya.

Membaca kisah Celie yang penuh penderitaan ini mengingatkan saya dengan kisah Oshin (hidup 80-an!) yang sarat akan air mata. Namun, Celie digambarkan seorang perempuan yang tangguh, yang tidak menjadikan penderitaan dan kesusahan sebagai penghalang baginya mencari akhir yang bahagia.

Hidup Celie berubah drastis saat ia bertemu dengan Shug Avery, penyanyi yang juga mantan pacar suaminya, Mr. —. Shug yang sedang sakit tidak memiliki seorangpun yang bisa merawatnya, sehingga Mr. menyuruh Shug untuk tinggal di rumahnya, dengan Celie sebagai perawatnya. Mungkin perempuan lain sakit hati bila diminta merawat mantan pacar suaminya. Namun bagi Celie, kedatangan Shug adalah berkah tersendiri. Ia mengagumi Shug yang berani mengambil jalan hidup tanpa peduli apa kata orang lain. Dan perlahan-lahan, persahabatan tumbuh di antara mereka, yang bahkan berkembang menjadi hubungan yang lebih dalam dari sekadar teman.

Celie belajar banyak dari perempuan di sekitarnya. Selain Shug, ada juga menantunya, Sofia, yang kekuatan fisik maupun emosionalnya mengalahkan laki-laki manapun, termasuk suaminya sendiri. Dan tentu saja ada Nettie- adik perempuan Celie yang terpisah sejak mereka masih remaja, dan mengikuti jalan hidupnya sendiri sebagai misionaris di Afrika, yang memiliki tantangan yang tak kalah hebatnya.

Buku ini ditulis dengan format surat, yang pertama adalah surat Celie kepada Tuhan, dan bagian kedua adalah surat-menyurat antara Celie dengan Nettie. Bahasa yang digunakan Celie awalnya lumayan susah dimengerti, dan membuat buku ini terasa lambat di bagian awal karena kita harus menyesuaikan dengan gaya bercerita Celie yang terkadang suka melompat-lompat dan memiliki istilah sendiri untuk banyak hal. Namun setelah terbiasa, kita bisa dengan mudah masuk ke dalam dunia Celie, cara berpikirnya yang sederhana namun selalu ingin yang terbaik untuk setiap orang.

Bagian surat-surat Nettie memiliki topik yang tak kalah menarik dengan perjuangan Celie, yaitu topik tentang misionaris di Afrika. Nettie adalah satu dari segelintir misionaris kulit hitam yang bertugas di Afrika, dan pengalamannya membawa banyak sekali thought provoking dan eye opening moments di buku ini.

Secara keseluruhan, buku ini memang layak diberi predikat klasik, karena temanya yang begitu kaya akan peran perempuan kulit hitam di belahan selatan Amerika Serikat, dan kental dengan karakter-karakter yang memorable, terutama Celie dan Shug Avery.

The Color Purple, The Movie

Satu hal yang menggelitik saya saat membaca buku ini adalah introduction letter versi terbaru dari sang penulis, Alice Walker. Di kata pengantarnya, Walker banyak menyinggung tentang film The Color Purple, yang ketenarannya menyamai bukunya. Seperti kebanyakan penulis, Walker tampak tidak puas dengan eksekusi film The Color Purple yang dianggapnya membingungkan dan banyak menghilangnya poin penting dari bukunya.

Poster film The Color Purple

Saya sendiri belum menonton film The Color Purple, meski banyak mendengar pujian dan review bagus tentang film tersebut. Dibintangi oleh Whoopi Goldberg sebagai Celie, Margaret Avery sebagai Shug, dan Oprah Winfrey sebagai Sofia, tak heran film ini mendapatkan banyak nominasi Oscar dan memenangkan penghargaan lainnya. Saya memasukkan film The Color Purple ke dalam daftar to watch saya, meski belum tahu apakah akan “tega” menonton penderitaan Celie yang pasti tampak lebih tragis di film dibandingkan di dalam buku.

Rating: 3.5/5

Recommended if you want look for: classics, Southern America in the 30s, Black history, women’s roles in the 30s, tearjerkers, strong characters, sympathetic narrator

Submitted for:

Category: A book from your TBR list chosen at random

Dead Wake: The Last Crossing of the Lusitania by Erik Larson

07 Thursday Jan 2021

Posted by astrid.lim in Uncategorized

≈ Leave a comment

Tags

british, europe, history, non fiction, popsugar RC 2021, secondhand books, world war

Judul: Dead Wake: The Last Crossing of the Lusitania

Penulis: Erik Larson

Penerbit: Broadway Books (2015)

Halaman: 452p

Beli di: Betterworldbooks.com (USD 9.98)

Erik Larson delivered again! Kalau ada penulis yang membuat saya bisa terpukau dengan buku sejarah, Larson lah orangnya. Kali ini, topik yang diangkat adalah tentang Lusitania, kapal besar yang mengangkut penumpang dari New York ke Liverpool, dan tenggelam karena ditorpedo oleh Jerman saat Perang Dunia I. Ini merupakan salah satu tragedi paling terkenal di dunia maritim, terutama karena terjadi pada kapal swasta yang seharusnya kebal dari ancaman perang.

Saya sendiri kurang tahu tentang peristiwa ini, dan tidak terlalu tertarik untuk mencari tahu lebih jauh. Tidak seperti Titanic yang kental dengan nuansa romantis (terutama setelah diangkat ke layar lebar oleh Hollywood), tragedia Lusitania -karena terjadi di masa perang- dianggap seperti collateral damage saja sehingga kurang menarik untuk diulik.

Tapi Erik Larson berpikiran lain – ia berhasil mengangkat peristiwa yang tadinya hanya dianggap sepintas lalu sebagai bagian Perang Dunia I – ke dalam sebuah naratif yang memikat. Seperti biasa, buku ini merupakan hasil penelitian panjang Larson dari berbagai sumber, termasuk buku harian, surat-surat dan dokumen lainnya.

Yang menarik, Larson bisa menggabungkan kisah masing-masing penumpang Lusitania – dari mulai persiapan mereka berangkat hingga tragedi menimpa mereka di atas kapal- dengan momen-momen di mana ketegangan antara Inggris dan Jerman semakin memuncak.

Ada dua hal besar yang membuat buku ini begitu menarik, dan Erik Larson dengan lihai bisa menjalin kedua isu utama ini ke dalam naratif yang mudah dibaca dan diikuti.

Yang pertama adalah Lusitania itu sendiri – sejarahnya, karakteristiknya, para penumpangnya, serta kapten yang menggawangi pelayaran tersebut, Captain Turner. Semuanya akan menjadi elemen-elemen penting yang mempengaruhi peristiwa tenggelamnya Lusitania secara tragis. Karena kapal swasta seharusnya aman dari serangan musuh dan menjadi wilayah netral di Perang Dunia I, tidak ada seorang pun yang merasa terancam secara serius, meski saat pelayaran ini berlangsung di bulan Mei 1915, Jerman sedang giat-giatnya menyebar kapal selam perang mereka di perairan Eropa dan menembaki kapal-kapal musuh.

Isu kedua yang tak kalah penting adalah ketegangan di antara Jerman dan Inggris, karena pertengahan tahun 1915 merupakan saat-saat stagnan di medan peperangan darat, dan lautan menjadi salah satu kunci untuk bisa memenangkan perang tersebut. Inggris sangat ingin Amerika Serikat bergabung dan beraliansi dengan mereka di Perang Dunia I, namun Presiden Woodrow Wilson tetap teguh ingin memegang netralitas Amerika. Sementara itu, tergoda untuk memenangkan perang sebelum Amerika ikut mendukung Inggris, Jerman pun mulai melancarkan serangan-serangan tajam di lautan, dan bahkan mulai menargetkan kapal-kapal non perang serta kapal dari negara netral.

Sementara itu, Presiden Wilson sendiri sedang mengalami banyak masalah pribadi, istrinya baru meninggal dan tak lama kemudian ia menjalin hubungan dengan seorang perempuan yang masih ragu untuk menjadi pendamping hidupnya. Konteks ini perlu diketahui karena cukup berpengaruh pada perasaan dan kondisi Wilson saat awal Perang Dunia I.

Yang paling membuat gemas adalah melihat cara Inggris menghadapi hari-hari menjelang penyerangan Lusitania. Badan intelijennya sudah menangkap tanda-tanda submarine U-20 yang berkeliaran di perairan sekitar Liverpool, tapi mereka tidak memperingatkan Lusitania dan masih menganggap ancaman penyerangan tersebut tidak serius.

Berita tenggelamnya Lusitania

Larson adalah penulis non fiksi dengan hati seorang novelis. Ia bisa menyajikan narasi yang memikat tapi tetap netral, tidak berat sebelah, dan mengungkap bukti-bukti keteledoran semua pihak. Tidak serta merta ia memihak Inggris atau menyalahkan Jerman, tapi menjelaskan semua fakta dengan apa adanya. Banyak faktor yang menyebabkan Lusitania ditorpedo pada bulan Mei 1915, dan banyak korban yang sebenarnya tidak perlu jatuh di hari itu, termasuk yang tertimpa perahu penyelamat atau kru yang terjebak di ruang bahan bakar.

Detail-detail yang begitu vivid seringkali membuat saya lupa kalau saya sedang membaca buku sejarah alih-alih novel fiksi. Dan itulah kepiawaian Erik Larson yang sulit ditandingi oleh penulis lain. Bahkan topik yang tidak terkenal, tidak terpikirkan, dan tidak terlihat menarik, bisa disulap menjadi buku yang engaging dan memikat. And I’m super happy because there are some of his books that I haven’t read đŸ™‚

Rating: 4/5

Recommended if you want to read about: World War I, maritime tragedies, history book with a sense of fiction novel, detailed but engaging narratives.

Submitted for:

Category: A book with a black-and-white cover

All the Missing Girls by Megan Miranda

28 Tuesday Jul 2020

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

america, english, fiction, mystery, popsugar summer RC 2020, secondhand books, summer, thriller, twist, unreliable narrator

Judul: All the Missing Girls

Penulis: Megan Miranda

Penerbit: Simon & Schuster (2016)

Halaman: 369p

Beli di: @therebutforthebooks

Nicolette Farrell meninggalkan kota kelahirannya, Cooley Ridge di North Carolina, setelah ia lulus SMA, dan Corinne, sahabat baiknya, menghilang tiba-tiba. Tragedi itu memaksanya untuk melupakan tentang kampung halamannya dan membuka lembaran baru, hingga 10 tahun kemudian ia menetap di Philadelphia, meniti karier sebagai konselor di sekolah, dan bertunangan dengan pengacara sukses yang ganteng, Everett.

Namun kondisi ayah Nic yang semakin memburuk, serta rencana keluarganya menjual rumah mereka, membuat Nic mau tidak mau harus kembali ke Cooley Ridge dan menghabiskan musim panas di sana. namun peristiwa menghilangnya Corinne 10 tahun lalu seolah terulang kembali, saat seorang gadis tetangga Nic yang bernama Annaleise, juga menghilang tanpa jejak.

Nic serasa deja vu, apalagi kebanyakan orang yang dicurigai terlibat dalam kasus menghilangnya Corinne masih tinggal di Cooley Ridge dan secara mencurigakan juga terhubung dengan Annaleise. Mulai dari ayah Nic yang di ambang dementia namun sepertinya menyimpan rahasia penting, Tyler, mantan pacar Nic yang sempat berkencan dengan Annaleise, serta Daniel, kakak Nic yang memiliki temperamen panas. Apakah salah satu dari mereka mengetahui apa yang terjadi pada Corinne, dan apakah hal tersebut berhubungan dengan menghilangnya Annaleise?

Yang menarik dari All the Missing Girls sebenarnya bukan kasusnya – yang terbilang cukup “biasa” untuk buku-buku thriller. Yang tidak biasa adalah alur cerita yang dibawa mundur, mulai dari 2 minggu setelah Annaleise menghilang, lalu perlahan-lahan mundur hingga saat terjadinya peristiwa tersebut. Dan apa yang kita ketahui di awal cerita ternyata bukan pijakan yang tepat karena semuanya memiliki makna yang berbeda setelah kita tiba di penghujung buku.

Usaha Megan Miranda patut diacungi jempol, karena memang kisah ini jadi lebih seru dan membuat penasaran dengan alurnya yang mundur tersebut. Hanya saja, memang di beberapa bagian ada yang terasa agak berantakan, a little bit of mess here and there, beberapa loopholes yang lupa ditutup, beberapa penjelasan yang kurang memuaskan. Juga ada beberapa fakta yang agak melenceng dari yang diungkapkan di awal buku. Tapi secara keseluruhan, masih terbilang oke.

Nic adalah unreliable narrator yang meski sering membuat bingung tapi masih bisa relate dengan pembaca. Setidaknya, kisah cinta segitiganya dengan Tyler dan Everett juga tidak diblow up out of proportion dan membuat buku ini terlalu kental nuansa romansnya (satu hal yang saya agak malas dari buku-buku thriller kontemporer!!).

Di sini semuanya masih balance – dan penuturan Megan Miranda cukup enak untuk diikuti. Saya jadi penasaran membaca beberapa bukunya yang lain, yang sepertinya mendapat review yang cukup bagus di mana-mana.

Submitted for:

Category: A summer-set thriller

The Binding by Bridget Collins

17 Friday Jul 2020

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 2 Comments

Tags

balibooks, book about books, english, fantasy, fiction, LGBT, popsugar summer RC 2020, romance, secondhand books

Judul: The Binding

Penulis: Bridget Collins

Penerbit: The Borough Press

Halaman: 438p

Beli di: @BaliBooks (IDR 135k)

Hal pertama yang membuat saya tertarik pada buku ini adalah covernya. It’s so beautiful, with intricate details and the blue hues. Lalu, baca sinopsisnya pun langsung suka. Ceritanya melibatkan buku, and which book lovers do not love books about books? đŸ™‚

Emmet Farmer adalah seorang anak petani, yang akibat suatu kejadian misterius yang tidak terlalu jelas baginya, mengalami serangan hebat yang membuatnya sakit. Frustrasi dengan rasa “tidak berguna” di pertanian ayahnya, membuat Emmet mengambil kesempatan yang ditawarkan oleh seorang Binder, atau penjilid buku, bernama Seredith yang tinggal di sebuah rumah terpencil, untuk menjadi asistennya.

Masyarakat sekitar menganggap Seredith seorang penyihir, namun Emmet lama kelamaan makin menyukai dan respek pada mentornya ini. Hanya saja, suatu hari ia dikejutkan oleh fakta tentang pekerjaan menjilid, yang ternyata mengandung lebih dari sekadar membuat sebuah buku.

Buku yang dijilid oleh Binder merupakan memori yang diambil dari orang-orang yang ingin melupakan berbagai kejadian dalam hidup mereka, dari mulai yang menyedihkan hingga menyakitkan. Setelah seseorang merelakan memorinya diambil dan dijilid menjadi sebuah buku, maka orang tersebut tidak memiliki ingatan apapun tentang bagian hidupnya yang sudah berpindah ke dalam halaman-halaman buku.

Emmet sendiri kurang merasa sreg dengan pekerjaan Binder, apalagi saat ia tahu banyak Binder bandel di luar sana yang memperjualbelikan memori orang-orang yang masih hidup secara ilegal, dan bukannya menyimpan buku tersebut seperti yang seharusnya menjadi kewajiban para Binder.

Suatu hari, Emmet bertemu dengan sesosok pemuda misterius bernama Lucian, yang entah kenapa menimbulkan perasaan tidak enak dalam hatinya, dan membuatnya yakin ada suatu kejadian dalam hidupnya yang sudah tidak terdapat dalam memorinya. Kejadian yang menyangkut Lucian.

Maka Emmet memulai perjalanannya menyusuri masa lalu – dan di sinilah kita mulai mengenal sosok Lucian yang misterius, dan mengungkap apa sebenarnya yang terjadi dalam jalinan hidup mereka berdua.

The Binding, sesuai dengan covernya yang cantik, dipenuhi oleh kalimat-kalimat dan jalinan kisah yang tidak kalah memikat. Di bagian pertama, kita mengenal Emmet dengan segala permasalahannya. Di bagian kedua, kita pergi ke masa lalu Emmet untuk melihat apa yang menimbulkan masalah-masalah dalam hidupnya. Dan di bagian tiga, kita diberi kesempatan menjalani kisah dari sudut pandang Lucian.

Pengaturan yang rapi, menurut saya, dan fase-fase kisah ditulis dengan apik dan tetap mempertahankan tensi dan atmosfer keseluruhan cerita. Hanya saja, beberapa bagian memang terasa agak terlalu panjang dan bertele-tele. Bridget Collins senang sekali menuliskan detail suasana di sekitar tokoh-tokohnya, terutama lansekap, setting, dan cuaca. Sebenarnya tidak apa-apa sih, karena justru memperkental unsur atmospheric dalam cerita. Namun lama-kelamaan memang terasa agak mengganggu, apalagi misalnya baru saja digambarkan mengenai langit kelabu, lalu di halaman selanjutnya diulang lagi tentang langit yang semakin kelabu dan angin kencang. Sebenarnya kita mau membaca fiksi atau laporan cuaca ya? XD

Tapi overall saya cukup menikmati kisah The Bindung. Emmet dan Lucian sama-sama membuat penasaran dan merupakan pasangan yang cukup compatible. Adegan romansnya terasa pas, tidak berlebihan, dan meskipun saya berharap lebih banyak diulas tentang dunia buku dan binder (instead of masa lalu Emmet dan Lucian), namun untungnya kisah mereka pun masih menyenangkan untuk diikuti.

Oiya, satu lagi – endingnya amat sangat cliffhanger, jadi untuk yang kurang suka kisah menggantung, sepertinya The Binding akan terasa cukup mengecewakan di bagian akhirnya.

Submitted for:

Category: A book with an LGBTQ+ protagonist

← Older posts

From the bookshelf

Categories

Looking for Something?

Enter your email address to follow Books to Share and receive notifications of new posts by email.

Join 1,036 other subscribers

Currently Reading

I’m a Proud Member! #BBI 1301004

Wishful Wednesday Meme

Fill your Wednesdays with wishful thinking =)

Popsugar Reading Challenge 2018

bookworms

  • aleetha
  • althesia
  • alvina
  • ana
  • annisa
  • bzee
  • dewi
  • dion
  • fanda
  • Ferina
  • helvry
  • inne
  • Kobo
  • maya
  • mei
  • melmarian
  • mia
  • ndari
  • nophie
  • oky
  • peri hutan
  • ren
  • Reygreena
  • sel sel kelabu
  • sinta
  • tanzil
  • tezar
  • yuska

shop til you drop

  • abe books
  • Amazon
  • better world books
  • book depository
  • BukaBuku
  • Buku Dedo
  • bukukita
  • vixxio

Top Posts & Pages

  • Red, White & Royal Blue by Casey McQuiston
    Red, White & Royal Blue by Casey McQuiston
  • Dongeng-Dongeng Grimm Bersaudara
    Dongeng-Dongeng Grimm Bersaudara
  • The Secret History
    The Secret History
  • Klara and the Sun by Kazuo Ishiguro
    Klara and the Sun by Kazuo Ishiguro
  • The Monogram Murders by Sophie Hannah
    The Monogram Murders by Sophie Hannah

Recent Comments

Puddin’ by Jul… on Dumplin’ by Julie M…
jesica on Abarat 2: Days of Magic, Night…
jesica on Abarat 2: Days of Magic, Night…
When the Stars Go Da… on The Paris Wife
Hapudin Bin Saheh on Insomniac City: New York, Oliv…

Blog at WordPress.com.

Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
  • Follow Following
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Join 1,036 other followers
    • Already have a WordPress.com account? Log in now.
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Customize
    • Follow Following
    • Sign up
    • Log in
    • Report this content
    • View site in Reader
    • Manage subscriptions
    • Collapse this bar
 

Loading Comments...