• About this blog
  • Clearance Sale!
  • Newbery Project
  • Popsugar Reading Challenge 2023
  • Previous Challenges
    • BBI Read and Review Challenge 2017
    • Challenges 2014
    • Challenges 2015
    • Lucky No.14 Reading Challenge
    • Lucky No.15 Reading Challenge
    • POPSUGAR Reading Challenge 2017
    • Popsugar Reading Challenge 2018
    • Popsugar Reading Challenge 2020
    • Popsugar Reading Challenge 2021
    • Popsugar Reading Challenge 2022
    • What’s in a Name 2018
    • Twenty-Ten Challenge
    • Challenges 2012
    • Challenges 2013
  • Round Ups
  • The Librarian

~ some books to share from my little library

Tag Archives: book about books

The Paris Library by Janet Skeslien Charles

28 Friday Jan 2022

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

bargain book!, book about books, e-book, english, europe, fiction, historical fiction, library, paris, popsugar RC 2022, world war

Judul: The Paris Library

Penulis: Janet Skeslien Charles

Penerbit: Two Roads (Kindle edition, 2021)

Halaman: 358p

Beli di: Amazon.com (USD 2.99, bargain!)

Odile Souchet bermimpi bisa bekerja di American Library di kota Paris, dan akhirnya, di tahun 1939, impiannya tercapai. Dikelilingi oleh buku-buku, kutu buku, rekan kerja yang serba unik, dan bahkan seorang polisi muda yang mencuri hatinya, hidup Odile tampak sempurna. Namun, sedikit yang ia tahu, kehidupannya akan berubah total, setelah Perang Dunia II mulai dan Jerman menguasai Prancis. Perpustakaan kesayangannya, bersama orang-orang yang dikasihinya, juga ikut terancam.

American Library di Paris

Fast forward ke tahun 1983, di kota kecil di Montana, seorang remaja perempuan kesepian bernama Lily, penasaran dengan sosok tetangganya yang hidup menyendiri. Odile, tetangganya tersebut, memiliki masa lalu misterius dan tak seorang pun tahu kisah sesungguhnya mengapa ia pindah dari Paris ke Montana. Lily bertekad mencari tahu, namun ia justru menemukan pribadi yang menyenangkan, yang membuatnya jatuh cinta pada buku, kota Paris dan bahasa Prancis.

The Paris Library memikat saya karena deskripsinya yang hidup tentang kota Paris di tahun 1930-40an, menjelang Perang Dunia II. Saya langsung merasa relate dengan Odile si kutu buku, yang cita-citanya bekerja di American Library, perpustakaan berbahasa Inggris terbesar di Paris saat itu. Karena penulis buku ini terinspirasi kisah nyata di mana perpustakaan ini berperan besar menyuplai buku-buku saat Prancis diduduki oleh Belanda, banyak karakter di Paris Library yang memang merupakan tokoh nyata, atau terinspirasi dari sejarah, sehingga membuat kisah ini semakin terasa hidup.

American Library di Paris, saat ini

Tapi, bagian kisah Montana, yang ditampilkan berselang-seling dengan kisah Odile di Paris, awalnya cukup terasa mengganggu. Menurut saya, sudut pandang Montana ini kurang pas dengan plot Perang Dunia, dan terasa seperti plot yang terpisah dari keseluruhan buku, terutama karena tone nya yang cukup berbeda. Lily untungnya adalah karakter yang mudah mengundang simpati, dan kisahnya tumbuh besar di kota kecil Montana, sambil mendengarkan kisah tentang Paris dan belajar Bahasa Prancis dengan Odile, lumayan menarik untuk diikuti. Namun transisi sampai saya merasa bisa relate dengan Lily dan menghubungkannya dengan kisah masa lalu Odile agak sulit buat saya.

Selain itu, rahasia masa lalu Odile yang membuatnya meninggalkan Paris dan perpustakaan yang dicintainya, bahkan memutus hubungan dengan orang-orang yang ia kasihi, agak terlalu dipaksakan menurut saya, dan tidak sesuai dengan karakter Odile sendiri.

Namun bagaimanapun, The Paris Library tetap merupakan historical fiction yang memikat, ditulis dengan baik, dan mengangkat kisah peran perpustakaan selama Perang Dunia, yang selama ini cukup jarang ditemui di buku sejenis. Oiya, Sylvia Beach dan Shakspeare and Co sempat disebut-sebut juga lho!

Rating: 3.5/5

Recommended if you like: historic Paris, World War II from different angle, book about books, library!, dual timeline

Submitted for:

A book that features two languages

Eight Perfect Murders by Peter Swanson

18 Thursday Nov 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

bargain, book about books, ebook, english, fiction, murder mystery, mystery, thriller, twist ending, unreliable narrator

Judul: Eight Perfect Murders

Penulis: Peter Swanson

Penerbit: William Morrow (2020, Kindle edition)

Halaman: 271p

Beli di: Amazon.com (USD 2.99, bargain!)

Premis buku ini benar-benar menarik, terutama untuk para pencinta buku misteri dan thriller seperti saya. Malcolm Kershaw, pemilik toko buku Old Devils Bookstore di Boston, pernah membuat list buku misteri dengan plot pembunuhan terbaik, dan menamainya sebagai “Eight Perfect Murders”. Menurut Malcolm, bila pembunuhan dalam buku-buku itu dilakukan di dunia nyata, tidak ada yang bisa memecahkannya.

Namun, bertahun-tahun setelah ia memposting list tersebut di blog toko bukunya, Malcolm dikejutkan oleh kehadiran seorang agen FBI, yang sedang menyelidiki serangkaian pembunuhan yang menurutnya terinspirasi dari buku-buku yang masuk ke dalam list Malcolm.

Awalnya, Malcolm mengira ini hanya sekadar kebetulan. Namun rangkaian pembunuhan yang terjadi membuat Malcolm terpaksa mengakui kalau listnya sudah dipakai semena-mena oleh seorang pembunuh berantai. Pertanyaannya, apakah hal ini berhubungan dengan kehidupan personal Malcolm dan masa lalunya yang gelap?

Saya selalu menyukai book about books, alias buku yang bercerita atau mengambil tema tentang buku. Apalagi bila genrenya misteri atau thriller. Dan di atas kertas, Eight Perfect Murders tampak perfect untuk saya.

Mungkin karena ekspektasi saya kelewat tinggi juga, pada akhirnya saya malah merasa buku ini agak kurang maksimal. Premis yang seru tidak diimbangi dengan eksekusi yang mumpuni, sehingga ceritanya pun agak setengah-setengah. Terutama endingnya yang menurut saya agak terlalu far fetched. Beberapa pembunuhan yang terjadi di buku ini juga tidak terlalu sesuai dengan buku yang menjadi inspirasinya, sehingga saya malah sibuk berusaha mencocokkan pembunuhan di buku ini dengan buku yang menjadi referensinya XD

Concern saya yang lain adalah betapa banyaknya spoiler yang bertebaran di buku ini, terutama tentang 8 buku yang masuk ke dalam list Malcolm. Sebenarnya bisa dipahami sih, karena buku ini membahas secara mendalam metode, motif, dan segala detail pembunuhan dalam buku-buku fiksi tersebut untuk memecahkan pembunuhan yang menjadi inti kasus Eight Perfect Murders. Tapi, kalau memang belum membaca ke-8 buku tersebut dan masih niat untuk membacanya tanpa terganggu spoiler, sebaiknya tunda dulu membaca buku ini.

Kedelapan buku yang masuk ke dalam list Malcolm adalah:

  1. The A.B.C Murders by Agatha Christie
  2. Strangers on a Train by Patricia Highsmith
  3. Death Trap by Ira Levin
  4. Red House Mystery by A.A. Milne
  5. Malice Aforethought by Anthony Berkeley Cox
  6. Double Indemnity by James M. Cain
  7. The Drowner by John D. Macdonald
  8. The Secret History by Donna Tartt

Sekali lagi, tidak semua kasus dalam buku ini benar-benar setia pada referensi buku-buku di atas, tapi semua buku di atas memang dibahas dari segi plot dan pelaku pembunuhan, jadi siap-siap saja membaca banyak spoiler dalam buku ini.

However, saya tetap merasa buku ini memiliki banyak kelebihan. Tema dan settingnya menarik, terutama untuk para bookworm, dan ada beberapa adegan yang lumayan menegangkan. Still recommended if you are a thriller lover.

Rating: 3.5/5

Recommended if you like: book about books, unreliable narrator, bookstore setting, twisted ending

Shakespeare and Company by Sylvia Beach

10 Tuesday Aug 2021

Posted by astrid.lim in non fiction

≈ Leave a comment

Tags

autobiography, book about books, bookstores, english, europe, history, memoir, non ficttion

Judul: Shakespeare and Company

Penulis: Sylvia Beach

Penerbit: Bison Book (New Edition, 1991)

Halaman: 230p

Beli di: shakespeareandcompany.com (23 Euro)

Salah satu obsesi saya adalah mengunjungi toko buku legendaris di berbagai belahan dunia. Dan yang sampai sekarang masih menjadi bucket list adalah Shakespeare and Company yang terletak di kota Paris. Meski beruntung sudah pernah menginjakkan kaki di Paris, entah kenapa nasib belum membawa saya berkunjung ke toko buku bersejarah ini.

Saat Shakespeare and Co. kemarin sempat terancam tutup di tengah pandemi Covid-19, saya bersama beberapa teman memutuskan untuk berbelanja online di toko tersebut, sebagai bentuk dukungan kami terhadap toko buku independen yang memang banyak mengalami kesulitan terutama di masa pandemi. Dan salah satu buku yang menarik perhatian saya tentu saja Shakespeare and Company, memoir Sylvia Beach sang pendiri original toko buku ini sejak tahun 1919.

Dalam memoir yang ditulis dengan gaya jurnal ini, Sylvia Beach bercerita tentang asal muasal Shakespeare and Company, bagaimana seorang perempuan Amerika berhasil membuka toko buku pertama yang berbahasa Inggris di Paris, di era setelah Perang Dunia I. Sylvia yang memang pencinta budaya, literatur, dan seni, sudah bercita-cita ingin memiliki toko buku sendiri, dan ketika impiannya untuk membuka cabang toko buku Prancis di New York kandas, ia banting setir dan malah membuka toko buku berbahasa Inggris di Paris.

Ternyata, Shakespeare and Company malah sukses besar. Bukan hanya menjadi toko buku pionir yang menjual buku bahasa Inggris di tengah kota yang amat kental nuansa Prancisnya, namun Shakespeare and Co. juga menjadi tempat berkumpul para penulis yang nantinya akan menjadi penulis legendaris seperti Ernest Hemingway, Scott Fitzgerald, dan D.H Lawrence. Belum lagi hubungan dekat Sylvia dengan James Joyce, dan dari buku ini saya juga baru tahu kalau Shakespeare and Company pernah berperan sebagai penerbit Ulysess karena tidak ada penerbit yang mau menerbitkan novel tersebut.

Meski kadang seringkali rambling, dengan gaya bahasa santai namun sering tidak jelas urut-urutan timelinenya, saya tetap merasa bisa menikmati memoir Sylvia Beach ini. Beach bercerita dengan apa adanya tentang tantangannya mengelola toko buku, termasuk dari sisi bisnis, politik, dan sosial. Ia kehilangan teman, mendapatkan teman baru, dan bahkan pasangan hidup (Beach adalah salah satu pionir LGBT di era nya), karena Shakespeare and Company.

Hal lain yang juga saya suka dari buku ini adalah penggambaran kota Paris yang terasa dekat. Sylvia Beach mampu mendeskripsikan dengan detail, namun tidak membosankan, suasana Paris, baik di sekitar Shakespeare and Co maupun di daerah lain yang tak kalah cantik. Selain itu, beberapa foto yang tampil di memoir ini juga memperkuat kesan yang diperoleh, karena kita bisa dengan mudah membayangkan suasana toko buku maupun daerah sekitarnya, lengkap dengan tokoh-tokoh yang diceritakan Beach dalam buku ini. Penggambaran kesannya terhadap karakter-karakter yang ditemuinya sepanjang berkarier sebagai pemilik toko buku juga terasa hangat, apa adanya, dan penuh dengan anekdot yang membuat saya mendapatkan fakta-fakta baru tentang para penulis maupun tokoh dunia sastra lainnya.

Overall, this is a nice memoir. Yang pasti, setelah membaca buku ini, jangan kaget kalau langsung craving for some traveling to Paris!

Note: Shakespeare and Co. ditutup tahun 1941, saat Nazi mulai menguasai Prancis, dan tidak pernah dibuka kembali. Shakespeare and Co. versi saat ini didirikan tahun 1951 oleh George Whitman, dan dinamai sama dengan toko Sylvia Beach sebagai tribut terhadap toko buku dan pendirinya yang legendaris tersebut. Sylvia Whitman, anak perempuan George, mengambil alih toko buku Shakespeare and Co. di tahun 2006 hingga sekarang, dan semoga, toko ini tak akan pernah tutup 🙂

The original Shakespeare and Company
Shakespeare and Company masa kini

Rating: 4/5

Recommended if you like: Paris!, books about books and bookstores, history of literature, unusual name dropping, journal slash memoir

Submitted for:

Category: A book where the main character works at your current or dream job

The Bookish Life of Nina Hill by Abbi Waxman

26 Monday Apr 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

america, bargain book!, book about books, chicklit, contemporary, dysfunctional family, ebook, romance

Judul: The Bookish Life of Nina Hill

Penulis: Abbi Waxman

Penerbit: Berkley (2019, Kindle edition)

Halaman: 351p

Beli di: Amazon.com (USD 1.99, bargain!)

Representasi tokoh bookworm dalam sebuah cerita adalah hal yang penting. Tidak ada yang lebih menyenangkan selain membaca buku dengan karakter utama seorang booknerd, sama seperti kita, sang pembaca. Dan Nina Hill, awalnya, terasa sangat relatable.

Nina mencintai buku dan tidak bisa hidup tanpa buku. Ia tinggal di sebuah suburb asri dan menyenangkan di pinggir kota Los Angeles, yang terkenal dengan komunitas para pencinta seni dan budaya.

Nina bekerja di sebuah toko buku, dan meski awalnya ia hanya menganggap pekerjaannya sebagai batu loncatan, lama kelamaan ia malah merasa sangat betah dan mencintai pekerjaannya. Ibu Nina adalah seorang fotografer terkenal yang sibuk melanglang buana, dan ia tidak mengenal ayahnya – yang memang out of the picture sejak ia lahir.

Karena memiliki anxiety yang lumayan akut, Nina selalu mencari jalan yang aman dalam hidupnya: tinggal dan bekerja di lingkungan yang familiar, dan sebisa mungkin menghindari konflik sehingga lebih baik tidak usah terlibat dalam hubungan percintaan yang serius.

Nina amat senang merancang hari-harinya dan selalu memiliki agenda untuk setiap kegiatannya, karena ia amat membenci hal-hal yang tidak terduga. Namun, suatu hari dunianya serasa jungkir balik saat ia menerima kabar kalau ia memiliki keluarga yang tidak pernah ia kenal sebelumnya dari pihak ayahnya. Ditambah lagi, saat yang bersamaan, ada seorang cowok yang masuk dalam hidupnya.

Nina Hill adalah kita, para pembaca yang mengaku introvert, nerd, geeks, yang menyukai trivia dan buku, dan bisa diajak mengobrol tentang berbagai hal dalam kehidupan, tapi langsung membeku saat harus menghadapi orang banyak yang tidak dikenal.

Nina menjanjikan kisah yang sangat relatable – dan itulah harapan saya saat membaca buku ini. Hanya saja, ternyata kenyataannya tidak sesempurna itu. Nina memang (tampak luar) terlihat seperti sahabat kita semua. Tapi lama kelamaan, saya agak jengah dengan kebiasaannya menjudge orang (terutama yang tidak suka membaca buku), yang merasa paling benar, dan bahkan cara dia memperlakukan orang-orang di sekelilingnya. Saya juga tidak bisa relate dengan kisah cinta serba instan yang sepertinya amat di luar karakter Nina sendiri, dan lumayan banyak menghabiskan bab-bab buku ini.

Tapi yang paling mengganggu saya sepertinya adalah generalisasi yang seringkali dibahas dalam buku ini, baik melalui karakter bookworm dan nerd (oh, all booklovers love cats!), karakter yang tidak suka membaca, dan terutama – karakter-karakter yang menjadi keluarga Nina. Seringkali Nina berasumsi karena mereka menyukai hal yang sama, maka tak heran mereka memiliki hubungan darah. “Oh, you like trivia? Me too! No wonder we’re family”. This is soooo…far from real life. Kadangkala, justru anggota keluarga terdekat kita adalah orang-orang dengan sifat dan kesukaan yang sama sekali berbeda dari kita. Inilah yang menyebabkan saya tidak bisa relate dengan kisah Nina, terutama yang berhubungan dengan keluarga barunya.

Saya juga merasa buku ini terlalu lama dan bertele-tele membahas hubungan Nina dengan Tom, si cowok idaman yang sebenarnya tidak jelas juga ujung pangkalnya bisa menarik perhatian Nina, kecuali dari sisi fisik XD

As a concept, I like this book. Tapi eksekusinya sepertinya kurang cocok untuk selera saya. Gaya menulis yang terlalu sarkastik dan berbau joke kekinian juga membuat saya tidak hanya embarrased for Nina, but also for myself, haha.. Anyway, a cute little book, but don’t expect too much from it.

Rating: 3/5

Recommended if you like: cute little romance, sometimes relatable but inconsisten characters, bookish setting, bookshop story, trivia stuff

The Bookshop by Penelope Fitzgerald

19 Monday Apr 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

book about books, british, historical fiction, man booker prize, popsugar RC 2021, secondhand books

Judul: The Bookshop

Penulis: Penelope Fitzgerald

Penerbit: Second Mariner Books (2015, first published in 1978)

Halaman: 156p

Beli di: @Therebutforthebooks (IDR 140k)

Buku yang berkisah tentang buku dan toko buku biasanya menjadi favorit para pencinta buku, karena temanya sangat relatable dengan booklovers. Dan biasanya, books about books memiliki kisah yang hangat, seringkali dengan bumbu romans atau cerita yang kental dengan nuansa persahabatan.

Tapi ternyata, The Bookshop tidak termasuk dalam kategori di atas. Bukan berarti buku ini jelek, sih, hanya saja, memang tidak seperti ekspektasi buku-buku tentang books yang selama ini sering saya baca.

Yang pertama, kisahnya sama sekali tidak hangat. Alih-alih bercerita tentang kecintaan karakter-karakternya pada buku, The Bookshop justru berkisah tentang sebuah kota kecil di Inggris, Hardborough, yang penduduknya justru tidak mau kota mereka memiliki toko buku. Segala cara dilakukan untuk mencegah Florence Green sukses membangun toko bukunya. Digawangi oleh Mrs. Gamart, yang bercita-cita membangun pusat seni dan kebudayaan di gedung tempat Florence membuka toko buku, kesulitan demi kesulitan dialami oleh Florence. Dari mulai pengunjung yang cuma sedikit, profit yang sulit didapat, hingga terancam kehilangan gedungnya.

Hal kedua yang membuat buku ini beda dari kebanyakan bookish books lain adalah minimnya pembahasan tentang buku itu sendiri. Jangan terlalu berharap buku ini banyak menyinggung judul-judul buku yang kita kenal, karena kebanyakan buku yang dicari oleh penduduk Hardborough adalah buku sejarah alot, petunjuk teknis manual, dan buku membosankan lainnya. Satu-satunya buku literatur yang dibahas agak banyak adalah Lolita, saat Florence berkontemplasi akan menjual judul tersebut di tokonya setelah mendengar review yang bagus dari beberapa sumber. Tapi selain itu, diskusi tentang buku amat jarang terjadi di sini, bahkan Florence sendiri pun bukan seorang kutu buku, dan membuka toko buku bukan dengan alasan karena ia adalah seorang pencinta buku.

The Bookshop adalah buku yang kering dan dingin. Dilengkapi juga oleh setting Hardborough yang terletak di tepi laut yang berangin, dengan kondisi cuaca yang selalu buruk dan lokasi yang terpencil, membuat buku ini semakin gloomy. Untungnya di tengah kesenduan itu, terselip sedikit momen-momen yang menghangatkan hati, termasuk persahabatan tak terduga antara Florence dan asisten tokonya, Christine, yang masih muda namun memiliki semangat luar biasa. Juga pertemanan platonik Florence dengan aristokrat kota kecil mereka, Mr. Brundish yang misterius.

Setelah membaca kata pengantar dari David Nicholls, saya jadi lebih bisa menghargai gaya penulisan Penelope Fitzgerald, yang sangat underrated dibandingkan dengan penulis Inggris lain seangkatannya. Gaya sederhana, dengan karakter-karakter yang dibuat tidak menonjol, terkesan mengalah, dan sama sekali tidak seperti heroine pada umumnya, membuat buku-buku Fitzgerald memiliki aura yang khas. Saya sendiri baru pertama kali membaca buku Penelope Fitzgerald, sehingga tidak memiliki pembanding lain, dan awalnya agak sulit menikmati dan masuk ke dalam ceritanya. Namun lama kelamaan, saya bisa merasa terhubung juga dengan penghuni kota kecil Hardborough yang memang kehidupannya serba hard itu. Fitzgerald merupakan penulis yang efektif, meski banyak memakai metafora dan simbolisme, baik dari karakter maupun settingnya, namun semuanya dilakukan dengan suatu maksud tertentu yang memang memiliki tujuan tersendiri.

Oh, satu lagi: buku ini memiliki salah satu ending paling menyedihkan dan membuat frustrasi, yang ternyata merupakan ciri khas buku-buku Penelope Fitzgerald. So – if you don’t like sad endings, just stay away from this book 😀

Rating: 3/5

Recommended if you want to read about: gloomy bookshop, dubious characters, British self deprecating humor, unsatisfying ending.

Submitted for:

Category: A book from your TBR list you associate with a favorite person, place, or thing

The Plot is Murder by V.M. Burns

05 Monday Apr 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

america, book about books, cozy mystery, e-book, mystery, series, twist

Judul: The Plot is Murder (Mystery Bookshop #1)

Penulis: V.M. Burns

Penerbit: Kensington (2017, Kindle edition)

Halaman: 231p

Beli di: Amazon.com (USD 1.99, bargain!)

Salah satu genre guilty pleasure saya adalah cozy mystery. Kombinasi dari kisah misteri yang ringan tapi juicy, setting yang menyenangkan, dan kesan nyaman yang kental, membuat cozy mystery cocok dinikmati kalau saya lagi malas membaca buku-buku berat, semacam untuk plate cleansing begitulah.

Kali ini, pilihan saya jatuh pada serial Mystery Bookshop, karena settingnya di toko buku dan karakter utamanya adalah pemiliki toko tersebut, ditambah lagi plotnya masih berhubungan dengan buku, it seemed perfect. Apalagi, saya memang lagi mencari penulis cozy mystery berkulit hitam, sekalian memperingati Black History Month bulan Februari lalu.

Plotnya lumayan menjanjikan. Sepeninggal suaminya, Samantha Washington bertekad ingin mewujudkan impian lama mereka, yaitu memiliki sebuah toko buku misteri. Sebagai penggemar kisah misteri (terutama yang berhubungan dengan British cozy mystery), Samantha merasa ini adalah pekerjaan yang sempurna untuknya, selain melanjutkan novel misteri yang dia harap bisa diterbitkan suatu hari nanti.

Sam pun membeli bangunan tua merangkap apartemen tempat ia akan tinggal di atas toko buku. Namun tidak semua berjalan selancar yang ia harapkan, karena pengusaha real estate yang menjual bangunan tersebut tiba-tiba menyulitkan dan bahkan menerornya, dan suatu hari, sang realtor mati terbunuh di belakang toko buku Sam. Karena dicurigai oleh polisi, Sam bertekad akan memecahkan kasus ini, dibantu oleh neneknya, dan teman-teman neneknya dari panti jompo yang masih amat lincah.

Sebenarnya, plot ini lumayan bisa dikembangkan, apalagi dengan kehadiran nenek Sam dan teman-temannya yang seru. Karakter-karakternya, termasuk para tersangka, juga cukup memorable. Tapi, satu hal yang amat sangat mengganjal buat saya adalah selingan berupa novel yang sedang ditulis oleh Sam. Sam menulis kisah misteri berlatar belakang historical Inggris zaman Victoria, seperti genre favoritnya. Tapi kisahnya alih-alih menambah bobot keseluruhan buku, malah jadi mengganggu dan membingungkan. Apalagi gaya penulisan Sam (entah disengaja oleh V.M Burns atau tidak) terkesan nanggung dan amatiran, sama sekali tidak seperti “buku dalam buku” yang kadang dipakai sebagai device para penulis misteri.

Secara keseluruhan, buku ini lumayan mengecewakan, karena kita serasa disuguhi dua kisah misteri serba tanggung dan tidak jelas. Sayang memang, karena setting dan karakter buku ini cukup menjanjikan. Saya sendiri tidak tertarik untuk melanjutkan serialnya 😦

Rating: 2/5

I don’t really recommend this book, but if you want to try cozy mysteries with similar theme or setting, I would recommend Book Club Mystery series, which is more engaging and has better plot 🙂

Home Before Dark by Riley Sager

18 Tuesday Aug 2020

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

book about books, ebook, english, fiction, horror, mystery/thriller, popsugar summer RC 2020, twist ending

Judul: Home Before Dark

Penulis: Riley Sager

Penerbit: Dutton (Kindle Books, 2020)

Halaman: 384p

Beli di: Amazon.com (USD 12.90)

Kalau kamu pencinta kisah bertema buku, dan menyukai kisah thriller dengan twist tak terduga, maka Home Before Dark benar-benar sempurna untukmu.

Buku ini berkisah tentang Maggie, yang setelah ayahnya meninggal dunia, diwariskan rumah bernama Baneberry Hall. Tapi ini bukan sembarang rumah, karena Baneberry Hall merupakan setting memoir  horror yang ditulis ayah Maggie dan menjadi best seller di seluruh dunia. Dalam memoirnya, ayah Maggie bercerita tentang kepindahan keluarga mereka ke Baneberry Hall (yang memiliki sejarah mencekam), dan hanya bertahan selama sekitar 3 minggu di sana, sebelum mereka juga harus keluar dari rumah tersebut setelah mengalami kejadian demi kejadian yang mengerikan.

Maggie tumbuh dewasa seiring mencuatnya buku “House of Horrors” yang mengubah kehidupan keluarganya. Herannya, ia tidak ingat sedikitpun kejadian demi kejadian yang ditulis oleh ayahnya di buku tersebut, dan ia tumbuh dengan kecurigaan bahwa ayahnya adalah sosok pembohong yang amat lihai. Meskipun demikian, Maggie juga seringkali diganggu oleh mimpi buruk seperti terror yang sepertinya berasal dari masa kecilnya di Baneberry Hall. Dan Maggie tahu, satu-satunya cara untuk membuktikan kebenaran tulisan ayahnya adalah dengan menerima warisan rumah tersebut, dan menggali masa lalunya di sana.

Home Before Dark ditulis dalam format yang cukup unik, di mana babnya berselang-seling antara kisah Maggie masa kini, dengan kisahnya di masa lalu yang diambil dari bab-bab buku “House of Horrors”. Namun meskipun agak rumit, format ini bekerja dengan baik karena Riley Sager dengan piawai menjalin kisah masa lalu dan masa kini, berhasil menyatukan misteri dan adegan-adegan horor yang saling berhubungan satu dengan lain, sambil sedikit demi sedikit membuka rahasia tentang seberapa otentiknya kisah memoir yang ditulis ayah Maggie, dan mana yang merupakan kebohongan belaka.

Sager mampu menciptakan atmosfer yang sangat eerie, spooky, dengan detail-detail yang entah kenapa bisa terasa amat nyata, seolah saya benar-benar sedang berada di Baneberry Hall bersama Maggie. Kemunculan ular yang tiba-tiba, lagu dari film Sound of Music yang suka menyala secara misterius, aghhh… don’t read book alone after dark, kalau tidak mau dikunjungi mimpi buruk Baneberry Hall!!!

Karakter-karekternya menurut saya cukup meyakinkan, dan twist yang disajikan di akhir cerita juga patut diacungi jempol. Sager adalah penulis yang rapi, yang memikirkan setiap penjelasan tanpa menyisakan loopholes. Ini adalah pengalaman pertama saya membaca buku karya Riley Sager, namun yang pasti bukan yang terakhir!

Submitted for:

popsugar rc 2020 button

Kategori:A book that’s published in 2020

Category: A scary book you’d read around a camp fire

The Binding by Bridget Collins

17 Friday Jul 2020

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 2 Comments

Tags

balibooks, book about books, english, fantasy, fiction, LGBT, popsugar summer RC 2020, romance, secondhand books

Judul: The Binding

Penulis: Bridget Collins

Penerbit: The Borough Press

Halaman: 438p

Beli di: @BaliBooks (IDR 135k)

Hal pertama yang membuat saya tertarik pada buku ini adalah covernya. It’s so beautiful, with intricate details and the blue hues. Lalu, baca sinopsisnya pun langsung suka. Ceritanya melibatkan buku, and which book lovers do not love books about books? 🙂

Emmet Farmer adalah seorang anak petani, yang akibat suatu kejadian misterius yang tidak terlalu jelas baginya, mengalami serangan hebat yang membuatnya sakit. Frustrasi dengan rasa “tidak berguna” di pertanian ayahnya, membuat Emmet mengambil kesempatan yang ditawarkan oleh seorang Binder, atau penjilid buku, bernama Seredith yang tinggal di sebuah rumah terpencil, untuk menjadi asistennya.

Masyarakat sekitar menganggap Seredith seorang penyihir, namun Emmet lama kelamaan makin menyukai dan respek pada mentornya ini. Hanya saja, suatu hari ia dikejutkan oleh fakta tentang pekerjaan menjilid, yang ternyata mengandung lebih dari sekadar membuat sebuah buku.

Buku yang dijilid oleh Binder merupakan memori yang diambil dari orang-orang yang ingin melupakan berbagai kejadian dalam hidup mereka, dari mulai yang menyedihkan hingga menyakitkan. Setelah seseorang merelakan memorinya diambil dan dijilid menjadi sebuah buku, maka orang tersebut tidak memiliki ingatan apapun tentang bagian hidupnya yang sudah berpindah ke dalam halaman-halaman buku.

Emmet sendiri kurang merasa sreg dengan pekerjaan Binder, apalagi saat ia tahu banyak Binder bandel di luar sana yang memperjualbelikan memori orang-orang yang masih hidup secara ilegal, dan bukannya menyimpan buku tersebut seperti yang seharusnya menjadi kewajiban para Binder.

Suatu hari, Emmet bertemu dengan sesosok pemuda misterius bernama Lucian, yang entah kenapa menimbulkan perasaan tidak enak dalam hatinya, dan membuatnya yakin ada suatu kejadian dalam hidupnya yang sudah tidak terdapat dalam memorinya. Kejadian yang menyangkut Lucian.

Maka Emmet memulai perjalanannya menyusuri masa lalu – dan di sinilah kita mulai mengenal sosok Lucian yang misterius, dan mengungkap apa sebenarnya yang terjadi dalam jalinan hidup mereka berdua.

The Binding, sesuai dengan covernya yang cantik, dipenuhi oleh kalimat-kalimat dan jalinan kisah yang tidak kalah memikat. Di bagian pertama, kita mengenal Emmet dengan segala permasalahannya. Di bagian kedua, kita pergi ke masa lalu Emmet untuk melihat apa yang menimbulkan masalah-masalah dalam hidupnya. Dan di bagian tiga, kita diberi kesempatan menjalani kisah dari sudut pandang Lucian.

Pengaturan yang rapi, menurut saya, dan fase-fase kisah ditulis dengan apik dan tetap mempertahankan tensi dan atmosfer keseluruhan cerita. Hanya saja, beberapa bagian memang terasa agak terlalu panjang dan bertele-tele. Bridget Collins senang sekali menuliskan detail suasana di sekitar tokoh-tokohnya, terutama lansekap, setting, dan cuaca. Sebenarnya tidak apa-apa sih, karena justru memperkental unsur atmospheric dalam cerita. Namun lama-kelamaan memang terasa agak mengganggu, apalagi misalnya baru saja digambarkan mengenai langit kelabu, lalu di halaman selanjutnya diulang lagi tentang langit yang semakin kelabu dan angin kencang. Sebenarnya kita mau membaca fiksi atau laporan cuaca ya? XD

Tapi overall saya cukup menikmati kisah The Bindung. Emmet dan Lucian sama-sama membuat penasaran dan merupakan pasangan yang cukup compatible. Adegan romansnya terasa pas, tidak berlebihan, dan meskipun saya berharap lebih banyak diulas tentang dunia buku dan binder (instead of masa lalu Emmet dan Lucian), namun untungnya kisah mereka pun masih menyenangkan untuk diikuti.

Oiya, satu lagi – endingnya amat sangat cliffhanger, jadi untuk yang kurang suka kisah menggantung, sepertinya The Binding akan terasa cukup mengecewakan di bagian akhirnya.

Submitted for:

Category: A book with an LGBTQ+ protagonist

The Starless Sea by Erin Morgenstern

28 Tuesday Apr 2020

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

adventures, book about books, english, fantasy, fiction, LGBT, popsugar RC 2020

Judul: The Starless Sea

Penulis: Erin Morgenstern

Penerbit: Harvill Secker (2019)

Halaman: 498p

Beli di: Periplus.com (IDR 166k)

Nama Erin Morgenstern melambung setelah novel debutnya, The Night Circus, menjadi best seller di mana-mana. Kepiawaiannya meramu kisah cinta tidak biasa, dengan setting yang magical dan prosa yang menawan, menjadi jaminan bukunya dicintai banyak orang.

Ramuan yang kurang lebih mirip masih dipakai oleh Morgenstern di The Starless Sea, namun tentu saja dengan banyak modifikasi. Yang paling menonjol dari buku terbarunya ini adalah tema yang dipakai: alih-alih sirkus misterius, Morgenstern mengajak kita masuk ke dunia yang sudah pasti akan dicintai oleh para pencinta buku: perpustakaan bawah tanah rahasia.

Awalnya, Zachary Rawlins, mahasiswa S2 introvert yang juga kutu buku, menemukan sebuah buku di perpustakaan kampusnya. Buku itu berkisah tentang The Starless Sea, dunia bawah tanah yang ditempati oleh orang-orang yang berdedikasi untuk melindungi dunia literatur, melestarikan kisah-kisah yang sudah banyak terlupakan. Namun yang mengejutkan, Zachary juga menemukan kisahnya ditulis di buku tersebut. Ada hubungan apa antara dia dengan Starless Sea? Dan apakah itu berarti Starless Sea benar-benar nyata?

Zachary bertekad akan memecahkan misteri ini. Petunjuk dari cover buku tersebut, gambar lebah, kunci, dan pedang, membawanya ke sebuah pesta topeng dan klub rahasia namun berbahaya, yang mempertemukannya dengan seorang karakter misterus, Mirabel, serta Dorian, seorang pemuda yang memikat hati Zachary.

Maka dimulailah petualangan Zachary memasuki perpustakaan bawah tanah, namun sekelompok orang dengan motivasi yang belum jelas terus menghalangi Zachary untuk masuk ke sana. Zachary terkejut ketika mengetahui Starless Sea berada di ambang kehancuran – apakah kehadirannya mampu mengubah keadaan?

Di atas kertas, Starless Sea merupakan buku yang sempurna. Premisnya menarik, dengan setting yang menjadi impian setiap pencinta buku. Karakter-karakternya juga lumayan, dan meski ada unsur romansnya, namun tidak se-unyu Night Circus yang seperti ingin menyamai Twilight. Hubungan antara Zachary dan Dorian cukup menarik untuk diikuti, dan saya lumayan rooting for them.

Tapi- satu unsur penting seolah hilang dari buku ini: PLOT. Morgenstern seperti keasyikan bermain-main dengan world buildingnya (yang harus diakui cukup gemilang hasilnya), namun seolah mengesampingkan plot yang jelas, yang bisa mengikat keseluruhan kisah dan memiliki kesimpulan yang memuaskan.

Yang ada, kita diombang-ambingkan dengan banyak background stories dari beragam karakter, yang kebanyakan kurang jelas dan tidak memiliki relevansi terhadap plot secara keseluruhan, dan banyak sekali adegan cliffhanger yang seolah lupa untuk dilanjutkan di bab-bab berikutnya.

Hasilnya adalah sebuah buku tebal dengan kisah yang rumit dan panjang serta karakter yang lumayan banyak, namun tidak memiliki plot yang jelas. Apa sih sebenarnya yang terjadi? Apa tujuan Zachary, apa tujuan para penjahat? Ke mana kita akan dibawa? And why should I care?

Sayang memang, karena Erin Morgenstern adalah pencerita yang baik. Penggambaran dunia fantasinya benar-benar magical, membuat saya ingin berasa di sana. Dan detail-detail menarik seperti Zachary (yang biasanya tidak bisa melihat tanpa kaca mata) tiba-tiba bisa membaca dengan jelas selama berada di perpustakaan, menambah kesan magical yang menjadi kejutan menyenangkan di sana-sini.

Namun kalau saya disuruh menguraikan kembali sebenarnya apa inti kisah Starless Sea, semuanya terasa kabur untuk saya. Mungkin kesan banyak pembaca yang mengatakan kalau buku ini merupakan “love letter for literature”, lumayan bisa menggambarkan dengan tepat perasaan saya terhadap Starless Sea. Yang lebih baik dinikmati saja tanpa ekspektasi berlebih tentang maksud dari semuanya ini.

Submitted for:

Kategori: A book with a character with a vision impairment or enhancement (a nod to 20/20 vision

Bookworm: A Memoir of Childhood Reading by Lucy Mangan

25 Tuesday Feb 2020

Posted by astrid.lim in non fiction

≈ 2 Comments

Tags

book about books, british, children, coming of age, memoir, non fiction, popsugar RC 2020

Judul: Bookworm: A Memoir of Childhood Reading

Penulis: Lucy Mangan

Penerbit: Vintage (2018)

Halaman: 321p

Beli di: Book Depository (IDR 160,754)

Bookworm: a person unusually devoted to reading and study (Merriam-Webster)

Untuk para bookworm: apakah kalian pernah berpikir tentang kapan dan mengapa membaca menjadi bagian penting dalam hidup kalian? Apakah ada momen tertentu atau buku tertentu yang membuat kalian secara tidak sadar masuk ke dalam kategori kutu buku?

Hal inilah yang digali oleh Lucy Mangan, penulis dan pencinta buku yang mengaku sudah menjadi kutu buku sejak ia memiliki memori pertama puluhan tahun lalu.

Lucy berusaha menelaah perjalanannya sebagai kutu buku, melalui buku-buku dan penulis yang ia temui di masa kecilnya dan memiliki pengaruh besar dalam hidupnya serta membentuk identitasnya hingga menjadi seorang bookworm seperti sekarang ini.

Studi ini ditulis secara kronologis, mulai dari buku-buku pertama yang Lucy kenal saat ia masih balita, hingga bacaan menjelang dewasa yang membantunya melewati transisi sulit masa remaja.

Karena lahir dan tumbuh besar di Inggris, tidak semua buku yang Lucy bahas di sini terasa familiar. Ada banyak judul dan penulis (terutama di bagian buku anak/balita) yang namanya bahkan belum pernah saya dengar, mungkin karena tidak ada akses terhadap buku-buku tersebut saat saya kecil dulu.

Namun tentu saja ada bagian-bagian yang lebih relate dengan saya, judul dan penulis yang membangkitkan nostalgia, seperti Enid Blyton, serial Narnia, kisah klasik seperti Little Women dan Alice in Wonderland, dan masih banyak lagi. Semuanya dibahas dengan cukup mendetail oleh Lucy, dan dianalisis dengan sistematis mengenai pengaruhnya terhadap perkembangan karakternya serta kecintaannya pada dunia buku.

Selain menganalisis secara subjektif, Lucy juga memaparkan sejarah serta teori literatur masing-masing buku menurut genrenya dari sisi akademis, dan ini tidak mengherankan bila mengingat latar belakangnya dalam bidang sastra.

Sebagian besar analisis Lucy terasa cukup mencerahkan bagi saya, dan ikut membuat saya berefleksi tentang kecintaan saya pada buku dan masa kecil yang membentuk saya menjadi seorang bookworm seperti sekarang ini. Betapa Enid Blyton menjadi sosok yang sangat mengagumkan, tetapi ketika membaca ulang buku-bukunya saat saya sudah lebih dewasa, beberapa ceritanya terasa amat preachy dan stuffy. Tak heran anak sekarang kurang bisa merasa relate dengan buku dan karakter ciptaan Blyton.

Beberapa bagian dalam buku ini ada yang terasa cukup kering dan agak bertele-tele seperti membaca buku teks, terutama yang berkaitan dengan sejarah dan teori tentang genre (serta tentang buku-buku yang saya kurang familiar). Namun secara keseluruhan, pemaparan Lucy sangat menarik, penting, dan memancing kita untuk ikut berefleksi mengenai sejarah kita masing-masing, para bookworm yang di antara perkembangan dunia modern, masih menganggap buku dan membaca sebagai bagian penting dari hidup.

Submitted for:

Kategori: A book you picked because the title caught your attention

← Older posts

From the bookshelf

Categories

Looking for Something?

Enter your email address to follow Books to Share and receive notifications of new posts by email.

Join 1,036 other subscribers

Currently Reading

I’m a Proud Member! #BBI 1301004

Wishful Wednesday Meme

Fill your Wednesdays with wishful thinking =)

Popsugar Reading Challenge 2018

bookworms

  • aleetha
  • althesia
  • alvina
  • ana
  • annisa
  • bzee
  • dewi
  • dion
  • fanda
  • Ferina
  • helvry
  • inne
  • Kobo
  • maya
  • mei
  • melmarian
  • mia
  • ndari
  • nophie
  • oky
  • peri hutan
  • ren
  • Reygreena
  • sel sel kelabu
  • sinta
  • tanzil
  • tezar
  • yuska

shop til you drop

  • abe books
  • Amazon
  • better world books
  • book depository
  • BukaBuku
  • Buku Dedo
  • bukukita
  • vixxio

Top Posts & Pages

  • Red, White & Royal Blue by Casey McQuiston
    Red, White & Royal Blue by Casey McQuiston
  • Dongeng-Dongeng Grimm Bersaudara
    Dongeng-Dongeng Grimm Bersaudara
  • The Secret History
    The Secret History
  • Heartless by Marissa Meyer
    Heartless by Marissa Meyer
  • Matilda
    Matilda

Recent Comments

Fathan Albajili on Puddin’ by Julie Mu…
Puddin’ by Jul… on Dumplin’ by Julie M…
jesica on Abarat 2: Days of Magic, Night…
jesica on Abarat 2: Days of Magic, Night…
When the Stars Go Da… on The Paris Wife

Blog at WordPress.com.

Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
  • Follow Following
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Join 1,036 other followers
    • Already have a WordPress.com account? Log in now.
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Customize
    • Follow Following
    • Sign up
    • Log in
    • Report this content
    • View site in Reader
    • Manage subscriptions
    • Collapse this bar
 

Loading Comments...