• About this blog
  • Clearance Sale!
  • Newbery Project
  • Popsugar Reading Challenge 2023
  • Previous Challenges
    • BBI Read and Review Challenge 2017
    • Challenges 2014
    • Challenges 2015
    • Lucky No.14 Reading Challenge
    • Lucky No.15 Reading Challenge
    • POPSUGAR Reading Challenge 2017
    • Popsugar Reading Challenge 2018
    • Popsugar Reading Challenge 2020
    • Popsugar Reading Challenge 2021
    • Popsugar Reading Challenge 2022
    • What’s in a Name 2018
    • Twenty-Ten Challenge
    • Challenges 2012
    • Challenges 2013
  • Round Ups
  • The Librarian

~ some books to share from my little library

Tag Archives: women

The Familiars by Stacey Halls

24 Monday Jan 2022

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

british, english, fiction, gothic, historical fiction, paranormal, popsugar RC 2022, secondhand books, witch, women

Judul: The Familiars

Penulis: Stacey Halls

Penerbit: Zaffre (2019)

Halaman: 420p

Beli di: @therebutforthebooks (IDR 96k)

Fleetwood Shuttleworth adalah perempuan 17 tahun yang menikah dengan tuan tanah pemilik Gawthorpe Hall di Lanchashire. Keinginan utamanya adalah memberikan keturunan bagi suaminya, namun Fleetwood sudah tiga kali keguguran, dan ia mulai panik, apalagi saat menemukan sepucuk surat dari dokter yang menyatakan ia tidak akan survive bila hamil lagi.

Dan ketika Fleetwood menyadari ia kembali hamil, ia bertekad untuk bisa melahirkan bayinya dengan sukses, dan sekaligus bertahan hidup. Secara tidak sengaja, Fleetwood bertemu dengan Alice Gray, bidan muda yang akhirnya ia angkat sebagai bidan pribadinya. Namun latar belakang Alice yang misterius membuat Fleetwood penasaran, apalagi saat Alice dituduh terlibat dalam perkumpulan penyihir, yang sedang marak di Lancashire, dan ingin ditumpas habis oleh para penguasa setempat.

Bayinya adalah prioritas Fleetwood, dan ia melakukan segala cara untuk menyelamatkan Alice, yang artinya menyelamatkan ia dan bayinya juga, meski ia harus menempuh berbagai bahaya.

Kisah berlatar belakang penyihir di abad ke-17 selalu menarik. Apakah benar para penyihir itu ada, atau hanya sekumpulan perempuan yang memiliki keahlian khusus (obat-obatan, penyembuhan, dan bercocok tanam) yang membuat mereka dicurigai sebagai penyihir? Belum lagi, banyak motif politik yang kerap menjadi dasar penangkapan dan pengadilan penyihir, yang digunakan penguasa untuk mencari muka di hadapan pengikutnya.

The Familliars sendiri awalnya menjadi kisah yang cukup menjanjikan. Saya suka atmosfer Gawthorpe Hall dan desa di sekitarnya, juga penggambaran beberapa karakter di awal. Namun, semakin ke belakang, saya semakin tidak bersimpati dengan Fleetwood, yang menurut saya tidak pas menjadi karakter utama. Lemah, plin plan, dan banyak mengambil keputusan yang membuat saya ingin mengguncang-guncangnya. Fleetwood juga lumayan sering melakukan hal-hal yang sepertinya tidak mungkin (atau sulit) dilakukan perempuan sekelasnya di abad ke-17, seperti berkeliaran ke mana-mana naik kuda sendirian, bahkan di saat sedang hamil besar, atau mengobrol dengan tokoh-tokoh bangsawan seolah ia sepantar dengan mereka, padahal usianya masih muda dan ia adalah seorang perempuan.

Di satu sisi, saya suka spirit Fleetwood yang ingin membuktikan bahwa perempuan bukan makhluk lemah, dan keinginannya mendobrak stereotype tentang perempuan bangsawan rumahan. Namun, seringkali spirit ini tidak konsisten dibarengi dengan tindakan dan pengambilan keputusan yang sesuai, sehingga lama-lama saya jadi skeptis dengannya.

Saya rasa, kisah ini akan jauh lebih seru bila mengambil sudut pandang Alice, yang hidupnya lebih berwarna, dan sikap serta karakternya setidaknya lebih konsisten dengan apa yang ia perjuangkan. It’s actually a shame!

Oiya, saya juga tidak begitu suka ending kisahnya, karena sekali lagi menegaskan pendapat saya tentang karakter Fleetwood yang lemah, dan membaca endingnya sama sekali tidak memuaskan!

Rating: 3/5

You might like it if you like: historical England, witches story, atmospheric setting, some elements of surprise

Submitted for:

A book about witches

Whisper Network by Chandler Baker

29 Monday Nov 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

career, e-book, english, fiction, reeses book club, thriller, women

Judul: Whisper Network

Penulis: Chandler Baker

Penerbit: Flatiron Books (2019, Kindle edition)

Halaman: 320p

Beli di: Amazon.com (USD 2.99, bargain!)

Saya selalu punya hubungan hit and miss dengan buku-buku pilihan Reese Witherspoon. Sebagian besar memang mengesankan, tapi ada beberapa yang menurut saya kurang nendang untuk dijadikan buku pilihan Reese’s Book Club.

Whisper Network adalah salah satu yang agak “miss” untuk saya. Temanya sendiri sebenarnya sangat menarik dan relevan, khususnya bagi perempuan modern di era #MeToo (makanya, mungkin itu salah satu sebab buku ini menjadi pilihan Reese).

Kisahnya adalah tentang beberapa wanita karier yang bekerja sebagai pengacara di perusahaan Truviv, Inc. Mereka sudah mengalami berbagai pasang surut di kantor tersebut, dan tahu betul karakter semua kolega mereka, khususnya bos mereka, Ames. Ketika CEO Truviv meninggal mendadak, rumor beredar bahwa Ames lah yang akan menggantikan posisinya. Sloane, Ardie, dan Grace, berdebat apakah mereka harus melakukan sesuatu, karena masing-masing dari mereka mengetahui atau bahkan mengalami sendiri sexual harrassment yang dilakukan oleh Ames. Selama ini, kantor hanya mengabaikan gosip bahkan komplain seputar sexual harrassment, dan biasanya menyelesaikan kasus demi kasus lewat jalur damai, tawaran promosi, dan kompensasi lainnya.

Namun, di era #MeToo movement, perempuan memiliki alternatif lebih banyak untuk menghadapi isu sexual harrassment di kantor, dan Sloane, dibantu oleh kedua temannya, merasa yakin mereka pada akhirnya bisa membuat perubahan yang berarti.

Namun, tentu saja keadaan tidak sesederhana yang dibayangkan. Birokrasi, politik kantor, dan berbagai faktor lainnya tetap mengganjal usaha mereka. Namun, suatu peristiwa yang di luar bayangan mereka mengubah segalanya.

Alur cerita Whisper Network sebenarnya cukup menarik untuk diikuti, dan penggambaran karakter maupun konflik yang ada terasa amat real, membuat saya bertanya-tanya apakah ini merupakan pengalaman pribadi Chandler Baker, yang sebelum menulis buku ini memang bekerja sebagai pengacara. Namun, sepertinya gaya pengacara Baker masih cukup berbekas di sini, karena beberapa penuturannya di beberapa bagian novel terasa agak kaku dan kurang luwes, bahkan cenderung membosankan. Baker juga kurang bisa membuat karakter-karakter utamanya menonjol, bahkan mereka agak sulit dibedakan satu sama lain, dan agak lama sampai saya bisa membedakan mereka dengan mudah, terutama karena PoV nya juga sering berganti di setiap bab.

Perjuangan Sloane dan teman-teman juga terasa kurang maksimal, kurang greget, sehingga saya tidak bisa 100% rooting for them, bahkan ada saat-saat saya merasa mereka mengambil keputusan-keputusan yang patut dipertanyakan.

Bagaimanapun, Whisper Network cukup bisa raising awareness tentang isu pelecehan seksual yang banyak terjadi di dunia kerja, yang kadang sifatnya sangat subtle dan kasual sehingga tidak pernah dianggap serius. Tapi memang, saya berharap lebih pada eksekusi buku ini, terutama setelah membaca premisnya sebelumnya.

Rating: 3/5

Recommended if you want to read about: #MeToo movement, career women, semi-psychologycal thriller with not too much action 😀

Last Tang Standing by Lauren Ho

19 Tuesday Oct 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 4 Comments

Tags

asia, chicklit, culture, ebook, english, fiction, funny haha, romance, southeast asia, women

Judul: Last Tang Standing

Penulis: Lauren Ho

Penerbit: HarperCollins (2020, Kindle edition)

Halaman: 416p

Beli di: Amazon.com (USD 5.99)

Buku ini digadang-gadang sebagai penerus Crazy Rich Asian, mengangkat kisah orang-orang kaya di Asia dengan segala permasalahannya. Karena saya termasuk penyuka Crazy Rich Asian, terutama buku pertamanya, saya cukup berharap banyak dengan Last Tang Standing.

Andrea Tang adalah seorang pengacara sukses yang berkarier di kantor hukum terkenal di Singapura, Menjadi partner adalah goalnya, yang saat ini sudah akan hampir tercapai. Hanya saja, Andrea masih memiliki kekurangan besar dalam hidupnya, yang selalu diungkit-ungkit oleh ibunya: ia masih single.

Dan seperti banyak perempuan di Asia, kesuksesan dalam karier tetap tidak lengkap bila tidak diimbangi dengan kesuksesan dalam mendapatkan jodoh, terutama yang memiliki kriteria sesuai idaman orang tua: kaya, sukses, kalau bisa berasal dari ras dan latar belakang yang sama. Bibit, bebet, bobot. Namun, Andrea kerap dipertemukan dengan cowok-cowok yang tidak sesuai kriteria ideal: terlalu muda, terlalu tua, atau bahkan, sudah bertunangan, seperti rekan kerjanya yang super ganteng namun mengancam impiannya menjadi partner.

Yang saya suka dari buku ini adalah usaha sang penulis untuk menunjukkan budaya Asia Tenggara. Family dynamic, marriage vs career dilemma, dan konflik antara budaya tradisional dan kehidupan modern. Semuanya relatable, sesuai dengan kondisi yang memang sehari-hari ditemui di area urban Asia Tenggara, termasuk Singapura, Malaysia, atau Indonesia. And they work pretty well here.

But… unfortunately, the main character is super annoying. Saya benar-benar tidak bisa merasa relate dengan Andrea Tang, cewek 33 tahun keturunan Chinese/Malaysia yang hidupnya dipenuhi dengan mengeluh, belanja tas branded, dating nggak jelas, berantem dengan sahabatnya, meremehkan tokoh-tokoh perempuan lain di buku ini, complain tentang pekerjaannya setiap saat, dan minum. Sangat banyak minum. Saya berusaha mencari hal-hal yang relatable atau bisa disukai dari Andrea, namun lumayan susah.

Dan menurut saya, perbandingan dengan Crazy Rich Asian yang merupakan bagian promosi buku ini malah menjadi backlash, karena Last Tang Standing fell flat compare to the fresh comedy and witty humor of CRA series. Tang seperti trying too hard terutama mendeskripsikan dilema Andrea, tapi seperti lupa mengembangkan karakternya supaya menjadi lebih relatable dan likable. Saya tidak peduli dengan Andrea, dan unsur romansnya yang sangat predictable juga membuat saya malas bertele-tele mengikuti perjalanan Andrea mencari jodoh, yang seperti dipanjang-panjangkan saja jadinya.

Saya bukan termasuk penggemar genre romans, tapi kadang-kadang saya menemukan hidden gems, dan I have a weakness of South(east) Asian chiclits. Tapi sayangnya, Last Tang Standing gagal menjadi favorit saya, meski tetap ada beberapa bagian yang lumayan memorable. Hopefully Lauren Ho akan menulis lebih banyak buku, karena sebenarnya Tang memiliki potensi besar untuk menjadi hits, However- please stay away from Crazy Rich Asian reference, LOL.

Rating: 3/5

Recommended if you want to try: Southeast Asian chiclit, anything non Crazy Rich Asians, light reading, predictable romance, a taste of Singapore setting

The Vanishing Half by Brit Bennett

16 Friday Jul 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

african american, america, award winning, dysfunctional family, english, fiction, historical fiction, race, southern state, twins, women

Judul: The Vanishing Half

Penulis: Brit Bennett

Penerbit: Riverhead Books (2020)

Halaman: 343p

Beli di: Aksara (IDR 275k)

Cerita tentang anak kembar selalu intriguing buat saya, mungkin karena saya tidak pernah bisa membayangkan bagaimana rasanya memiliki saudara yang lahir bersamaan, dan memiliki penampakan yang serupa.

Dan Britt Bennett bahkan menambahkan unsur yang lebih menarik lagi: apa jadinya bila sepasang anak kembar memilih jalan hidup yang benar-benar berbeda?

Vignes bersaudari (baca: Vi-nya) tumbuh besar di tahun 1950-an di Mallard, sebuah kota kecil di Louisiana yang dihuni oleh komunitas kulit hitam. Uniknya, karena genetik dan pernikahan turun-temurun, termasuk dengan imigran awal asal Prancis, mayoritas penduduk Mallard berkulit terang, bahkan bisa “passing” (alias lolos) sebagai kulit putih.

Desiree dan Stella, yang hidup di garis kemiskinan karena ayah mereka meninggal sejak mereka kecil, dan ibu mereka tidak disupport oleh keluarganya, bertekad untuk pergi dari Mallard dan mencari kehidupan yang lebih baik di luar sana. Dan itulah yang mereka lakukan saat menginjak usia 16 tahun, kabur ke New Orleans dan memperoleh kebebasan mereka.

Namun suatu hari Desiree dikejutkan dengan menghilangnya Stella, yang pergi begitu saja meninggalkannya untuk menjalani hidup yang baru. Apa yang terjadi? Apa yang menurut Stella lebih penting daripada ikatan persaudaraannya dengan Desiree?

Melalui perjalanan kedua karakter ini kita diajak melihat bagaimana kehidupan dua orang yang terlahir sama, berpenampilan sama, dan berasal dari root yang sama, akhirnya menjadi begitu berbeda.

Desiree bertemu seorang laki-laki kulit hitam dan melahirkan anak perempuan yang penampilannya sangat berbeda dari kebanyakan penduduk Mallard. Dan hal ini menimbulkan kontroversi saat ia memutuskan kembali ke kampung halamannya tersebut.

Sedangkan Stella, yang mengambil keputusan untuk mengaku sebagai perempuan kulit putih, menjalani hidupnya dengan mengkhianati identitasnya sendiri. Ya, dalam banyak hal ia mengalami kemudahan, memiliki keluarga kelas menengah khas suburban Amerika. Namun deep down, ia selalu merasa takut. Takut ketahuan, takut dihujat, takut dipermalukan.

Dan apapun yang dijalani oleh kedua saudari kembar ini, hati mereka selalu terasa tidak lengkap, karena separo bagiannya masih menghilang.

The Vanishing Half adalah sebuah novel yang lengkap: thought provoking issues, intriguing characters and settings, dan beautiful prose as usual. Brit Bennett adalah pencerita yang amat baik, dan salah satu yang paling konsisten di genrenya menurut saya. Mallard sendiri adalah suatu tempat yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Namun, di acara Hay Festival, saya sempat bergabung dengan live event Britt dan bertanya padanya tentang inspirasi Mallard, dan menurut Britt, tempat itu (meski namanya bukan Mallard) memang exist di era 1950an, dan menjadi salah satu fenomena paling aneh bagi orang kulit hitam di bagian Selatan Amerika Serikat.

Isu mengenai “passing as a white woman”, di era di mana diskriminasi rasial masih tinggi, dan bila ketahuan, Stella bisa dianggap melakukan tindakan kriminal, juga merupakan hal baru bagi saya, yang tidak pernah benar-benar aware akan isu ini. Britt mampu mengetengahkan isu identiti dan rasial dengan tema unik yang memang berbeda dari buku-buku lain yang pernah saya baca.

Memang, ketika narasi diambil alih oleh generasi berikutnya dari Stella dan Desiree, kisah tidak lagi semenggigit bagian awal buku, saat kita mengenal Desiree dan Stella lebih jauh. Kedua anak perempuan mereka terasa agak seperti tempelan, meski ada isu identitas yang tetap diselipkan oleh Britt.

Overall, ini adalah salah satu buku favorit saya di tahun 2021. Meski endingnya terasa agak sedikit gantung, tapi masih pas dengan keseluruhan gaya bercerita Britt yang memang sarat akan nostalgic vibes.

Rating: 4/5

Recommended if you like: thought provoking fiction, unique perspectives, twin stories, racial issues, different sides of America

How We Disappeared by Jing-Jing Lee

23 Wednesday Jun 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

asia, culture, english, fiction, popsugar RC 2021, singapore, southeast asia, women, women prize, world war

Judul: How We Disappeared

Penulis: Jing-Jing Lee

Penerbit: OneWorld Book (2020 paperback edition)

Halaman: 341p

Beli di: @therebutforthebooks (IDR 200k)

Singapore, 1942: Tentara Jepang merangsek masuk, menguasai negara kecil yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Inggris. Rakyat Singapura panik, dan satu demi satu mengalami penderitaan di bawah penjajahan Belanda. Tak terkecuali Wang-Di, anak perempuan yang diculik tentara Jepang dan dibawa ke bangunan yang ternyata merupakan brothel bagi tentara Jepang.

Singapore, 2000: Wang-Di hidup dalam kesepian, suaminya baru meninggal dunia dan ia masih menyimpan rahasianya selama perang tahun 1942. Keinginannya untuk membagi beban hidup terasa terlambat setelah suaminya meninggal dan ia hidup sebatang kara. Namun, kemunculan seorang anak laki-laki bernama Kevin, akan mengubah hidup Wang-Di.

Membaca buku ini membutuhkan hati yang kuat. Miris, kesal, marah, sedih, sakit, adalah berbagai perasaan yang muncul ketika saya membaca kisah Wang-Di, terutama saat ia dipaksa menjadi “comfort woman”, istilah pemerkosaan yang dilegalkan, selama Perang Dunia II berlangsung dan Singapura dijajah oleh Jepang. Terlebih, setelah perang usai, Wang-Di kembali ke keluarganya, namun semua orang mengira ia hidup bersenang-senang sebagai wanita simpanan tentara Jepang dan mengkhianati negaranya sendiri.

Buat saya, kisah tentang Singapura semasa Perang Dunia II termasuk jarang ditemui, dan membaca How We Disappeared membuka mata saya tentang penderitaan yang dialami oleh negara-negara di Asia Tenggara selama penjajahan Jepang. Sekelumit kisah Wang-Di hanya mewakili sedikit dari penderitaan yang terjadi, namun sudah mampu mengaduk emosi saya sampai rasanya mual sendiri membaca adegan yang lumayan detail di sini. Selain tema kekerasan seksual di masa penjajahan, buku ini juga menyinggung tentang trauma yang dialami Wang-Di, dan stigma masyarakat Asia, khususnya di era 1940-an, yang masih menganggap tabu pembicaraan tentang mental health dan kekerasan seksual.

Sayangnya, bagian kisah tentang Kevin, menurut saya agak terlalu dipanjang-panjangkan. Awalnya cukup membuat penasaran, apa hubungan Kevin dengan Wang-Di, dan kita diajak menyusuri lika-liku masa lalu keluarga Kevin hingga akhirnya bermuara di Wang-Di. Tapi karena agak terlalu lambat plotnya, dan banyak memotong kisah masa lalu Wang-Di, lama-lama jadi kurang sabar juga membaca bagian ini.

Meski tidak perfect, menurut saya buku ini tetap merupakan buku yang sangat recommended, terutama untuk yang mau tahu lebih banyak tentang sejarah Singapura, dan penggambaran settingnya memang sangat mendetail, baik Singapura di era 1940-an maupun di era modern 2000-an. Dan betul, Singapura lebih dari sekadar Orchard Road 🙂

Rating: 3.5/5

Recommended if you like: Southeast Asian reads, historical fiction, World War II, beautiful writing, a glimpse of life in Singapore

Submitted for:

A book set somewhere you’d like to visit in 2021

The Shadow King by Maaza Mengiste

03 Monday May 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 2 Comments

Tags

africa, award, ethiopia, historical fiction, man booker prize, war, women, world war

Judul: The Shadow King

Penulis: Maaza Mengiste

Penerbit: Canongate Books (2020)

Halaman: 428p

Beli di: @__lesens (IDR 235k)

Tahun 1935, Ethiopia berada di ambang peperangan, setelah sebelumnya berhasil mengalahkan Italia di tahun 1896. Kali ini, Italia di bawah kepemimpinan fasis Mussolini, ingin membalas dendam dan menggapai impian mereka yang belum tercapai, yaitu menguasai Ethiopia. Didukung oleh situasi dunia yang sedang bersiap-siap menghadapi Perang Dunia II, plus menguatnya kekuatan fasis di belahan bumi barat, Italia yakin kali ini mereka akan memenangkan perang tersebut.

Hirut adalah seorang yatim piatu yang dipekerjakan di rumah salah satu tentara kepercayaan Emperor Haile Selassie, yang bernama Kidane. Hirut dan pekerja perempuan lainnya diharapkan untuk ikut membantu persiapan perang, termasuk mendampingi pasukan sebagai perawat dan menyiapkan makanan. Namun Aster, istri Kidane, menginginkan lebih daripada itu. Kesedihannya yang mendalam akibat kematian anak laki-lakinya menyebabkan Aster berubah menjadi seorang perempuan yang getir, keras, dan tangguh. Ia ingin membentuk pasukannya sendiri, yang terdiri dari para perempuan kuat Ethiopia yang ia yakin sanggup menyamai bahkan melebihi kecerdikan pasukan tentara Emperor.

Meski Hirut dibenci Aster karena kedekatannya dengan Kidane, namun ia belajar banyak dari istri majikannya ini selama peperangan berlangsung. Bahkan Hirut ikut berperan penting dalam merancang strategi Shadow King, alias Raja Bayangan, yang menjadi legenda peperangan gerilya Etiophia. Pada akhirnya, Ethiopia memang bukan merupakan tandingan Italia yang super kejam. Tapi, sokongan moral dari The Shadow King mengambil tempat tersendiri di hati rakyat Etiophia, bahkan ceritanya diturunkan ke generasi-generasi selanjutnya.

The Shadow King adalah salah satu buku yang berhasil mengungkapkan fakta sejarah yang saya tidak tahu sebelumnya. Sedikit yang selama ini saya tahu tentang Ethiopia, dan Maaza Mengiste sukses mengedukasi saya tentang negara asalnya ini. Dan beberapa sudut pandang yang dipakai buku ini, mulai dari Hirut, sang Emperor sendiri, hingga tentara Italia, menambahkan detail-detail yang menarik di sepanjang buku.

Hanya saja, jujur saya tidak bisa menikmati sepenuhnya buku ini. Ada dua alasan utama mengapa buku ini belum bisa mendapatkan rating sempurna dari saya. Yang pertama, saya berharap buku ini lebih banyak mengambil sudut pandang Hirut, terutama karena dari yang saya baca di bagian Acknowlegment, sosok Hirut serta latar belakang sejarah Shadow King terinspirasi dari kisah keluarga Mengiste sendiri, terutama dari nenek buyutnya, Getey. Dan menurut saya kisah ini memang sangat menarik, namun sayangnya di bagian tengah hingga akhir buku, kita malah lebih banyak disuguhi oleh sudut pandang tentara Italia yang diwakili oleh Ettore sang fotografer. Memang kisah Etorre cukup penting juga dan berkaitan erat dengan masa depan Hirut, tapi saya jadi kehilangan suara Hirut dan sayangnya tidak merasa terkoneksi sepenuhnya dengan tokoh perempuan tersebut.

Alasan kedua, yang lebih mendominasi buat saya, adalah gaya penulisan Maaza Mengiste. Mengiste adalah seorang scholar dan professor Creative Writing, bahkan pernah menerima beasiswa Fulbright (WHOOP!). Dan memang, gaya menulisnya amat berkesan “nyastra” sekali, penuh dengan matefora dan penggambaran detail yang luar biasa puitis. Awalnya, saya senang-senang saja membaca kalimat demi kalimat yang penuh keindahan ini. Namun lama kelamaan, rasanya lelah juga, apalagi Mengiste amat senang menggambarkan detail setting seperti sudut jatuhnya cahaya matahari, perbedaan suara burung yang satu dengan burung yang lain, dan sebagainya, yang tujuannya mungkin untuk menampilkan setting yang amat nyata, namun karena banyak pengulangan di sini, saya jadi bosan juga membacanya. Satu lagi, Mengesti adalah penggemar “tanpa tanda kutip”, sehingga tidak ada dialog yang diapit tanda kutip di buku ini, satu tren yang saya kurang suka karena seringkali menciptakan kebingungan.

Overall, The Shadow King adalah buku yang amat penting, menyajikan sekelumit kisah sejarah yang jarang diangkat ke permukaan, Secara kualitas pun buku ini amat baik, tak heran dinominasikan dan mendapat penghargaan di mana-mana, termasuk short list Man Booker Prize 2020. Tapi memang buku ini, menurut saya, bukanlah tipe buku yang bisa dinikmati 🙂

Rating: 3/5

Recommended if you want to read about: African history, Ethiopia, women fighters, high quality literature, creative writing at its best

The Night Swim by Megan Goldin

29 Thursday Apr 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

america, bargain book!, ebook, lovely heroine, mystery/thriller, psychology, social issues, social media, suspense/thriller, twist ending, women

Judul: The Night Swim

Penulis: Megan Goldin

Penerbit: St. Martin’s Press (2020, Kindle Edition)

Halaman: 352p

Beli di: Amazon.com (USD 2.99, bargain!)

Rachel Krall adalah seorang podcast host yang terkenal dengan liputan true crime nya. Bahkan, di season pertamanya, Rachel berhasil memecahkan kasus yang sudah dianggap selesai, dan membebaskan orang tak bersalah yang sudah dihukum penjara. Kini, di season terbaru, Rachel berangkat ke Neapolis, kota kecil di pesisir North Carolina, untuk meliput salah satu pengadilan terheboh di tahun itu.

Kasusnya adalah pemerkosaan oleh seorang atlet renang muda yang menjadi idola seisi kota, terhadap murid SMA yang juga cucu mantan kepala polisi kota tersebut. Kasus yang sensitif ini membuat panas penduduk kota, yang terbagi menjadi dua kubu yang masing-masing meyakini teorinya lah yang paling benar. Rachel sendiri berusaha bersikap netral, dan hanya ingin menyajikan kebenaran terhadap pendengarnya, lewat interview, investigasi, dan liputan live jalannya persidangan yang ditunggu-tunggu oleh para pendengarnya.

Namun di tengah kasus panas tersebut, Rachel dikejutkan dengan adanya penguntit, seorang perempuan misterius bernama Hannah, yang ngotot ingin meminta pertolongan Rachel memecahkan kasus yang terjadi bertahun-tahun silam. Kakak perempuan Hannah meninggal secara misterius, semua orang yakin itu merupakan kecelakaan karena ia berenang di laut malam-malam, apalagi reputasi sang kakak yang dinilai sebagai party goers dan penggoda laki-laki. Namun Hannah yakin kalau kakaknya tidak meninggal karena kecelakaan, melainkan dibunuh. Dan Hannah yakin, satu-satunya yang bisa menolongnya membuktikan hal ini adalah Rachel.

Ini adalah pertama kalinya saya membaca buku karya Megan Goldin. And I WAS HOOKED! Saya suka penyajiannya yang pas, dengan selingan episode podcast Rachel yang sangat hidup, sampai-sampai saya bisa membayangkan suara Rachel sendiri yang membawakan skripnya. Saya juga suka dengan penggambaran karakter Rachel, yang tidak dibuat sebagai superhero di sini, tapi justru mewakili kita para pembaca yang ingin mengetahui kejelasan kasus-kasus ini sampai akhir. Rachel tidak mendistraksi kita dengan agenda personalnya, sehingga cukup konsisten dari awal hingga akhir berperan menjadi detektif amatir yang cukup bisa relate dengan pembaca.

Saya juga suka bagaimana Goldin meramu dua kasus yang sama-sama berkaitan dengan pemerkosaan, walaupun berlangsung di dua timeline yang berbeda. Penyatuan dua kasus ini hingga akhirnya memiliki kejelasan yang memuaskan, adalah salah satu kekuatan utama buku ini. Goldin juga membahas secara cukup detail tentang sulitnya posisi korban dalam kasus pemerkosaan, yang tidak akan terjadi di kasus dengan jenis kejahatan lainnya. Betapa stigma yang melekat di korban pada kasus pemerkosaan terasa amat memberatkan: dituduh pembohong, disalahkan, dijatuhkan reputasinya. Ini adalah isu yang sangat relevan, dan miris rasanya karena tidak banyak yang berubah sejak masa lampau hingga sekarang.

Overall, a very recommended book. Saya langsung ingin mencari buku-buku Megan Goldin yang lain 🙂

Rating: 4/5

Recommended if you like: psychological thriller, controversial cases, dramatic court scenes, twisted ending, sympathetic main character

The Muse by Jessie Burton

14 Wednesday Apr 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

arts, europe, historical fiction, mystery, popsugar RC 2021, twist, war, women

Judul: The Muse

Penulis: Jessie Burton

Penerbit: Picador (2016)

Halaman: 445p

Beli di: Big Bad Wolf Tokopedia (IDR 70k)

London, Juli 1967

Odelle Bastien baru saja diterima bekerja di Skelton gallery, di bawah pengawasan bosnya yang cerdas namun penuh misteri, Marjorie Quick. Sebagai imigran dari Trinidad, Odelle bertekad akan membuktikan kemampuan dirinya bertahan di London, dan suatu saat nanti mempublikasikan novelnya. Suatu hari, sebuah lukisan misterius datang kepadanya melalui laki-laki yang baru ia kenal, Lawrie. Disinyalir, lukisan tersebut adalah salah satu lukisan Isaac Robles, pelukis Spanyol yang karya-karyanya termasuk langka, serta keburu menghilang sebelum namanya sempat mendunia. Yang membuat Odelle bingung adalah reaksi Marjorie terhadap lukisan tersebut, yang menggambarkan singa beserta dua orang perempuan. Ada hubungan apa antara Marjorie dan lukisan itu?

Spanyol, 1936

Keluarga Schloss baru pindah ke daerah pedesaan Spanyol, setelah insiden menyangkut sang Ibu, Sarah, mengharuskannya beristirahat dan menyepi. Anak mereka, Olive, memiliki ambisi yang ia sembunyikan dari kedua orang tuanya, terutama ayahnya yang adalah seorang art dealer. Kehidupan keluarga Schloss berubah total saat kakak beradik Teresa dan Isaac menjadi bagian dari kehidupan mereka di Spanyol, terutama menjelang pecahnya Civil War di negara tersebut.

Agak sulit menjabarkan plot buku ini tanpa memberikan spoiler yang cukup penting. The Muse (seperti juga buku Jessie Burton sebelumnya, The Miniaturist), menggabungkan kisah sejarah dan seni, mengukuhkan Jessie Burton sebagai salah satu penulis historical fiction yang selalu konsisten dengan tema-temanya. Saya sendiri lebih menyukai The Muse dibandingkan dengan The Miniaturist, karena kisahnya lebih menggigit dan penggambaran karakter-karakternya lebih menarik, meskipun endingnya tetap membuat emosi seperti The Miniaturist. Penuturan Burton termasuk enak diikuti, sehinggal timeline yang berganti-ganti antara tahun 1936 dan 1967 tidak terasa membingungkan.

Namun menurut saya, The Muse berusaha mengangkat terlalu banyak topik atau isu, sehingga agak keteteran di beberapa bagian. Beberapa isu dalam buku ini adalah tentang imigran, rasisme dan perjuangan minoritas seperti Odelle di tengah kerasnya London; sejarah Civil War di Spanyol; profesi seniman atau pelukis di era 1930-an yang masih amat didominasi oleh kaum laki-laki; serta sejarah lukisan itu sendiri. Kekuatan utama Burton adalah menyajikan kisahnya dengan cukup meyakinkan (saya sampai meng-Google Isaac Robles untuk melihat apakah ia adalah seorang pelukis nyata atau fiksi), namun kelemahannya adalah ingin mengangkat terlalu banyak topik, sehingga kadang kurang bisa menjaga pace cerita. Di awal, kisah terasa lambat karena begitu banyak hal yang ingin dibahas, tapi di bagian akhir, endingnya terasa agak “crammed” karena diburu-buru.

Saya sendiri lebih simpati dengan Odelle dibandingkan tokoh perempuan lainnya di buku yang lumayan kental nuansa feminisnya ini. Tapi porsi Odelle tidak sebanyak kisah keluarga Scholls dan Robles, sehingga saya merasa saya kurang diberi waktu untuk bisa lebih relate dengan Odelle.

Bagaimanapun, The Muse termasuk kisah fiksi sejarah yang cukup solid, terutama untuk para penggemar sejarah seni.

Rating: 3.5/5

Recommended if you like: historical fiction, arts fiction, women inspired fiction, dual timeline

Submitted for:

A book about art or an artist

His Only Wife by Peace Adzo Medie

30 Tuesday Mar 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

africa, black history month, culture, domestic fiction, ebook, ghana, reeses book club, romance, women

Judul: His Only Wife

Penulis: Peace Adzo Medie

Penerbit: Algonquin Books (2020, Kindle Edition)

Halaman: 225p

Beli di: Amazon.com (USD 1.99 – bargain!)

Afi Tekple dijodohkan oleh keluarganya untuk menikahi Elikem Ganyo, anak keluarga kaya di desa Afi yang orang tuanya sudah banyak membantu keluarga Afi. Namun perjodohan ini tidak seperti perjodohan standar, karena Afi diberi tugas oleh keluarga Elikem untuk memisahkan Elikem dari perempuan yang selama ini menjalin hubungan dengannya dan bahkan sudah memberinya seorang anak perempuan. Perempuan dari Liberia ini amat ditentang oleh keluarga Elikem karena dianggap merusak hubungan Elikem dengan keluarganya, dan mengubah Elikem menjadi anak yang selalu menentang orang tuanya. Singkatnya, perempuan tersebut membawa pengaruh buruk, dan harus segera disingkirkan.

Dari awal, Afi sudah tahu tugasnya akan terasa berat. Ia hanyalah seorang gadis desa yang berasal dari keluarga miskin, sedangkan Eli berpendidikan, berasal dari keluarga kaya dan tinggal di kota besar Accra. Di pesta pernikahan mereka pun Eli tidak bisa datang karena sedang business trip ke luar negeri, sehingga diwakilkan oleh adik laki-lakinya. Dan setelah Afi pindah ke Accra, bukannya tinggal serumah dengan Eli, ia malah disediakan apartemen mewah dan tinggal di sana seperti seorang perempuan simpanan alih-alih istri resmi, sementara sang perempuan Liberia tinggal bersama Eli di rumahnya.

His Only Wife bercerita tentang normal sosial dan budaya di masyarakat Ghana modern, yang masih amat kental dengan nuansa patriarki, salah satunya melalui budaya poligami. Meski masyarakat Ghana masa kini sudah lebih menghargai peran perempuan dan memberikan kesempatan yang lebih banyak pada mereka (terlihat dari beberapa karakter di buku ini, termasuk ibu Eli yang memegang perusahaan keluarga, serta Afi yang meniti karier sebagai perancang busana), namun tetap saja bila menyangkut pernikahan dan peran perempuan di dalam rumah tangga, norma yang diikuti masih sama dengan zaman dulu.

Buat saya, melihat isu poligami dari kacamata budaya Ghana yang tidak terlalu familiar buat saya adalah pengalaman yang amat menarik. Apalagi, Peace Adzo Medie adalah seorang penulis yang andal, yang mampu merangkai kisah ini menjadi amat menggigit, menarik diikuti, dan membuat saya merasa terhubung dengan para karakternya. Tidak ada karakter yang 100% baik atau 100% villain di sini. Semua memiliki alasan masing-masing untuk bertindak sesuai dengan kondisinya. Afi yang naive pun tidak selamanya benar, ada momen-momen di mana ia tidak mengambil keputusan yang bijak. Sementara itu, sang perempuan Liberia pun ternyata bukan sosok villain seperti yang dikesankan oleh keluarga Eli.

Biasanya, buku domestic drama dan romance bukanlah cup of tea saya. Tapi saya benar-benar menikmati buku ini, yang membuka mata saya terhadap banyak hal-hal baru seputar kehidupan masyarakat Ghana modern, terutama kaum perempuannya. Dan setting Ghana, terutama kontras antara desa Afi dan kota Accra yang megah, mengingatkan saya akan Indonesia dengan segala kesenjangannya. Turns out we’re all more similar than we think, aren’t we? 🙂

Rating: 4/5

Recommended if you want to read about: domestic drama and romance, modern African life, polygamist culture, women role in Africa, life in Ghana, juicy plot and fresh dialogue.

The Color Purple by Alice Walker

12 Friday Mar 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

african american, america, classics, historical fiction, LGBT, popsugar RC 2021, race, secondhand books, women

Judul: The Color Purple

Penulis: Alice Walker

Penerbit: Weidenfeld & Nicolson (paperback, 2017)

Halaman: 262p

Beli di: @birdfish.preloved.books (IDR 80k, bargain!)

Celie adalah seorang perempuan kulit hitam yang tinggal di Georgia di era 1930-an, tahun-tahun yang amat sulit karena perempuan kulit hitam masih dianggap sebagai kasta terendah di masyarakat. Cellie menjadi korban perkosaan keluarganya sendiri, dipaksa menyerahkan anak-anak yang dilahirkannya, kemudian dipaksa menikah dengan Mr. — yang amat dibencinya (hingga ia tidak mau menyebut nama laki-laki itu di sepanjang buku), dan dipisahkan dari Nettie, adik kandung yang amat disayanginya.

Membaca kisah Celie yang penuh penderitaan ini mengingatkan saya dengan kisah Oshin (hidup 80-an!) yang sarat akan air mata. Namun, Celie digambarkan seorang perempuan yang tangguh, yang tidak menjadikan penderitaan dan kesusahan sebagai penghalang baginya mencari akhir yang bahagia.

Hidup Celie berubah drastis saat ia bertemu dengan Shug Avery, penyanyi yang juga mantan pacar suaminya, Mr. —. Shug yang sedang sakit tidak memiliki seorangpun yang bisa merawatnya, sehingga Mr. menyuruh Shug untuk tinggal di rumahnya, dengan Celie sebagai perawatnya. Mungkin perempuan lain sakit hati bila diminta merawat mantan pacar suaminya. Namun bagi Celie, kedatangan Shug adalah berkah tersendiri. Ia mengagumi Shug yang berani mengambil jalan hidup tanpa peduli apa kata orang lain. Dan perlahan-lahan, persahabatan tumbuh di antara mereka, yang bahkan berkembang menjadi hubungan yang lebih dalam dari sekadar teman.

Celie belajar banyak dari perempuan di sekitarnya. Selain Shug, ada juga menantunya, Sofia, yang kekuatan fisik maupun emosionalnya mengalahkan laki-laki manapun, termasuk suaminya sendiri. Dan tentu saja ada Nettie- adik perempuan Celie yang terpisah sejak mereka masih remaja, dan mengikuti jalan hidupnya sendiri sebagai misionaris di Afrika, yang memiliki tantangan yang tak kalah hebatnya.

Buku ini ditulis dengan format surat, yang pertama adalah surat Celie kepada Tuhan, dan bagian kedua adalah surat-menyurat antara Celie dengan Nettie. Bahasa yang digunakan Celie awalnya lumayan susah dimengerti, dan membuat buku ini terasa lambat di bagian awal karena kita harus menyesuaikan dengan gaya bercerita Celie yang terkadang suka melompat-lompat dan memiliki istilah sendiri untuk banyak hal. Namun setelah terbiasa, kita bisa dengan mudah masuk ke dalam dunia Celie, cara berpikirnya yang sederhana namun selalu ingin yang terbaik untuk setiap orang.

Bagian surat-surat Nettie memiliki topik yang tak kalah menarik dengan perjuangan Celie, yaitu topik tentang misionaris di Afrika. Nettie adalah satu dari segelintir misionaris kulit hitam yang bertugas di Afrika, dan pengalamannya membawa banyak sekali thought provoking dan eye opening moments di buku ini.

Secara keseluruhan, buku ini memang layak diberi predikat klasik, karena temanya yang begitu kaya akan peran perempuan kulit hitam di belahan selatan Amerika Serikat, dan kental dengan karakter-karakter yang memorable, terutama Celie dan Shug Avery.

The Color Purple, The Movie

Satu hal yang menggelitik saya saat membaca buku ini adalah introduction letter versi terbaru dari sang penulis, Alice Walker. Di kata pengantarnya, Walker banyak menyinggung tentang film The Color Purple, yang ketenarannya menyamai bukunya. Seperti kebanyakan penulis, Walker tampak tidak puas dengan eksekusi film The Color Purple yang dianggapnya membingungkan dan banyak menghilangnya poin penting dari bukunya.

Poster film The Color Purple

Saya sendiri belum menonton film The Color Purple, meski banyak mendengar pujian dan review bagus tentang film tersebut. Dibintangi oleh Whoopi Goldberg sebagai Celie, Margaret Avery sebagai Shug, dan Oprah Winfrey sebagai Sofia, tak heran film ini mendapatkan banyak nominasi Oscar dan memenangkan penghargaan lainnya. Saya memasukkan film The Color Purple ke dalam daftar to watch saya, meski belum tahu apakah akan “tega” menonton penderitaan Celie yang pasti tampak lebih tragis di film dibandingkan di dalam buku.

Rating: 3.5/5

Recommended if you want look for: classics, Southern America in the 30s, Black history, women’s roles in the 30s, tearjerkers, strong characters, sympathetic narrator

Submitted for:

Category: A book from your TBR list chosen at random
← Older posts

From the bookshelf

Categories

Looking for Something?

Enter your email address to follow Books to Share and receive notifications of new posts by email.

Join 1,036 other subscribers

Currently Reading

I’m a Proud Member! #BBI 1301004

Wishful Wednesday Meme

Fill your Wednesdays with wishful thinking =)

Popsugar Reading Challenge 2018

bookworms

  • aleetha
  • althesia
  • alvina
  • ana
  • annisa
  • bzee
  • dewi
  • dion
  • fanda
  • Ferina
  • helvry
  • inne
  • Kobo
  • maya
  • mei
  • melmarian
  • mia
  • ndari
  • nophie
  • oky
  • peri hutan
  • ren
  • Reygreena
  • sel sel kelabu
  • sinta
  • tanzil
  • tezar
  • yuska

shop til you drop

  • abe books
  • Amazon
  • better world books
  • book depository
  • BukaBuku
  • Buku Dedo
  • bukukita
  • vixxio

Top Posts & Pages

  • Red, White & Royal Blue by Casey McQuiston
    Red, White & Royal Blue by Casey McQuiston
  • Dongeng-Dongeng Grimm Bersaudara
    Dongeng-Dongeng Grimm Bersaudara
  • The Secret History
    The Secret History
  • Heartless by Marissa Meyer
    Heartless by Marissa Meyer
  • Matilda
    Matilda

Recent Comments

Fathan Albajili on Puddin’ by Julie Mu…
Puddin’ by Jul… on Dumplin’ by Julie M…
jesica on Abarat 2: Days of Magic, Night…
jesica on Abarat 2: Days of Magic, Night…
When the Stars Go Da… on The Paris Wife

Create a free website or blog at WordPress.com.

Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
  • Follow Following
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Join 1,036 other followers
    • Already have a WordPress.com account? Log in now.
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Customize
    • Follow Following
    • Sign up
    • Log in
    • Report this content
    • View site in Reader
    • Manage subscriptions
    • Collapse this bar
 

Loading Comments...