• About this blog
  • Clearance Sale!
  • Newbery Project
  • Popsugar Reading Challenge 2023
  • Previous Challenges
    • BBI Read and Review Challenge 2017
    • Challenges 2014
    • Challenges 2015
    • Lucky No.14 Reading Challenge
    • Lucky No.15 Reading Challenge
    • POPSUGAR Reading Challenge 2017
    • Popsugar Reading Challenge 2018
    • Popsugar Reading Challenge 2020
    • Popsugar Reading Challenge 2021
    • Popsugar Reading Challenge 2022
    • What’s in a Name 2018
    • Twenty-Ten Challenge
    • Challenges 2012
    • Challenges 2013
  • Round Ups
  • The Librarian

~ some books to share from my little library

Tag Archives: southern state

The Vanishing Half by Brit Bennett

16 Friday Jul 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

african american, america, award winning, dysfunctional family, english, fiction, historical fiction, race, southern state, twins, women

Judul: The Vanishing Half

Penulis: Brit Bennett

Penerbit: Riverhead Books (2020)

Halaman: 343p

Beli di: Aksara (IDR 275k)

Cerita tentang anak kembar selalu intriguing buat saya, mungkin karena saya tidak pernah bisa membayangkan bagaimana rasanya memiliki saudara yang lahir bersamaan, dan memiliki penampakan yang serupa.

Dan Britt Bennett bahkan menambahkan unsur yang lebih menarik lagi: apa jadinya bila sepasang anak kembar memilih jalan hidup yang benar-benar berbeda?

Vignes bersaudari (baca: Vi-nya) tumbuh besar di tahun 1950-an di Mallard, sebuah kota kecil di Louisiana yang dihuni oleh komunitas kulit hitam. Uniknya, karena genetik dan pernikahan turun-temurun, termasuk dengan imigran awal asal Prancis, mayoritas penduduk Mallard berkulit terang, bahkan bisa “passing” (alias lolos) sebagai kulit putih.

Desiree dan Stella, yang hidup di garis kemiskinan karena ayah mereka meninggal sejak mereka kecil, dan ibu mereka tidak disupport oleh keluarganya, bertekad untuk pergi dari Mallard dan mencari kehidupan yang lebih baik di luar sana. Dan itulah yang mereka lakukan saat menginjak usia 16 tahun, kabur ke New Orleans dan memperoleh kebebasan mereka.

Namun suatu hari Desiree dikejutkan dengan menghilangnya Stella, yang pergi begitu saja meninggalkannya untuk menjalani hidup yang baru. Apa yang terjadi? Apa yang menurut Stella lebih penting daripada ikatan persaudaraannya dengan Desiree?

Melalui perjalanan kedua karakter ini kita diajak melihat bagaimana kehidupan dua orang yang terlahir sama, berpenampilan sama, dan berasal dari root yang sama, akhirnya menjadi begitu berbeda.

Desiree bertemu seorang laki-laki kulit hitam dan melahirkan anak perempuan yang penampilannya sangat berbeda dari kebanyakan penduduk Mallard. Dan hal ini menimbulkan kontroversi saat ia memutuskan kembali ke kampung halamannya tersebut.

Sedangkan Stella, yang mengambil keputusan untuk mengaku sebagai perempuan kulit putih, menjalani hidupnya dengan mengkhianati identitasnya sendiri. Ya, dalam banyak hal ia mengalami kemudahan, memiliki keluarga kelas menengah khas suburban Amerika. Namun deep down, ia selalu merasa takut. Takut ketahuan, takut dihujat, takut dipermalukan.

Dan apapun yang dijalani oleh kedua saudari kembar ini, hati mereka selalu terasa tidak lengkap, karena separo bagiannya masih menghilang.

The Vanishing Half adalah sebuah novel yang lengkap: thought provoking issues, intriguing characters and settings, dan beautiful prose as usual. Brit Bennett adalah pencerita yang amat baik, dan salah satu yang paling konsisten di genrenya menurut saya. Mallard sendiri adalah suatu tempat yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Namun, di acara Hay Festival, saya sempat bergabung dengan live event Britt dan bertanya padanya tentang inspirasi Mallard, dan menurut Britt, tempat itu (meski namanya bukan Mallard) memang exist di era 1950an, dan menjadi salah satu fenomena paling aneh bagi orang kulit hitam di bagian Selatan Amerika Serikat.

Isu mengenai “passing as a white woman”, di era di mana diskriminasi rasial masih tinggi, dan bila ketahuan, Stella bisa dianggap melakukan tindakan kriminal, juga merupakan hal baru bagi saya, yang tidak pernah benar-benar aware akan isu ini. Britt mampu mengetengahkan isu identiti dan rasial dengan tema unik yang memang berbeda dari buku-buku lain yang pernah saya baca.

Memang, ketika narasi diambil alih oleh generasi berikutnya dari Stella dan Desiree, kisah tidak lagi semenggigit bagian awal buku, saat kita mengenal Desiree dan Stella lebih jauh. Kedua anak perempuan mereka terasa agak seperti tempelan, meski ada isu identitas yang tetap diselipkan oleh Britt.

Overall, ini adalah salah satu buku favorit saya di tahun 2021. Meski endingnya terasa agak sedikit gantung, tapi masih pas dengan keseluruhan gaya bercerita Britt yang memang sarat akan nostalgic vibes.

Rating: 4/5

Recommended if you like: thought provoking fiction, unique perspectives, twin stories, racial issues, different sides of America

Go Set a Watchman by Harper Lee

22 Tuesday Sep 2015

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

english, fiction, historical, race, sequel, southern state

go set a watchmanJudul: Go Set a Watchman

Penulis: Harper Lee

Penerbit: William Heinemann (2015)

Halaman: 278p

Beli di: Periplus.com (IDR 335k, disc 25%)

Setelah mendapatkan feel yang tepat berkat membaca ulang To Kill a Mockingbird (TKaM), dengan bersemangat dan sedikit deg-degan, saya pun memberanikan diri untuk langsung terjun bebas ke dalam kisah sekuel (atau prekuel, tergantung sudut pandang yang dipilih), dari penulis legendaris Harper Lee – Go Set a Watchman (GSaW).

GSaW bersetting 20 tahun setelah TKaM, ketika Jeane Louise Finch (yang dulu akrab dengan panggilan Scout, tapi di buku ini selalu dipanggil dengan nama aslinya yang menurut saya kurang cocok dengan karakternya), sudah berumur 26 tahun, menjelma menjadi wanita muda yang mandiri, cerdas, meski kadang masih terlihat polosnya, tinggal dan bekerja di New York.

Kisah berawal saat Jeane Louise sedang mudik mengunjungi ayahnya yang sudah tua, Atticus, di kota kelahirannya di Maycomb. Tapi Maycomb yang kita kenal di TKaM tampak sudah sangat berubah, dan hal ini pulalah yang dirasakan oleh Jeane Louise, sehingga membuatnya merasa tidak feel at home, tidak mengenal kota yang sudah dianggapnya rumah sepanjang masa.

Perbedaan yang buat saya terlalu drastis dan cukup menyedihkan inilah alasan utama mengapa saya tidak bisa menyukai buku GSaW.

Pertama, tokoh-tokoh yang membuat kita jatuh cinta di TKaM sekarang kebanyakan sudah tidak ada (entah sudah pindah atau meninggal dunia), atau berbeda dari yang kita ingat, atau bahkan tidak disebut sama sekali. Itu saja sudah membuat cukup ilfil.

Lalu, kekecewaan tentang perubahan Maycomb yang lain adalah isu rasisme dan diskriminasi yang diangkat di sini. Kalau di TKaM plot yang digunakan jelas, mengenai ketidakadilan terhadap penduduk kulit hitam, dibalut pesan moral dan kemanusiaan yang membumi, penuh drama namun tidak berlebihan. Nah di GSaW ini terus terang plotnya tidak jelas sama sekali. Memang ada isu pro segregasi dan kekhawatiran terhadap “melunjak” nya masyarakat kulit hitam yang menuntut persamaan hak. Dan sebenarnya isu ini – yang marak di akhir tahun 60-an sampai 70-an, terutama di belahan selatan Amerika Serikat – bisa diangkat menjadi kisah yang menarik. Apalagi untuk kita yang familiar dengan Maycomb dalam kisah TKaM, yang simpatik, meski tetap realistis.

Nah, sayangnya di sini Maycomb digambarkan terlalu getir. Bahkan Atticus pun tidak seperti yang kita kenal dulu. Dan parahnya, alasan mengapa semua orang berubah, disampaikan dengan terlalu bertele-tele dan sangat PREACHY. Sangat berbeda dengan gaya Atticus yang sudah familiar di TKaM dulu. Yang cool dan menohok.

Ditambah lagi, beban moral Jeane Louise pun tidak mengundang simpati. Kekecewaannya terhadap perubahan Maycomb tidak bisa membuat saya berpihak padanya juga, entah karena saya sedang denial akibat Atticus yang tidak sesuai ingatan saya, atau karena memang Jeane Louise sendiri tidak mengingatkan saya sama sekali dengan Scout yang charming, menyenangkan dan mudah mengundang simpati.

Satu-satunya hiburan di buku ini (yang menurut saya layak disematkan satu buah bintang sendiri), adalah beberapa adegan flashback Jeane Louise yang mengingatkannya akan penggalan kisah masa kecilnya dengan Jem dan Dill. Dari kisah-kisah ini, Jeane Louise seolah ingin terus mengingatkan dirinya bahwa ia tidak berubah, bahwa ia menjadi seperti ini karena Atticus, karena Maycomb yang dulu ia cintai. Hanya bagian inilah yang mampu membuat saya mengangguk-angguk setuju dengan Harper Lee.

Banyak yang menyayangkan mengapa manuskrip yang ditemukan puluhan tahun setelah ditulis Harper Lee ini harus diterbitkan. Karena meskipun mengambil setting setelah TKaM, justru Harper Lee menuliskan GSaW ini sebelum ia merampungkan dan menerbitkan GSaW. Mungkin karena itu jugalah semuanya serba setengah matang.

Saya sendiri nggak keberatan kok, kalau Atticus berubah jadi tidak likable, Maycomb berubah jadi getir, bahkan Jeane Louise berubah jadi sosok yang tampak asing. Tapi yang sangat saya tidak terima adalah gaya penceritaan yang setengah matang, yang serba menggantung, tidak ada pendalaman karakter yang tampak begitu piawai di TKaM, serta tidak ada elemen hangat dari tulisan Lee di sini. Seolah-olah ini hanyalah manuskrip kasar yang belum disempurnakan, yang akhirnya tertinggal di belakang karena Lee lebih berfokus pada TKaM. Dan pada akhirnya dipaksa untuk diterbitkan karena berbagai alasan – nilai komersial, historis – apapunlah itu.

Membaca buku ini mengingatkan saya saat saya membaca The Narrative of John Smith, yang digadang-gadang sebagai manuskrip pertama Conan Doyle, dan pada akhirnya malah mengecewakan pembacanya.

Kadang-kadang memang ada hal-hal yang sebaiknya disimpan saja dari dunia. Dan menurut saya, GSaW adalah salah satunya.

 

 

To Kill a Mockingbird by Harper Lee – a Rereading Experience

18 Friday Sep 2015

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ 5 Comments

Tags

america, classic, english, fiction, legal, race, rereading, southern state

kill-mockingbirdJudul: To Kill a Mockingbird

Penulis: Harper Lee

Penerbit: Warner Books Edition (1982,first published in 1960)

Halaman: 281p

Gift from a friend 🙂

Saat kehebohan tentang ditemukannya manuskrip prekuel (atau sekuel, masih diperdebatkan mana yang lebih tepat) dari buku To Kill a Mockingbird (TKaM), saya merasa inilah saat yang tepat untuk membaca ulang salah satu buku favorit sepanjang masa ini sebelum membaca prekuelnya tersebut.

Sudah agak lama sejak terakhir saya membaca TKaM, dan saya hanya ingat samar-samar kesan saya terhadap kisah satu-satunya yang ditulis oleh Harper Lee (sebelum ditemukannya manuskrip yang membuat heboh dunia baru-baru ini). Yang pasti, buku ini adalah satu dari segelintir buku yang sukses mendapatkan bintang 5 dari saya, dan saya penasaran apakah kesan saya setelah membaca ulang buku ini masih sama dengan kesan saya terdahulu, saat menganugerahkan bintang 5 pada si TKaM?

Narator TKAM adalah Scout (nama sebenarnya Jeanne Louise), anak perempuan berumur 6 tahun yang tinggal di kota kecil Maycomb di Alabama. Kisah ini terjadi di tahun 50-an, saat segregasi masih terlihat jelas antara penduduk kulit putih dan kulit hitam, terutama di negara bagian Amerika Serikat daerah Selatan.

Hidup Scout berkisar antara sekolah (yang dibencinya), libur musim panas bersama kakaknya, Jem, dan teman mereka Dill, Calpurnia (pengurus rumah tangga berkulit hitam yang sudah seperti Ibu bagi Scout dan Jem), Atticus Finch, ayah mereka yang seorang pengacara, serta misteri tetangga sebelah rumahnya, Boo Radley yang penuh rahasia dan tak pernah menampakkan batang hidungnya.

Namun dunia Scout terasa jungkir balik saat ayahnya ditunjuk menjadi pembela tertuduh kasus perkosaan seorang perempuan kulit putih yang menghebohkan kota mereka. Yang membuat kasus ini tidak biasa adalah tertuduh kasus ini yang merupakan pemuda kulit hitam, Tom Robinson, dan kepercayaan Atticus bahwa Tom tidak bersalah.

Selama menangani kasus ini, Atticus menerima banyak ancaman dan kecaman dari masyarakat Maycomb, terutama yang keluarga Ewell yang anaknya menjadi “korban” Tom Robinson. Baik Jem maupun Scout mau tak mau merasakan perubahan ini pada hidup mereka juga, mulai dari ejekan teman sekelas sampai ancaman dari orang yang tidak mereka kenal.

TKaM adalah kisah klasik tentang kehidupan, keadilan, kemanusiaan dan bagaimana kita menyikapi semua hal tersebut. Yang membuat kisah ini tidak sekadar kisah yang preachy adalah kelihaian Harper Lee mengolah cerita ini dari sudut pandang Scout, yang charming, polos, namun cerdas. Kekonyolan yang dilakukan Scout bersama Jem dan Dill adalah bagian favorit saya dalam buku ini. Namun di tengah itu semua, tetap terselip pesan yang cukup serius mengenai rasisme, diskriminasi, dan hak asasi manusia.

Alasan kedua mengapa buku ini sangat lovable adalah karena sosok Atticus yang super duper idola sekali. Benar-benar ayah ideal, yang mendidik kedua anaknya dengan cara-caranya sendiri, yang meski terkesan terlalu liberal bagi masyarakat Maycomb, namun bisa menjadi pelajaran sendiri, terutama buat saya yang saat ini berstatus sebagai orang tua. Di balik keseriusannya, Atticus memiliki kelembutan hati dan selera humor yang menyenangkan, yang membuatnya lebih membumi dan tidak terlalu seperti “Dewa”.

The one and only Gregory Peck as Atticus Finch

The one and only Gregory Peck as Atticus Finch

Jadi, bagaimana kesan saya membaca buku ini setelah lebih dari 10 tahun berselang? Masihkan bintang 5 layak disematkan pada To Kill a Mockingbird?

Jawabannya, ya. Ya dan ya!

TKaM tetap merupakan buku klasik yang bisa saya nikmati, baik sebagai anak muda (ciye) di awal usia 20an dulu, sampai sekarang sudah menjadi ibu-ibu. Pelajaran yang didapat tetap sama, meski ada tambahan di sana sini. Kesan yang diperoleh pun masih sama: hangat, haru, sedih dan kagum. Pokoknya komplit.

Lalu bagaimana dengan kelanjutan buku ini? Apakah perasaan saya juga akan sama setelah membaca sekuel yang ditunggu-tunggu semua orang di dunia?

Nantikan review selanjutnya, ya 🙂

From the bookshelf

Categories

Looking for Something?

Enter your email address to follow Books to Share and receive notifications of new posts by email.

Join 1,036 other subscribers

Currently Reading

I’m a Proud Member! #BBI 1301004

Wishful Wednesday Meme

Fill your Wednesdays with wishful thinking =)

Popsugar Reading Challenge 2018

bookworms

  • aleetha
  • althesia
  • alvina
  • ana
  • annisa
  • bzee
  • dewi
  • dion
  • fanda
  • Ferina
  • helvry
  • inne
  • Kobo
  • maya
  • mei
  • melmarian
  • mia
  • ndari
  • nophie
  • oky
  • peri hutan
  • ren
  • Reygreena
  • sel sel kelabu
  • sinta
  • tanzil
  • tezar
  • yuska

shop til you drop

  • abe books
  • Amazon
  • better world books
  • book depository
  • BukaBuku
  • Buku Dedo
  • bukukita
  • vixxio

Top Posts & Pages

  • Spooktober Read (2): The Turn of the Screw by Henry James
    Spooktober Read (2): The Turn of the Screw by Henry James
  • The Rainmaker by John Grisham
    The Rainmaker by John Grisham
  • The Secret History
    The Secret History
  • A Dance with Dragons by George R.R. Martin
    A Dance with Dragons by George R.R. Martin
  • Red, White & Royal Blue by Casey McQuiston
    Red, White & Royal Blue by Casey McQuiston

Recent Comments

Puddin’ by Jul… on Dumplin’ by Julie M…
jesica on Abarat 2: Days of Magic, Night…
jesica on Abarat 2: Days of Magic, Night…
When the Stars Go Da… on The Paris Wife
Hapudin Bin Saheh on Insomniac City: New York, Oliv…

Blog at WordPress.com.

Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
  • Follow Following
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Join 1,036 other followers
    • Already have a WordPress.com account? Log in now.
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Customize
    • Follow Following
    • Sign up
    • Log in
    • Report this content
    • View site in Reader
    • Manage subscriptions
    • Collapse this bar
 

Loading Comments...