Tags
Penulis: Harper Lee
Penerbit: William Heinemann (2015)
Halaman: 278p
Beli di: Periplus.com (IDR 335k, disc 25%)
Setelah mendapatkan feel yang tepat berkat membaca ulang To Kill a Mockingbird (TKaM), dengan bersemangat dan sedikit deg-degan, saya pun memberanikan diri untuk langsung terjun bebas ke dalam kisah sekuel (atau prekuel, tergantung sudut pandang yang dipilih), dari penulis legendaris Harper Lee – Go Set a Watchman (GSaW).
GSaW bersetting 20 tahun setelah TKaM, ketika Jeane Louise Finch (yang dulu akrab dengan panggilan Scout, tapi di buku ini selalu dipanggil dengan nama aslinya yang menurut saya kurang cocok dengan karakternya), sudah berumur 26 tahun, menjelma menjadi wanita muda yang mandiri, cerdas, meski kadang masih terlihat polosnya, tinggal dan bekerja di New York.
Kisah berawal saat Jeane Louise sedang mudik mengunjungi ayahnya yang sudah tua, Atticus, di kota kelahirannya di Maycomb. Tapi Maycomb yang kita kenal di TKaM tampak sudah sangat berubah, dan hal ini pulalah yang dirasakan oleh Jeane Louise, sehingga membuatnya merasa tidak feel at home, tidak mengenal kota yang sudah dianggapnya rumah sepanjang masa.
Perbedaan yang buat saya terlalu drastis dan cukup menyedihkan inilah alasan utama mengapa saya tidak bisa menyukai buku GSaW.
Pertama, tokoh-tokoh yang membuat kita jatuh cinta di TKaM sekarang kebanyakan sudah tidak ada (entah sudah pindah atau meninggal dunia), atau berbeda dari yang kita ingat, atau bahkan tidak disebut sama sekali. Itu saja sudah membuat cukup ilfil.
Lalu, kekecewaan tentang perubahan Maycomb yang lain adalah isu rasisme dan diskriminasi yang diangkat di sini. Kalau di TKaM plot yang digunakan jelas, mengenai ketidakadilan terhadap penduduk kulit hitam, dibalut pesan moral dan kemanusiaan yang membumi, penuh drama namun tidak berlebihan. Nah di GSaW ini terus terang plotnya tidak jelas sama sekali. Memang ada isu pro segregasi dan kekhawatiran terhadap “melunjak” nya masyarakat kulit hitam yang menuntut persamaan hak. Dan sebenarnya isu ini – yang marak di akhir tahun 60-an sampai 70-an, terutama di belahan selatan Amerika Serikat – bisa diangkat menjadi kisah yang menarik. Apalagi untuk kita yang familiar dengan Maycomb dalam kisah TKaM, yang simpatik, meski tetap realistis.
Nah, sayangnya di sini Maycomb digambarkan terlalu getir. Bahkan Atticus pun tidak seperti yang kita kenal dulu. Dan parahnya, alasan mengapa semua orang berubah, disampaikan dengan terlalu bertele-tele dan sangat PREACHY. Sangat berbeda dengan gaya Atticus yang sudah familiar di TKaM dulu. Yang cool dan menohok.
Ditambah lagi, beban moral Jeane Louise pun tidak mengundang simpati. Kekecewaannya terhadap perubahan Maycomb tidak bisa membuat saya berpihak padanya juga, entah karena saya sedang denial akibat Atticus yang tidak sesuai ingatan saya, atau karena memang Jeane Louise sendiri tidak mengingatkan saya sama sekali dengan Scout yang charming, menyenangkan dan mudah mengundang simpati.
Satu-satunya hiburan di buku ini (yang menurut saya layak disematkan satu buah bintang sendiri), adalah beberapa adegan flashback Jeane Louise yang mengingatkannya akan penggalan kisah masa kecilnya dengan Jem dan Dill. Dari kisah-kisah ini, Jeane Louise seolah ingin terus mengingatkan dirinya bahwa ia tidak berubah, bahwa ia menjadi seperti ini karena Atticus, karena Maycomb yang dulu ia cintai. Hanya bagian inilah yang mampu membuat saya mengangguk-angguk setuju dengan Harper Lee.
Banyak yang menyayangkan mengapa manuskrip yang ditemukan puluhan tahun setelah ditulis Harper Lee ini harus diterbitkan. Karena meskipun mengambil setting setelah TKaM, justru Harper Lee menuliskan GSaW ini sebelum ia merampungkan dan menerbitkan GSaW. Mungkin karena itu jugalah semuanya serba setengah matang.
Saya sendiri nggak keberatan kok, kalau Atticus berubah jadi tidak likable, Maycomb berubah jadi getir, bahkan Jeane Louise berubah jadi sosok yang tampak asing. Tapi yang sangat saya tidak terima adalah gaya penceritaan yang setengah matang, yang serba menggantung, tidak ada pendalaman karakter yang tampak begitu piawai di TKaM, serta tidak ada elemen hangat dari tulisan Lee di sini. Seolah-olah ini hanyalah manuskrip kasar yang belum disempurnakan, yang akhirnya tertinggal di belakang karena Lee lebih berfokus pada TKaM. Dan pada akhirnya dipaksa untuk diterbitkan karena berbagai alasan – nilai komersial, historis – apapunlah itu.
Membaca buku ini mengingatkan saya saat saya membaca The Narrative of John Smith, yang digadang-gadang sebagai manuskrip pertama Conan Doyle, dan pada akhirnya malah mengecewakan pembacanya.
Kadang-kadang memang ada hal-hal yang sebaiknya disimpan saja dari dunia. Dan menurut saya, GSaW adalah salah satunya.