• About this blog
  • Clearance Sale!
  • Newbery Project
  • Popsugar Reading Challenge 2018
  • Previous Challenges
    • BBI Read and Review Challenge 2017
    • Challenges 2014
    • Challenges 2015
    • Lucky No.14 Reading Challenge
    • Lucky No.15 Reading Challenge
    • POPSUGAR Reading Challenge 2017
    • Twenty-Ten Challenge
    • Challenges 2012
    • Challenges 2013
  • Round Ups
  • The Librarian
  • What’s in a Name 2018

~ some books to share from my little library

Category Archives: adult

The Seven Husbands of Evelyn Hugo by Taylor Jenkins Reid

15 Tuesday Jan 2019

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

america, english, fiction, historical fiction, popsugar RC 2018, romance, twist ending, women

Judul: The Seven Husbands of Evelyn Hugo

Penulis: Taylor Jenkins Reid

Penerbit: Washington Square Press/Atria paperback edition (2018)

Halaman: 389p

Beli di: Book Depository (IDR 161,571)

Ada sesuatu yang mengasyikkan dan selalu membuat rasa ingin tahu terusik bila membahas tentang kisah selebriti. Tak terkecuali selebriti fiktif semacam Evelyn Hugo. Saya membayangkan Evelyn seperti Marylin Monroe, sex bomb legendaris yang terkenal bukan saja karena bakat aktingnya yang luar biasa, tetapi juga karena kisah personal hidupnya yang lebih dramatis dari film Hollywood.

Setelah bertahun-tahun dikelilingi skandal yang penuh misteri, akhirnya Evelyn berani buka-bukaan dan berniat menuangkan kisah hidupnya lewat buku biografi. Namun keputusannya memilih jurnalis tak terkenal, Monique Grant sebagai penulis biografinya, membuat semua orang terkejut, terutama Monique sendiri.

Namun meski bingung, Monique tak menyia-nyiakan kesempatan terjun ke dalam dunia glamor Evelyn, dan mengupas habis perjalanan hidup dan kariernya, serta terutama, kisah romansanya bersama ketujuh suaminya.

Mulai dari bintang Hollywood, sutradara hingga konglomerat, suami-suami Evelyn menyimpan kisah dan rahasia yang tak kalah mencengangkan, yang sedikit banyak mempengaruhi jalan hidup dan karier Evelyn, serta kesuksesannya menembus dunia gemerlap Hollywood. Kehidupan penuh drama Evelyn digambarkan dengan cukup meyakinkan di sini, yang mau tidak mau membuat saya berpikir mungkin memang seperti itulah kehidupan para selebriti Hollywood yang sebenarnya.

Pertanyaan utama yang berusaha diungkap Monique dari Evelyn adalah: siapakah cinta sejati Evelyn? Dan ada apa di balik keputusannya meminta Monique menulis salah satu buku paling fenomenal di abad ini?

Ini adalah pengalaman pertama saya membaca karya Taylor Jenkins Reid, and I have to admit that I was totally hooked! Reid memiliki gaya luwes yang tidak dimiliki banyak penulis, yang membuat kita langsung bisa masuk ke dalam ceritanya dan terlibat dengan semua karakter di dalamnya. Saya serasa sudah mengenal Evelyn dan dengan mudah mengikuti sepak terjangnya, mengagumi semangat dan ambisinya namun menyayangkan beberapa keputusan gegabahnya.

Karakter Evelyn (dan para suaminya) digambarkan dengan begitu kuat dan real, sampai-sampai saya jadi punya favorit tersendiri dengan sosok suami Evelyn. Namun sayangnya karakter Monique terlihat jadi memudar karenanya. Saya tidak terlalu peduli dengan Monique dan alasan di balik penunjukan dirinya sebagai sang biografer (meski kecurigaan saya tentang alasan ini terbukti benar). Reid sepertinya terjebak dalam kesalahan klise para penulis historical fiction yang menggunakan dua sudut pandang secara bergantian: terlalu fokus dengan karakter yang satu sehingga melupakan karakter satunya lagi.

Namun bagaimanapun, buku ini masih tetap amat sangat memikat dengan kecerdasannya, keluwesannya dan segala gosip dan skandal juicy yang berhasil dipaparkan dengan gemilang. Salah satu buku terbaik yang saya baca di tahun 2018, persilangan antara The Thirteen Tale dan Beautiful Ruins.

Submitted for:

Category: A book that’s published in 2018

 

Advertisements

The Memory Keeper’s Daughter by Kim Edwards

21 Wednesday Nov 2018

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 1 Comment

Tags

bahasa indonesia, bargain book!, drama, dysfunctional family, fiction, onreads publisher, popsugar RC 2018, secondhand books, terjemahan, twins

Judul: The Memory Keeper’s Daughter

Penulis: Kim Edwards

Penerjemah: Evi Setyarini

Penerbit: OnRead- Books Publisher

Halaman: 467p

Beli: @vixxio (IDR 15k)

Paul dan Phoebe lahir di malam penuh badai dalam kondisi yang tidak ideal. Namun jalan hidup mereka benar-benar berbeda karena keputusan fatal yang diambil oleh David, ayah mereka.

Saat mengetahui kalau Phoebe lahir dengan pembawaan Down Syndrome, David meminta perawat yang membantu kelahiran anak kembarnya, Caroline, untuk membawa Phoebe ke panti perawatan dan menyembunyikan kenyataan tersebut dari Norah, istrinya yang dalam keadaan  tidak sadar setelah proses melahirkan yang berat tersebut.

Namun nurani Caroline terketuk dan ia memutuskan untuk merawat Phoebe sendirian, pergi jauh dan menyembunyikan diri dari David. Caroline memulai hidup baru dan memganggap Phoebe sebagai anaknya sendiri, terlepas dari segala tantangan yang harus ia hadapi.

Sementara itu, David menyimpan rahasia tentang Phoebe dari Norah. Dan meski ia seringkali dirundung perasaan bersalah, ia tetap berpikir kenyataan yang sebenarnya justru akan lebih menyakitkan untuk Norah. Tanpa sadar, sikap David yang menyimpan rahasia dan memendam rasa bersalah justru sedikit demi sedikit membuat hubungannya dengan Norah menjadi jauh. Dan Norah yang putus asa dengan ketertutupan David akhirnya berusaha mencari kebahagiaannya sendiri.

Buku ini dipenuhi oleh banyak isu yang lumayan berat, mulai dari hak-hak penyandang keterbelakangan mental di era 60-70an, emansipasi perempuan hingga isu keluarga yang cukup menyentuh. Saya sendiri merasa bagian yang paling menarik adalah kisah tentang perjuangan Caroline dalam membesarkan Phoebe dengan segala tantangan yang ada.

Yang menjadi inti konflik adalah rahasia yang dipendam bertahun-tahun akan semakin sulit untuk diungkapkan, dan mau tidak mau saya jadi menyimpulkan kalau saja David bisa jujur dari awal maka tidak perlu ada konflik berkepanjangan yang akan menyakitkan semua pihak (tapi ya berarti nggak bakal ada buku ini, dong ya, hahaha). Karena kejujuran seberapa pun menyakitkan tetap lebih bisa ditanggung dibandingkan kebohongan yang disimpan sekian lama.

Sedikit yang saya sayangkan adalah kurangnya perspektif dari Paul, si saudara kembar yang juga menjadi korban dalam drama keluarga ini. Ada sih, bab-bab yang membahas tentang Paul, tapi menurut saya masih bisa digali lebih dalam lagi.

Saya membaca edisi terjemahan buku ini yang meski ada kesan kaku di sana sini tapi masih tetap bisa dinikmati. Namun saya jadi bertanya-tanya sendiri apa kabarnya ya penerbit yang menerbitkan buku ini? Sepertinya tidak pernah terdengar lagi kiprahnya (atau mungkin saya yg tidak mengikuti perkembangan penerbit lokal).

Kim Edwards merupakan salah satu penulis yang agak underrated menurut saya, gayanya mirip gaya bercerita Jodi Picoult namun dengan eksekusi yang lebih baik, tapi entah kenapa namanya kurang bergaung dibandingkan Picoult atau beberapa penulis drama kontemporer lainnya.

Saya merekomendasikan The Memory Keeper’s Daughter untuk yang menyukai kisah rahasia keluarga, drama domestik yang intens serta ending yang mengharu-biru 🙂

Submitted for:

Category: A book with characters who are twins

 

 

 

 

Here I Am by Jonathan Safran Foer

02 Friday Nov 2018

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 3 Comments

Tags

america, contemporary, dysfunctional family, english, epic/family, family saga, fiction, jonathan safran foer, race, religion, washington dc

Judul: Here I Am

Penulis: Jonathan Safran Foer

Penerbit: Picador (2017, Paperback First Edition)

Pages: 571p

Bought at: Politics and Prose, Washington, DC ( USD 17)

Here I Am berkisah tentang empat minggu penuh drama dan chaos dalam kehidupan keluarga Bloch. Jacob dan Julia Bloch terpaksa mengakui kalau pernikahan mereka berada di ujung tanduk. Konflik dan permasalahan yang menumpuk bertahun-tahun memuncak dan bereskalasi dengan cepat, di tengah kerumitan situasi yang mereka hadapi: persiapan Bar Mitzvah Sam si anak sulung, juga kedua anak laki-laki mereka yang lain, Max dan Benjy, yang masing-masing menyimpan masalah pelik.

Hal ini ditambah lagi dengan satu kejadian mengejutkan: gempa bumi besar terjadi di Israel, dan perang terancam pecah di tengah bencana alam tersebut di mana negara-negara Timur Tengah berebut mendapatkan sumber daya untuk bertahan hidup. Dan Israel, dengan segala arogansinya, tidak ingin berbagi sumber yang mereka miliki dengan negara di sekitarnya yang membutuhkan.

Bukan saja kakek Jacob adalah survivor holocaust (yang menyimpan masalahnya sendiri), atau ayahnya merupakan aktivis sayap kanan pro Israel yang kerap vokal menyuarakan opini kerasnya di Washington, DC tempat mereka tinggal, tapi saat tragedi tersebut terjadi, sepupu Jacob dari Israel sedang berkunjung ke DC, dan pergolakan ini memancing diskusi panas antara Jacob dan keluarganya tentang identitas mereka sebagai orang Yahudi, serta apa peran mereka terhadap masa depan Israel.

Buku ini adalah buku yang kompleks, penuh bahasan tema yang berat-berat, kontemplasi dan refleksi yang terkadang amat terkesan personal sehingga saya tidak bisa tidak bertanya-tanya apakah sosok Jacob sebenarnya adalah karakterisasi dari si penulis sendiri.

Topik mengenai identitas selalu menarik untuk dibaca, dan Jonathan Safran Foer, yang memang sangat ahli dalam genre semacam ini, berhasil merangkum semua kegalauan karakternya ke dalam satu kisah epik keluarga bercampur politik yang terasa dekat dengan kehidupan masa kini. Karakter-karakter dalam Here I Am, terutama Jacob, digambarkan dengan transparan dan real, membuat saya bisa berubah dengan cepat, kadang bersimpati tapi kadang jadi sebal padanya.

Dialog-dialog dalam buku ini amat witty meski terkadang terasa agak pretentious dan segmented. Dan memang, di beberapa bagian terdapat penuturan yang terlalu panjang, kadang malah seperti random rambling yang tidak jelas relevansinya terhadap keseluruhan kisah. Sebaiknya bersabar saja membaca bagian-bagian ini karena suka terselip humor segar atau komentar cerdas di antara paragraf-paragraf panjangnya.

Foer adalah satu dari sedikit penulis fiksi kontemporer yang karya-karyanya (meski tidak selalu fenomenal atau best seller) tetap konsisten dalam hal kualitas. Dan meski saya setuju tidak semua karyanya bisa dinikmati, saya tidak bisa berhenti kagum pada determinasinya berkarya dengan tema sulit namun dekat di kehidupan semacam pencarian identitas serta politik dan keluarga yang tak terpisahkan. Mungkin sedikit mengingatkan saya dengan gaya Jonathan Franzen, dalam konteks berbeda namun sepertinya berada dalam golongan yang hampir sama.

Meet the author!

Saya merasa amat sangat beruntung karena tahun lalu saat berkunjung ke Washington, DC untuk urusan pekerjaan, saya sempat melipir ke acara pembacaan buku Here I Am oleh si penulis, Jonathan Safran Foer, di toko buku Politics and Prose. Acaranya sendiri standar, Foer membacakan satu chapter dari bukunya sambil diselingi komentar-komentar sarkastik yang kocak. Karena setting cerita adalah di Washington, DC, Foer berkata kalau sesi readingnya kali ini memang istimewa karena berlokasi di kota yang sama.

Setelah reading, pengunjung dipersilakan antri untuk meminta book signing. Saya sempat ragu karena antriannya panjang banget… Tapi akhirnya saya mencomot buku dari rak dan ikut antri – ternyata posisi saya paling belakang, jadi di belakang saya tidak ada orang lain mengantri. Jadi saya cuek saja minta foto bareng (meski rada malu juga), hahaha… padahal sebelumnya tidak ada satupun yang minta foto bareng dengan Jonathan. What can I say? Once Asians, always will be Asians XD

Yang pasti, Jonathan Safran Foer adalah salah satu penulis super cool yang nggak perlu ngapa-ngapain juga udah keren. Hahahaha… aura smart dan wittynya bener-bener kuat. Yang so sweet adalah Foer ditemani oleh Ibunya di acaranya ini, jadi waktu saya minta foto bareng, dia langsung minta tolong ibunya untuk fotoin kita. LOL! Dan sedikit pelajaran buat saya yang agak tergagap-gagap saking groginya: Please prepare at least one brilliant thing to say in case you will meet with your idol!!!

Submitted for:

Category: A book with song lyrics in the title

The Gunslinger by Stephen King

30 Tuesday Oct 2018

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

bahasa indonesia, fantasy, fiction, Gramedia, horror, movie tie in, popsugar RC 2018, science fiction, series, terjemahan

Judul: The Gunslinger (Sang Gunslinger), The Dark Tower #1

Penulis: Stephen King

Penerjemah: Femmy Syahrani

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2016)

Halaman: 304p

Beli di: HobbyBuku (IDR 91k, disc 20%)

The Gunslinger merupakan buku pertama dari serial The Dark Tower, yang adalah salah satu masterpiece karya Stephen King. Di sini kita diperkenalkan kepada Roland Deschain, Gunslinger (penyandang pistol???) terakhir dari Gilead. Dunianya amat sangat sunyi, dan tujuan hidupnya cuma satu: memburu si lelaki berbaju hitam, iblis yang mampu membangkitkan orang mati dan memorakporandakan sisa dunia yang sudah sekarat ini. Apa yang terjadi sebelum dunia menjadi seperti ini, dikisahkan dengan amat perlahan melalui kilas balik memori si Gunslinger.

Namun dalam perjalanannya, Roland bertemu dengan beberapa karakter yang akan mengubah kehidupannya, meski tekadnya masih tetap sama: mengejar si lelaki berbaju hitam, dan mencapai destinasi terakhir, Menara Gelap, yang masih menjadi misteri hingga buku pertama ini selesai.

Menikmati Gunslinger haruslah dengan kehati-hatian, tidak perlu buru-buru apalagi berharap dengan adegan chaos dan twist yang terus menerus. Unsur ketegangannya tetap terasa, dan kadang hadir melalui kejutan penuh adegan gory yang tidak disangka-sangka. Bagaimanapun, Stephen King tetaplah rajanya kisah fiksi horor fantasi yang tidak tersaingi. Hanya saja dalam buku ini, terlihat sekali kemampuannya mengolah unsur tegang tadi dalam kisah yang sunyi dan lambat, bahkan kadang terkesan monoton. B

Bahasa yang digunakan juga banyak yang merupakan metafora yang kadang sulit dibedakan dari bagian yang ditulis dengan kalimat non metafora, saking absurdnya setting yang dipakai. Saya sendiri awalnya sangsi akan bisa menikmati The Gunslinger. Apalagi karena memang saya belum familiar sama sekali dengan serial Dark Tower, yang digadang-gadang sebagai karya terbesar King sepanjang kariernya.

Tapi ternyata, tanpa ekspektasi yang berlebih, saya malah bisa lumayan menikmati kisah Roland yang sunyi dan mencekam. Setting Gilead dan dunia aneh yang Roland tempati, awalnya memang bikin depresi karena kekelamannya dan nuansa tanpa harapan yang menguasai keseluruhan cerita. Namun belakangan, setelah mengenal Roland lebih dalam (meski sosoknya masih menyimpan banyak sekali misteri), saya mau tidak mau jadi bersimpati dengannya dan menyemangati tujuan pengejarannya (meski, sekali lagi, banyak misteri yang menyelubungi misi tersebut). Beberapa karakter yang ia temui di sepanjang perjalanannya, baik yang hanya singkat maupun yang cukup lama mendampinginya, juga membawa warna tersendiri yang membuat saya bertanya-tanya apakah mereka akan mempunyai peran lebih lanjut di seri berikutnya.

Bagaimanapun, The Gunslinger berhasil membuat saya tergelitik untuk menguak kisah Dark Tower lebih jauh, dan voila, buku kedua (yang juga sudah diterjemahkan oleh GPU) berhasil saya genggam. Pertanyaannya tinggal: kapan saya akan melanjutkan kisah petualangan Roland ya? ☺

The Movie

The Gunslinger diangkat ke layar lebar tahun 2017 lalu, dengan Idris Elba sebagai pemeran Roland, dan Matthew McConaughey sebagai si Lelaki Berbaju Hitam. Saya sendiri belum menonton film besutan Nicolaj Arcel ini, tapi berdasarkan beberapa review yang saya baca, sepertinya film ini kurang mendapatkan sambutan yang baik. Beberapa kritik mengatakan kalau film ini terlalu segmented, tidak bisa dimengerti oleh penonton yang belum membaca serial Dark Tower. Namun ada juga kritik yang mengatakan kalau film ini juga tidak memuaskan dari sudut pandang fans Stephen King dan Dark Tower.

Saya sendiri belum berminat menonton filmnya, meski cukup penasaran juga dengan sosok Idris Elba sebagai si Gunslinger 🙂

Submitted for:

Category: A book set on a different planet

 

The Mystery of the Blue Train by Agatha Christie

19 Friday Oct 2018

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

agatha christie, bahasa indonesia, british, classic, fiction, mystery, popsugar RC 2018, terjemahan, thriller

Judul: The Mystery of the Blue Train (Misteri Kereta Api Biru)

Penulis: Agatha Christie

Penerjemah: Ny. Suwarni A.S.

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2014, cetakan ke-9)

Halaman: 376p

Beli di: HobbyBuku (bagian dari bundel Agatha Christie)

Seumur hidupnya, Katherine bekerja keras menjadi pendamping wanita tua dan orang sakit. Namun nasib baik menghampirinya saat ia mendapatkan warisan yang lumayan dari wanita tua yang ia dampingi selama 10 tahun terakhir. Katherine bertekad ingin menggunakan uangnya untuk bepergian melihat-lihat tempat yang belum pernah dikunjunginya.

Perjalanan ke Riviera dengan Kereta Api Biru menjadi pilihannya, namun ia tak menduga sama sekali kalau perjalanan tersebut berubah menjadi petualangan yang mendebarkan.

Berawal dari pertemuannya dengan seorang lelaki misterius, pembicaraannya dengan perempuan kaya raya yang mendadak curhat padahal Katherine tidak mengenalnya sama sekali, pembunuhan mengejutkan di dalam kereta, permata-permata yang hilang, dan seorang detektif lucu bernama Hercule Poirot.

Bersama Poirot, Katherine tiba-tiba terlibat dalam penyelidikan pembunuhan wanita tersebut, yang ternyata menyimpan banyak rahasia dalam hidupnya. Hidup Katherine mendadak jadi penuh drama, belum lagi harus memilih di antara dua pria yang sama-sama jatuh cinta kepadanya- namun ada kemungkinan salah satu dari mereka adalah sang pembunuh!

Jangan berharap Misteri Kereta Api Biru akan sefenomenal, secanggih, dan semengejutkan Pembunuhan di Orient Express yang sama-sama mengambil setting cerita di kereta api mahal. Kisah misteri di kereta biru jauh lebih sederhana dan mudah ditebak, dengan penyelesaian yang menurut saya agak terlalu dipaksakan. Peran Poirot sendiri di sini agak kurang kuat, karena Christie tampak lebih ingin memusatkan fokus pada Katherine sebagai karakter utama.

Saya sendiri lumayan suka dengan Katherine yang digambarkan sebagai karakter perempuan muda mandiri yang mencari nafkah sendiri, satu hal yang cukup jarang terjadi di masa tersebut. Namun plot romans yang diselipkan jadi membawa alur kisah sedikit klise. Menurut saya, alangkah baiknya bila pada akhirnya Katherine tidak memilih salah satu dari laki-laki yang memujanya itu 🙂

Plot misterinya sendiri terasa agak familiar buat saya, dan memang agak mirip dengan salah satu cerita pendek yang pernah saya baca di buku Christie lainnya (Plymouth Express). Bahkan penyelesaiannya pun bisa dibilang hampir sama, hanya ada sempalan plot baru di sana-sini. Mengembangkan cerita pendek menjadi novel panjang memang bukan hal baru bagi Agatha Christie, karena ia pernah melakukannya beberapa kali.

Overall, a nice short read, bukan yang terbaik dari Christie namun masih bisa untuk dinikmati terutama bila tidak ingin dipusingkan oleh kasus yang terlalu rumit!

Setting alat transportasi

Selain Misteri Kereta Api Biru, Agatha Christie pernah menulis beberapa kisah dengan setting alat transportasi lainnya. Berikut beberapa di antaranya:

Death on The Nile

Berkisah tentang pembunuhan gadis muda dan cantik, Linnet Ridgeway, di atas kapal pesiar yang sedang menyusuri Sungai Nil. Untung ada Papa Poirot yang siap beraksi! Buku ini akan diangkat ke layar lebar dan rencananya rilis tahun 2020, dengan Gal Gadot sebagai Linnet. Can’t wait!

Death in the Clouds

Kali ini Christie nekat berimajinasi tentang pembunuhan di atas pesawat terbang – dengan panah beracun sebagai alatnya!! Agak terlalu fantastis, memang, tapi tidak mengurangi keseruan buku ini, apalagi saat Poirot, sebagai salah satu penumpang, sempat ikut dijadikan tersangka 😀

Murder on the Orient Express

Buku ini banyak disebut sebagai salah satu karya terbaik Christie, karena sangat out of the box. Sudah diangkat beberapa kali ke layar lebar, terakhir di tahun 2017 dengan Kenneth Branagh sebagai sutradara sekaligus pemeran Hercule Poirot.

Submitted for:

Category: A book with your favorite color in the title

Colorless Tsukuru Tazaki and His Years of Pilgrimage by Haruki Murakami

16 Tuesday Oct 2018

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

asia, coming of age, culture, english, fiction, japan, japanese, literature, popsugar RC 2018

Judul: Colorless Tsukuru Tazaki and His Years of Pilgrimage

Penulis: Haruki Murakami

Penerbit: Vintage (2014)

Halaman: 298p

Beli di: The Book Depository (USD 9,25)

Tsukuru Tazaki mempunyai empat orang sahabat di sekolah. Kebetulan, nama keempat sahabatnya sama-sama mengandung nama warna. Temannya yang laki-laki bernama Akamatsu (atau pinus merah), dan Oumi (atau laut biru). Sementara yang perempuan bernama Shirane (akar putih) dan Kurono (lapangan hitam).

Hanya Tazaki yang tidak memiliki elemen warna pada namanya.

Suatu hari, saat mereka sudah kuliah dan Tazaki pindah ke Tokyo, terjadi peristiwa yang mengejutkannya. Teman-temannya tiba-tiba memutuskan hubungan dengannya, dan mendadak tidak mau bertemu dengannya lagi tanpa alasan yang jelas.

Sejak saat itu, Tsukuru menjalani hari-harinya dengan datar, mengapung dan mengambang tanpa bisa menjalin hubungan yang bermakna dengan siapapun. Hingga akhirnya ia bertemu dengan Sara, yang berkeras agar Tsukuru mengkonfrontasi teman-temannya dari masa lalu dan mencari tahu apa yang terjadi bertahun-tahun yang lalu.

Colorless Tsukuru, bagi banyak fans Haruki Murakami, bukanlah hasil karya terbaik dari sang maestro. Tapi buat saya yang bisa dibilang bukan fans garis keras, buku ini mudah untuk diikuti dan cukup memiliki aura ‘kesunyian’ khas Murakami yang kental.

Saya tidak bisa tidak bersimpati dengan Tsukuru yang malang, yang sakit hatinya menimbulkan luka yang membekas bertahun-tahun, yang menjadi alasan utamanya tidak bisa percaya lagi dengan orang lain, dan tidak berani menjalin hubungan mendalam dengan siapapun, termasuk untuk jatuh cinta. Kesepian dan kehidupan mengapung tak bermakna dinilai Tsukuru lebih bisa tertahankan dibandingkan kemungkinan disakiti lagi hatinya.

Buku ini seolah menyuarakan isi hati para introvert- yang dengan susah payah mempercayakan hati mereka yang rapuh, untuk kemudian dihempaskan begitu saja sehingga menjadi pengalaman yang traumatis.

Saya juga suka dengan karakter Sara, yang begitu berbeda dari Tsukuru, namun tetap berusaha memahaminya.

Dan meski akhirnya Tsukuru tahu apa yang menjadi alasan teman-temannya memutuskan hubungan dengannya bertahun-tahun lalu, itu tidaklah terlalu penting lagi. Yang lebih penting apakah Tsukuru masih mau memanfaatkan sisa hidupnya untuk membuka hati kembali?

Setting Tokyo masih menjadi kekuatan utama kisah Murakami ini. Hiruk pikuk kota yang sangat kontras dengan isi apartemen para penghuninya yang begitu sunyi, mampu digambarkan Murakami dengan begitu gamblang. Saya jadi bisa ikut gelisah bersama Tsukuru, merasakan hatinya yang hampa namun jadi frustrasi sendiri karena tidak bisa berbuat apa-apa baginya.

Tokyo (selain New York) mungkin menjadi salah satu tempat paling baik, paling menakutkan, dan paling menggugah, untuk kisah-kisah mengenai pencarian jati diri dan pertemuan titik-titik penting dalam kehidupan. Dan kisah Tsukuru berhasil mengukuhkan hal tersebut.

Submitted for:

Category: A book set in a country that fascinates you

The Lock Artist by Steve Hamilton

11 Thursday Oct 2018

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

action, america, crime, english, fiction, heist, mental health, popsugar RC 2018, psychology, suspense, thriller

Judul: The Lock Artist

Penulis: Steve Hamilton

Penerbit: Orion Paperback (2011)

Halaman: 408p

Beli di: Betterworldbooks.com (USD 7.98, dics 20%)

Miracle Boy adalah julukan yang diberikan publik pada Michael, akibat suatu tragedi mengerikan yang dialami keluarganya saat ia kecil, dan ia adalah satu-satunya korban yang selamat.

Namun sejak kejadian tersebut, Michael tidak bisa bicara. Berbagai terapi dan konsultasi psikologis sudah ia jalani, tapi tetap saja- pita suaranya seolah berhenti untuk berfungsi.

Di tengah kesunyian hidupnya, Michael menemukan bakat tersembunyi yang tak terduga: ia bisa membuka kunci apapun; dari mulai gembok sederhana hingga brankas yang super rumit. Keahliannya ini sayangnya memancing gerombolan penjahat untuk memanfaatkannya, dan kejadian demi kejadian akhirnya malah menjerumuskan Michael ke sindikat kejahatan berbahaya yang mengancam kehidupannya dan orang-orang yang disayanginya. Michael berusaha melarikan diri dan bersembunyi- namun ia harus melakukan suatu pekerjaan terakhir, pekerjaan membongkar kunci yang paling berbahaya dan beresiko tinggi yang pernah ia hadapi.

Saya lupa siapa yang merekomendasikan buku ini pada saya- mungkin saya membaca reviewnya di salah satu blog atau website buku. Yang pasti, saya tidak pernah membaca buku karya Steve Hamilton sebelumnya, jadi saya tidak punya ekspektasi apa-apa terhadap buku ini.

Ternyata, Hamilton mampu menghipnotis saya lewat gaya penulisannya yang lancar dan tidak bertele-tele. Michael adalah karakter utama yang mudah mengundang simpati (meski ada beberapa keputusannya yang cukup bodoh), dan buku ini semakin enak untuk diikuti setelah saya merasa terhubung dengan Michael.

Salah satu kunci utama keberhasilan buku bergenre mystery, thriller atau crime, adalah kemampuan sang penulis untuk membuat kisahnya bisa dipercaya. Meyakinkan pembaca bukanlah hal yang mudah, dan inilah yang berhasil dilakukan oleh Hamilton dalam The Lock Artist. Penjelasannya tentang kehidupan sindikat para penjahat, serta penjahat freelance seperti Michael, dituturkan dengan cukup meyakinkan, dan detail tentang cara-cara menbuka kunci dan gembok mengasyikkan untuk diikuti (meski menurut si penulis, ia mengabaikan beberapa detail penting yang menjadikan deskripsinya tidak mungkin diikuti oleh para calon penjahat yang terinspirasi ingin mengikuti jejak Michael).

Secara keseluruhan, Steve Hamilton berhasil memikat saya. Meski tokoh Michael menurut saya masih terlalu muda mengingat kisah ini lumayan banyak mengulas topik yang sebenarnya lebih cocok untuk pembaca dewasa, namun hal ini sesekali malah menimbulkan efek simpati yang mungkin memang menjadi tujuan Hamilton menciptakan karakter berusia 18 tahun yang juga prodigy sindikat para penjahat. Sepertinya buku jni bisa dipertimbangkan oleh Hollywood untuk diangkat ke layar lebar!

Submitted for:

Category: A book involving a heist

How to Find Love in a Bookshop by Veronica Henry

01 Monday Oct 2018

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

book about books, bookstore, chicklit, english, fiction, popsugar RC 2018, romance, secondhand books, women

Judul: How to Find Love in a Bookshop

Penulis: Veronica Henry

Penerbit: Orion Books (2016)

Halaman: 322p

Beli di: @Balibooks (IDR 85k)

Nightingale Books adalah mimpi setiap pencinta buku. Terletak di kota kecil Costwold, toko buku ini merupakan tempat persinggahan para penduduk kota yang ingin mencari keajaiban dunia lain lewat koleksi bukunya yang luar biasa.

Setelah sang pemilik yang simpatik, Julius Nightingale, meninggal dunia, maka terserah puteri satu-satunya, Emilia, apakah ia mau meneruskan warisan ayahnya tersebut, atau menjual Nightingale Books dan melanjutkan hidupnya di tempat lain.

Dalam pergumulannya, Emilia bertemu dengan para penduduk kota yang selama ini memiliki ikatan khusus dengan toko buku ayahnya. Ada Sarah, pemilik Peasebrook Manor yang menyimpan rahasia besar tentang hatinya, Jackson yang sedang mengalami masalah dengan pasangannya dan berharap mendapat nasihat dari Emilia tentang dunia buku yang masih asing baginya, juga Thomasina, si pemalu yang tak disangka-sangka bertemu dengan seseorang di Nightingale Books yang akan mengubah hidupnya.

Memutuskan apa yang harus ia lakukan dengan Nightingale Books bukanlah sesuatu yang mudah bagi Emilia. Meski ia menyukai toko itu dan ingin menghargai warisan ayahnya, ternyata kondisi finansial Nightingale Books tidak baik, dan banyak yang harus dipertaruhkan oleh Emilia jika ia ingin mempertahankan toko tersebut. Dengan bantuan beberapa kenalan barunya, Emilia pun masuk ke dalam perjalanan yang akan menentukan bukan saja hidupnya maupun keberlangsungan Nightingale Books, tapi juga hubungan antar penduduk di kota kecil mereka.

Saya bukanlah penggemar kisah romans, tapi saya selalu lemah kalau berhadapan dengan kisah romans yang memiliki setting buku atau toko buku.

Tidak ada yang terlalu istimewa dengan kisah Emilia dan Nightingale Books- sedikit klise malah, bagaimana cara mempertahankan toko buku di tengah dunia yang sudah tidak lagi menempatkan buku sebagai prioritas utama, dan bagaimana dalam perjalanan tersebut ia bertemu dengan beragam orang yang akan memengaruhi kehidupannya.

Karakter-karakter dalam buku ini juga tidak terlalu memorable. Tidak ada yang terlalu berkesan, dan meski ada beberapa subplot kisah romans di sini, tidak ada yang benar-benar bisa membuat saya rooting for a specific couple.

Namun Veronica Henry berhasil menciptakan atmosfer yang hangat melalui Nightingale Books, lengkap dengan detail tentang buku-buku, dan yang tak kalah menarik, segi-segi bisnis dalam menjalankan toko buku, satu hal yang seringkali dilupakan oleh penulis yang mengambil setting toko buku untuk ceritanya. Dalam buku ini, kita seolah diajak untuk berandai-andai bagaimana bila kita diberi kesempatan untuk mengelola toko buku. Tidak semuanya mudah dan indah, mengingat toko buku juga merupakan bentuk bisnis yang penuh detail rumit seperti neraca keuangan dan profit. Dan karena Emilia juga buta mengenai hal-hal ini, seru juga belajar bersama-sama dia tentang bagaimana mengelola toko buku. Siapa tahu suatu saat nanti kita mendapat kesempatan yang sama dengannya 😀

How to Find Love in a Bookshop saya rekomendasikan untuk yang menyukai kisah sejenis seperti The Storied Life of AJ Fikry, The Little Paris Bookshop atau The Bookshop on the Corner. A sweet, bookish story that celebrates books, love, and booklovers.

Submitted for:

Category: A book that involves a bookstore or library

Lethal White by Robert Galbraith

28 Friday Sep 2018

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

british, contemporary, english, fiction, mystery, mystery/thriller, popsugar RC 2018, series, twist ending

Judul: Lethal White

Penulis: Robert Galbraith

Penerbit: Mulholland Books/Little, Brown and Company (2018, first edition)

Halaman: 650p

Beli di: Periplus.com (IDR 204k)

Cormoran Strike is back!!!!! Setelah menunggu 3 tahun lebih, akhirnya Robert Galbraith aka JK Rowling menelurkan petualangan terbaru detektif Inggris ini.

Kali ini, Strike dan Robin (partnernya) terlibat dalam misteri aneh yang berawal dari kunjungan seorang pemuda (yang sepertinya memiliki kelainan mental) bernama Billy, yang berkeras ia telah menyaksikan pembunuhan bertahun-tahun yang lalu. Namun belum sempat Strike bertanya lebih lanjut, Billy sudah menghilang.

Tak disangka, penelusuran Strike mencari Billy membawanya ke permasalahan yang semakin rumit, termasuk: Menteri Kebudayaan yang tak disangka-sangka memiliki hubungan dengan keluarga Billy, pemerasan yang berakar jauh di masa lalu, keluarga aristokratik Inggris yang menyimpan rahasia kelam, dan pembunuhan misterius yang terjadi di masa lampau maupun masa kini. Mampukah Cormoran dan Robin mengungkap si pembunuh sebelum korban bertambah lagi?

Yang menambah seru kisah ini adalah bagaimana Galbraith memadukan kasus yang ditangani oleh Strike dan Robin dengan kehidupan pribadi mereka masing-masing. Kisah diawali langsung dari ending buku sebelumnya, Career of Evil, di mana Robin diceritakan baru akan menikah dengan tunangannya, Matthew. Dan di buku Lethal White, kita diajak menelusuri kehidupan Robin saat ia berusaha mempertahankan pernikahannya. Sementara itu, Strike juga bergelut dengan masalah pribadinya, tantangan menjalin hubungan baru dengan seorang perempuan, dan bahkan kehadiran perempuan dari masa lalunya yang ikut merumitkan suasana.

Menurut saya, Lethal White adalah buku Cormoran Strike terbaik sejauh ini. Galbraith berhasil menemukan formula yang cukup pas untuk menyajikan misteri rumit, dengan action yang lumayan seru, tanpa kehilangan pace untuk memperdalam ulasan karakter-karakter utamanya, terutama hubungan mereka satu sama lain. Saya masih berharap Robin dan Cormoran akan menjadi lebih dari sekadar partner kerja, tapi saya juga bersyukur karena Galbraith sepertinya memutuskan untuk menangani isu ini perlahan-lahan, tidak terburu-buru dan menunggu waktu yang tepat.

Dari segi penulisan kisah misterinya, saya juga merasa Galbraith menunjukkan kemajuan yang menyenangkan dibandingkan buku-buku sebelumnya. Misterinya disusun rumit tapi cukup apik, tidak terlalu bertele-tele, meski topik yang diangkat lumayan banyak dan berat, sehingga perlu ketelitian dalam mengikuti jalinan ceritanya. Red herring yang ada juga tidak mengganggu kisah secara keseluruhan, dan penyelesaian kasus termasuk cukup memuaskan dan meyakinkan.

Yang juga saya suka, Galbraith mengulik suka dukanya menjadi agen detektif swasta, termasuk rumitnya mengatur keuangan, membagi tugas (karena pasti ada lebih dari satu kasus yang ditangani dalam satu waktu), hal-hal yang membosankan seperti membayar bill dan merekrut agen freelance – pokoknya berhasil membuat saya jadi lebih mengerti susahnya membangun agen detektif sendiri. Cukup menarik juga sebenarnya.

Memang Galbraith masih memakai cara lamanya saat Strike menjelaskan pemecahan masalah pada Robin dan kita (pembaca) tidak diberi tahu apa yang mereka bicarakan. Ini adalah salah satu gaya penulisan kisah misteri yang paling tidak saya suka, alih-alih memberikan petunjuk supaya kita bisa ikut berpikir, ini malah hanya memberi info kalau si detektif sudah berhasil menemukan jawaban, tapi membiarkan kita dalam kegelapan saja. Untungnya, Glabraith sangat mengurangi metode ini sehingga tidak semengganggu buku sebelumnya.

Galbraith juga mulai menemukan cara yang cukup enak untuk membuka jawaban misteri di akhir buku, meski eksekusinya masih agak kurang halus. Buat saya, cara pengungkapan jawaban atau pemecahan kasus adalah salah satu unsur terpenting dalam buku-buku thriller atau misteri, karena kalau tidak hati-hati, kisah yang sudah disusun dengan baik bisa berakhir menjadi antiklimaks. Syukurlah Galbraith semakin ahli dalam menangani hal tersebut, sehingga saya bisa merasa puas saat buku ini selesai.

Pertanyaan selanjutnya: kapan ya kira-kira buku keempat terbit? 😀

Pub hopping with Cormoran and Robin

Salah satu hal yang mengasyikkan dari buku-buku Cormoran Strike adalah bagaimana Galbraith menjelaskan secara detail tempat-tempat Cormoran atau Robin nongkrong; baik untuk meeting atau interview para saksi dan tersangka. Setting yang digunakan memang semuanya merupakan  tempat asli yang ada di London, dan namanya disesuaikan dengan nama yang digunakan di tahun saat kisah berlangsung (dalam Lethal White, settingnya adalah tahun 2012 menjelang Olimpiade di London).

Inilah beberapa tempat seru yang tampil di buku ini:

Pratt’s

Pratt’s adalah salah satu dari sedikit gentlemen’s club yang masih tersisa di London. Kalau rajin membaca buku Agatha Christie atau Sherlock Holmes, pasti sudah familiar dengan club semacam ini yang memang populer di periode 1800-1900an. Ternyata, di era milenial seperti sekarang, masih tersisa gentlemen’s club, salah satunya Pratt’s. Terletak di sebuah gedung tua di Park Place, Pratt’s memiliki jumlah anggota 600 orang, namun hanya bisa mengakomodir 14 tamu di ruang makannya. Dalam Lethal White, Cormoran sempat makan siang di klub ini karena diajak oleh sang Menteri Kebudayaan. Sedangkan JK Rowling sendiri bisa masuk ke klub ini karena diundang oleh teman-temannya.

Nam Long Le Shaker

Berlokasi di area Kensington, Nam Long Le Shaker adalah kombinasi bar dan restoran Vietnam yang sudah terkenal sejak tahun 80-an. Namun dekorasi interiornya malah terinspirasi dari gaya kolonial Prancis. Robin menginterview salah satu saksi di kasus Lethal White di buku ini, dan melanggar janjinya untuk tidak minum alkohol saat sedang bekerja menangani kasus 😀

The Tottenham

Saat kisah Lethal White berlangsung, yaitu tahun 2012, bar favorit Cormoran ini masih menyandang nama lamanya, yaitu The Tottenham. Namun sejak tahun 2015, namanya sudah berganti menjadi The Flying Horse. Bar ini menjadi tempat favorit Cormoran untuk minum bir kesukaannya, sambil berkontemplasi tentang kasus yang sedang ditanganinya.

Cheyne Walk Brasserie

Restoran Prancis ini berlokasi di Chelsea dan menjadi tempat terakhir Strike bertemu dengan kliennya. Karenanya ia tidak ragu memesan menu yang mahal XD Suasana chic dan fancy sepertinya memang pas dengan klien Strike yang berasal dari kalangan atas Inggris 🙂

Submitted for:

Category: A book with a female author who uses a male pseudonym

 

Magpie Murders by Anthony Horowitz

25 Tuesday Sep 2018

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

book about books, british, english, fiction, murder mystery, mystery, popsugar RC 2018, puzzle, thriller, whodunnit

Judul: Magpie Murders

Penulis: Anthony Horowitz

Penerbit: Orion (paperback edition, 2017)

Halaman: 234p

Beli di: The Book Depository (IDR 116,584)

Alan Conway adalah seorang penulis kisah misteri terkenal, yang menciptakan tokoh detektif legendaris, Atticus Pund.

Novelnya yang terakhir berjudul Magpie Murders, yang siap untuk direview oleh editornya, Susan Ryeland. Susan sendiri menjadi narator utama kisah ini, yang memperingatkan kita, pembaca, tentang betapa Magpie Murders bukanlah buku biasa, dan sudah mengubah total hidupnya.

Kita pun diajak masuk menelusuri kisah Magpie Murders, dan pembunuhan (atau kecelakaan?) yang terjadi di desa Saxon-on-Avon. Atticus Pund menyelidiki petunjuk demi petunjuk dan hampir berhasil mengungkap siapa pembunuh sesungguhnya, namun sayangnya bab terakhir Magpie Murders menghilang. Susan tentu saja tidak puas, apalagi karena kisah tersebut sedang seru-serunya.

Lebih parah lagi, Conway ditemukan meninggal dunia di rumahnya, dan bos Susan, Charles, menerima surat perpisahan dari Conway yang mengungkapkan alasannya bunuh diri.

Susan merasa ada yang janggal dengan semua kejadian ini. Conway yang ia kenal bukanlah orang yang memiliki kecenderungan bunuh diri- apalagi kariernya sukses dan ia baru akan menerbitkan buku yang fenomenal. Lalu, ke mana halaman-halaman manuskrip buku tersebut menghilang, dan apakah ada hubungannya dengan kematian Conway?

Magpie Murders adalah satu lagi karya jenius dari Anthony Horowitz, yang hingga saat ini belum berhasil mengecewakan saya lewat kemampuannya menciptakan jalinan kisah yang rumit, menggigit dan penuh kejutan tak terduga. Susan berperan sebagai detektif amatir di sini, dan bagaimana ia mencocokkan misteri di dalam buku dengan misteri sesungguhnya yang ia hadapi, adalah salah satu daya tarik utama kisah ini. Buku di dalam buku, misteri di dalam misteri- adalah salah satu tema favorit saya yang untungnya berhasil dipaparkan dengan gemilang oleh Horowitz.

Kepingan demi kepingan puzzle dipasangkan dengan hati-hati, dan Horowitz mengajak kita pembaca ikut bermain mencari petunjuk bersama Susan, menebak-nebak bagaimana kisah ini berakhir, dan bagaimana dua misteri besar akan menyatu dalam jawaban yang mengejutkan.

Anthony Horowitz, yang juga menjadi penulis pastiche buku-buku Sherlock Holmes dengan keberhasilan yang luar biasa, adalah salah satu penulis kisah misteri terbaik saat ini. Kemampuannya mengolah ide yang unik, dengan karakter dan setting yang seringkali menjadi homage bagi kisah whodunit klasik, serta tidak lupa twist tak terduga namun masuk akal, yang seringkali mengecoh pembaca, merupakan kekuatan utamanya yang mengingatkan saya pada Agatha Christie. Salah satu impian saya adalah suatu hari nanti Horowitz akan menulis pastiche Hercule Poirot, karena terus terang saja saya cukup kecewa dengan Sophie Hannah yang sudah memorakporandakan kisah detektif Agatha Christie ini. Namun mau tahu apa jawaban Horowitz?

Super LOL 😀

Submitted for:

Category: A book with alliteration in the title

← Older posts

From the bookshelf

Categories

Looking for Something?

Enter your email address to follow Books to Share and receive notifications of new posts by email.

Join 941 other followers

Currently Reading

I’m a Proud Member! #BBI 1301004

Wishful Wednesday Meme

Fill your Wednesdays with wishful thinking =)

Popsugar Reading Challenge 2018

What’s in a Name 2018

bookworms

  • aleetha
  • althesia
  • alvina
  • ana
  • annisa
  • bzee
  • dewi
  • dion
  • fanda
  • Ferina
  • helvry
  • inne
  • Kobo
  • maya
  • mei
  • melmarian
  • mia
  • ndari
  • nophie
  • oky
  • peri hutan
  • ren
  • Reygreena
  • sel sel kelabu
  • sinta
  • tanzil
  • tezar
  • yuska

shop til you drop

  • abe books
  • Amazon
  • better world books
  • book depository
  • BukaBuku
  • Buku Dedo
  • bukukita
  • vixxio

Top Posts & Pages

  • Istanbul: Kenangan Sebuah Kota by Orhan Pamuk
    Istanbul: Kenangan Sebuah Kota by Orhan Pamuk
  • China Rich Girlfriend (Kekasih Kaya Raya) by Kevin Kwan
    China Rich Girlfriend (Kekasih Kaya Raya) by Kevin Kwan
  • Lima Sekawan - The Series
    Lima Sekawan - The Series
  • Harry Potter dan Batu Bertuah
    Harry Potter dan Batu Bertuah
  • The Glass Castle by Jeannette Walls
    The Glass Castle by Jeannette Walls

Recent Comments

The Seven Husbands o… on Beautiful Ruins by Jess W…
Turtles All The Way… on The Fault in Our Stars
Turtles All The Way… on Will Grayson, Will Grayso…
Kumpulan Sinopsis Da… on Lucky No. 15 Reading Chal…
sunkyuuu on Birthday Bash Giveaway Wi…
Advertisements

Blog at WordPress.com.

Cancel
Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy