Mio Anakku by Astrid Lindgren

Tags

, , , , ,

Judul: Mio Anakku

Penulis: Astrid Lindgren

Penerjemah: Purnawati Olsson

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2005)

Halaman: 188p

Beli di: Bukumoo 123 (Facebook page)

Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir saya membaca karya Astrid Lindgren. Yang paling membuat terkesan tentu saja adalah serial Pippi Longstocking yang menjadi favorit saya sejak kecil. Kali ini, Lindgren menciptakan sebuah dunia fantasi Negeri Nun Jauh. Tak disangka, Mio yang adalah anak yatim piatu dan sejak kecil tinggal bersama paman dan bibinya yang culas di kota Stockholm, ternyata merupakan putera mahkota yang sudah lama hilang dari Negeri Nun Jauh.

Untunglah, suatu hari Mio diberi kesempatan untuk pulang ke negaranya, dan berjumpa dengan ayah yang sangat dikasihinya. Untuk pertama kali seumur hidupnya, Mio bisa merasakan indahnya dicintai sang ayah, tinggal di negeri yang indah, dan memiliki teman-teman baru, termasuk Jum-Jum yang menjadi sahabat baiknya.

Namun, Mio amat terkejut ketika menyadari takdirnya sebagai putera mahkota adalah melawan Kesatria Kato, yang merupakan musuh bebuyutan Negeri Nun Jauh dan sudah sangat banyak menimbulkan kekacauan, kesedihan, dan penderitaan rakyatnya. Meski sadar misinya amat berbahaya, Mio bertekad tidak akan mundur, dan membuktikan kalau ia mampu menjadi putera mahkota sejati Negeri Nun Jauh.

Tidak seperti kisah Pippi, kisah Mio jauh lebih sendu, penuh dengan drama dan adegan yang lumayan serius untuk ukuran buku anak. Misalnya saja tentang anak-anak yang diculik oleh Kesatria Kato dan berubah menjadi burung. Juga beberapa karakter lain yang terimbas kekejaman sang Kesatria jahat dan mengalami penderitaan yang menyedihkan.

Tapi secara keseluruhan, kisah Mio yang terbilang kisah klasik (sang terpilih – misi rahasia – pertarungan akhir) cukup bisa dinikmati, terutama kalau kangen dengan kisah fantasi sebelum era modern Harry Potter, yang cukup sederhana, straightforward tapi tetap memorable.

As usual, Astrid Lindgren never disappoints 🙂

Rating: 3.5/5

Recommended if you like: children’s classics, Harry Potter-esque storylines, simple fantasy land

Submitted for:

Category:A book by an author with the same initials as you

Puddin’ by Julie Murphy

Tags

, , , , , , , ,

Judul: Puddin’

Penulis: Julie Murphy

Penerbit: Balzer + Bray (2018, Kindle edition)

Halaman: 437p

Beli di: Amazon.com (USD 5)

Puddin’ adalah kelanjutan buku Dumplin’ yang sudah sempat diadaptasi menjadi film Netflix. Di buku kedua ini, kisah masih berkisar seputar persahabatan cewek-cewek di kota Clover City di Texas. Bila sebelumnya Willowdean yang menjadi karakter utama, kali ini Millie (yang menjadi runner up Clover City pageant di buku pertama) yang menjadi salah satu naratornya. Namun, kisahnya juga diselingi oleh sudut pandang Callie, yang sempat nongol di buku Dumplin’ sebagai salah satu karakter antagonis.

Millie, yang sibuk merencanakan karier, sambil mencari cara untuk meyakinkan ibunya kalau ia tidak perlu ikut program diet lagi, dipertemukan dengan Callie, cewek populer yang tiba-tiba mendapat masalah besar dan dikeluarkan dari grup dance sekolah. Keduanya menjalin pertemanan yang tidak mereka duga sebelumnya, dan sedikit demi sedikit belajar memahami dan menghargai perbedaan di antara mereka.

Saya malah merasa lebih menyukai Puddin’ daripada Dumplin’. Keduanya masih mengangkat isu body positivity dan membawa suara kuat dari fat lead. Tapi Millie jauh lebih likable dibandingkan dengan Willowdean, dan permasalahan hidupnya pun lebih relatable. Selain itu, empati yang ia tunjukkan pada Callie juga membantu saya untuk bisa lebih mudah menyukai Callie, dan banter antar mereka pun terasa effortless dan menyenangkan untuk diikuti.

Julie Murphy termasuk penulis konsisten yang selalu menjadi representatif perempuan gemuk yang menormalisasi body positivity dan gerakan self love. Dan suara hari Millie tersampaikan jelas di sini, membuat saya lebih bisa memahami isu-isu yang ia hadapi sebagai remaja perempuan dengan berat badan berlebih. Diet bukanlah jawaban dari segalanya, dan ada sosok yang jauh lebih menarik dibanding facade penampilan yang kerap dinilai orang sebagai kesan pertama.

Rating: 4/5

Recommended if you like: unusual YA protagonist, romance with fat lead, relatable heroine

Submitted for:

Category: A romance with a fat lead

The Night Shift by Alex Finlay

Judul: The Night Shift

Penulis: Alex Finlay

Penerbit: Minotaur Books (Kindle Edition)

Halaman: 368p

Beli di: Amazon.com (USD 1.99, bargain!)

Pembunuhan itu terjadi di malam tahun baru 1999. Ketika seisi kota dihebohkan dengan isu Y2k dan pesta akhir tahun, tragedi terjadi di Blockbuster Video di Linden, New Jersey. Empat remaja perempuan yang bekerja di sana menjadi korban serangan maut. Hanya satu orang yang bertahan.

Kasus tersebut tidak pernah menemukan penyelesaiannya, dan lima belas tahun kemudian, pembunuhan yang sangat mirip terjadi kembali, kali ini korbannya adalah karyawan kedai es krim lokal di Linden, dan hanya satu penyintas yang selamat.

Kita dibawa menyusuri kasus ini lewat tiga orang karakter: penyintas kasus Blockbuster yang kini berprofesi sebagai konselor, adik laki-laki dari tersangka pembunuhan Blockbuster, dan agen FBI yang sedang hamil besar. Masing-masing memiliki kepentingan untuk menemukan pelaku pembunuhan kedai es krim, yang mereka yakin masih berhubungan dengan kasus Blockbuster.

The Night Shift memiliki momen-momen yang cukup seru dan intriguing, dan termasuk buku fast paced yang bisa dibaca dalam waktu singkat. Namun kelemahannya adalah karakter-karakternya yang kurang believable, weak dan tidak konsisten. Jadi suka gemas juga terutama saat ketiga karakter ini mengambil keputusan-keputusan konyol yang patut dipertanyakan.

Namun, twistnya cukup mengejutkan, meski mungkin sebagian pembaca bisa menebak sejak pertengahan buku. Ini pertama kalinya saya membaca buku karya Alex Finlay, jadi tidak bisa membandingkan dengan buku-buku sebelumnya. Tapi, saya masih tertarik mencoba membaca karya-karyanya yang lain.

Rating: 3.5/5

Recommended if you like: small town setting, twisted ending, multiple POVs, serial killer vibes, fast paced read

Submitted for:

Category: Advanced: A book about a holiday that’s not Christmas

Hell of a Book by Jason Mott

Tags

, , , , , , , ,

Judul: Hell of a Book

Penulis: Jason Mott

Penerbit: Dutton (2021)

Halaman: 323p

Beli di: Periplus BBFH (200k)

Seorang penulis kulit hitam (yang namanya tidak pernah disebut sepanjang buku), sedang melakukan tur keliling Amerika dalam rangka promosi bukunya yang terbaru. Namun di sela-sela turnya yang padat, sang novelis kerap dikunjungi oleh seorang anak laki-laki yang dia sebut The Kid, yang tampak amat familiar namun ia tidak ingat pernah bertemu anak itu di mana. Apakah The Kid benar-benar karakter yang nyata, atau hanya rekaan imajinasinya belaka? Sementara itu, suasana di Amerika juga kian memanas, karena banyaknya kasus kekerasan oleh polisi terhadap orang kulit hitam, yang bahkan sudah mengakibatkan kematian.

Lepas dari si novelis, kita diajak untuk bertemu dengan Soot, seorang anak kulit hitam yang tidak jelas asal-usulnya, hidup di daerah rural Amerika, dan memiliki masa kecil yang keras. Apa hubungan Soot dengan The Kid atau si novelis, menjadi tanda tanya besar yang berusaha dijawab melalui buku ini.

A Hell of a Book adalah salah satu buku dengan storytelling paling unik yang pernah saya baca – vague, dengan batas yang amat longgar antara fiksi dan realita. Karakter utamanya, meski tak bernama, namun terasa amat relatable, dan kita bisa merasakan strugglenya di masa lalu, masa kini, dan masa depan, serta hubungannya dengan racial wokeness di Amerika. Bagaimana ia menghadapi ketakutan dan kebingungannya sebagai orang kulit hitam yang sukses (namun seringkali merasa tercerabut dari akarnya sendiri), menjadi tema utama novel ini, diselingi oleh banyak adegan maju-mundur dengan karakter yang terlihat fiksional namun amat familiar.

Menurut saya, ini adalah buku yang masuk ke kategori “showing” dan bukan “telling”, memberikan ruang pada pembaca untuk menginterpretasikan sendiri makna kisah dan konflik yang dialami oleh karakter-karakternya. Plusnya adalah, tidak ada kesan judging dan preaching sedikitpun dari buku ini, meski temanya sendiri termasuk yang berat dan sensitif. Namun minusnya, terkadang saya jadi bingung sendiri, sebenarnya mau dibawa ke mana cerita buku ini, dan vagueness nya banyak menimbulkan kesan ambigu yang membuat saya ingin bertanya banyak hal pada Jason Mott XD

A great book to be discussed in a book club or with other readers, for sure.

Rating: 4/5

Recommended if you like: unusual storytelling, books with free interpretations, important issues without sounding preachy

Submitted for:

Category:  A book with two POVs

The City We Became by N.K. Jemisin

Tags

, , , , , , , ,

Judul: The City We Became

Penulis: N.K. Jemisin

Penerbit: Orbit (2020, Kindle Edition)

Halaman: 464p

Beli di: Amazon.com (USD 6)

Apa jadinya kalau kota-kota di dunia memiliki inti yang merupakan perwujudan manusia? New York City, misalnya, yang terdiri dari 5 borough (area), terdiri dari 5 orang manusia perwakilan masing-masing borough, ditambah dengan 1 orang yang merupakan perwujudan kota New York itu sendiri.

Manhattan diwakili oleh laki-laki dengan latar belakang kurang jelas dan berorientasi pada uang. Brooklyn adalah politisi perempuan kulit hitam yang berjuang melawan gentrifikasi di areanya. Bronx diwakili oleh perempuan queer yang juga seorang artis. Queens adalah pendatang keturunan Asia yang sebenarnya tidak ada niat menetap di New York. Sedangkan Staten Island, yang seringkali dianggap tidak cukup New York, diwakili oleh perempuan kulit putih kuper, yang selalu takut pada “main island” dan hidup di tengah keluarga konservatif.

Konflik mulai memanas saat ada pihak-pihak yang ingin menghancurkan NYC, bukan saja secara fisik (jembatan rubuh, etc), tapi yang lebih menyakitkan adalah mengambil intisari NYC yang penuh diversity. Kejahatan rasial, gentrifikasi ekstrim, hingga hoax yang bertebaran di media, membuat para borough mau tidak mau ikut turun gunung dan bersatu melawan musuh mereka. Namun, perwujudan kota New York sendiri sedang menghilang, dan para borough harus fokus menemukannya sebelum kota mereka benar-benar hancur.

Ide buku ini menurut saya sangat original, dan menarik untuk dieksplor, apalagi berlatar di kota New York yang memang merupakan pusat diversity dunia. Melalui kisah ini saya juga jadi lebih bisa melihat NYC dari sudut pandang kelima borough, yang memang merupakan ciri khas kota New York dan tidak ditemukan di tempat lainnya.

Namun, saya agak terganggu dengan penulisan buku ini yang menurut saya agak terlalu “crude” dan terkesan “amateurish’, terutama saat membahas musuh mereka yang merupakan perwujudan kaum rasis kulit putih. Saya tidak keberatan sih, kalau memang musuhnya adalah kaum ekstrem kanan yang fasis dan rasis, karena memang mereka nyata keberadaannya di dunia. Tapi, cara penyampaiannya yang kurang diolah dengan baik menurut saya malah menjadikan buku ini terasa kasar dan cringey.

Selain stereotipikal dari pihak musuh, karakter-karakter para borough pun juga digambarkan dengan cukup stereotipikal. Bahkan Staten Island, satu-satunya borough berkulit putih, menjadi yang paling dimusuhi dan dijauhi oleh semua borough lainnya. Saya tidak tahu apakah ini memang mewakili kondisi sesungguhnya di kota NY, di mana Staten Island berisi orang-orang judgmental dan konservatif? Tapi kalaupun iya, menurut saya penyampaiannya di buku ini menjadi agak terlalu berlebihan.

Sangat disayangkan karena saya sebenarnya ingin bisa lebih menyukai buku ini, terutama karena temanya yang unik dan sangat relevan, dan termasuk ke dalam buku own voice bergenre fantasi/science fiction yang cukup banyak digaungkan di sosial media.

Rating: 3/5

Recommended if you want to try: own voice fantasy, unique New York City story, relevant issues

Submitted for:

An #OwnVoices SFF (science fiction and fantasy) book

How Beautiful We Were by Imbolo Mbue

Tags

, , , , , , ,

Judul: How Beautiful We Were

Penulis: Imbolo Mbue

Penerbit: Random House Large Print Publishing (2021)

Halaman: 565p

Beli di: Periplus.com (IDR 192k)

How Beautiful We Were mengambil setting di Kosawa, sebuah desa fictional (namun sangat familiar) di Afrika. Penduduk Kosawa hidup di tengah kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh pabrik pengilangan minyak asal Amerika, yang mendapat izin dari pemerintah setempat untuk melakukan pengeboran dan pengolahan minyak tanpa memperhatikan sedikitpun kaidah lingkungan hidup.

Akibatnya, kebocoran pipa membuat tanah menjadi tandus, anak-anak meninggal satu per satu karena keracunan air, dan meski warga sudah berusaha memprotes pemerintah maupun pihak perusahaan, suara mereka seolah tidak berarti. Janji-janji yang selalu diberikan oleh berbagai pihak untuk melakukan pembersihan, perbaikan, dan pembaruan lingkungan – semua hanyalah janji palsu belaka. Situasi ini terjadi hingga puluhan tahun, sampai akhirnya Kosawa benar-benar berada di ambang kehancuran – warga yang tersisa tidak memiliki pilihan lain selain pergi meninggalkan tanah kelahiran mereka. Kecuali segelintir kecil kelompok yang ngotot ingin mempertahankan kampung halaman mereka, meski harapan semakin tipis.

Kisah ini adalah kisah yang sangat heartbreaking. Bukan saja karena memang temanya yang tragis, tapi juga karena hal ini benar-benar terjadi di berbagai belahan dunia, khususnya di daerah pedalaman Afrika (dan benua lain) yang kerap menjadi korban keserakahan negara maju. Kolonialisme mungkin sudah tidak ada secara resmi, namun apa yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asing, dibantu oleh budaya korupsi pemerintah setempat, sama buruknya (bahkan lebih buruk, karena berkedok kebaikan) dengan penjajahan. Seringkali kejadian yang merugikan penduduk ditutupi oleh kedok kebaikan seperti memajukan ekonomi dan menyediakan lapangan kerja, yang padahal tidak sesuai dengan yang dijanjikan sebelumnya.

How Beautiful We Were diceritakan bergantian oleh beberapa narator dari beberapa generasi dalam keluarga yang sama. Masing-masing memiliki pandangan tersendiri terhadap tragedi yang menimpa desa mereka. Tokoh centralnya adalah Thula, anak perempuan cerdas yang mendapat kesempatan studi di Amerika dengan beasiswa, dan memiliki tekad kuat untuk membuat perubahan bagi Kosawa. Namun, sejauh apakah usaha Thula akan berhasil?

Mbue menulis kisah ini seperti kisah folklore yang diceritakan turun temurun. Bahkan ada bab yang menggunakan narator plural (the children), yaitu teman-teman Thula yang seolah menjadi satu kelompok narator tersendiri tanpa nama khusus.

Meski gaya bercerita buku ini terbilang unik, saya sendiri merasa agak bosan di beberapa bagian, terutama karena banyak bagian yang diulang-ulang, serta menggunakan gaya bahasa yang cukup monoton. Padahal, buku Mbue sebelumnya sangat bergaya dinamis, dengan plot yang cepat dan dialog yang lincah. Sementara di buku ini, Mbue menghindari dialog langsung dan bercerita seolah sedang membacakan dongeng pada pihak ketiga, yaitu pembaca. Semua kalimat tidak langsung tersebut kadang terasa amat panjang dan monoton, yang membuat saya agak kehilangan fokus terutama di bagian pertengahan buku.

Pada akhirnya, kisah perjuangan Thula menjadi agak antiklimaks, karena terlalu banyak disela oleh narasi panjang yang kadang timelinenya pun membingungkan, apakah di masa kini atau masa lalu.

Namun, How Beautiful We Were adalah buku yang penting, dan membuka salah satu dari segelintir isu krusial yang seringkali terlupakan di antara maraknya isu-isu besar dunia.

Submitted for:

Category: A book featuring a man-made disaster

The Final Revival of Opal & Nev by Dawnie Walton

Tags

, , , , , , , ,

Judul: The Final Revival of Opal & Nev

Penulis: Dawnie Walton

Penerbit: Ink (2021, Kindle Edition)

Halaman: 368p

Beli di: Amazon.com (USD 6.99)

New York City, 1970s – Neville Charles, musisi dari Inggris, mengadu nasib ke Amerika Serikat, ditemukan oleh produser dari suatu label musik independen, dan diberi tugas untuk mencari partner duet sebelum bisa menelurkan album. Setelah berkeliling, Nev terpikat pada Opal Jewell, perempuan kulit hitam asal Detroit, yang sebenarnya bukan penyanyi paling berbakat, namun memiliki X factor yang menurut Nev akan melengkapi penampilannya dengan sempurna.

Maka dimulailah perjalanan Nev dan Opal mengejar sukses di dunia musik, namun ternyata jalan tidak semulus yang mereka bayangkan. Meski mereka memiliki chemistry yang kuat, namun perbedaan latar belakang kadang menjadi sumber konflik di antara mereka. Sementara itu, Opal juga memperuncing konflik lewat affairnya dengan drummer band mereka, yang sudah menikah dan sedang menunggu kelahiran anaknya.

Kesuksesan yang tidak kunjung datang seperti yang mereka harapkan, membuat Opal dan Nev mulai desperate. Mereka memutuskan untuk ikut show yang diadakan oleh label mereka, yang berakhir dengan chaos dan kekacauan, yang ironisnya, malah membuat nama mereka dikenal di mana-mana.

40 years later – Opal dan Nev berencana untuk mengadakan reuni, namun puluhan tahun yang sudah memisahkan mereka menyimpan banyak cerita tersembunyi. Sunny Shelton, jurnalis kulit hitam yang ayahnya pernah menjalin affair dengan Opal, diminta Opal untuk meliput dan menulis memoir Opal dan Nev. Dan kompilasi interview serta tulisannya lah yang menjadi fondasi kisah buku ini.

Premis buku ini amat menarik, berkisah tentang dunia musik era 70an yang juga menyentuh isu ras dan politik, dibumbui oleh rahasia dan konflik yang juicy. Sedikit mengingatkan dengan buku Daisy Jones and the Six, kisah Opal & Nev juga ditulis dalam bentuk interview yang membuat buku ini terasa lebih otentik. Namun, sayangnya, beberapa bagian terasa amat panjang, dan banyak narasi dan karakter pelengkap yang benar-benar hanya numpang lewat, sehingga terkesan kalau interview ini benar-benar mentah dan seperti membaca artikel yang belum diedit.

Beberapa selingan yang diberi judul “Editor’s Note” juga agak merusak alur buku ini, yang terasa ingin memaksa memasukkan beberapa hal yang tidak bisa disampaikan melalui interview. Bagian ini ditulis dari sudut pandang Sunny, dan malah jadi memberikan kesan bias pada buku yang seharusnya ditulis oleh seorang jurnalis yang netral.

Dan meski saya mengerti dari mana buku ini berangkat, dan isu rasisme serta racial gap yang bahkan masih kental di era modern (tidak jauh berbeda dari tahun 70an), tapi menurut saya ada beberapa sudut pandang yang terasa diabaikan, termasuk sudut pandang Nev yang terbatas, dan karakternya yang terasa satu dimensi.

Saya berharap buku ini bisa ditulis dari sudut pandang Opal dan Nev, bukan Sunny, sehingga lebih terasa unsur personalnya dan pembaca bisa lebih dalam mengenal kedua karakter ini.

Rating: 3/5

Recommended if you like: music theme, unusual storytelling format, strong Black characters, New York City music industry, 1970s vibes

Submitted for:

A book about a band or musical group

Deacon King Kong by James McBride

Tags

, , , , , , , ,

Judul: Deacon King Kong

Penulis: James McBride

Penerbit: Riverhead Books (2020, Kindle edition)

Halaman: 384p

Beli di: Amazon.com (USD 2.99, bargain!)

September 1969, Brooklyn, New York. Mafia Italia mulai tergusur, bisnis penyelundupan berganti dengan bisnis obat terlarang. Kawasan Brooklyn menjadi tempat bermukim orang kulit hitam dan Amerika Latin. Proyek pemerintah yang dicanangkan untuk tempat tinggal mereka malah menjadi ladang korupsi yang akhirnya menjadikan tempat tersebut surga transaksi narkoba.

Dan di tengah semua kekusutan tersebut, Sportcoat, yang dikenal sebagai Deacon King Kong (karena ia adalah salah seorang diaken di gerejanya, yang sekaligus penikmat berat minuman alkohol rumahan bernama King Kong), melakukan sesuatu yang akan memicu efek domino yang tidak terbayangkan sebelumnya.

Ketika ia menembak salah seorang pengedar narkoba paling kejam di lingkungan mereka, semua orang menganggap Sportcoat akan mati. Entah karena pembalasan dendam geng narkoba, atau dikejar polisi, atau bahkan menjadi korban geng mafia Italia yang berkaitan erat dengan bisnis narkoba di Brooklyn.

Namun, Sportcoat masih terus dilindungi oleh Yang Kuasa – ia bahkan secara tidak sengaja berhasil mengenyahkan para penjahat yang mengincarnya, sekaligus membangun hubungan di antara komunitas yang tak terbayangkan sebelumnya.

Deacon King Kong adalah suatu kisah yang tidak mudah – rumit, sedikit lambat di bagian awal, namun sekalinya terpikat, kita akan terjerat di dalam lika-liku kehidupan Brooklyn di era 60an. Karakter-karakternya, meski memiliki nama panggilan yang aneh-aneh dan sulit diingat, lama kelamaan menjadi sosok-sosok yang memaksa kita untuk peduli kepada mereka. Dan setting Brooklyn -sebelum menjadi area hipster berdekade-dekade kemudian- ditulis dengan amat vivid, dan saya bisa merasakan atmosfernya dengan mudah.

Jalinan kisahnya yang terkesan rumit tidak ditulis dengan berbelit-belit, gaya bahasanya mudah diikuti, dengan penyelesaian yang memuaskan. James McBride adalah seorang maestro – dan saya heran, kenapa saya tidak pernah membaca buku-bukunya sebelumnya.

Rating: 4/5

Recommended if you like: complicated but engaging story, New York in the sixties, mafia vibes, dark humor

Submitted for:

An Anisfield-Wold Book Award winner

There’s No Such Thing as an Easy Job by Kikuko Tsumura

Tags

, , , , ,

Judul: There’s No Such Thing as an Easy Job

Penulis: Kikuko Tsumura

Penerjemah: Polly Barton

Penerbit: Bloomsbury Publishing (2020)

Halaman: 401p

Beli di: Periplus.com (IDR 150k)

Buku ini banyak disebut-sebut senada dengan karya Haruki Murakami: gloomy, depresif, dan dark. Awalnya saya agak skeptis karena takut bosan atau ngantuk, apalagi memang sedang tidak mood baca buku yang terlalu berat.

Tapi ternyata, Kikuko Tsumura sukses membuat saya bertahan sampai akhir, bahkan menikmati buku ini.

Kisahnya adalah tentang seorang perempuan tak bernama, yang burnout parah di pekerjaan sebelumnya, sehingga cita-citanya saat ini hanya satu: memiliki pekerjaan yang nggak bikin stress! Kalau bisa, yang nggak pakai mikir, nggak ada tanggung jawab, dan nggak butuh keahlian khusus.

Maka, tokoh kita mulai mencoba satu demi satu pekerjaan yang ditawarkan oleh agen tenaga kerja. Dari mulai menjadi analis kamera sekuriti yang kerjanya melotot memonitor screen CCTV sepanjang hari, lalu menjadi penyusun iklan baris yang dibacakan di bus umum, menulis info trivia di paket cracker, menempel poster berisi iklan layanan masyarakat, serta menjadi penjaga pos di tengah kebun raya yang super luas.

Meski semua pekerjaan tersebut terdengar mudah dan sederhana, namun uniknya di setiap pekerjaan itu, si tokoh tak bernama (sebut saja X) ini selalu menemukan kisah yang tidak biasa, yang akhirnya menguras pikiran dan tenaganya. Sebenarnya, tidak ada yang memaksa X untuk melakukan lebih dari yang ditugaskan, namun X selalu invested lebih dari yang ia rencanakan.

Hal ini akhirnya membuatnya kembali menelaah tentang kehidupan dan pekerjaan sebelumnya, apa yang menyebabkannya burnout, dan apakah mungkin suatu hari ia kembali menekuni pekerjaan yang sudah menjadi profesinya selama bertahun-tahun.

Yang saya suka dari buku ini adalah penggambaran mendetail namun tidak membosankan dari setiap pekerjaan yang dilakukan X. Dari mulai suasana kantor, rekan-rekan kerja, deskripsi pekerjaan, bahkan kantin atau makanan yang dimakan saat makan siang, semuanya menjadi bagian tak terpisahkan dari narasi X, namun karena disampaikan dengan apa adanya, dan dengan gaya X yang lugu, saya jadi ikut merasa invested dengan pekerjaan X, dan bahkan seolah merasakan sendiri pekerjaan-pekerjaan tersebut.

Kisah di setiap pekerjaan juga menjadi unsur yang menarik, selalu ada misteri kecil, konflik seru, dan interaksi dengan rekan kerja yang serba unik, yang menjadi bumbu cerita dan disampaikan dengan baik. Tsumura memang memiliki gaya dark yang sejenis dengan Murakami, namun lebih kental nuansa humor dan femininnya.

Secara keseluruhan, meski awalnya terasa cukup lambat, alur buku ini cukup menarik untuk diikuti. Topiknya yang membahas tentang etos kerja dan mental health di lingkungan pekerja Jepang pun terasa sangat relevan dan menarik untuk saya.

Saya sendiri membaca buku ini sebagai bagian dari reading challenge 12 books recommended by 12 friend, dan buku ini direkomendasikan oleh Ferina 🙂

Rating: 4/5

Recommended if you like: Japanese lit, dark humor, unique theme, intriguing narrative

The Man in the Brown Suit by Agatha Christie

Tags

, , , , , , , , , , ,

Judul: The Man in the Brown Suit

Penulis: Agatha Christie

Penerbit: HarperCollinsPublishers (2017)

Halaman: 311p

Beli di: Kinokuniya (IDR 135k)

Tema #ReadChristie2022 adalah travel, dan untuk bulan Januari, buku yang terinspirasi dari perjalanan Agatha Christie. Buku pilihan resminya adalah The Man in the Brown Suit, yang terinspirasi perjalanan Agatha Christie ke Afrika Selatan.

Saya pernah membaca buku ini, dan jujur saja, bukan merupakan favorit saya. Kisahnya sendiri memang cukup berbeda dari tipikal buku Agatha Christie. Anne Beddingfeld yang haus akan petualangan, secara tidak sengaja terlibat dalam pengalaman menegangkan saat ia menyaksikan seorang pria tewas ditabrak kereta bawah tanah. Anne yakin, sebelum terjatuh ke rel, pria tersebut kaget melihat seorang laki-laki berjas cokelat yang membuatnya terpeleset dan tersambar kereta.

Anne pun bertekad untuk menemukan si pria berjas cokelat, apalagi saat ia menemukan secarik kertas jatuh dari kantong pria tersebut, yang membawanya berlayar dengan kapal Kilmorden Castle yang menuju ke Afrika Selatan. Di atas kapal, Anne mengalami banyak kejadian misterius, bertemu karakter-karakter yang tak kalah mencurigakan, mulai dari misionaris yang menyimpang rahasia, jutawan yang rumahnya baru-baru ini menjadi lokasi pembunuhan (yang dicurigai melibatkan si pria berjas cokelat), sekretarisnya yang selalu gugup, serta seorang pemuda misterius yang hanya muncul di saat-saat tertentu saja, dan yang membuat Anne jatuh cinta setengah mati.

Dan beginilah buku ini – penuh petualangan berbumbu kisah asmara, dengan latar belakang kapal pesiar serta Afrika Selatan yang eksotik. Kisah misterinya sendiri bukan merupakan inti buku ini, karena memang agak terlalu bombastis, apalagi karena Anne yang terlalu polos seolah berhasil mengelabui sepasukan kriminal profesional 😀

Tapi kalau ingin menikmati kisah yang berbeda, tanpa terlalu peduli plot, dan sedang ingin membaca romans berbumbu petualangan, The Man in the Brown Suit memang pilihan yang tepat. Dan menurut saya, memang buku yang tepat untuk #ReadChristie2022 bulan ini, karena nuansa travelingnya yang sangat kental memang menjadi kekuatan utamanya.

Rate: 3/5

Recommended if you like: adventures, romance, traveling, different Agatha, exotic settings

Submitted for:

Insipred by Agatha’s travels