Tags

, , , , , , ,

Judul: How Beautiful We Were

Penulis: Imbolo Mbue

Penerbit: Random House Large Print Publishing (2021)

Halaman: 565p

Beli di: Periplus.com (IDR 192k)

How Beautiful We Were mengambil setting di Kosawa, sebuah desa fictional (namun sangat familiar) di Afrika. Penduduk Kosawa hidup di tengah kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh pabrik pengilangan minyak asal Amerika, yang mendapat izin dari pemerintah setempat untuk melakukan pengeboran dan pengolahan minyak tanpa memperhatikan sedikitpun kaidah lingkungan hidup.

Akibatnya, kebocoran pipa membuat tanah menjadi tandus, anak-anak meninggal satu per satu karena keracunan air, dan meski warga sudah berusaha memprotes pemerintah maupun pihak perusahaan, suara mereka seolah tidak berarti. Janji-janji yang selalu diberikan oleh berbagai pihak untuk melakukan pembersihan, perbaikan, dan pembaruan lingkungan – semua hanyalah janji palsu belaka. Situasi ini terjadi hingga puluhan tahun, sampai akhirnya Kosawa benar-benar berada di ambang kehancuran – warga yang tersisa tidak memiliki pilihan lain selain pergi meninggalkan tanah kelahiran mereka. Kecuali segelintir kecil kelompok yang ngotot ingin mempertahankan kampung halaman mereka, meski harapan semakin tipis.

Kisah ini adalah kisah yang sangat heartbreaking. Bukan saja karena memang temanya yang tragis, tapi juga karena hal ini benar-benar terjadi di berbagai belahan dunia, khususnya di daerah pedalaman Afrika (dan benua lain) yang kerap menjadi korban keserakahan negara maju. Kolonialisme mungkin sudah tidak ada secara resmi, namun apa yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asing, dibantu oleh budaya korupsi pemerintah setempat, sama buruknya (bahkan lebih buruk, karena berkedok kebaikan) dengan penjajahan. Seringkali kejadian yang merugikan penduduk ditutupi oleh kedok kebaikan seperti memajukan ekonomi dan menyediakan lapangan kerja, yang padahal tidak sesuai dengan yang dijanjikan sebelumnya.

How Beautiful We Were diceritakan bergantian oleh beberapa narator dari beberapa generasi dalam keluarga yang sama. Masing-masing memiliki pandangan tersendiri terhadap tragedi yang menimpa desa mereka. Tokoh centralnya adalah Thula, anak perempuan cerdas yang mendapat kesempatan studi di Amerika dengan beasiswa, dan memiliki tekad kuat untuk membuat perubahan bagi Kosawa. Namun, sejauh apakah usaha Thula akan berhasil?

Mbue menulis kisah ini seperti kisah folklore yang diceritakan turun temurun. Bahkan ada bab yang menggunakan narator plural (the children), yaitu teman-teman Thula yang seolah menjadi satu kelompok narator tersendiri tanpa nama khusus.

Meski gaya bercerita buku ini terbilang unik, saya sendiri merasa agak bosan di beberapa bagian, terutama karena banyak bagian yang diulang-ulang, serta menggunakan gaya bahasa yang cukup monoton. Padahal, buku Mbue sebelumnya sangat bergaya dinamis, dengan plot yang cepat dan dialog yang lincah. Sementara di buku ini, Mbue menghindari dialog langsung dan bercerita seolah sedang membacakan dongeng pada pihak ketiga, yaitu pembaca. Semua kalimat tidak langsung tersebut kadang terasa amat panjang dan monoton, yang membuat saya agak kehilangan fokus terutama di bagian pertengahan buku.

Pada akhirnya, kisah perjuangan Thula menjadi agak antiklimaks, karena terlalu banyak disela oleh narasi panjang yang kadang timelinenya pun membingungkan, apakah di masa kini atau masa lalu.

Namun, How Beautiful We Were adalah buku yang penting, dan membuka salah satu dari segelintir isu krusial yang seringkali terlupakan di antara maraknya isu-isu besar dunia.

Submitted for:

Category: A book featuring a man-made disaster