• About this blog
  • Clearance Sale!
  • Newbery Project
  • Popsugar Reading Challenge 2022
  • Previous Challenges
    • BBI Read and Review Challenge 2017
    • Challenges 2014
    • Challenges 2015
    • Lucky No.14 Reading Challenge
    • Lucky No.15 Reading Challenge
    • POPSUGAR Reading Challenge 2017
    • Popsugar Reading Challenge 2018
    • Popsugar Reading Challenge 2020
    • Popsugar Reading Challenge 2021
    • What’s in a Name 2018
    • Twenty-Ten Challenge
    • Challenges 2012
    • Challenges 2013
  • Round Ups
  • The Librarian

~ some books to share from my little library

Tag Archives: africa

How Beautiful We Were by Imbolo Mbue

23 Wednesday Mar 2022

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

africa, english, environment, fiction, historical fiction, popsugar RC 2022, race, social issues

Judul: How Beautiful We Were

Penulis: Imbolo Mbue

Penerbit: Random House Large Print Publishing (2021)

Halaman: 565p

Beli di: Periplus.com (IDR 192k)

How Beautiful We Were mengambil setting di Kosawa, sebuah desa fictional (namun sangat familiar) di Afrika. Penduduk Kosawa hidup di tengah kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh pabrik pengilangan minyak asal Amerika, yang mendapat izin dari pemerintah setempat untuk melakukan pengeboran dan pengolahan minyak tanpa memperhatikan sedikitpun kaidah lingkungan hidup.

Akibatnya, kebocoran pipa membuat tanah menjadi tandus, anak-anak meninggal satu per satu karena keracunan air, dan meski warga sudah berusaha memprotes pemerintah maupun pihak perusahaan, suara mereka seolah tidak berarti. Janji-janji yang selalu diberikan oleh berbagai pihak untuk melakukan pembersihan, perbaikan, dan pembaruan lingkungan – semua hanyalah janji palsu belaka. Situasi ini terjadi hingga puluhan tahun, sampai akhirnya Kosawa benar-benar berada di ambang kehancuran – warga yang tersisa tidak memiliki pilihan lain selain pergi meninggalkan tanah kelahiran mereka. Kecuali segelintir kecil kelompok yang ngotot ingin mempertahankan kampung halaman mereka, meski harapan semakin tipis.

Kisah ini adalah kisah yang sangat heartbreaking. Bukan saja karena memang temanya yang tragis, tapi juga karena hal ini benar-benar terjadi di berbagai belahan dunia, khususnya di daerah pedalaman Afrika (dan benua lain) yang kerap menjadi korban keserakahan negara maju. Kolonialisme mungkin sudah tidak ada secara resmi, namun apa yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asing, dibantu oleh budaya korupsi pemerintah setempat, sama buruknya (bahkan lebih buruk, karena berkedok kebaikan) dengan penjajahan. Seringkali kejadian yang merugikan penduduk ditutupi oleh kedok kebaikan seperti memajukan ekonomi dan menyediakan lapangan kerja, yang padahal tidak sesuai dengan yang dijanjikan sebelumnya.

How Beautiful We Were diceritakan bergantian oleh beberapa narator dari beberapa generasi dalam keluarga yang sama. Masing-masing memiliki pandangan tersendiri terhadap tragedi yang menimpa desa mereka. Tokoh centralnya adalah Thula, anak perempuan cerdas yang mendapat kesempatan studi di Amerika dengan beasiswa, dan memiliki tekad kuat untuk membuat perubahan bagi Kosawa. Namun, sejauh apakah usaha Thula akan berhasil?

Mbue menulis kisah ini seperti kisah folklore yang diceritakan turun temurun. Bahkan ada bab yang menggunakan narator plural (the children), yaitu teman-teman Thula yang seolah menjadi satu kelompok narator tersendiri tanpa nama khusus.

Meski gaya bercerita buku ini terbilang unik, saya sendiri merasa agak bosan di beberapa bagian, terutama karena banyak bagian yang diulang-ulang, serta menggunakan gaya bahasa yang cukup monoton. Padahal, buku Mbue sebelumnya sangat bergaya dinamis, dengan plot yang cepat dan dialog yang lincah. Sementara di buku ini, Mbue menghindari dialog langsung dan bercerita seolah sedang membacakan dongeng pada pihak ketiga, yaitu pembaca. Semua kalimat tidak langsung tersebut kadang terasa amat panjang dan monoton, yang membuat saya agak kehilangan fokus terutama di bagian pertengahan buku.

Pada akhirnya, kisah perjuangan Thula menjadi agak antiklimaks, karena terlalu banyak disela oleh narasi panjang yang kadang timelinenya pun membingungkan, apakah di masa kini atau masa lalu.

Namun, How Beautiful We Were adalah buku yang penting, dan membuka salah satu dari segelintir isu krusial yang seringkali terlupakan di antara maraknya isu-isu besar dunia.

Submitted for:

Category: A book featuring a man-made disaster

The Man in the Brown Suit by Agatha Christie

07 Monday Feb 2022

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

adventures, africa, agatha christie, british, classic, english, fiction, mystery/thriller, read christie 2022, romance, south africa, travel

Judul: The Man in the Brown Suit

Penulis: Agatha Christie

Penerbit: HarperCollinsPublishers (2017)

Halaman: 311p

Beli di: Kinokuniya (IDR 135k)

Tema #ReadChristie2022 adalah travel, dan untuk bulan Januari, buku yang terinspirasi dari perjalanan Agatha Christie. Buku pilihan resminya adalah The Man in the Brown Suit, yang terinspirasi perjalanan Agatha Christie ke Afrika Selatan.

Saya pernah membaca buku ini, dan jujur saja, bukan merupakan favorit saya. Kisahnya sendiri memang cukup berbeda dari tipikal buku Agatha Christie. Anne Beddingfeld yang haus akan petualangan, secara tidak sengaja terlibat dalam pengalaman menegangkan saat ia menyaksikan seorang pria tewas ditabrak kereta bawah tanah. Anne yakin, sebelum terjatuh ke rel, pria tersebut kaget melihat seorang laki-laki berjas cokelat yang membuatnya terpeleset dan tersambar kereta.

Anne pun bertekad untuk menemukan si pria berjas cokelat, apalagi saat ia menemukan secarik kertas jatuh dari kantong pria tersebut, yang membawanya berlayar dengan kapal Kilmorden Castle yang menuju ke Afrika Selatan. Di atas kapal, Anne mengalami banyak kejadian misterius, bertemu karakter-karakter yang tak kalah mencurigakan, mulai dari misionaris yang menyimpang rahasia, jutawan yang rumahnya baru-baru ini menjadi lokasi pembunuhan (yang dicurigai melibatkan si pria berjas cokelat), sekretarisnya yang selalu gugup, serta seorang pemuda misterius yang hanya muncul di saat-saat tertentu saja, dan yang membuat Anne jatuh cinta setengah mati.

Dan beginilah buku ini – penuh petualangan berbumbu kisah asmara, dengan latar belakang kapal pesiar serta Afrika Selatan yang eksotik. Kisah misterinya sendiri bukan merupakan inti buku ini, karena memang agak terlalu bombastis, apalagi karena Anne yang terlalu polos seolah berhasil mengelabui sepasukan kriminal profesional 😀

Tapi kalau ingin menikmati kisah yang berbeda, tanpa terlalu peduli plot, dan sedang ingin membaca romans berbumbu petualangan, The Man in the Brown Suit memang pilihan yang tepat. Dan menurut saya, memang buku yang tepat untuk #ReadChristie2022 bulan ini, karena nuansa travelingnya yang sangat kental memang menjadi kekuatan utamanya.

Rate: 3/5

Recommended if you like: adventures, romance, traveling, different Agatha, exotic settings

Submitted for:

Insipred by Agatha’s travels

The Shadow King by Maaza Mengiste

03 Monday May 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 2 Comments

Tags

africa, award, ethiopia, historical fiction, man booker prize, war, women, world war

Judul: The Shadow King

Penulis: Maaza Mengiste

Penerbit: Canongate Books (2020)

Halaman: 428p

Beli di: @__lesens (IDR 235k)

Tahun 1935, Ethiopia berada di ambang peperangan, setelah sebelumnya berhasil mengalahkan Italia di tahun 1896. Kali ini, Italia di bawah kepemimpinan fasis Mussolini, ingin membalas dendam dan menggapai impian mereka yang belum tercapai, yaitu menguasai Ethiopia. Didukung oleh situasi dunia yang sedang bersiap-siap menghadapi Perang Dunia II, plus menguatnya kekuatan fasis di belahan bumi barat, Italia yakin kali ini mereka akan memenangkan perang tersebut.

Hirut adalah seorang yatim piatu yang dipekerjakan di rumah salah satu tentara kepercayaan Emperor Haile Selassie, yang bernama Kidane. Hirut dan pekerja perempuan lainnya diharapkan untuk ikut membantu persiapan perang, termasuk mendampingi pasukan sebagai perawat dan menyiapkan makanan. Namun Aster, istri Kidane, menginginkan lebih daripada itu. Kesedihannya yang mendalam akibat kematian anak laki-lakinya menyebabkan Aster berubah menjadi seorang perempuan yang getir, keras, dan tangguh. Ia ingin membentuk pasukannya sendiri, yang terdiri dari para perempuan kuat Ethiopia yang ia yakin sanggup menyamai bahkan melebihi kecerdikan pasukan tentara Emperor.

Meski Hirut dibenci Aster karena kedekatannya dengan Kidane, namun ia belajar banyak dari istri majikannya ini selama peperangan berlangsung. Bahkan Hirut ikut berperan penting dalam merancang strategi Shadow King, alias Raja Bayangan, yang menjadi legenda peperangan gerilya Etiophia. Pada akhirnya, Ethiopia memang bukan merupakan tandingan Italia yang super kejam. Tapi, sokongan moral dari The Shadow King mengambil tempat tersendiri di hati rakyat Etiophia, bahkan ceritanya diturunkan ke generasi-generasi selanjutnya.

The Shadow King adalah salah satu buku yang berhasil mengungkapkan fakta sejarah yang saya tidak tahu sebelumnya. Sedikit yang selama ini saya tahu tentang Ethiopia, dan Maaza Mengiste sukses mengedukasi saya tentang negara asalnya ini. Dan beberapa sudut pandang yang dipakai buku ini, mulai dari Hirut, sang Emperor sendiri, hingga tentara Italia, menambahkan detail-detail yang menarik di sepanjang buku.

Hanya saja, jujur saya tidak bisa menikmati sepenuhnya buku ini. Ada dua alasan utama mengapa buku ini belum bisa mendapatkan rating sempurna dari saya. Yang pertama, saya berharap buku ini lebih banyak mengambil sudut pandang Hirut, terutama karena dari yang saya baca di bagian Acknowlegment, sosok Hirut serta latar belakang sejarah Shadow King terinspirasi dari kisah keluarga Mengiste sendiri, terutama dari nenek buyutnya, Getey. Dan menurut saya kisah ini memang sangat menarik, namun sayangnya di bagian tengah hingga akhir buku, kita malah lebih banyak disuguhi oleh sudut pandang tentara Italia yang diwakili oleh Ettore sang fotografer. Memang kisah Etorre cukup penting juga dan berkaitan erat dengan masa depan Hirut, tapi saya jadi kehilangan suara Hirut dan sayangnya tidak merasa terkoneksi sepenuhnya dengan tokoh perempuan tersebut.

Alasan kedua, yang lebih mendominasi buat saya, adalah gaya penulisan Maaza Mengiste. Mengiste adalah seorang scholar dan professor Creative Writing, bahkan pernah menerima beasiswa Fulbright (WHOOP!). Dan memang, gaya menulisnya amat berkesan “nyastra” sekali, penuh dengan matefora dan penggambaran detail yang luar biasa puitis. Awalnya, saya senang-senang saja membaca kalimat demi kalimat yang penuh keindahan ini. Namun lama kelamaan, rasanya lelah juga, apalagi Mengiste amat senang menggambarkan detail setting seperti sudut jatuhnya cahaya matahari, perbedaan suara burung yang satu dengan burung yang lain, dan sebagainya, yang tujuannya mungkin untuk menampilkan setting yang amat nyata, namun karena banyak pengulangan di sini, saya jadi bosan juga membacanya. Satu lagi, Mengesti adalah penggemar “tanpa tanda kutip”, sehingga tidak ada dialog yang diapit tanda kutip di buku ini, satu tren yang saya kurang suka karena seringkali menciptakan kebingungan.

Overall, The Shadow King adalah buku yang amat penting, menyajikan sekelumit kisah sejarah yang jarang diangkat ke permukaan, Secara kualitas pun buku ini amat baik, tak heran dinominasikan dan mendapat penghargaan di mana-mana, termasuk short list Man Booker Prize 2020. Tapi memang buku ini, menurut saya, bukanlah tipe buku yang bisa dinikmati 🙂

Rating: 3/5

Recommended if you want to read about: African history, Ethiopia, women fighters, high quality literature, creative writing at its best

His Only Wife by Peace Adzo Medie

30 Tuesday Mar 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

africa, black history month, culture, domestic fiction, ebook, ghana, reeses book club, romance, women

Judul: His Only Wife

Penulis: Peace Adzo Medie

Penerbit: Algonquin Books (2020, Kindle Edition)

Halaman: 225p

Beli di: Amazon.com (USD 1.99 – bargain!)

Afi Tekple dijodohkan oleh keluarganya untuk menikahi Elikem Ganyo, anak keluarga kaya di desa Afi yang orang tuanya sudah banyak membantu keluarga Afi. Namun perjodohan ini tidak seperti perjodohan standar, karena Afi diberi tugas oleh keluarga Elikem untuk memisahkan Elikem dari perempuan yang selama ini menjalin hubungan dengannya dan bahkan sudah memberinya seorang anak perempuan. Perempuan dari Liberia ini amat ditentang oleh keluarga Elikem karena dianggap merusak hubungan Elikem dengan keluarganya, dan mengubah Elikem menjadi anak yang selalu menentang orang tuanya. Singkatnya, perempuan tersebut membawa pengaruh buruk, dan harus segera disingkirkan.

Dari awal, Afi sudah tahu tugasnya akan terasa berat. Ia hanyalah seorang gadis desa yang berasal dari keluarga miskin, sedangkan Eli berpendidikan, berasal dari keluarga kaya dan tinggal di kota besar Accra. Di pesta pernikahan mereka pun Eli tidak bisa datang karena sedang business trip ke luar negeri, sehingga diwakilkan oleh adik laki-lakinya. Dan setelah Afi pindah ke Accra, bukannya tinggal serumah dengan Eli, ia malah disediakan apartemen mewah dan tinggal di sana seperti seorang perempuan simpanan alih-alih istri resmi, sementara sang perempuan Liberia tinggal bersama Eli di rumahnya.

His Only Wife bercerita tentang normal sosial dan budaya di masyarakat Ghana modern, yang masih amat kental dengan nuansa patriarki, salah satunya melalui budaya poligami. Meski masyarakat Ghana masa kini sudah lebih menghargai peran perempuan dan memberikan kesempatan yang lebih banyak pada mereka (terlihat dari beberapa karakter di buku ini, termasuk ibu Eli yang memegang perusahaan keluarga, serta Afi yang meniti karier sebagai perancang busana), namun tetap saja bila menyangkut pernikahan dan peran perempuan di dalam rumah tangga, norma yang diikuti masih sama dengan zaman dulu.

Buat saya, melihat isu poligami dari kacamata budaya Ghana yang tidak terlalu familiar buat saya adalah pengalaman yang amat menarik. Apalagi, Peace Adzo Medie adalah seorang penulis yang andal, yang mampu merangkai kisah ini menjadi amat menggigit, menarik diikuti, dan membuat saya merasa terhubung dengan para karakternya. Tidak ada karakter yang 100% baik atau 100% villain di sini. Semua memiliki alasan masing-masing untuk bertindak sesuai dengan kondisinya. Afi yang naive pun tidak selamanya benar, ada momen-momen di mana ia tidak mengambil keputusan yang bijak. Sementara itu, sang perempuan Liberia pun ternyata bukan sosok villain seperti yang dikesankan oleh keluarga Eli.

Biasanya, buku domestic drama dan romance bukanlah cup of tea saya. Tapi saya benar-benar menikmati buku ini, yang membuka mata saya terhadap banyak hal-hal baru seputar kehidupan masyarakat Ghana modern, terutama kaum perempuannya. Dan setting Ghana, terutama kontras antara desa Afi dan kota Accra yang megah, mengingatkan saya akan Indonesia dengan segala kesenjangannya. Turns out we’re all more similar than we think, aren’t we? 🙂

Rating: 4/5

Recommended if you want to read about: domestic drama and romance, modern African life, polygamist culture, women role in Africa, life in Ghana, juicy plot and fresh dialogue.

Washington Black by Esi Edugyan

14 Thursday May 2020

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

africa, bargain book!, british, canada, english, fiction, historical fiction, popsugar RC 2020, science, slavery

Judul: Washington Black

Penulis: Esi Edugyan

Penerbit: Knopf (2018)

Halaman:334p

Beli di: Periplus.com (IDR 100k, discount!)

Buku ini berkisah tentang perjalanan hidup seorang budak bernama George Washington Black, yang kerap dipanggil Wash, mulai dari masa kecilnya di perkebunan tebu di Barbados, hingga petualangan demi petualangan tak terduga yang terus mengikutinya sepanjang hidupnya.

Wash adalah karakter yang mudah untuk disukai. Keluguannya yang tanpa dosa diimbangi dengan beberapa flaws yang tetap menjadikannya karakter yang membumi dan realistis. Pertemuan Wash dengan adik majikannya, Christopher alias Titch, membelokkan hidupnya ke arah yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Titch adalah seorang naturalis yang amat mengidolakan ayahnya yang merupakan penjelajah alam legendaris. Titch bertekad akan melakukan suatu perjalanan fenomenal dengan balon udara yang membuat ayahnya bangga.

Ia meminta bantuan Wash, namun suatu kejadian mengejutkan membuat mereka harus melarikan diri dari perkebunan di Barbados dan bersembunyi dari orang-orang yang mengejar Wash. Perjalanan membawa Wash hingga ke daerah Kutub Utara yang dingin, Nova Scotia yang mempertemukannya dengan perempuan yang akan semakin mengubah hidupnya, hingga ke Inggris, tempat Wash berusaha menguak masa lalu dan jati dirinya.

Berkat Titch, Wash menemukan bakat menggambar yang menjadikannya seorang ilustrator andal yang mengkhususkan dirinya pada ilmu alam. Namun latar belakangnya sebagai budak, ditambah dengan dunia sains yang masih rasis, menyebabkan karya Wash belum bisa dihargai sepenuhnya.

Esi Edugyan adalah seorang pencerita yang baik. Dengan gaya bahasa yang deskriptif namun efektif, ia berhasil menggambarkan setting petualangan Wash dengan sangat hidup – perkebunan tebu yang panas, daratan Arctic yang dingin menggigit, hingga London di era 1800-an yang masih kuno dan kaku. Perjalanan Wash mencari jati dirinya, yang juga digambarkan seiring dengan perjalanannya mencari Titch – membuat kita mau tidak mau mendukungnya, berharap akan akhir yang bahagia.

Meski masih mengangkat tema slavery dan rasisme, Washington Black tidak sesuram Underground Railroad atau beberapa buku lain sejenisnya. Jadi kalau memang masih belum tahan membaca buku yang bikin ngilu seperti Underground Railroad, saya merekomendasikan kalian untuk memulai dari Washington Black saja dulu 🙂

Submitted for:

Kategori: A bildungsroman

My Sister, the Serial Killer by Oyinkan Braithwaite

21 Tuesday Apr 2020

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

africa, crime, culture, english, fiction, popsugar RC 2020, suspense/thriller, women

Judul: My Sister, the Serial Killer

Penulis: Oyinkan Braithwaite

Penerbit: Atlantic Books (2019)

Halaman: 226p

Beli di: Readings Melbourne (AUD 19.99, disc 25%)

Judul buku ini sangat menarik. Premisnya, tentang seorang perempuan yang berusaha melindungi adiknya yang adalah seorang pembunuh berantai, juga menguak rasa ingin tahu. Dan settingnya di Nigeria pun merupakan sesuatu yang unik dan termasuk jarang ditemui di jejeran buku best seller international.

Intinya, semua tentang buku ini meneriakkan pesan “READ ME, YOU’LL BE SATISFIED!”

Namun, entah ekspektasi saya yang jadi terlalu tinggi, atau memang buku ini kurang nendang (saya menemukan beberapa review di Goodreads yang satu pandangan dengan saya), yang jelas kesan saya memang datar-datar saja terhadap buku ini.

Korede, tokoh utama di buku ini, bekerja sebagai perawat di salah satu rumah sakit di Lagos. Korede adalah perempuan yang serius, bertanggung jawab, dan bisa diandalkan, terutama setelah keluarganya bergantung padanya sepeninggal sang Ayah.

Namun, Korede memiliki masalah besar. Adiknya, Ayoola, memiliki kebiasaan buruk: membunuh para pria yang dekat dengannya, dengan alasan self defense. Apakah ini merupakan alasan yang bisa dibenarkan atau tidak, Korede tidak pernah tahu. Namun ia terpaksa selalu membereskan masalah Ayoola, ikut membersihkan TKP dan menciptakan alibi bagi adiknya. Apapun alasan Ayoola menjadi seorang pembunuh berantai, Korede hanya tahu satu hal: ia harus melindungi adiknya.

Apa alasan Korede mengambil keputusan seperti itu, sampai-sampai ia rela mengorbankan kariernya dan bahkan memilih untuk tidak dekat dengan lelaki manapun? Perlahan-lahan, sejarah keluarga Korede dan Ayoola dibuka, dan kita diajak masuk menyelami rahasia yang membuat kakak beradik ini mengambil keputusan-keputusan yang tak bisa dipahami sebelumnya.

Sampai di satu titik, Ayoola jatuh cinta dengan Tade, dokter yang bekerja di rumah sakit yang sama dengan Korede, dan yang sudah dicintai oleh Korede diam-diam sejak lama. Apakah Korede masih mau melindungi adiknya, dengan resiko Tade juga akan menjadi korban selanjutnya? Atau sudah saatnya Korede mengambil sikap yang akan mengubah hubungannya dengan Ayoola?

Satu hal yang saya sayangkan dari buku ini adalah minimnya pendalaman karakter-karakter yang ada. Buku ini menggunakan sudut pandang Korede sebagai narator, namun saya tidak pernah bisa merasa terhubung dengannya. Seolah Korede yang kita kenal hanyalah di permukaan saja, sehingga apapun keputusan yang ia ambil, saya jadi tidak begitu merasa peduuli.

Oversimplified mungkin adalah kata yang paling bisa menggambarkan kesan saya terhadap buku ini. Entah mengapa, Braithwaite lebih senang menggunakan kalimat-kalimat dan bab yang serba singkat. Kadang satu bab hanya terdiri dari dua halaman, dengan penggalan kalimat-kalimat pendek yang serba menggantung. Mungkin ini dianggap sebagai gaya penulisan yang modern atau penuh terobosan? Namun menurut saya malah jadi kurang kena ke plot keseluruhan buku. Karena jenis buku seperti ini, yang masuk ke ranah thriller dan misteri, masalah gaya penulisan yang serba modern bukanlah concern utama pembaca. Yang saya cari adalah plot yang rapi, karakterisasi yang mendalam, dan twist yang mengejutkan.

Sayangnya, saya tidak merasakan elemen-elemen tersebut di buku ini. Unsur kultur nya pun tidak dikupas sedemikian mendalam. Ya, memang sempat dibahas tentang KDRT dan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang menjadi salah satu isu utama di Nigeria. Tapi harapan saya akan penggambaran mendetail (mungkin sejenis buku-buku thriller dan crime dari Jepang yang suka bermain dengan tema yang sama), tidak kesampaian.

Semoga saja buku-buku selanjutnya dari Oyinkan Braithwaite akan lebih “kena” ke ekspektasi saya, karena sebenarnya potensi penulis ini masih amat besar.

Submitted for:

Kategori: A book published the month of your birthday

Things Fall Apart by Chinua Achebe

21 Tuesday Nov 2017

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 1 Comment

Tags

africa, bbi review reading 2017, classic, culture, english, fiction, literature, popsugar RC 2017

Judul: Things Fall Apart

Penulis: Chinua Achebe

Penerbit: Penguin Books (Pocket  Penguin Classic 2010)

Halaman: 197p

Beli di: The Book Depository (IDR 88,944)

 

Blurb:

Okonkwo adalah pejuang paling hebat di seluruh Afrika Barat. Keberanian dan kekuatannya sudah terkenal ke mana-mana, dan ia dinobatkan sebagai salah satu pemimpin di sukunya.

Okonkwo bertekad tidak akan menjadi seperti ayahnya, pecundang gagal yang selalu menunjukkan kelemahannya. Karena itu, kekerasan menjadi pilihan Okonkwo dalam mengatasi segala masalah, mulai dari mendisiplinkan anak-anaknya, menyelesaikan konflik antar desa, hingga melawan pengaruh asing yang memasuki desanya dan mengancam tradisi yang sudah dijaga ratusan tahun lamanya.

Thoughts:

Sepertinya ini adalah pengalaman saya membaca buku penulis Afrika yang bercerita mengenai kehidupan suku tradisional di benuanya. Sebagian besar isi buku ini diceritakan dalam bentuk narasi yang menjelaskan tentang tradisi, adat istiadat dan kehidupan sehari-hari suku Okonkwo. Memang kesan awalnya agak membosankan seperti ensiklopedia, tapi karena banyak pengetahuan baru yang saya dapat, lama kelamaan kisah Okonkwo menjadi menarik juga.

Beberapa terlihat sangat menakjubkan, seperti ritual menukar sandera, menyelesaikan konflik antar suku, bahkan tradisi menyambut kedewasaan anak laki-laki. Saya menyadari kalau tidak banyak yang saya ketahui tentang suku pedalaman benua Afrika, selain informasi sepotong-sepotong yang saya peroleh dari menonton dokumenter di NatGeo channel.

Konflik mulai hadir di tengah kisah yang awalnya terasa cukup datar, ketika desa Okonkwo harus menghadapi ancaman berupa para misionaris yang merambah ke suku-suku pedalaman Afrika Barat. Kepercayaan animisme yang selama ini mereka jalani mendapat tantangan dari konsep monoteistik kristianisme yang benar-benar baru bagi mereka.

Yang menarik bagi saya adalah kisah tentang kehidupan misionaris itu sendiri, yang diceritakan dari sudut pandang para penduduk asli, sementara selama ini saya lebih banyak dicekoki sudut pandang para misionaris sebagai yang memberitakan Injil. Apa yang dianggap baik oleh Gereja, ternyata mendapat sudut pandang berbeda, lebih seperti kolonialisme, bagi para suku terasing ini. Sedikit mengingatkan saya dengan berita baru-baru ini di mana Suku Anak Dalam di Jambi dipaksa untuk menganut agama dan meninggalkan kepercayaan mereka.

Satu hal yang cukup mengganjal bagi saya adalah kisah yang terlampau singkat, terasa terlalu diburu-buru terutama konflik di bagian akhir buku. Namun ternyata Chinua Achebe masih meneruskan kelanjutan kisah ini di buku selanjutnya: Things Fall Apart: No Longer at Ease (1960) , Arrow of God (1964), serta A Man of the People (1966), semuanya berkisah tentang suku tradisional dan pergumulannya menghadapi para pendatang (atau penjajah!).

Chinua Achebe:

Chinua Achebe lahir di Nigeria tahun 1930, dan menerbitkan novel pertamanya, Things Fall Apart, tahun 1958. Hingga kini, novel tersebut telah terjual lebih dari 20 juta kopi di seluruh dunia, dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 50 bahasa.

Ditahun-tahun selanjutnya, Achebe tetap produktif menulis dan menerbitkan novel, namun di tahun 1990an kecelakaan mobil membuatnya lumpuh dan ia memutuskan untuk pindah ke Amerika Serikat, mengajar di Bard College sert Brown University.

Chinua Achebe meninggal dunia tanggal 21 Maret 2013 di Boston dalam usia 82 tahun.

Submitted for:

Category: A book by an author from a country you’ve never visited

Kategori Ten Point: Buku Pengarang Lima Benua (Afrika)

 

 

 

 

Americanah by Chimamanda Ngozi Adichie

01 Friday Jul 2016

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 4 Comments

Tags

africa, america, bargain book!, contemporary, culture, english, fiction, race

americanahJudul: Americanah

Penulis: Chimamanda Ngozi Adichie

Penerbit: Fourth Estate (2013)

Halaman: 477p

Beli di: Big Bad Wolf (IDR45k, bargain!)

Ifemelu dan Obinze tumbuh besar di Lagos, Nigeria, di mana mereka saling jatuh cinta dan berusaha menemukan jati diri masing-masing di tengah kekacauan situasi negeri mereka yang penuh korupsi, skandal politik, dan kemiskinan.

Kondisi Nigeria yang memburuk membuat generasi muda di sana berusaha menemukan cara untuk keluar dari negara mereka dan mengungsi ke negara lain yang lebih baik. Ifemelu termasuk yang beruntung, karena ia memiliki tante yang sudah lebih dulu tinggal di Amerika, sehingga ia bisa menyusul ke sana untuk melanjutkan sekolah.

Di Amerika, Ifemelu bersinggungan dengan banyak perspektif budaya yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya, termasuk masalah ras. Ifemelu membuat blog tentang ras yang ia tulis sebagai orang kulit hitam yang bukan berasal dari Amerika, dan blognya ternyata m‎emiliki banyak pengikut.

Sementara itu, Obinze terputus dari kontak Ifemelu tanpa tahu penyebab yang jelas, dan berusaha mencari jalannya sendiri. Ia pergi ke London dan tinggal sebagai imigran gelap selama beberapa tahun, sebelum akhirnya kembali ke Nigeria dan malah menjadi sukses. Namun pikirannya selalu kembali lagi ke Ifemelu, dan apakah mungkin ada jalan yang bisa membawa mereka kembali bersama.

Pendapat saya tentang Americanah terbagi menjadi dua bagian:

Yang pertama, saya sangat suka dengan bagian kisah Ifemelu di Amerika, termasuk potongan-potongan tulisan dari blognya. Isu rasial dan diskriminasi yang dibahas Ifemelu menurut saya sangat relevan dan memang sesuai dengan kenyataan yang saya alami selama bekerja dengan orang-orang Amerika beberapa tahun ini. Sindiran, bercandaan bahkan kadang kritik yang lumayan tajam yang disampaikan Ifemelu seringkali membuat saya tersenyum-senyum sambil mengangguk setuju. Tentang Amerika yang mencari jati diri, tentang berkumpulnya berbagai suku bangsa yang membentuk satu negara besar tersebut, dan tentang protes yang dilayangkan berbagai pihak yang menganggap diri mereka adalah korban yang paling kejam dari diskriminasi rasial: I totally agree!

Tapi perasaan kagum dan senang saat membaca potongan-potongan cerdas tersebut agak terganggu dengan sosok Ifemelu sendiri, yang menurut saya, terlalu arogan dan menyebalkan sebagai karakter utama yang seharusnya witty, penuh humor dan cerdas tanpa pretensius. Terlebih lagi, Ifemelu – yang sempat berhubungan dengan beberapa laki-laki Amerika yang memiliki berbagai karakter- sepertinya terlalu mudah disukai oleh orang-orang, padahal saya sendiri tidak bisa merasakan daya tariknya dan tidak mengerti akan ketertarikan orang-orang, terutama para cowok, pada Ifemelu, sementara Ifemelu dengan gampangnya mencampakkan mereka.

Satu lagi yang membuat saya sebal adalah hubungan Ifemelu dan Obinze, serta ending buku ini yang totally unnecessary. Ugh.

Yang pasti, buku ini tidak sempurna. Saya sendiri menyayangkannya karena menurut saya buku ini sangat penuh potensi untuk menjadi buku 5 bintang (versi saya), sayangnya tidak lolos karena sang penulis tidak mampu menciptakan karakter utama yang sejalan dengan pemikiran-pemikiran yang dituangkannya di sepanjang buku.Tapi, saya masih bersedia memberikan 4 bintang untuk buku ini, dan relevansinya terhadap masalah rasial, diskriminasi, serta imigran yang masih menjadi topik hangat sampai saat ini.

Tears of The Giraffe by Alexander McCall Smith

30 Monday Dec 2013

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 1 Comment

Tags

africa, bargain book!, BBI, cozy mystery, english, fiction

tears of giraffeJudul: Tears of The Giraffe

Penulis: Alexander McCall Smith

Penerbit: Anchor Books (2002)

Halaman: 227p

Beli di: Periplus Setiabudhi Bandung (IDR35k disc 20%, bargain price!)

Di buku kedua dari serial The No.1 Ladies’ Detective Agency ini, kita masih diajak untuk mengikuti sepak terjang detektif perempuan pertama dan satu-satunya di Botswana, Precious Ramotswe.

Seperti dalam buku pertamanya, Mma Ramotswe kembali menghadapi berbagai kasus misterius, antara lain seorang perempuan Amerika yang mencari anaknya yang menghilang 10 tahun lalu di Botswana, juga seorang laki-laki yang mencurigai istrinya berselingkuh. Namun tidak seperti di buku pertama, kisah Mma Ramotswe di buku kedua ini lebih banyak dibumbui drama kehidupan pribadinya juga, seperti lamaran pernikahan dari sahabatnya, Mr J.L.B Matekoni, keinginan sekretarisnya Mma Makutsi untuk mendapat promosi, dan kehadiran dua pendatang baru dari panti asuhan dalam hidup Mma Ramotswe. Namun apapun situasi yang dihadapi oleh Mma Ramotswe, kita akan kembali mengagumi kecerdasan dan kebijaksanaannya.

Meski agak merasa kehilangan unsur misteri yang tidak sekental buku pertamanya, aku masih bisa menikmati kisah Mma Ramotswe dalam buku ini. Keunggulan McCall Smith adalah kepiawaiannya dalam merangkai kata dan kalimat, memadukannya dengan diksi indah dan setting Botswana yang eksotik. Aku menyukai gaya sederhana McCall Smith dalam bertutur, yang dibumbui oleh berbagai pernik dan detail menarik dari sejarah dan budaya Afrika yang kaya.

Dan memang, Mma Ramotswe bukan sekadar detektif biasa, karena selain membantu memecahkan kasus-kasus kliennya, ia juga membantu mereka berkontemplasi dari sisi moral dan nilai-nilai yang dianutnya. Apakah istri yang sudah terbukti selingkuh bisa dilaporkan begitu saja pada suaminya, atau ada konsekuensi lain yang harus dihadapi. Pelajaran tentang dilema moral inilah yang tidak bisa ditemui di buku-buku detektif kebanyakan.

Posting ini diikutsertakan untuk posting bersama Blogger Buku Indonesia bulan Desember 2013 dengan tema detektif/misteri.

The Other Hand

01 Thursday Dec 2011

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 7 Comments

Tags

africa, british, dramatic, english, fiction

Judul: The Other Hand

Penulis: Chris Cleave

Penerbit: Sceptre (2008)

Halaman:378 p

Got it from Petugas Pustaka

Sinopsis di cover belakang buku ini:

We don’t want to tell you what happens in this book. It is a truly special story and we don’t want to spoil it. Once you have read it, you’ll want to tell your friends about it. Please don’t tell them what happens either. The magic is in how it unfolds.

Ok. Menarik kan? Bikin penasaran kan?

I’ll tell you about it. The synopsis is no more than a marketing ploy. Huks!

Padahal sebenarnya, tanpa “tipuan” semacam itu, buku ini tidak bisa dibilang jelek juga. Yahhh…nggak “luar biasa” banget, tapi decent lah. Hanya saja, sinopsis yang menyesatkan itu jadi bikin ekspektasi kita berbeda. Dan kekecewaan yang didapat jadi lebih terasa =(

Buku ini berkisah tentang seorang anak perempuan refugee dari Nigeria, Little Bee, yang terpaksa melarikan diri ke Inggris akibat perang minyak di desanya. Hidupnya terkait dengan sepasang suami isteri asal Inggris, Andrew dan Sarah, yang tidak sengaja ditemuinya di pantai Nigeria pada suatu hari yang naas. Apa yang terjadi di pantai tersebut, itulah yang sebenarnya ingin di “jual” oleh buku ini melalui sinopsis menyesatkan tersebut. Kejadian di pantai itu juga sangat mempengaruhi hidup Sarah dan Andrew, apalagi saat Little Bee mencari mereka di Inggris.

Chris Cleave berhasil menyajikan cerita yang suram dan sarat akan ketidakbahagiaan di buku ini. Sudut pandang yang digunakan bergantian antara Sarah dan Little Bee. Hanya saja, jika Little Bee bisa begitu lovable dan menarik simpati pembaca, tidak demikian halnya dengan Sarah dan orang-orang di sekitarnya. Karakter Sarah dibuat self centered, tidak menyenangkan, dengan konflik dalam kehidupannya yang terasa dipaksakan, sehingga membuat kita lelah untuk mengikuti ceritanya. Joke-joke British dan gaya penulisan yang sinis juga tidak begitu membantu mencerahkan buku yang memang gelap ini. Yang sedikit membuat buku ini lebih baik adalah hubungan antara Little Bee dengan Charlie, anak laki-laki Sarah dan Andrew, yang terasa paling membumi dibanding isi buku secara keseluruhan.

Tema pengungsi sebenarnya sangat menarik, apalagi mengangkat perang minyak di Afrika sebagai isu sampingannya. Sayang, Chris Cleave tidak bisa meramunya dengan lebih mengena, apalagi diperparah dengan marketing ploy tadi. O ya, di Amerika Serikat, buku ini diterbitkan dengan judul berbeda, Little Bee, yang memiliki cover yang lebih cantik.

Little Bee- versi US. Love the cover design!

Btw, aku tetap berterima kasih pada Petugas Pustaka yang telah memberikan buku ini padaku. Kalau tertarik dengan program mereka, atau ingin ikut berbagi buku, silakan berpartisipasi di sini. It’s fun!

← Older posts

From the bookshelf

Categories

Looking for Something?

Enter your email address to follow Books to Share and receive notifications of new posts by email.

Join 1,036 other followers

Currently Reading

I’m a Proud Member! #BBI 1301004

Wishful Wednesday Meme

Fill your Wednesdays with wishful thinking =)

Popsugar Reading Challenge 2018

bookworms

  • aleetha
  • althesia
  • alvina
  • ana
  • annisa
  • bzee
  • dewi
  • dion
  • fanda
  • Ferina
  • helvry
  • inne
  • Kobo
  • maya
  • mei
  • melmarian
  • mia
  • ndari
  • nophie
  • oky
  • peri hutan
  • ren
  • Reygreena
  • sel sel kelabu
  • sinta
  • tanzil
  • tezar
  • yuska

shop til you drop

  • abe books
  • Amazon
  • better world books
  • book depository
  • BukaBuku
  • Buku Dedo
  • bukukita
  • vixxio

Top Posts & Pages

  • Lima Sekawan - The Series
    Lima Sekawan - The Series
  • Lethal White by Robert Galbraith
    Lethal White by Robert Galbraith
  • Dongeng-Dongeng Grimm Bersaudara
    Dongeng-Dongeng Grimm Bersaudara
  • The House in the Cerulean Sea by T.J. Klune
    The House in the Cerulean Sea by T.J. Klune
  • Abarat 2: Days of Magic, Nights of War by Clive Barker
    Abarat 2: Days of Magic, Nights of War by Clive Barker

Recent Comments

When the Stars Go Da… on The Paris Wife
Hapudin Bin Saheh on Insomniac City: New York, Oliv…
The Case of the Pecu… on The Case of the Left-Handed La…
astrid.lim on Lorong Waktu by Edward Pa…
nina on Lorong Waktu by Edward Pa…

Create a free website or blog at WordPress.com.

Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
  • Follow Following
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Join 1,036 other followers
    • Already have a WordPress.com account? Log in now.
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Customize
    • Follow Following
    • Sign up
    • Log in
    • Report this content
    • View site in Reader
    • Manage subscriptions
    • Collapse this bar
 

Loading Comments...