• About this blog
  • Clearance Sale!
  • Newbery Project
  • Popsugar Reading Challenge 2023
  • Previous Challenges
    • BBI Read and Review Challenge 2017
    • Challenges 2014
    • Challenges 2015
    • Lucky No.14 Reading Challenge
    • Lucky No.15 Reading Challenge
    • POPSUGAR Reading Challenge 2017
    • Popsugar Reading Challenge 2018
    • Popsugar Reading Challenge 2020
    • Popsugar Reading Challenge 2021
    • Popsugar Reading Challenge 2022
    • What’s in a Name 2018
    • Twenty-Ten Challenge
    • Challenges 2012
    • Challenges 2013
  • Round Ups
  • The Librarian

~ some books to share from my little library

Tag Archives: asia

There’s No Such Thing as an Easy Job by Kikuko Tsumura

11 Friday Feb 2022

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

12booksby12friends, asia, culture, english, japan, mental health

Judul: There’s No Such Thing as an Easy Job

Penulis: Kikuko Tsumura

Penerjemah: Polly Barton

Penerbit: Bloomsbury Publishing (2020)

Halaman: 401p

Beli di: Periplus.com (IDR 150k)

Buku ini banyak disebut-sebut senada dengan karya Haruki Murakami: gloomy, depresif, dan dark. Awalnya saya agak skeptis karena takut bosan atau ngantuk, apalagi memang sedang tidak mood baca buku yang terlalu berat.

Tapi ternyata, Kikuko Tsumura sukses membuat saya bertahan sampai akhir, bahkan menikmati buku ini.

Kisahnya adalah tentang seorang perempuan tak bernama, yang burnout parah di pekerjaan sebelumnya, sehingga cita-citanya saat ini hanya satu: memiliki pekerjaan yang nggak bikin stress! Kalau bisa, yang nggak pakai mikir, nggak ada tanggung jawab, dan nggak butuh keahlian khusus.

Maka, tokoh kita mulai mencoba satu demi satu pekerjaan yang ditawarkan oleh agen tenaga kerja. Dari mulai menjadi analis kamera sekuriti yang kerjanya melotot memonitor screen CCTV sepanjang hari, lalu menjadi penyusun iklan baris yang dibacakan di bus umum, menulis info trivia di paket cracker, menempel poster berisi iklan layanan masyarakat, serta menjadi penjaga pos di tengah kebun raya yang super luas.

Meski semua pekerjaan tersebut terdengar mudah dan sederhana, namun uniknya di setiap pekerjaan itu, si tokoh tak bernama (sebut saja X) ini selalu menemukan kisah yang tidak biasa, yang akhirnya menguras pikiran dan tenaganya. Sebenarnya, tidak ada yang memaksa X untuk melakukan lebih dari yang ditugaskan, namun X selalu invested lebih dari yang ia rencanakan.

Hal ini akhirnya membuatnya kembali menelaah tentang kehidupan dan pekerjaan sebelumnya, apa yang menyebabkannya burnout, dan apakah mungkin suatu hari ia kembali menekuni pekerjaan yang sudah menjadi profesinya selama bertahun-tahun.

Yang saya suka dari buku ini adalah penggambaran mendetail namun tidak membosankan dari setiap pekerjaan yang dilakukan X. Dari mulai suasana kantor, rekan-rekan kerja, deskripsi pekerjaan, bahkan kantin atau makanan yang dimakan saat makan siang, semuanya menjadi bagian tak terpisahkan dari narasi X, namun karena disampaikan dengan apa adanya, dan dengan gaya X yang lugu, saya jadi ikut merasa invested dengan pekerjaan X, dan bahkan seolah merasakan sendiri pekerjaan-pekerjaan tersebut.

Kisah di setiap pekerjaan juga menjadi unsur yang menarik, selalu ada misteri kecil, konflik seru, dan interaksi dengan rekan kerja yang serba unik, yang menjadi bumbu cerita dan disampaikan dengan baik. Tsumura memang memiliki gaya dark yang sejenis dengan Murakami, namun lebih kental nuansa humor dan femininnya.

Secara keseluruhan, meski awalnya terasa cukup lambat, alur buku ini cukup menarik untuk diikuti. Topiknya yang membahas tentang etos kerja dan mental health di lingkungan pekerja Jepang pun terasa sangat relevan dan menarik untuk saya.

Saya sendiri membaca buku ini sebagai bagian dari reading challenge 12 books recommended by 12 friend, dan buku ini direkomendasikan oleh Ferina 🙂

Rating: 4/5

Recommended if you like: Japanese lit, dark humor, unique theme, intriguing narrative

Harbart by Nabarun Bhattacharya

10 Monday Jan 2022

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

asia, english, india, indie books, magical realism, novella, popsugar RC 2022, translation

Judul: Harbart

Penulis: Nabarun Bhattacharya

Penerjemah: Sunandini Banerjee

Penerbit: New Directions (2019)

Halaman: 122p

Beli di: Post Santa, part of Lonely Reader Care Package

Saya sangat jarang membaca buku terjemahan asal India. Rata-rata penulis India yang saya baca karyanya memang yang sudah menjadi bagian diaspora, baik yang beremigrasi ke Amerika atau Eropa, atau sudah generasi kesekian keluarga imigran.

Karena itu, tidak mengherankan kalau saya sama sekali tidak pernah mendengar tentang Harbart, atau penulisnya, Nabarun Bhattacharya. Mendapat buku ini pun tidak sengaja, karena memesan Lonely Reader Care Package yang dikurasi oleh toko buku Post saat akhir tahun lalu. Sesuai request saya yang menginginkan buku bernuansa “magical”, Post pun memilihkan Harbart, yang kental unsur magical realisme nya.

Dan memang, kadang kita harus venturing to unknown territory in order to experience new things. Harbart adalah pengalaman membaca yang unik, yang saya awali dengan blank slate, dan go with the flow saja sampai buku berakhir.

Harbart Sarkar mengalami begitu banyak ketidakberuntungan selama hidupnya. Ditinggal mati kedua orang tuanya saat ia masih kecil, dititipkan di rumah paman dan bibinya, di tengah sepupu dan keluarga yang semuanya memandang rendah dirinya, kecuali sang bibi yang baik hati, Harbart seolah tidak pernah diizinkan untuk bahagia. Sampai suatu pengalaman aneh menghampirinya, yang membuatnya dikenal sebagai orang yang bisa bercakap-cakap dengan orang mati.

Orang-orang dari berbagai penjuru kini mencari Harbart, ingin berbicara dengan kekasih-kekasih yang sudah meninggal dunia. Bahkan Harbart didekati oleh seorang pebisnis yang ingin menjadikannya partner bisnis okult yang sedang marak di dunia.

Kita menyaksikan perjalanan hidup Harbart yang malang melintang seiring perjalanan India sebagai negara yang mencari jati dirinya, mulai dari tahun 50 hingga 90-an, khususnya kota Kalkuta yang menjadi tempat tinggal Harbart. Banyak metafora yang saling berkaitan antara kehidupan Harbart dan Kalkuta, yang mungkin akan sedikit terlewatkan bila kita tidak terlalu familiar dengan sejarah India. Saya sendiri baru “ngeh” dengan keterkaitan ini saat membaca Afterword dari Siddharta Deb, yang membuat banyak hal menjadi jelas.

Penuturan buku ini bisa dibilang tidak biasa, banyak diselingi puisi, kutipan buku-buku yang menjadi kitab wajib Harbart dalam pencarian panggilan hidupnya, serta unsur magical realisme yang hadir melalui leluhur-leluhur Harbart yang sudah meninggal dunia. Dari beberapa review yang saya baca, semuanya rata-rata memuji gaya penerjemahan Banerjee di buku ini.

Secara keseluruhan, Harbart adalah pengalaman baru yang cukup menyenangkan, panjang buku yang hanya lebih sedikit dari 100 halaman membuat gaya yang kadang sulit diikuti tidak terlalu menyiksa, tapi justru menantang secara wajar.

Recommended if you want to read more Indian literature without being intimidated.

Rating: 3.5/5

Recommended if you want to read: Indian literature, under the radar writer, independent published book, magical realism

Submitted for:

Category: A book you know nothing about

Last Tang Standing by Lauren Ho

19 Tuesday Oct 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 4 Comments

Tags

asia, chicklit, culture, ebook, english, fiction, funny haha, romance, southeast asia, women

Judul: Last Tang Standing

Penulis: Lauren Ho

Penerbit: HarperCollins (2020, Kindle edition)

Halaman: 416p

Beli di: Amazon.com (USD 5.99)

Buku ini digadang-gadang sebagai penerus Crazy Rich Asian, mengangkat kisah orang-orang kaya di Asia dengan segala permasalahannya. Karena saya termasuk penyuka Crazy Rich Asian, terutama buku pertamanya, saya cukup berharap banyak dengan Last Tang Standing.

Andrea Tang adalah seorang pengacara sukses yang berkarier di kantor hukum terkenal di Singapura, Menjadi partner adalah goalnya, yang saat ini sudah akan hampir tercapai. Hanya saja, Andrea masih memiliki kekurangan besar dalam hidupnya, yang selalu diungkit-ungkit oleh ibunya: ia masih single.

Dan seperti banyak perempuan di Asia, kesuksesan dalam karier tetap tidak lengkap bila tidak diimbangi dengan kesuksesan dalam mendapatkan jodoh, terutama yang memiliki kriteria sesuai idaman orang tua: kaya, sukses, kalau bisa berasal dari ras dan latar belakang yang sama. Bibit, bebet, bobot. Namun, Andrea kerap dipertemukan dengan cowok-cowok yang tidak sesuai kriteria ideal: terlalu muda, terlalu tua, atau bahkan, sudah bertunangan, seperti rekan kerjanya yang super ganteng namun mengancam impiannya menjadi partner.

Yang saya suka dari buku ini adalah usaha sang penulis untuk menunjukkan budaya Asia Tenggara. Family dynamic, marriage vs career dilemma, dan konflik antara budaya tradisional dan kehidupan modern. Semuanya relatable, sesuai dengan kondisi yang memang sehari-hari ditemui di area urban Asia Tenggara, termasuk Singapura, Malaysia, atau Indonesia. And they work pretty well here.

But… unfortunately, the main character is super annoying. Saya benar-benar tidak bisa merasa relate dengan Andrea Tang, cewek 33 tahun keturunan Chinese/Malaysia yang hidupnya dipenuhi dengan mengeluh, belanja tas branded, dating nggak jelas, berantem dengan sahabatnya, meremehkan tokoh-tokoh perempuan lain di buku ini, complain tentang pekerjaannya setiap saat, dan minum. Sangat banyak minum. Saya berusaha mencari hal-hal yang relatable atau bisa disukai dari Andrea, namun lumayan susah.

Dan menurut saya, perbandingan dengan Crazy Rich Asian yang merupakan bagian promosi buku ini malah menjadi backlash, karena Last Tang Standing fell flat compare to the fresh comedy and witty humor of CRA series. Tang seperti trying too hard terutama mendeskripsikan dilema Andrea, tapi seperti lupa mengembangkan karakternya supaya menjadi lebih relatable dan likable. Saya tidak peduli dengan Andrea, dan unsur romansnya yang sangat predictable juga membuat saya malas bertele-tele mengikuti perjalanan Andrea mencari jodoh, yang seperti dipanjang-panjangkan saja jadinya.

Saya bukan termasuk penggemar genre romans, tapi kadang-kadang saya menemukan hidden gems, dan I have a weakness of South(east) Asian chiclits. Tapi sayangnya, Last Tang Standing gagal menjadi favorit saya, meski tetap ada beberapa bagian yang lumayan memorable. Hopefully Lauren Ho akan menulis lebih banyak buku, karena sebenarnya Tang memiliki potensi besar untuk menjadi hits, However- please stay away from Crazy Rich Asian reference, LOL.

Rating: 3/5

Recommended if you want to try: Southeast Asian chiclit, anything non Crazy Rich Asians, light reading, predictable romance, a taste of Singapore setting

Tiny Moons: A Year of Eating in Shanghai by Nina Mingya Powles

17 Friday Sep 2021

Posted by astrid.lim in non fiction

≈ Leave a comment

Tags

asia, english, essay, food, memoir, non fiction, popsugar RC 2021

Judul: Tiny Moons: A Year of Eating in Shanghai

Penulis: Nina Mingya Powles

Penerbit: The Emma Press (2020)

Halaman: 92p

Beli di: @post_santa (New Year’s box!)

Tiny Moons adalah koleksi essay karya Nina Mingya Powles, yang terus mengeksplorasi identitasnya melalui makanan. Nina lahir di New Zealand, namun berdarah campuran Chinese-Malaysia. Ia kerap berpindah-pindah dari mulai bersekolah di Wellington, mengunjungi neneknya di Kota Kinabalu, hingga menjadi murid bahasa Mandarin di Shanghai.

Di antara hari-harinya, Nina tidak pernah lelah mencari tahu jati dirinya, berusaha menemukan di mana sebenarnya ia belong. Kerap kali, suasana yang asing, ditambah sifatnya yang introvert, membuatnya merasa tidak bisa diterima di mana-mana. Namun, sejak kecil Nina sudah tertarik dengan makanan, dan mengidentifikasi dirinya melalui beragam makanan yang menjadi unsur budaya terkuat untuknya.

Buku ini berkisah tentang perjalanan Nina saat menjadi mahasiswa di Shanghai selama setahun, dan bagaimana ia berusaha beradaptasi dan terkoneksi dengan orang-orang di sekitarnya melalui makanan. Namun, di sela-sela kisahnya di Shanghai, Nina juga mengingat-ingat beragam makanan yang menemaninya saat ia tumbuh dewasa, terutama yang diperkenalkan oleh neneknya.

Tiny Moons terbagi menjadi bab-bab sesuai dengan musim yang dijalani Nina di Shanghai, yang memiliki makanan khas tertentu. Ada pan-fried dumplings di musim dingin, pineapple buns di musim semi, sesame pancakes di musim panas, dan chinese aubergines di musim gugur, dan banyak juga makanan lainnya.

Yang saya rasakan saat membaca kisah Nina adalah ikut merasa lapar dan craving makanan-makanan yang ia gambarkan. Nina sangat piawai menggambarkan rasa dan tekstur makanan yang dicobanya, sehingga saya bisa ikut merasakan sensasi yang ia rasakan. Ia juga mendeskripsikan dengan detail suasanan restoran atau warung tempat ia mencicipi hidangan-hidangan tersebut, yang ikut melengkapi sensasi kelezatan buku ini. Saya bisa membayangkan dengan jelas, misalnya, suasana dingin dan hujan, lalu berdesakan di warung mie, semeja dengan orang tak dikenal, yang sama-sama menikmati mie berkuah panas. Yum!

Satu hal yang saya agak sayangkan adalah kurang jelasnya timeline Nina dalam menjabarkan pengalamannya. Di sela-sela waktunya di Shanghai, Nina bercerita tentang saat ia berkunjung ke Kinabalu, atau saat ia kuliah dan bersekolah di New Zealand, juga ada saat ia sempat tinggal di Shanghai waktu masih kecil. Semuanya agak bercampur baur dan kadang menimbulkan kebingungan terhadap timeline secara keseluruhan.

Namun, saya tetap bisa menikmati kelezatan kisah Nina ini, yang ditulis dengan memikat.

Rating: 4/5

Recommended if you like: food, travel, culture, identity exploration, Asian food scenes

Submitted for:

Category: A book set in a restaurant

The Night Tiger by Yangsze Choo

30 Friday Jul 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

asia, bargain book!, culture, english, fiction, folklore, historical, popsugar RC 2021, reeses book club, romance, southeast asia

Judul: The Night Tiger

Penulis: Yangsze Choo

Penerbit: Flatiron Books (2019)

Halaman: 384p

Beli di: Books and Beyond (IDR 70k, bargain!!)

Meski tidak semua, biasanya buku-buku pilihan Reese’s Book Club selalu meninggalkan kesan baik untuk saya. Tak terkecuali The Night Tiger, kisah unik yang menggabungkan unsur folklore, sejarah, dan misteri.

Berlatar belakang di Malaysia tahun 1930-an, The Night Tiger langsung membawa saya mundur ke zaman kolonialisme di Malaya, di mana budaya penduduk asli bercampur baur dengan budaya modern yang dibawa oleh koloni Inggris.

Ren yang berusia 11 tahun bekerja sebagai asisten seorang dokter asing di pedalaman Malaya, dan ketika sang dokter meninggal, pesan terakhirnya adalah supaya Ren mencari jarinya yang hilang, dan menyatukannya dengan jenazahnya. Ren memiliki 49 hari untuk memenuhi tugas ini, kalau tidak, jiwa sang dokter akan terus bergentayangan di bumi, sesuai dengan kepercayaan penduduk lokal.

Sementara itu, Ji Lin bekerja sebagai asisten penjahit, dan menyambi sebagai partner dansa di gedung tempat berdansa, pekerjaan yang tidak bisa dibilang terhormat, tapi merupakan segelintir pilihan bila ia ingin terus membantu ibunya membayar hutang. Namun suatu malam, seorang pengunjung tempat dansa meninggalkan suvenir mengerikan: j potongan jari manusia.

Dan nasiblah yang nantinya akan mempertemukan Ren dengan Ji Lin, tentu setelah mereka mengalami berbagai kejadian mengerikan, termasuk beberapa pembunuhan, siluman harimau yang kerap muncul di tempat tak terduga, serta karakter-karakter yang mencurigakan.

Unexpectedly, I enjoyed this story quite a lot. Latar belakang Malaysia terasa similar dengan Indonesia, dan beberapa folklorenya, seperti manusia harimau siluman, juga terasa familiar. Yangsze Choo berhasil memadukan unsur budaya dan folklore ini dengan kisah misteri yang lumayan intriguing. Saya sudah bisa menebak siapa culpritnya dari bagian pertengahan buku, tapi tetap saja banyak detail baru yang muncul secara mengejutkan.

Dan biasanya, saya suka malas dengan romance plot, tapi kali ini (mungkin karena sedang mood juga, lol) saya bahkan bisa lebih menikmati plot romansnya juga, mungkin karena karakter Ji Lin menurut saya cukup likable dan relatable.

Yang paling saya suka dari buku ini adalah penggambaran plotnya yang begitu hidup. Saya bisa membayangkan dengan mudah rumah sakit kolonial, dancehall di kota Ipoh, hingga daerah pedalaman Malaysia yang penuh dengan kebun kelapa sawit. Kudos to Yangsze Choo for this beautifully written book. Can’t wait to read more of her works!

Rating: 4/5

Recommended if you like: historical fiction, Southeast Asia setting, folklore and mystery, unusual friendship

Submitted for:

A book you have seen on someone’s bookshelf (in real life, on a Zoom call, in a TV show, etc)- Stacey Abrams, whoop whoop!

How We Disappeared by Jing-Jing Lee

23 Wednesday Jun 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

asia, culture, english, fiction, popsugar RC 2021, singapore, southeast asia, women, women prize, world war

Judul: How We Disappeared

Penulis: Jing-Jing Lee

Penerbit: OneWorld Book (2020 paperback edition)

Halaman: 341p

Beli di: @therebutforthebooks (IDR 200k)

Singapore, 1942: Tentara Jepang merangsek masuk, menguasai negara kecil yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Inggris. Rakyat Singapura panik, dan satu demi satu mengalami penderitaan di bawah penjajahan Belanda. Tak terkecuali Wang-Di, anak perempuan yang diculik tentara Jepang dan dibawa ke bangunan yang ternyata merupakan brothel bagi tentara Jepang.

Singapore, 2000: Wang-Di hidup dalam kesepian, suaminya baru meninggal dunia dan ia masih menyimpan rahasianya selama perang tahun 1942. Keinginannya untuk membagi beban hidup terasa terlambat setelah suaminya meninggal dan ia hidup sebatang kara. Namun, kemunculan seorang anak laki-laki bernama Kevin, akan mengubah hidup Wang-Di.

Membaca buku ini membutuhkan hati yang kuat. Miris, kesal, marah, sedih, sakit, adalah berbagai perasaan yang muncul ketika saya membaca kisah Wang-Di, terutama saat ia dipaksa menjadi “comfort woman”, istilah pemerkosaan yang dilegalkan, selama Perang Dunia II berlangsung dan Singapura dijajah oleh Jepang. Terlebih, setelah perang usai, Wang-Di kembali ke keluarganya, namun semua orang mengira ia hidup bersenang-senang sebagai wanita simpanan tentara Jepang dan mengkhianati negaranya sendiri.

Buat saya, kisah tentang Singapura semasa Perang Dunia II termasuk jarang ditemui, dan membaca How We Disappeared membuka mata saya tentang penderitaan yang dialami oleh negara-negara di Asia Tenggara selama penjajahan Jepang. Sekelumit kisah Wang-Di hanya mewakili sedikit dari penderitaan yang terjadi, namun sudah mampu mengaduk emosi saya sampai rasanya mual sendiri membaca adegan yang lumayan detail di sini. Selain tema kekerasan seksual di masa penjajahan, buku ini juga menyinggung tentang trauma yang dialami Wang-Di, dan stigma masyarakat Asia, khususnya di era 1940-an, yang masih menganggap tabu pembicaraan tentang mental health dan kekerasan seksual.

Sayangnya, bagian kisah tentang Kevin, menurut saya agak terlalu dipanjang-panjangkan. Awalnya cukup membuat penasaran, apa hubungan Kevin dengan Wang-Di, dan kita diajak menyusuri lika-liku masa lalu keluarga Kevin hingga akhirnya bermuara di Wang-Di. Tapi karena agak terlalu lambat plotnya, dan banyak memotong kisah masa lalu Wang-Di, lama-lama jadi kurang sabar juga membaca bagian ini.

Meski tidak perfect, menurut saya buku ini tetap merupakan buku yang sangat recommended, terutama untuk yang mau tahu lebih banyak tentang sejarah Singapura, dan penggambaran settingnya memang sangat mendetail, baik Singapura di era 1940-an maupun di era modern 2000-an. Dan betul, Singapura lebih dari sekadar Orchard Road 🙂

Rating: 3.5/5

Recommended if you like: Southeast Asian reads, historical fiction, World War II, beautiful writing, a glimpse of life in Singapore

Submitted for:

A book set somewhere you’d like to visit in 2021

Klara and the Sun by Kazuo Ishiguro

08 Tuesday Jun 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

asia, british, english, fantasy, fiction, literature, nobel, science fiction

Judul: Klara and the Sun

Penulis: Kazuo Ishiguro

Penerbit: Alfred A. Knopf (2021)

Halaman: 303p

Beli di: @post_santa (IDR 270k)

Argh… this is definitely going to be one of my favorite 2021 reads! Sejujurnya saya baru pernah membaca satu buku Kazuo Ishiguro sebelumnya, Never Let Me Go yang lumayan mengintimidasi karena temanya yang berat dan gaya bahasanya yang mengalun lambat. Sejak itu, saya belum tertarik untuk membaca karya Ishiguro lainnya, apalagi embel-embel penerima Nobel semakin membuatnya tampak intimidatif.

Tapi membaca review banyak orang, yang menyatakan kalau Klara and the Sun adalah buku yang hangat, dan pasti akan membuat kita jatuh cinta dengan tokoh utamanya, membuat saya jadi penasaran juga. Karena itu saya memberanikan diri untuk berkenalan dengan Klara dan tried to enjoy this book.

Klara adalah sesosok Artificial Friend (AF) di sebuah kota tak bernama, suatu hari di masa depan. Dari balik jendela toko, sambil menanti seorang anak yang akan membawanya pulang, Klara mengamati dunia di sekitarnya. Orang-orang yang berlalu lalang, interaksi yang terjadi, dan emosi yang ditunjukkan oleh para manusia. Lebih dari segalanya, Klara ingin berusaha mengerti tentang manusia, apa yang mereka rasakan dan impikan. Meski teman-teman dan manajer tokonya kerap mengingatkan Klara supaya jangan berharap terlalu banyak dari manusia.

Suatu hari, Josie, anak perempuan yang sudah beberapa kali Klara lihat, akhirnya membawanya pulang. Klara pun menjalankan tugasnya sebagai teman Josie dengan bahagia. Namun anak perempuan di masa tersebut tidak bisa menjalani hidup yang “normal”. Josie berjuang untuk mendapat kehidupan lebih baik, “elevated” to the next level, meski itu berarti ia harus rela disesuaikan secara genetik, sehingga tidak akan kalah dengan para robot. Namun konsekuensinya, kesehatan Josie seringkali memburuk, dan membuatnya terkapar di tempat tidur berhari-hari.

Klara, yang amat percaya dengan khasiat sinar matahari (karena sumber energinya memang dari solar alias matahari), bertekad ingin meminta tolong pada sang matahari untuk menyembuhkan Josie. Dan perjalanan Klara mencari matahari serta usahanya untuk membuat Josie sehat kembali, adalah salah satu kisah persahabatan paling sincere yang pernah saya baca. Tertohok juga rasanya, mengingat Klara adalah sosok Artificial Friend yang sebenarnya tidak memiliki hati dan perasaan seperti manusia, namun ternyata mampu melakukan tindakan cinta yang tidak mengharapkan balasan pada sahabat terdekatnya.

Beberapa kritik menyatakan kalau Klara and the Sun sebenarnya kurang sesuai dengan level Kazuo Ishiguro, apalagi dengan statusnya sebagai penerima Nobel. Tapi menurut saya, justru Ishiguro berhasil mengukuhkan reputasinya sebagai penulis yang konsisten bermain-main dengan isu masa depan, artificial intelligence, rekayasa genetik, bahkan debat mengenai moralitas manusia vs robot, namun dengan narasi yang membumi, dan bahkan lebih approachable dibandingkan dengan buku-buku sebelumnya.

Klara adalah narator yang luar biasa relatable, meski sosoknya yang kaku dan sangat robotik sebenarnya sulit untuk kita merasa relate, tapi Ishiguro dengan piawai justru mengajak kita menyelami dunia Klara, pikirannya dan keraguannya akan segala hal berbau manusia, sehingga kita jadi bisa melihat dari sudut pandang lain sebagai pengamat, tentang makna hidup sebagai manusia, dan mengapa kita selalu membuat segalanya menjadi rumit.

Klara and the Sun adalah buku yang jauh dari kesan intimidatif, selain karena narasinya yang mudah diikuti, isu futuristiknya pun masih terasa relate dengan kehidupan masa kini, dan bahkan – dengan orang-orang seperti Elon Musk dan Jeff Bezos di sekitar kita – tidak mustahil akan benar-benar terjadi di masa depan yang tak terlampau jauh. Satu hal yang sedikit saya sayangkan adalah ketidakjelasan dunia masa depan yang menjadi setting buku ini. Sedikit worldbuilding atau penjelasan saya rasa akan lebih bisa membantu kita membayangkan setting yang digunakan. Namun, vagueness in setting ini memang menjadi salah satu ciri khas Ishiguro sehingga protes ini menjadi tidak terlalu relevan XD

Setelah menamatkan kisah Klara, saya sempat mengikuti sebuah event dari British Library yang diselenggarakan dalam rangka World Book Night, dengan narasumber Kazuo Ishiguro dan host Kate Mosse, penulis asal Inggris. Diskusi ini sangat menarik, delightful, dan informatif, baik yang sudah membaca buku Klara maupun yang belum, karena Ishiguro menjabarkan proses kreatif dan perjalanan idenya tanpa menyentuh spoiler apapun. Dan di sini, saya juga bisa melihat sosok Ishiguro yang amat humble, dan kadang malah gantian bertanya pada Kate Mosse mengenai hal-hal yang masih membingungkannya sebagai seorang penulis. Benar-benar inspiratif!

Video percakapan ini bisa diakses di sini.

Rating: 4.5/5

Recommended if you like: lovable but unusual narrator, ideas about the future, genetic and artificial intelligence, down to earth narrative, beautiful and flowy language

The Memory Police by Yoko Ogawa

21 Friday May 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

asia, dystopian, fantasy, fiction, Gramedia, japanese, literature, mystery/thriller, popsugar RC 2021, terjemahan

Judul: The Memory Police (Polisi Kenangan)

Penulis: Yoko Ogawa

Penerjemah: Iingliana

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2020)

Beli di: Gramedia.com (IDR 93k)

Apa jadinya bila satu demi satu benda-benda di sekitar kita mulai menghilang, bersama dengan kenangan kita akan mereka? Bagaimana rasanya bangun di suatu pagi dan menyadari bahwa mulai hari itu sudah tidak ada lagi bunga mawar, atau burung merpati, atau kapal feri dan buku novel? Yang tersisa hanyalah kehampaan, rasa kehilangan akan suatu memori yang bahkan kita tidak ingat lagi tentang apa.

Kisah sendu, gloomy, dan menyedihkan ini terjadi di suatu pulau tak bernama, yang saat ini dikuasai oleh rezim yang sangat opresif (mungkin sejenis junta militer). Secara berkala, rezim ini mulai menghilangkan benda-benda dari hidup dan ingatan setiap orang, termasuk seorang novelis muda yang tinggal sendirian di rumah peninggalan orang tuanya.

Namun, ternyata ada orang-orang tertentu yang tetap memiliki ingatan sempurna, tak tersentuh oleh tekanan rezim, namun nyawa mereka berada dalam ancaman. Si novelis narator kita berusaha melindungi editornya yang termasuk ke dalam golongan orang yang tak bisa lupa. Dibantu oleh temannya, si pria tua mantan pekerja kapal, sang novelis menyembunyikan editornya di ruang rahasia, meski itu berarti ia juga membahayakan nyawanya sendiri.

The Memory Police adalah buku yang amat unik. Kisahnya sendiri menurut saya agak terlalu vague- dari mulai setting tempat dan karakter yang tidak bernama, sampai ketidakjelasan latar belakang rezim dan apa tujuannya menghilangkan ingatan orang-orang. Saya merasa gemas sesekali karena ingin mengetahui lebih banyak tentang latar belakang kisah ini, yang sebenarnya akan sangat menarik bila digali lebih dalam. Tapi sepertinya fokus Yoko Ogawa memang lebih kepada prosa yang mengalir, yang disusun sedemikian rupa sehingga kita bisa benar-benar merasuk ke dalam kisah mencekam ini.

Pemilihan diksi yang mendeskripsikan masing-masing benda dan ingatan yang hilang memang menjadi salah satu kekuatan utama buku ini, yang untungnya bisa diterjemahkan dengan sangat baik oleh sang penerjemah. Selain itu, ada alur paralel yang menceritakan tentang buku yang sedang ditulis oleh si novelis, yang juga memiliki nada yang sama suramnya, dan kita bisa melihat kesulitan si novelis menulis bukunya saat satu demi satu ingatan perlahan hilang dari dirinya.

The Memory Police (yang merupakan simbol rezim opresif) sepertinya memang buku yang enak dinikmati sebagai ide, mengajak kita bermain-main dalam imajinasi tentang suatu saat di mana manusia tidak lagi memiliki kontrol atas hidup dan ingatannya, dan tanpa ingatan apalah artinya kita, hanya sosok-sosok yang tidak memiliki tujuan hidup.

A thought provoking, albeit a bit vague story.

Rating: 3/5

Recommended if you want to try: Japanese lit, unusual plot, beautiful prose, gloomy read

Submitted for:

Category: A book about forgetting

The Unlikely Adventures of the Shergill Sisters by Balli Kaur Jaswal

01 Thursday Oct 2020

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

asia, culture, ebook, english, europe, family, fiction, immigrant, india, kindle, popsugar summer RC 2020, travel

Judul: The Unlikely Adventures of the Shergill Sisters

Penulis: Balli Kaur Jaswal

Penerbit: William Morrow (2019, Kindle edition)

Halaman: 320p

Beli di: Amazon.com (USD 1.99- bargain!)

Rajni, Jezmeen, dan Shirina adalah kakak-beradik keturunan India yang lahir dan besar di Inggris. Ketiganya memiliki karakter yang bertolak belakang dan tidak bisa dibilang akur satu sama lain. Namun, Ibu mereka -yang baru meninggal karena kanker- meninggalkan surat wasiat yang meminta mereka untuk melakukan perjalanan napak tilas ke India, sambil menebarkan abunya.

Tentu saja ketiga bersaudara ini amat tidak ingin melakukan perjalanan tersebut, tapi mereka terpaksa menuruti keinginan sang Ibu. Ketiganya semakin malas berangkat karena sedang mengalami masalah di kehidupan masing-masing. Rajni bertengkar hebat dengan anak satu-satunya, yang entah mengapa kini berpacaran dengan perempuan yang usianya lebih dari dua kali lipat usianya- dan seperti hendak menghancurkan masa depannya sendiri. Jazmeen, yang menekuni karier di dunia entertainment, mengalami kejadian amat memalukan yang langsung viral di sosial media. Sementara Shirina, si bungsu yang tinggal di Melbourne bersama suami dan ibu mertuanya, menghadapi dilema besar yang akan menentukan perjalanan hidupnya.

Ketiganya berangkat ke India dalam kondisi yang tidak bersemangat, dan pertengkaran demi pertengkaran kerap mewarnai perjalanan mereka. Namun, ketika melakukan satu demi satu keinginan Ibu mereka, termasuk mengunjungi berbagai tempat suci yang menjadi bagian dari kegiatan pilgrimage, mereka justru sedikit demi sedikit menguak rahasia masa lalu sang Ibu serta keluarganya. Dan mereka menyadari, banyak hal yang masih patut mereka syukuri, termasuk keberadaan mereka satu sama lain.

Ini adalah pengalaman pertama saya membaca buku karya Balli Kaur Jaswal, yang lebih populer dengan novel sebelumnya, Erotic Stories for Punjabi Widows. Jaswal memiliki gaya menulis yang santai, efortless, penuh humor natural dan dialog yang tidak dibuat-buat, serta sentuhan drama keluarga yang terasa pas. Meski awalnya saya sebal setengah mati dengan ketiga kakak beradik Shergill, lama kelamaan saya merasa terhubung dengan mereka, terutama karena masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan yang terasa seimbang.

Jaswal juga dengan piawai menggabungkan unsur drama keluarga, bumbu-bumbu rahasia yang bikin penasaran, dan setting India yang eksotik. Meski terasa cukup banyak yang ingin diangkat oleh Jaswal, termasuk isu imigran, kesenjangan sosial di India, serta isu feminisme; namun porsi masing-masing isu masih bisa dibilang pas, tidak terlalu berlebihan atau membuat overwhelmed. Mungkin juga karena gaya bahasa yang digunakan Jaswal amat luwes, sehingga tidak membuat isu-isu tersebut menjadi terlalu serius dan keluar dari tone buku keseluruhan.

Overall, saya cukup menikmati buku ini dengan segala drama dan komplikasinya. Penyelesaiannya juga cukup memuaskan. Dan saya jadi penasaran kepingin berkunjung ke India setelah membaca buku ini 😀

Submitted for:

Category: A book about a vacation

Convenience Store Woman by Sayaka Murata

09 Tuesday Jun 2020

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

asia, culture, english, japan, lovely heroine, novella, popsugar RC 2020, translation, women

Judul: Convenience Store Woman

Penulis: Sayaka Murata

Penerjemah: Ginny Tapley Takemori 

Penerbit: Portobello Books (2018)

Halaman: 163p

Beli di: @therebutforthebooks (IDR 200k)

Keiko Furukura adalah seorang perempuan yang simpel. Sejak kecil, dia tidak memiliki ambisi dan cita-cita yang tinggi, menjalani hidup hari demi hari. Orangtuanya merasa Keiko tidak akan berhasil hidup di dunia nyata, dan mereka bahagia saat Keiko mendapatkan pekerjaan sambilan di convenience store (semacam minimart yang banyak bertebaran di Jepang) ketika ia kuliah.

Namun, setelah lulus dari universitas, Keiko tak kunjung mencari pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya. Ia kadung merasa betah, nyaman, dan menjadi bagian yang menyatu dengan toko tempatnya bekerja. Di toko itu, Keiko merasa memiliki tujuan hidup. Ia berfungsi dengan baik, dan mampu mengerjakan semua tugasnya dengan sempurna; dari mulai menyusun stok barang, memilah-milah mana yang harus habis dijual, membuat makanan cepat saji, hingga menjadi kasir dan melayani pelanggan. Keiko seolah menjelma menjadi mesin yang berguna, bagian dari sistem yang amat ia pahami dan cintai.

Ia tahu, orang tua dan teman-temannya ingin ia berkembang, meniti karier yang jelas atau setidaknya mulai memikirkan untuk mencari suami dan memiliki anak. Keiko sadar, meski hati kecilnya memberontak, ia harus berusaha memenuhi harapan orang-orang di sekitarnya, dan mengacu pada norma dan nilai yang dianut oleh masyarakat Jepang pada umumnya. Keiko selalu dianggap aneh, dan meski ia sendiri tidak merasa aneh, namun ia tahu, demi kebaikan semua orang, ia harus berubah.

Tema pencarian jati diri serta memenuhi norma yang ditentukan oleh masyarakat, merupakan topik yang diangkat oleh Sayaka Murata dengan amat memikat. Walaupun hanya berjumlah 160an halaman, sehingga buku ini mungkin lebih cocok disebut novella, Convenience Store Woman merupakan kisah yang menarik, pas, tidak bertele-tele, namun tetap menyajikan studi psikologis yang mendalam, terutama tentang sosok perempuan di mata masyarakat Jepang. Nilai-nilai apa yang seharusnya dianut, dan yang kenyataannya terjadi dalam hidup Keiko, dan bagaimana pertentangan itu menciptakan masalah, sebenarnya bukan dari pihak Keiko, namun dari orang-orang di sekitarnya yang berusaha untuk membuatnya menjadi orang yang “lebih baik.”

Meski tidak sama persis dengan kondisi di Indonesia, ada beberapa bagian dari buku ini yang menurut saya cukup menyentil keadaan kita di sini. Sosok perempuan yang diharapkan harus menikah atau meniti karier, standar-standar tertentu yang ditetapkan oleh keluarga dan masyarakat, semuanya terasa cukup familier, mungkin memang kurang lebih mirip di banyak negara di Asia.

Saya sendiri sangat bersimpati dengan Keiko dan berharap ada akhir yang bahagia untuknya, meski itu berarti ia memngambil jalan yang tidak sesuai dengan harapan orang-orang di sekelilingnya.

Oiya, membaca buku ini juga membuat saya terkenang perjalanan ke Jepang, dengan kunjungan ke minimart yang tidak mungkin terlewatkan. Mulai dari membeli sarapan onigiri hingga memilih minuman teh kaleng dalam berbagai merek dan rasa, kunjungan ke minimart memang sangat spesial, dan bisa dianggap sebagai bagian dari ritual budaya masyarakat Jepang. Di buku ini, Sayaka menggambarkan suasana minimart dengan amat sempurna, sehingga rasanya kita langsung terbayang-bayang suasana di dalamnya, lampu yang terang, deretan rapi produk yang dijual, serta sapaan hangat dan seragam dari para staffnya 🙂

Submitted for:

Kategori: A book set in Japan, host of the 2020 Olympics

← Older posts

From the bookshelf

Categories

Looking for Something?

Enter your email address to follow Books to Share and receive notifications of new posts by email.

Join 1,036 other subscribers

Currently Reading

I’m a Proud Member! #BBI 1301004

Wishful Wednesday Meme

Fill your Wednesdays with wishful thinking =)

Popsugar Reading Challenge 2018

bookworms

  • aleetha
  • althesia
  • alvina
  • ana
  • annisa
  • bzee
  • dewi
  • dion
  • fanda
  • Ferina
  • helvry
  • inne
  • Kobo
  • maya
  • mei
  • melmarian
  • mia
  • ndari
  • nophie
  • oky
  • peri hutan
  • ren
  • Reygreena
  • sel sel kelabu
  • sinta
  • tanzil
  • tezar
  • yuska

shop til you drop

  • abe books
  • Amazon
  • better world books
  • book depository
  • BukaBuku
  • Buku Dedo
  • bukukita
  • vixxio

Top Posts & Pages

  • Red, White & Royal Blue by Casey McQuiston
    Red, White & Royal Blue by Casey McQuiston
  • The Secret History
    The Secret History
  • Klara and the Sun by Kazuo Ishiguro
    Klara and the Sun by Kazuo Ishiguro
  • The Monogram Murders by Sophie Hannah
    The Monogram Murders by Sophie Hannah
  • Puddin' by Julie Murphy
    Puddin' by Julie Murphy

Recent Comments

Puddin’ by Jul… on Dumplin’ by Julie M…
jesica on Abarat 2: Days of Magic, Night…
jesica on Abarat 2: Days of Magic, Night…
When the Stars Go Da… on The Paris Wife
Hapudin Bin Saheh on Insomniac City: New York, Oliv…

Blog at WordPress.com.

Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
  • Follow Following
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Join 1,036 other followers
    • Already have a WordPress.com account? Log in now.
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Customize
    • Follow Following
    • Sign up
    • Log in
    • Report this content
    • View site in Reader
    • Manage subscriptions
    • Collapse this bar
 

Loading Comments...