• About this blog
  • Clearance Sale!
  • Newbery Project
  • Popsugar Reading Challenge 2023
  • Previous Challenges
    • BBI Read and Review Challenge 2017
    • Challenges 2014
    • Challenges 2015
    • Lucky No.14 Reading Challenge
    • Lucky No.15 Reading Challenge
    • POPSUGAR Reading Challenge 2017
    • Popsugar Reading Challenge 2018
    • Popsugar Reading Challenge 2020
    • Popsugar Reading Challenge 2021
    • Popsugar Reading Challenge 2022
    • What’s in a Name 2018
    • Twenty-Ten Challenge
    • Challenges 2012
    • Challenges 2013
  • Round Ups
  • The Librarian

~ some books to share from my little library

Tag Archives: travel

The Man in the Brown Suit by Agatha Christie

07 Monday Feb 2022

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

adventures, africa, agatha christie, british, classic, english, fiction, mystery/thriller, read christie 2022, romance, south africa, travel

Judul: The Man in the Brown Suit

Penulis: Agatha Christie

Penerbit: HarperCollinsPublishers (2017)

Halaman: 311p

Beli di: Kinokuniya (IDR 135k)

Tema #ReadChristie2022 adalah travel, dan untuk bulan Januari, buku yang terinspirasi dari perjalanan Agatha Christie. Buku pilihan resminya adalah The Man in the Brown Suit, yang terinspirasi perjalanan Agatha Christie ke Afrika Selatan.

Saya pernah membaca buku ini, dan jujur saja, bukan merupakan favorit saya. Kisahnya sendiri memang cukup berbeda dari tipikal buku Agatha Christie. Anne Beddingfeld yang haus akan petualangan, secara tidak sengaja terlibat dalam pengalaman menegangkan saat ia menyaksikan seorang pria tewas ditabrak kereta bawah tanah. Anne yakin, sebelum terjatuh ke rel, pria tersebut kaget melihat seorang laki-laki berjas cokelat yang membuatnya terpeleset dan tersambar kereta.

Anne pun bertekad untuk menemukan si pria berjas cokelat, apalagi saat ia menemukan secarik kertas jatuh dari kantong pria tersebut, yang membawanya berlayar dengan kapal Kilmorden Castle yang menuju ke Afrika Selatan. Di atas kapal, Anne mengalami banyak kejadian misterius, bertemu karakter-karakter yang tak kalah mencurigakan, mulai dari misionaris yang menyimpang rahasia, jutawan yang rumahnya baru-baru ini menjadi lokasi pembunuhan (yang dicurigai melibatkan si pria berjas cokelat), sekretarisnya yang selalu gugup, serta seorang pemuda misterius yang hanya muncul di saat-saat tertentu saja, dan yang membuat Anne jatuh cinta setengah mati.

Dan beginilah buku ini – penuh petualangan berbumbu kisah asmara, dengan latar belakang kapal pesiar serta Afrika Selatan yang eksotik. Kisah misterinya sendiri bukan merupakan inti buku ini, karena memang agak terlalu bombastis, apalagi karena Anne yang terlalu polos seolah berhasil mengelabui sepasukan kriminal profesional 😀

Tapi kalau ingin menikmati kisah yang berbeda, tanpa terlalu peduli plot, dan sedang ingin membaca romans berbumbu petualangan, The Man in the Brown Suit memang pilihan yang tepat. Dan menurut saya, memang buku yang tepat untuk #ReadChristie2022 bulan ini, karena nuansa travelingnya yang sangat kental memang menjadi kekuatan utamanya.

Rate: 3/5

Recommended if you like: adventures, romance, traveling, different Agatha, exotic settings

Submitted for:

Insipred by Agatha’s travels

The Salt Path by Raynor Winn

12 Monday Apr 2021

Posted by astrid.lim in non fiction

≈ Leave a comment

Tags

adventures, british, illnesses, inspirational, memoir, popsugar RC 2021, secondhand books, social issues, travel

Judul: The Salt Path

Penulis: Raynor Winn

Penerbit: Penguin Books (2019)

Halaman: 282p

Beli di: @ThereButForTheBooks (IDR 120k)

Sudah jatuh, tertimpa tangga. Mungkin itu adalah ungkapan yang tepat untuk hidup Raynor Winn, karena masalah datang padanya dengan bertubi-tubi. Suaminya, Moth, didiagnosa penyakit degenerasi langka yang tidak bisa disembuhkan, sementara itu, keluarga mereka mengalami krisis finansial parah akibat investasi gagal yang berlanjut ke ranah hukum, sehingga rumah merangkap pertanian mereka pun terpaksa disita. Raynor dan Moth resmi menjadi homeless, tanpa tahu harus tinggal di mana.

Suatu ide gila menghampiri Raynor di titik ter-desperate-nya, terinspirasi dari salah satu buku yang pernah ia baca. Raynor mengajak Moth untuk menyusuri South West Coast Path, jalur pejalan kaki di sebelah Barat Daya Inggris, yang melewati beberapa county termasuk Devon dan Cornwall. Rencananya, mereka berangkat dari Minehead, terus menuju ke Selatan hingga titik paling ujung bernama Land’s End, dan dari sana naik kembali ke Utara hingga berakhir di Poole. Total perjalanan mereka adalah 630 mil, dan mereka menggunakan buku Paddy Dillon sebagai acuan rute mereka.

Karena nyaris tidak punya uang, kecuali mengandalkan pemasukan mingguan seadanya dari tunjangan Moth, Raynor memutuskan mereka harus berkemah di sepanjang jalan, yang artinya melanggar peraturan pemerintah yang sebenarnya melarang perkemahan liar. Namun, karena mereka tidak mampu untuk menyewa space di perkemahan resmi, tidak ada pilihan lain kecuali mencari tempat tersembunyi di penghujung hari untuk mendirikan tenda.

Baik Raynor dan Moth sudah berusia separuh baya, dan kesehatan Moth pun makin menurun, sehingga banyak sekali tantangan yang harus mereka hadapi di sepanjang perjalanan. Cuaca buruk, medan yang berat, kehabisan uang, kekurangan makanan bergizi, bertemu dengan orang-orang dari mulai yang ingin tahu sampai menghakimi status homeless mereka. Namun di tengah kesulitan tersebut, masih banyak hal yang bisa disyukuri oleh Raynor dan Moth. Kesehatan Moth yang membaik setelah terbiasa dengan udara luar, orang-orang yang selalu ada saja yang ingin menolong, serta keindahan pesisir Inggris Selatan yang amat memukau.

Raynor Winn berhasil menuangkan petualangannya ke dalam deskripsi yang detail dan memikat, sehingga saya dengan mudah bisa membayangkan perjalanan yang mereka lalui, bahkan kadang-kadang sampai bisa mencium aroma laut yang asin. Tajamnya angin laut, koakan burung camar, hingga perubahan cuaca ekstrim dari yang panas terik menjadi dingin menggigit pun berhasil digambarkan oleh Raynor Winn dengan baik. Hanya saja, yang saya sayangkan adalah tidak adanya foto dalam buku ini, yang sebenarnya bisa membuat kisahnya semakin memukau, dan membuat kita lebih relate dengan Raynor dan Moth.

Satu hal yang juga menarik dalam buku ini adalah pembahasan tentang isu homeless di Inggris, karena Raynor dan Moth menjumpai banyak orang tanpa rumah seperti mereka, dengan berbagai kondisi dan alasan, yang mencoba bertahan di kerasnya dunia yang penuh dengan tuntutan standar kehidupan normal. Saya sendiri, yang sampai sekarang masih mengontrak rumah, tidak bisa membayangkan berada di posisi Raynor yang secara tiba-tiba kehilangan tempat tinggal. Buat saya, setidaknya ada support system seperti keluarga yang pasti masih akan membantu, entah memberi tumpangan sementara atau menguatkan mental kita. Tapi saya lihat, dalam kasus Raynor, bukan hanya sekadar tidak ada yang membantu, tapi prinsip dan budaya yang membuatnya sulit menerima bantuan orang lain, dan mempertahankan dignity saat tidak ada hal lain yang bisa ia pertahankan.

A truly eye opener, indeed.

Rating: 4/5

Recommended if you like: adventures, British outdoors, touching memoirs, beautiful views, real life struggles

Salah satu jalur South West Coast Path yang juga dikenal sebagai Salt Path
Rute yang ditempuh oleh Raynor dan Moth

Submitted for:

Category: A book set mostly or entirely outdoors

The Unlikely Adventures of the Shergill Sisters by Balli Kaur Jaswal

01 Thursday Oct 2020

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

asia, culture, ebook, english, europe, family, fiction, immigrant, india, kindle, popsugar summer RC 2020, travel

Judul: The Unlikely Adventures of the Shergill Sisters

Penulis: Balli Kaur Jaswal

Penerbit: William Morrow (2019, Kindle edition)

Halaman: 320p

Beli di: Amazon.com (USD 1.99- bargain!)

Rajni, Jezmeen, dan Shirina adalah kakak-beradik keturunan India yang lahir dan besar di Inggris. Ketiganya memiliki karakter yang bertolak belakang dan tidak bisa dibilang akur satu sama lain. Namun, Ibu mereka -yang baru meninggal karena kanker- meninggalkan surat wasiat yang meminta mereka untuk melakukan perjalanan napak tilas ke India, sambil menebarkan abunya.

Tentu saja ketiga bersaudara ini amat tidak ingin melakukan perjalanan tersebut, tapi mereka terpaksa menuruti keinginan sang Ibu. Ketiganya semakin malas berangkat karena sedang mengalami masalah di kehidupan masing-masing. Rajni bertengkar hebat dengan anak satu-satunya, yang entah mengapa kini berpacaran dengan perempuan yang usianya lebih dari dua kali lipat usianya- dan seperti hendak menghancurkan masa depannya sendiri. Jazmeen, yang menekuni karier di dunia entertainment, mengalami kejadian amat memalukan yang langsung viral di sosial media. Sementara Shirina, si bungsu yang tinggal di Melbourne bersama suami dan ibu mertuanya, menghadapi dilema besar yang akan menentukan perjalanan hidupnya.

Ketiganya berangkat ke India dalam kondisi yang tidak bersemangat, dan pertengkaran demi pertengkaran kerap mewarnai perjalanan mereka. Namun, ketika melakukan satu demi satu keinginan Ibu mereka, termasuk mengunjungi berbagai tempat suci yang menjadi bagian dari kegiatan pilgrimage, mereka justru sedikit demi sedikit menguak rahasia masa lalu sang Ibu serta keluarganya. Dan mereka menyadari, banyak hal yang masih patut mereka syukuri, termasuk keberadaan mereka satu sama lain.

Ini adalah pengalaman pertama saya membaca buku karya Balli Kaur Jaswal, yang lebih populer dengan novel sebelumnya, Erotic Stories for Punjabi Widows. Jaswal memiliki gaya menulis yang santai, efortless, penuh humor natural dan dialog yang tidak dibuat-buat, serta sentuhan drama keluarga yang terasa pas. Meski awalnya saya sebal setengah mati dengan ketiga kakak beradik Shergill, lama kelamaan saya merasa terhubung dengan mereka, terutama karena masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan yang terasa seimbang.

Jaswal juga dengan piawai menggabungkan unsur drama keluarga, bumbu-bumbu rahasia yang bikin penasaran, dan setting India yang eksotik. Meski terasa cukup banyak yang ingin diangkat oleh Jaswal, termasuk isu imigran, kesenjangan sosial di India, serta isu feminisme; namun porsi masing-masing isu masih bisa dibilang pas, tidak terlalu berlebihan atau membuat overwhelmed. Mungkin juga karena gaya bahasa yang digunakan Jaswal amat luwes, sehingga tidak membuat isu-isu tersebut menjadi terlalu serius dan keluar dari tone buku keseluruhan.

Overall, saya cukup menikmati buku ini dengan segala drama dan komplikasinya. Penyelesaiannya juga cukup memuaskan. Dan saya jadi penasaran kepingin berkunjung ke India setelah membaca buku ini 😀

Submitted for:

Category: A book about a vacation

The Loose Ends List by Carrie Firestone

04 Tuesday Aug 2020

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

death, dysfunctional family, ebook, english, fiction, new adult, popsugar summer RC 2020, romance, sicklit, summer, travel, vacation

Judul: The Loose Ends List

Penulis: Carrie Firestone

Penerbit: Little, Brown Books (2016, Kindle Edition)

Halaman: 368p

Beli di: Amazon.com

Maddie memiliki banyak rencana untuk musim panas terakhirnya sebelum memulai kuliah. Terutama, ia ingin melakukan hal-hal yang sudah ia catat di “loose ends list” – nya, yaitu hal-hal yang masih harus dilakukan, masih membutuhkan closure, dan lain-lain, sebelum ia mengawali fase baru dalam hidupnya.

Namun rencananya berantakan saat tiba-tiba nenek yang sangat disayanginya mengumumkan kalau ia mengidap penyakit kanker stadium akhir dan sedang sekarat, dan sebagai hadiah terakhir bagi keluarganya, ia ingin mereka semua menghabiskan dua bulan musim panas berlayar keliling dunia dengan Wishwell Cruise.

Namun itu bukan sembarang pelayaran, karena cruise tersebut khusus diperuntukkan bagi orang-orang yang sedang sekarat atau menderita penyakit yang sudah tidak mungkin disembuhkan, dan memberi kesempatan pada mereka untuk menghabiskan hari-hari terakhir bersama keluarga, sebelum akhirnya mereka mengambil tindakan euthanasia. Seperti kata nenek Maddie, ini adalah cara untuk pergi dari dunia dengan penuh integritas dan harga diri. Karena ia (seperti juga banyak orang yang bergabung di Wishwell), tidak ingin hari-hari terakhirnya dihabiskan di rumah sakit, dengan obat-obatan dan menyusahkan keluarga serta orang lain.

Maka dimulailah petualangan Maddie, sekaligus mencari cara untuk melepaskan neneknya, dan menemukan banyak teman baru yang membuka pikiran dan hatinya.

Yang saya suka dari buku ini adalah temanya yang unik. Pelayaran khusus untuk orang-orang sekarat? Euthanasia di tengah samudera? Dan sambil bersenang-senang, pula, melihat berbagai tempat dan negara yang menarik dan eksotis. Carrie Firestone merupakan penulis yang luwes, menggambarkan dengan ringan suasana di atas kapal pesiar serta negara-negara yang mereka kunjungi, sehingga menambahkan kesan liburan musim panas dengan amat jelas, dan cukup kontras dengan maksud dari pelayaran tersebut, yang tentu saja berkaitan dengan tema kematian.

Namun ada hal-hal yang saya kurang sreg juga dari buku ini. Karakter utamanya, Maddie, bukanlah orang yang mudah mengundang simpati. Cewek kulit putih dari keluarga kaya raya, yang seringkali annoying tapi anehnya dipuja semua anggota keluarga (dan cowok gebetannya di kapal pesiar). Keluarganya pun sama saja, dengan segala first world problem yang menunjukkan privilege mereka. Meski ada beberapa bagian yang lucu, dan gaya penulisan Firestone yang ceria, namun ada dialog-dialog dan jokes yang menurut saya disajikan dengan kurang pas, terutama yang menyangkut disabilitas dan perbedaan budaya. Saya rasanya mau mengamuk saat Maddie mengeluh tentang makanan Taiwan yang memuakkan, serta penggambaran masyarakatnya yang seolah masih terbelakang. Padahal Taiwan adalah salah satu negara paling maju di Asia!

Anyway – The Loose Ends List bukan buku yang buruk, sebenarnya, hanya saja menurut saya banyak hal yang perlu direconsider oleh sang penulis, termasuk banyak sekali penis jokes yang sanga immature XD Oh well.

Submitted for:

Category: A book that takes place during the summer before high school or college

The Woman in Cabin 10 by Ruth Ware

10 Tuesday Apr 2018

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

british, english, fiction, mystery/thriller, popsugar RC 2018, secondhand books, suspense/thriller, travel

Judul: The Woman in Cabin 10

Penulis: Ruth Ware

Publisher: Scout Press (2017)

Halaman: 340p

Beli di: Better World Books ( USD 6.48)

Lo Blacklock (love the name!) adalah jurnalis majalah travel yang ketiban rejeki ketika ditugasi menggantikan bosnya untuk meliput pelayaran super eksklusif cruise Aurora yang dimiliki oleh jutawan Skandinavia, Richard Bullmer.

Namun pengalaman mengerikan sebelum keberangkatannya merusak mood Lo, yang memang sudah menderita anxiety parah, menjadi semakin paranoid.

Kejadian misterius yang dialami Lo di Aurora tidak membantu meredakan kepanikannya. Ia sempat bicara dengan seorang perempuan di kabin 10 yang terletak di sebelah kabinnya. Namun tidak seorangpun di kapal mau mengakui kalau ada perempuan menempati kabin yang seharusnya kosong itu. Lebih parah lagi, Lo mendengar jeritan dan suara benda jatuh ke laut di malam hari, dan ia yakin- meski tidak ada bukti sama sekali- ada kejahatan terjadi di Aurora, dengan korban seorang perempuan misterius yang keberadaannya tidak diakui siapapun. Insting jurnalis Lo membuatnya bertekad ingin menyelidiki misteri tersebut, namun ia tidak menyadari betapa berbahayanya tindakan itu! Mendadak saja, semua penumpang kapal, dari mulai para jurnalis lain, kru hingga si pemilik sendiri, terlihat amat mencurigakan dan menyimpan rahasia, sampai-sampai Lo yakin tidak ada yang bisa ia percaya.

Ketika saya meminta rekomendasi tentang buku-buku misteri ala Agatha Christie namun dengan sentuhan modern, hampir semua sumber menyarankan saya untuk mencoba membaca Ruth Ware, yang disebut-sebut sebagai the new Queen of Crime. Ruth Ware gemar menciptakan kisah suspence misteri dengan memanfaatkan setting yang kuat, mirip dengan gaya Agatha Christie dalam meramu kisah-kisahnya.

Woman in Cabin 10 memiliki premis yang amat menarik. Bukan saja karena setting kisahnya yang di atas kapal pesiar (Death on the Nile, anyone??), tapi juga tokoh detektifnya yang merupakan jurnalis dan bukan polisi, sehingga seharusnya kita bisa lebih mudah merasa relate dengannya.

Namun ada beberapa hal yang membuat saya kurang sreg dengan buku ini. Yang pertama: loopholes. Lumayan banyak kejadian yang kurang masuk akal namun terasa dipaksakan untuk mencapai solusi akhir yang diinginkan. Memang tidak terlalu mengganggu sekali sih, tapi kita harus mengacuhkannya kalau tidak mau merasa terganggu dengan beberapa plot yang kurang masuk akal ini. Yang kedua, agak sulit untuk menyukai karakter Lo karena kepribadiannya memang tidak mudah untuk membuat kita terhubung dengannya. Selain sering marah-marah karena menderita anxiety akut, Lo juga seringkali melakukan tindakan-tindakan tidak konsisten, dan bisa dibilang termasuk kateogri drama queen. Jadi memang agak sulit untuk rooting for her, satu hal yang agak fatal dalam sebuah kisah misteri.

Tapi overall, saya masih lumayan menikmati buku ini. Tidak spektakuler sih, tapi cukup enjoyable, masih termasuk fast-paced dan lumayan seru kalau sedang kangen kisah-kisah suspense. Saya sendiri masih tertarik untuk membaca buku-buku Ruth Ware yang lain.

Submitted for:

Category: A book set at sea

 

 

 

Zen and the Art of Motorcycle Maintenance by Robert M. Pirzig

12 Tuesday Dec 2017

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 1 Comment

Tags

america, bbi review reading 2017, english, fiction, philosophical, popsugar RC 2017, road trip, travel

Judul: Zen and the Art of Motorcycle Maintenance

Penulis: Robert M. Pirzig

Penerbit: Bantam Book (1984, 31st printing)

Halaman: 373p

Beli di: Better World Books (USD 5.98)

Buku ini adalah salah satu buku paling sulit yang saya baca tahun ini. Mungkin karena saya memiliki ekspektasi yang sama sekali berbeda.

Premis buku berjudul panjang ini sangat menarik: perjalanan seorang ayah dan anak laki-lakinya menyusuri Amerika Serikat menggunakan sepeda motor, penuh kontemplasi filosofis yang menginspirasi.

Dan memang benar sih, begitulah inti kisah yang sebenarnya sederhana tersebut. Namun cara penyampaiannya benar-benar tidak sesuai dengan yang saya bayangkan. Alih-alih kisah hangat hubungan antara ayah dan anak, buku ini malah disajikan seolah seperti buku teks filosofi yang kering, padat dan bertele-tele.

Sepanjang perjalanan, sang ayah berkontemplasi tentang masa lalunya yang rumit. Ia adalah seorang filsuf, yang menganalogikan dirinya sebagai Phaedrus, karena memiliki pemikiran-pemikiran tidak biasa yang terlalu maju untuk zamannya. Refleksinya mengulik perbedaan antara golongan pemikiran klasik dan romantik, yang melihat dunia dengan cara berbeda. Ia mengajukan analogi filosofinya melalui satu hal yang amat ia sukai: perawatan sepeda motor. Bagaimana orang klasik vs orang romantik melihat masalah perawatan sepeda motor?

Dan begitulah, sepanjang road trip mereka, sang ayah melakukan ‘Chautauqua’ atau kontemplasi tentang teorinya tersebut, yang memengaruhinya sangat dalam sehingga membuatnya terjerumus dalam masalah di masa lalu, serta mengganggu hubungannya dengan sang anak laki-laki.

Mungkin karena saya tidak tertarik dengan sepeda motor dan juga tidak memiliki minat mendalam terhadap filosofi, maka buku ini terasa sangat kering dan sulit dinikmati. Apalagi penuturannya yang seperti ceramah bisa dibilang cukup membosankan.

Satu-satunya yang saya suka di buku ini adalah penggambaran perjalanan melintasi Amerika, yang digambarkan cukup detail, terutama daerah-daerah yang jarang terekspos seperti gurun di Daerah South Dakota, jalan tol pinggiran dan hutan di Montana- cukup membuka mata tentang Amerika yang berbeda, terutama di daerah Midwest. Karakter Chris si anak laki-laki juga cukup sedikit menghidupkan buku ini- komentar serta kelakuannya yang apa adanya seolah berusaha mengimbangi ayahnya yang sulit menjejak ke bumi dengan pemikiran-pemikiran rumitnya.

Buku ini bisa jadi akan menginspirasi orang-orang yang ingin berkontemplasi lebih dalam tentang cara menghadapi hidup dan dunia, atau orang-orang yang memiliki teori tersendiri yang jauh lebih maju daripada sekelilingnya. Tapi karena saya bukan termasuk di antara orang-orang tersebut, rasanya buku ini tidak memberikan kesan yang mendalam pada saya, kecuali rasa bosan dan berat untuk menyelesaikannya. Namun saya tetap mengacungi jempol kepada penulis buku ini, yang berusaha menampilkan topik filosofi dengan wajah berbeda.

Submitted for:

Category: A book involving travel

Kategori : Classic Litearture

 

 

Goodbye to All That: Writers on Loving and Leaving New York by Sari Botton

29 Wednesday Nov 2017

Posted by astrid.lim in non fiction

≈ 1 Comment

Tags

anthology, bbi review reading 2017, memoir, new york, non fiction, NYC, popsugar RC 2017, travel

Judul: Goodbye to All That: Writers on Loving and Leaving New York

Editor: Sari Botton

Penulis: Ann Hood, Dani Shapiro, Cheryl Strayed, Emma Straub, et al

Penerbit: Seal Press (2013)

Halaman: 269p

Beli di: BookBook, NYC (USD 16)

I always love New York City. Kalau ada kota di dunia di mana saya boleh memilih untuk tinggal, NYC lah pilihan saya. Dan karena sampai sekarang kesempatan itu belum ada (well, ada kisah tentang NYU dan what could have been; tapi itu cerita lain), maka saya harus cukup puas untuk menikmati kota ini lewat buku dulu.

Premis buku ini sangat menarik: 28 kisah singkat yang ditulis oleh para penulis perempuan tentang pengalaman mereka jatuh cinta pada NY, tinggal di kota NY, dan akhirnya -karena berbagai alasan- harus mengucapkan selamat tinggal pada kota tersebut. Tapi ada satu kesamaan mereka: pernah menganggap New York City sebagai rumah.

Beberapa kisah memang terasa agak mirip-mirip sehingga malah akhirnya terlupakan begitu saja. Kebanyakan bercerita tentang betapa NY ternyata mengecewakan mereka karena tidak seindah yang dibayangkan, atau karena justru mereka terusir dengan paksa akibat biaya hidup yang tak terjangkau.

Namun beberapa cerita cukup berkesan untuk saya dan malah membuat saya jadi semakin kangen dan penasaran dengan kota yang tak pernah tidur ini.

Hope Edelman bercerita tentang kejadian absurd yang dialaminya: ketika ia masih remaja, ia jatuh cinta dengan sebuah brownstone- apartemen bata khas NY- di Manhattan, dan kejadian serta takdir benar-benar membawanya tinggal di sana bertahun-tahun kemudian.

Emma Straub, tidak seperti penulis lainnya, adalah penduduk asli kota NY, a native New Yorker, yang lahir dan besar di kota tersebut dan tidak mengenal rumah lain selain NYC. Di suatu titik ia merasa harus keluar dari kota itu untuk mencari rumah lain- namun pesona NY kerap menariknya pulang.

Hal yang mirip dialami juga oleh Lauren Elkin, yang besar di Manhattan dan memutuskan untuk pindah ke Paris. Akhirnya ia diberi kesempatan untuk melihat NY dari jendela yang lain, dari sudut pandang berjarak yang membuat ia mencintai NY dengan cara-cara yang tak pernah dia rasakan sebelumnya.

Yang paling berkesan untuk saya adalah kisah Emily St. John Mandel, yang ternyata sempat hidup dalam kemiskinan di Kanada dan hanya bermodalkan nekat lah ia lari ke NY dan menemukan jalan hidupnya.

Membaca kisah-kisah di buku ini memang sedikit mengingatkan saya pada cerita Carrie Bradshaw di Sex and the City, hanya saja tentu lebih terasa real dan kadang dengan nuansa yang cukup kelam (banyak kisah tragedi dan depresi yang dialami para penulis buku ini).

Karena beberapa kisah terasa cukup mirip, ada kesan klise yang diperoleh bila kita membaca buku ini sekaligus. Yang akhirnya bisa menimbulkan kesan sinis seperti “ya, ya, kamu merasa bisa menaklukkan NY, pindah ke NY, gagal, dan pindah ke kota lain dan somehow menjelek-jelekkan NY dan jadi membencinya”. Makanya saran saya buku ini memang harus dibaca pelan-pelan saja dan beri jeda setelah beberapa kisah, supaya tidak merasa dicekoki dengan kisah klise ala NY. Apalagi kadang gaya menulis para penulis perempuan ini cukup pretensius dan tidak semuanya mudah untuk disukai atau relatable.

Saya sendiri cukup menyukai buku ini dan penasaran dengan companion booknya, Never Can Say Goodbye: Writers on Their Unshakable Love of New York, yang menghadirkan kisah lebih variasi dari para penulis yang juga bervariasi (ada penulis laki-laki selain perempuan), dan masih berkisah seputar kota New York.

Trivia:

Kumpulan kisah ini terinspirasi dari essay terkenal Joan Didion (1967) yang memiliki judul sama, Goodbye to All That. Essay tersebut bercerita tentang pengalaman Didion pindah pertama kalinya ke kota New York (yang selalu menjadi kiblat atau aspirasi para penulis pemula), tinggal dan berjuang di kota tersebut, hingga akhirnya memutuskan untuk meninggalkannya. Sayang esaaynya tidak disertakan juga di dalam buku ini, karena sebenarnya bisa menambahkan nuansa melankoli dan memberikan konteks yang lebih dalam untuk kisah-kisah yang ada.

Submitted for:

Category: A book with a subtitle

Kategori Hobby Non Fiction

 

Wishful Wednesday [224]

22 Wednesday Mar 2017

Posted by astrid.lim in meme

≈ 8 Comments

Tags

fiction, meme, travel, wishful wednesday, wishlist

Halo! Selamat hari Rabu 🙂 Hari ini saya posting terjadwal karena lagi cuti dan liburan singkat, yeay 😀

Ngomong-ngomong soal libur dan jalan-jalan, sudah lama saya kepingin baca buku bertema travel yang satu ini: Zen and The Art of Motorcycle Maintenance (Robert Pirsig). Biarpun judulnya terlihat seperti buku pelajaran teknik mesin, tapi sebenarnya ceritanya jauh dari yang berbau mesin kok.. heheh.

One of the most important & influential books written in the past half-century, Robert M. Pirsig’s Zen & the Art of Motorcycle Maintenance is a powerfully moving & penetrating examination of how we live, a breathtaking meditation on how to live better. Here is the book that transformed a generation, an unforgettable narration of a summer motorcycle trip across America’s Northwest, undertaken by a father & his young son. A story of love & fear–of growth, discovery & acceptance–that becomes a profound personal & philosophical odyssey into life’s fundamental questions, this uniquely exhilarating modern classic is both touching & transcendent, resonant with the myriad confusions of existence & the small, essential triumphs that propel us forward.

Saya paling suka tema buku yang ada unsur travelnya, dan para karakternya mengalami perkembangan seiring perjalanan tersebut.

Kalau kamu, apa WW mu minggu ini?

  • Silakan follow blog Books To Share – atau tambahkan di blogroll/link blogmu =)
  • Buat posting mengenai buku-buku (boleh lebih dari 1) atau segala hal yang berhubungan dengan kebutuhan bookish kalian, yang jadi inceran kalian minggu ini, mulai dari yang bakal segera dibeli, sampai yang paling mustahil dan hanya sebatas mimpi. Oya, sertakan juga alasan kenapa buku/benda itu masuk dalam wishlist kalian ya!
  • Tinggalkan link postingan Wishful Wednesday kalian di Mr. Linky (klik saja tombol Mr. Linky di bagian bawah post). Kalau mau, silakan tambahkan button Wishful Wednesday di posting kalian.
  • Mari saling berkunjung ke sesama blogger yang sudah ikut share wishlistnya di hari Rabu =)

 

 

Istanbul: Kenangan Sebuah Kota by Orhan Pamuk

28 Thursday Jul 2016

Posted by astrid.lim in non fiction

≈ 5 Comments

Tags

bbi holiday, memoir, non fiction, Posting Bareng BBI 2016, terjemahan, travel

istanbul

Lokasi: Blue Doors, Bandung 🙂

Judul: Istanbul: Kenangan Sebuah Kota

Penulis: Orhan Pamuk

Penerjemah: Rahmani Astuti

Penerbit: Serambi (2015)

Halaman: 555p

Beli di: Hobby Buku (IDR 69k, disc 20%)

Ini pertama kalinya saya membaca karya Orhan Pamuk. Saya berharap bisa lebih menyukai buku ini, tapi entah kenapa perasaan saya kok biasa-biasa saja ya setelah selesai membaca Istanbul, malah cenderung kurang terkesan.

Mungkin ada beberapa sebab mengapa saya menganggap buku ini kurang memuaskan:

  1. Ekspektasi: saya belum pernah membaca karya Orhan Pamuk sebelumnya, termasuk yang bergenre fiksi dan meraih berbagai penghargaan bergengsi. Mungkin ekspektasi dan standar yang ada di otak saya waktu membaca buku ini ternyata lebih disesuaikan dengan apa yang saya dengar tentang buku-buku fiksinya. Sementara itu, Istanbul adalah karya non fiksi, memoar dari Pamuk tentang kehidupannya dan kota kelahiran serta kecintaannya, Istanbul. Genre yang cukup esoterik dan pada dasarnya bukan merupakan favorit saya, apalagi dari seorang penulis yang belum saya kenal dan saya baca karya-karyanya.
  2. Personal: karya ini menurut saya adalah karya yang sangat personal. Mengisahkan tentang kehidupan Orhan Pamuk, mulai dari masa kanak-kanaknya di tengah keluarga besarnya, ayahnya yang gemar menghilang dan persaingannya dengan sang abang untuk memperoleh perhatian ibu mereka, serta berlanjut ke masa remaja dan dewasa, perjuangannya mencari panggilan hidup yang sejati. Namun, karena saya memang belum memiliki koneksi apapun dengan Pamuk, bagi saya buku ini datar saja. Apalagi, kisah memoar kehidupan Pamuk di sini (yang sebenarnya berasal dari keluarga cukup berada dan tidak terlalu memiliki konflik yang dramatis) juga dicampurbaurkan dengan kisah memoar Istanbul, kota yang memiliki sejarah panjang sejak dari jaman Byzantium, Otoman, hingga Republik. Saya jadi agak bingung, antara mengenal Orhan Pamuk (yang sangat sedikit menceritakan kehidupan pribadinya di sini) atau Istanbul (yang saya juga tidak terlalu banyak tahu sejarahnya). Dari kedua topik tersebut, saya tidak mendapatkan hasil yang maksimal.
  3. Self indulgent: lagi-lagi, masih menyambung pendapat saya di nomor 2, menurut saya buku ini memang benar-benar ditulis oleh Pamuk sebagai kecintaannya pada kotanya, Istanbul. Saya suka deskripsi detail yang ia jabarkan mengenai jalan-jalan kuno di Istanbul, reruntuhan kota yang sudah mengalami berbagai kejadian, serta keindahan tersembunyi yang bisa ditemukan di tempat-tempat tak terduga. Saya ingin mengunjungi Istanbul setelah membaca buku ini. Tapi satu hal yang kurang saya sukai adalah banyaknya referensi penulis, pelukis, dan seniman yang digunakan oleh Pamuk dalam menjabarkan kota kesayangannya ini. Nama-nama tersebut tidak berarti apa-apa bagi saya dan kadang bagian-bagian ini terasa membosankan dan diulang-ulang, seperti membaca buku sejarah saja rasanya. Mungkin karena saya terlalu ignorant untuk mencari tahu lebih lanjut tentang nama-nama tersebut, tapi yang pasti menurut saya Pamuk terlalu banyak bermain dengan referensi ini sehingga malah saya kehilangan perspektif pribadinya di banyak bagian buku. Satu lagi yang saya sayangkan adalah banyaknya foto hitam putih indah yang tersebar di buku ini, yang sayangnya tidak dilengkapi caption apapun, sehingga kurang memperjelas latar belakang dan kaitannya dengan bagian kisah tertentu.
  4. Terjemahan: saya tidak mengkritik terjemahan buku ini karena semuanya masih mudah dipahami, gaya bahasanya pun masih lumayan bisa dinikmati. Tapi saya pikir, alangkah lebih baiknya kalau saya bisa menikmati Pamuk dengan bahasa aslinya sendiri, karena saya yakin, tersimpan nuansa puitis dan melankolis yang tidak bisa dituangkan sempurna lewat terjemahannya, seindah apapun terjemahan yang dilakukan. Tapi, mustahil lah saya belajar bahasa Turki demi menikmati kisah ini 🙂

Orhan Pamuk adalah sosok yang fenomenal, dan Istanbul adalah kota yang tak kalah fenomenal. Mungkin saya memang berharap terlalu banyak dari buku ini, dengan segala unsur fenomenalnya- namun tak mendapat sesuai yang saya harapkan. Yang pasti, buku-buku Pamuk lainnya masih masuk ke dalam list to read saya!

Submitted for:

Banner Posbar 2016

Literature Tourism: Washington, DC (Part 2)

07 Wednesday Oct 2015

Posted by astrid.lim in my story, shopping

≈ Leave a comment

Tags

books for america, bookstore, idle time, my story, shopping, travel, usa, washington dc

So… Part 1 of the story was dedicated wholly to a specific bookstore, Capitol Hill Books. It’s my most favorite in DC based on my trip, but it doesn’t mean that there’s no other cool bookstores in the city.

I will write about two other bookstores in this post, still secondhand ones, and although I didn’t shop as many as in the Capitol Hill, I still found some good books in those places. Ow.. before I forgot, I will post the picture of my bookhaul in the last posting about Washington, DC, so please stay tuned 🙂

The first shop I visited is Idle Time Books – located near my hotel, in Adams Morgan area. This is a hipster kinda neighborhood, with lots of cafes, jazz clubs, bars, fusion and ethnic restaurants. Idle Time Books is a small two story building, old fashioned from outside but has this cozy ambiance in the inside.

Some bookshelves are left outside during the summer days, inviting pedestrians to stop by and browse the books that are on sale. Some of the books are only $1, very cheap indeed and sometimes you could actually find hidden gems there.

Entering the bookstore, the old school vibe remains, the smell of papers, leather and wood created this homey feeling that makes you realized you can actually find home away from your home.

idletime1

Inside, wood bookshelves are standing side by side, packed with books from various genre. I come here with my two colleagues and we all have different taste for books. So we separated and went to different directions, browsing the shelves that are most interesting to us.

Of course I went directly to the Fiction and Literature shelves, followed by the Children’s Books section. There are lots of options of course, but Idle Time is pretty serious with their vintage collections. I found some old children’s books from the 60s or 70s, with their covers a bit torn and the pages were yellow.

idletime2

You really need some time to browse the bookstore, because even in the uninteresting looking shelves, there are some hidden gems somewhere. I love the layout of the bookstore because there are even shelves at the unexpected spots, like at the stair landing between the first and second floor, or some small rooms dedicated to rare or very specific genre.

idletime3

Another thing that made me loveee Idle Time is their knicks-knacks collections, from comic books to postcards to greeting cards to bookmarks. Very very tempting! I bought some vintage postcards for me and my colleagues at the office, because the price is not that expensive too, and I think it will make a better souvenir than keychains 🙂 This place is definitely recommended for any booklovers and also so-called nerds 🙂

Idle Time Books

2467 18th Street Northwest
Washington, DC 20009

(202)232-4774

idletimebooks@hotmail.com

http://www.idletimebooks.com/

idletime4

The second bookstore that I would love to recommend in this post is Books for America, another secondhand bookshop that is located near the Embassy Row area, including near the Indonesian Embassy.

booksamerica3

The store doesn’t look very impressive from the outside, only a brick building with blue awning and a small “Book Sale” sign outside. But inside, it’s another lovely book haven, full of wooden bookshelves that are lined around the room, with the books aligned with alphabetical order, made it easy to browse. You can walk from one end to another end of the room, or just go directly to your favorite bookshelf or look for your favorite authors.

booksamerica1

Some oldies style decoration can be found around the store, such as a vintage typewriter or wooden tables. The collection itself is pretty massive, with reasonable price. I found a hardback of one of my wishlists for only 7 USD, and the paperbacks are about 5 USD.

The other cool thing about this store is they provide the donation bin, where we can deposit any unused books to be donated to local schools, shelters, and other institutions/organizations. Sweet!

booksamerica2Books for America – A Bookstore with a Purpose

1417 22nd Street, NW

Washington, DC  20037

(near the corner of 22nd & P NW in Dupont Circle)

(202) 835-2665

info@booksforamerica.org

http://www.booksforamerica.org

 

 

← Older posts

From the bookshelf

Categories

Looking for Something?

Enter your email address to follow Books to Share and receive notifications of new posts by email.

Join 1,036 other subscribers

Currently Reading

I’m a Proud Member! #BBI 1301004

Wishful Wednesday Meme

Fill your Wednesdays with wishful thinking =)

Popsugar Reading Challenge 2018

bookworms

  • aleetha
  • althesia
  • alvina
  • ana
  • annisa
  • bzee
  • dewi
  • dion
  • fanda
  • Ferina
  • helvry
  • inne
  • Kobo
  • maya
  • mei
  • melmarian
  • mia
  • ndari
  • nophie
  • oky
  • peri hutan
  • ren
  • Reygreena
  • sel sel kelabu
  • sinta
  • tanzil
  • tezar
  • yuska

shop til you drop

  • abe books
  • Amazon
  • better world books
  • book depository
  • BukaBuku
  • Buku Dedo
  • bukukita
  • vixxio

Top Posts & Pages

  • Red, White & Royal Blue by Casey McQuiston
    Red, White & Royal Blue by Casey McQuiston
  • The Secret History
    The Secret History
  • Klara and the Sun by Kazuo Ishiguro
    Klara and the Sun by Kazuo Ishiguro
  • The Monogram Murders by Sophie Hannah
    The Monogram Murders by Sophie Hannah
  • Puddin' by Julie Murphy
    Puddin' by Julie Murphy

Recent Comments

Puddin’ by Jul… on Dumplin’ by Julie M…
jesica on Abarat 2: Days of Magic, Night…
jesica on Abarat 2: Days of Magic, Night…
When the Stars Go Da… on The Paris Wife
Hapudin Bin Saheh on Insomniac City: New York, Oliv…

Blog at WordPress.com.

Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
  • Follow Following
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Join 1,036 other followers
    • Already have a WordPress.com account? Log in now.
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Customize
    • Follow Following
    • Sign up
    • Log in
    • Report this content
    • View site in Reader
    • Manage subscriptions
    • Collapse this bar
 

Loading Comments...