Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir saya membaca karya Astrid Lindgren. Yang paling membuat terkesan tentu saja adalah serial Pippi Longstocking yang menjadi favorit saya sejak kecil. Kali ini, Lindgren menciptakan sebuah dunia fantasi Negeri Nun Jauh. Tak disangka, Mio yang adalah anak yatim piatu dan sejak kecil tinggal bersama paman dan bibinya yang culas di kota Stockholm, ternyata merupakan putera mahkota yang sudah lama hilang dari Negeri Nun Jauh.
Untunglah, suatu hari Mio diberi kesempatan untuk pulang ke negaranya, dan berjumpa dengan ayah yang sangat dikasihinya. Untuk pertama kali seumur hidupnya, Mio bisa merasakan indahnya dicintai sang ayah, tinggal di negeri yang indah, dan memiliki teman-teman baru, termasuk Jum-Jum yang menjadi sahabat baiknya.
Namun, Mio amat terkejut ketika menyadari takdirnya sebagai putera mahkota adalah melawan Kesatria Kato, yang merupakan musuh bebuyutan Negeri Nun Jauh dan sudah sangat banyak menimbulkan kekacauan, kesedihan, dan penderitaan rakyatnya. Meski sadar misinya amat berbahaya, Mio bertekad tidak akan mundur, dan membuktikan kalau ia mampu menjadi putera mahkota sejati Negeri Nun Jauh.
Tidak seperti kisah Pippi, kisah Mio jauh lebih sendu, penuh dengan drama dan adegan yang lumayan serius untuk ukuran buku anak. Misalnya saja tentang anak-anak yang diculik oleh Kesatria Kato dan berubah menjadi burung. Juga beberapa karakter lain yang terimbas kekejaman sang Kesatria jahat dan mengalami penderitaan yang menyedihkan.
Tapi secara keseluruhan, kisah Mio yang terbilang kisah klasik (sang terpilih – misi rahasia – pertarungan akhir) cukup bisa dinikmati, terutama kalau kangen dengan kisah fantasi sebelum era modern Harry Potter, yang cukup sederhana, straightforward tapi tetap memorable.
As usual, Astrid Lindgren never disappoints 🙂
Rating: 3.5/5
Recommended if you like: children’s classics, Harry Potter-esque storylines, simple fantasy land
Submitted for:
Category:A book by an author with the same initials as you
Odile Souchet bermimpi bisa bekerja di American Library di kota Paris, dan akhirnya, di tahun 1939, impiannya tercapai. Dikelilingi oleh buku-buku, kutu buku, rekan kerja yang serba unik, dan bahkan seorang polisi muda yang mencuri hatinya, hidup Odile tampak sempurna. Namun, sedikit yang ia tahu, kehidupannya akan berubah total, setelah Perang Dunia II mulai dan Jerman menguasai Prancis. Perpustakaan kesayangannya, bersama orang-orang yang dikasihinya, juga ikut terancam.
American Library di Paris
Fast forward ke tahun 1983, di kota kecil di Montana, seorang remaja perempuan kesepian bernama Lily, penasaran dengan sosok tetangganya yang hidup menyendiri. Odile, tetangganya tersebut, memiliki masa lalu misterius dan tak seorang pun tahu kisah sesungguhnya mengapa ia pindah dari Paris ke Montana. Lily bertekad mencari tahu, namun ia justru menemukan pribadi yang menyenangkan, yang membuatnya jatuh cinta pada buku, kota Paris dan bahasa Prancis.
The Paris Library memikat saya karena deskripsinya yang hidup tentang kota Paris di tahun 1930-40an, menjelang Perang Dunia II. Saya langsung merasa relate dengan Odile si kutu buku, yang cita-citanya bekerja di American Library, perpustakaan berbahasa Inggris terbesar di Paris saat itu. Karena penulis buku ini terinspirasi kisah nyata di mana perpustakaan ini berperan besar menyuplai buku-buku saat Prancis diduduki oleh Belanda, banyak karakter di Paris Library yang memang merupakan tokoh nyata, atau terinspirasi dari sejarah, sehingga membuat kisah ini semakin terasa hidup.
American Library di Paris, saat ini
Tapi, bagian kisah Montana, yang ditampilkan berselang-seling dengan kisah Odile di Paris, awalnya cukup terasa mengganggu. Menurut saya, sudut pandang Montana ini kurang pas dengan plot Perang Dunia, dan terasa seperti plot yang terpisah dari keseluruhan buku, terutama karena tone nya yang cukup berbeda. Lily untungnya adalah karakter yang mudah mengundang simpati, dan kisahnya tumbuh besar di kota kecil Montana, sambil mendengarkan kisah tentang Paris dan belajar Bahasa Prancis dengan Odile, lumayan menarik untuk diikuti. Namun transisi sampai saya merasa bisa relate dengan Lily dan menghubungkannya dengan kisah masa lalu Odile agak sulit buat saya.
Selain itu, rahasia masa lalu Odile yang membuatnya meninggalkan Paris dan perpustakaan yang dicintainya, bahkan memutus hubungan dengan orang-orang yang ia kasihi, agak terlalu dipaksakan menurut saya, dan tidak sesuai dengan karakter Odile sendiri.
Namun bagaimanapun, The Paris Library tetap merupakan historical fiction yang memikat, ditulis dengan baik, dan mengangkat kisah peran perpustakaan selama Perang Dunia, yang selama ini cukup jarang ditemui di buku sejenis. Oiya, Sylvia Beach dan Shakspeare and Co sempat disebut-sebut juga lho!
Rating: 3.5/5
Recommended if you like: historic Paris, World War II from different angle, book about books, library!, dual timeline
Penerbit: Modern Library (2009, first published 1862)
Halaman: 1329p
Beli di: Books and Beyond (IDR 130k, bargain!)
Sejujurnya, saya bingung bagaimana mereview buku legendaris setebal lebih dari 1000 halaman ini. Where should I start?
Mungkin, yang paling mudah dan masuk akal adalah membuat summary singkat setiap volume, kemudian menyampaikan kesan-kesan saya secara keseluruhan di bagian akhir review ini 🙂 I hope that’s okay.
Kali ini kita beralih ke Cosette, setelah bertahun-tahun hidup menderita, akhirnya dipertemukan dengan Jean Valjean, dan mereka berusaha bertahan hidup sebagai keluarga, meski Javert tetap mengejar Jean Valjean akibat masa lalunya yang suram.
PART THREE: MARIUS
Cosette tumbuh menjadi gadis cantik, yang memikat hati seorang pemuda bernama Marius. Namun, Marius dalam keadaan galau, antara mengikuti jejak ayahnya, pendukung Republik, atau tetap setia dengan kakek yang mengurusnya dari kecil, yang merupakan bagian dari kaum elite. Marius pun bertemu dengan sekelompok pemuda yang sedanng berkobar-kobar ingin melancarkan revolusi terhadap pemerintah Prancis saat itu.
PART FOUR: THE IDYLL OF THE RUE PLUMET AND THE EPIC OF THE RUE SAINT-DENIS
Di tengah kisah cinta Marius dan Cosette yang penuh drama, termasuk tentangan dari Jean Valjean (yang tidak rela kehilangan Cosette), Marius ikut serta dalam demonstrasi yang digagas teman-temannya. Klimaks yang terjadi kemudian melibatkan juga Jean Valjean serta Javert, yang berada di tengah situasi penuh bahaya tersebut.
PART FIVE: JEAN VALJEAN
Bagaimanakah Jean Valjean akan mengakhiri kisahnya? Apakah dengan kejujuran, penerimaan terhadap identitasnya, meski itu artinya ia akan kehilangan Cosette, satu-satunya orang paling berarti di hidupnya? Dan bagaimanakah akhir perseteruan Jean Valjean dengan Javert?
Tema yang (sebetulnya) sederhana ini, dibuat rumit oleh Victor Hugo karena kecenderungannya untuk menulis dengan panjang lebar, terutama untuk hal-hal yang menjadi passionnya. Misalnya, di Part One, ada satu bagian yang amat panjang, yang bercerita tentang Bishop Bienvenu, yang tidak akan muncul lagi di sepanjang buku, tapi karena memiliki peran cukup penting dalam turning point Jean Valjean, maka kisah sang Bishop ditulis dengan amat detail, hingga ke masa lalu dan latar belakangnya yang panjang.
Pada akhirnya, saya bersyukur berhasil menyelesaikan buku ini, yang – eventhough indeed a monster- terasa epik, menakjubkan, dan menyajikan salah satu pengalaman membaca luar biasa yang sudah jarang saya temui dari buku fiksi kontemporer.
Sekarang, tinggal menonton filmnya, untuk melihat whether they do this book justice? 😀
Rating: 4/5
Recommended if you like: history, French, epic drama, brick books, everlasting classics
Submitted for:
Category: The longest book (by pages) on your TBR list
Salah satu obsesi saya adalah mengunjungi toko buku legendaris di berbagai belahan dunia. Dan yang sampai sekarang masih menjadi bucket list adalah Shakespeare and Company yang terletak di kota Paris. Meski beruntung sudah pernah menginjakkan kaki di Paris, entah kenapa nasib belum membawa saya berkunjung ke toko buku bersejarah ini.
Saat Shakespeare and Co. kemarin sempat terancam tutup di tengah pandemi Covid-19, saya bersama beberapa teman memutuskan untuk berbelanja online di toko tersebut, sebagai bentuk dukungan kami terhadap toko buku independen yang memang banyak mengalami kesulitan terutama di masa pandemi. Dan salah satu buku yang menarik perhatian saya tentu saja Shakespeare and Company, memoir Sylvia Beach sang pendiri original toko buku ini sejak tahun 1919.
Dalam memoir yang ditulis dengan gaya jurnal ini, Sylvia Beach bercerita tentang asal muasal Shakespeare and Company, bagaimana seorang perempuan Amerika berhasil membuka toko buku pertama yang berbahasa Inggris di Paris, di era setelah Perang Dunia I. Sylvia yang memang pencinta budaya, literatur, dan seni, sudah bercita-cita ingin memiliki toko buku sendiri, dan ketika impiannya untuk membuka cabang toko buku Prancis di New York kandas, ia banting setir dan malah membuka toko buku berbahasa Inggris di Paris.
Ternyata, Shakespeare and Company malah sukses besar. Bukan hanya menjadi toko buku pionir yang menjual buku bahasa Inggris di tengah kota yang amat kental nuansa Prancisnya, namun Shakespeare and Co. juga menjadi tempat berkumpul para penulis yang nantinya akan menjadi penulis legendaris seperti Ernest Hemingway, Scott Fitzgerald, dan D.H Lawrence. Belum lagi hubungan dekat Sylvia dengan James Joyce, dan dari buku ini saya juga baru tahu kalau Shakespeare and Company pernah berperan sebagai penerbit Ulysess karena tidak ada penerbit yang mau menerbitkan novel tersebut.
Meski kadang seringkali rambling, dengan gaya bahasa santai namun sering tidak jelas urut-urutan timelinenya, saya tetap merasa bisa menikmati memoir Sylvia Beach ini. Beach bercerita dengan apa adanya tentang tantangannya mengelola toko buku, termasuk dari sisi bisnis, politik, dan sosial. Ia kehilangan teman, mendapatkan teman baru, dan bahkan pasangan hidup (Beach adalah salah satu pionir LGBT di era nya), karena Shakespeare and Company.
Hal lain yang juga saya suka dari buku ini adalah penggambaran kota Paris yang terasa dekat. Sylvia Beach mampu mendeskripsikan dengan detail, namun tidak membosankan, suasana Paris, baik di sekitar Shakespeare and Co maupun di daerah lain yang tak kalah cantik. Selain itu, beberapa foto yang tampil di memoir ini juga memperkuat kesan yang diperoleh, karena kita bisa dengan mudah membayangkan suasana toko buku maupun daerah sekitarnya, lengkap dengan tokoh-tokoh yang diceritakan Beach dalam buku ini. Penggambaran kesannya terhadap karakter-karakter yang ditemuinya sepanjang berkarier sebagai pemilik toko buku juga terasa hangat, apa adanya, dan penuh dengan anekdot yang membuat saya mendapatkan fakta-fakta baru tentang para penulis maupun tokoh dunia sastra lainnya.
Overall, this is a nice memoir. Yang pasti, setelah membaca buku ini, jangan kaget kalau langsung craving for some traveling to Paris!
Note: Shakespeare and Co. ditutup tahun 1941, saat Nazi mulai menguasai Prancis, dan tidak pernah dibuka kembali. Shakespeare and Co. versi saat ini didirikan tahun 1951 oleh George Whitman, dan dinamai sama dengan toko Sylvia Beach sebagai tribut terhadap toko buku dan pendirinya yang legendaris tersebut. Sylvia Whitman, anak perempuan George, mengambil alih toko buku Shakespeare and Co. di tahun 2006 hingga sekarang, dan semoga, toko ini tak akan pernah tutup 🙂
The original Shakespeare and Company
Shakespeare and Company masa kini
Rating: 4/5
Recommended if you like: Paris!, books about books and bookstores, history of literature, unusual name dropping, journal slash memoir
Submitted for:
Category: A book where the main character works at your current or dream job
Menjelang ulang tahunnya yang ke-15, Sophie mulai menerima surat dan paket misterius, berisi pertanyaan tentang misteri kehidupan, dan perkenalan akan filosofi. Tanpa tahu siapa pengirim bingkisan misterius tersebut, Sophie tenggelam dalam dunia filosofi yang menuntunnya untuk berpikir lebih dalam tentang makna hidup: siapa dia sebenarnya? Dari mana dia berasal? Apa tujuan hidupnya?
Di sela-sela pelajaran tentang filosofi, dari mulai Socrates dan Plato di Yunani, sampai tumbuhnya kepercayaan Kristen, serta peralihan masa Renaissance ke Baroque, Sophie juga kerap menerima postcard yang ditujukan kepada anak perempuan lain. Anehnya, anak perempuan itu berulang tahun di tanggal yang sama dengan Sophie, dan memiliki Ayah yang bekerja di perantauan. Apa hubungan anak perempuan itu dengan Sophie? Dan mengapa Sophie seolah sudah mengenal anak tersebut?
Saya membaca Sophie’s World untuk Popsugar Reading Challenge kategori DNF (Did Not Finish) book from TBR. Saya ingat, dulu saya mencoba membaca buku Sophie’s World di usia awal kuliah, saat sedang senang-senangnya dengan Jostein Gaarder. Tapi dibanding buku-buku Gaarder yang lain, yang kental nuansa misteri berbalut filosofis, Sophie’s terasa amat dry menurut saya, makanya saya tidak menyelesaikan buku ini.
Kali ini, saya mencoba lagi, kali ini berusaha menguatkan diri karena saya sudah lebih banyak membaca buku non-fiksi, dan menganggap Sophie’s mirip dengan buku non-fiksi. Tapi ternyata, meski saya lebih menghargai buku ini, tetap saja ada beberapa bagian yang menurut saya agak membosankan XD
Sophie’s World adalah semacam textbook tentang teori filosofi untuk pemula, yang lebih ditujukan untuk pembaca usia muda yang ingin mengenal atau tahu lebih dalam tentang filosofi. Gaya bahasanya sebenarnya cukup ringkas dan sederhana, dan dikemas dalam bentuk fiksi sehingga lebih mudah dicerna dan menarik bagi pembacanya. Namun menurut saya, nuansa preaching buku ini masih agak terlalu kental, sehingga alih-alih membuat kita berpikir tentang makna hidup dan sejenisnya, kita lebih banyak dicekoki dengan teori dari berbagai filsuf dunia.
Unsur fiksinya, yang kental dengan nuansa post-modernisme, juga agak kurang greget menurut saya, apalagi endingnya yang agak ambigu. Dan karena buku ini ditulis di tahun 1990-an, di mana UN sedang gencar-gencarnya mempromosikan upaya perdamaian di Timur Tengah, maka buku ini juga agak terlalu banyak membahas tentang isu tersebut, sampai-sampai saya agak curiga jangan-jangan buku ini disponsori oleh UN XD
Namun, bagaimanapun, saya tetap bisa melihat kelebihan dan menghargai Sophie’s World lebih dari 20 tahun yang lalu. Dan buku ini memang cukup berguna untuk memperkenalkan teori filosofi dasar, terutama untuk pembaca muda atau yang sudah lumayan berumur seperti saya tapi tidak terlalu suka bahasa textbook yang rumit.
Rating: 3/5
Recommended if you like: philosophy, mystery, absurd novel, postmodernism vibes, Norway setting, 1990s nostalgia
I have an up and down relationship with Ruth Ware’s books. Beberapa bukunya berhasil memikat saya, mengukuhkannya sebagai “the modern Agatha Christie”. Tapi beberapa buku lainnya terasa amat amatiran, membosankan, predictable, bahkan terlalu mengada-ngada.
Untungnya One by One masuk ke dalam kategori yang pertama. Berlokasi di sebuah kabin penginapan di pegunungan Prancis, kisah ini diawali dengan serombongan eksekutif muda perusahaan startup Snoop yang mengadakan company retreat di penginapan tersebut. Awalnya, Erin, pengurus penginapan, serta Danny, chef yang juga teman baiknya, menyangka akan menghadapi akhir pekan yang biasa saja. Penuh dengan anak-anak muda entitled yang kaya raya, mungkin, tapi itu bukan sesuatu yang luar biasa bagi Erin dan Danny.
Namun, ketika terjadi kecelakaan tragis saat acara ski, diikuti oleh kematian mendadak yang jelas-jelas merupakan pembunuhan, Erin pun panik. Apalagi saat badai salju menerjang dan penginapan mereka terisolir dari dunia luar. Tidak ada seorang pun yang bisa dipercaya – karena pembunuhnya ada di antara mereka!
One by One terasa sebagai homage untuk kisah Agatha Christie, khususnya And Then There Were None yang polanya mirip, pembunuhan satu per satu sekelompok orang yang terdampar di penginapan terpencil yang terputus komunikasinya dari dunia luar. Tapi plot klasik tersebut dimodernisasi oleh Ruth Ware di sini, dengan kehadiran sekelompok anak muda dari perusahaan startup, lengkap dengan detail aplikasi musik yang dijabarkan dengan cukup meyakinkan, serta konflik dan politik dalam bisnis mereka yang terasa sangat masa kini.
Yang paling saya sukai di buku ini adalah settingnya yang terasa amat atmosferik, saya seolah bisa merasakan suasana isolasi yang dialami oleh para tokohnya, kabin yang nyaman dan berubah menjadi sarang pembunuh, serta badai yang memutus hubungan dengan dunia luar. Beberapa adegan kejar-kejaran di salju juga digambarkan dengan cepat, membuat saya seakan-akan ikut berada di tengah kejar-kejaran tersebut.
Dan tentu saja Ware bermain-main dengan unreliable narrator di sini – semua karakter terlihat mencurigakan, menyimpan rahasia, tak terkecuali beberapa tokoh utama merangkap narator buku ini. Saya sudah bisa menebak twistnya dari bagian pertengahan buku, tapi tetap saja penantian penyelesaian misterinya cukup membuat deg-degan.
Anyway, one of Ruth Ware’s best books menurut saya, selevel dengan Turn of the Keys dan The Death of Mrs. Westaways yang sebelumnya mendapat ponten cukup tinggi juga dari saya. Look forward to her next books!
Rating: 4/5
Recommended if you want to read: fast paced thrillers, isolated murder mystery, unreliable narrators, whacky twist, atmospheric setting suspense
Odelle Bastien baru saja diterima bekerja di Skelton gallery, di bawah pengawasan bosnya yang cerdas namun penuh misteri, Marjorie Quick. Sebagai imigran dari Trinidad, Odelle bertekad akan membuktikan kemampuan dirinya bertahan di London, dan suatu saat nanti mempublikasikan novelnya. Suatu hari, sebuah lukisan misterius datang kepadanya melalui laki-laki yang baru ia kenal, Lawrie. Disinyalir, lukisan tersebut adalah salah satu lukisan Isaac Robles, pelukis Spanyol yang karya-karyanya termasuk langka, serta keburu menghilang sebelum namanya sempat mendunia. Yang membuat Odelle bingung adalah reaksi Marjorie terhadap lukisan tersebut, yang menggambarkan singa beserta dua orang perempuan. Ada hubungan apa antara Marjorie dan lukisan itu?
Spanyol, 1936
Keluarga Schloss baru pindah ke daerah pedesaan Spanyol, setelah insiden menyangkut sang Ibu, Sarah, mengharuskannya beristirahat dan menyepi. Anak mereka, Olive, memiliki ambisi yang ia sembunyikan dari kedua orang tuanya, terutama ayahnya yang adalah seorang art dealer. Kehidupan keluarga Schloss berubah total saat kakak beradik Teresa dan Isaac menjadi bagian dari kehidupan mereka di Spanyol, terutama menjelang pecahnya Civil War di negara tersebut.
Agak sulit menjabarkan plot buku ini tanpa memberikan spoiler yang cukup penting. The Muse (seperti juga buku Jessie Burton sebelumnya, The Miniaturist), menggabungkan kisah sejarah dan seni, mengukuhkan Jessie Burton sebagai salah satu penulis historical fiction yang selalu konsisten dengan tema-temanya. Saya sendiri lebih menyukai The Muse dibandingkan dengan The Miniaturist, karena kisahnya lebih menggigit dan penggambaran karakter-karakternya lebih menarik, meskipun endingnya tetap membuat emosi seperti The Miniaturist. Penuturan Burton termasuk enak diikuti, sehinggal timeline yang berganti-ganti antara tahun 1936 dan 1967 tidak terasa membingungkan.
Namun menurut saya, The Muse berusaha mengangkat terlalu banyak topik atau isu, sehingga agak keteteran di beberapa bagian. Beberapa isu dalam buku ini adalah tentang imigran, rasisme dan perjuangan minoritas seperti Odelle di tengah kerasnya London; sejarah Civil War di Spanyol; profesi seniman atau pelukis di era 1930-an yang masih amat didominasi oleh kaum laki-laki; serta sejarah lukisan itu sendiri. Kekuatan utama Burton adalah menyajikan kisahnya dengan cukup meyakinkan (saya sampai meng-Google Isaac Robles untuk melihat apakah ia adalah seorang pelukis nyata atau fiksi), namun kelemahannya adalah ingin mengangkat terlalu banyak topik, sehingga kadang kurang bisa menjaga pace cerita. Di awal, kisah terasa lambat karena begitu banyak hal yang ingin dibahas, tapi di bagian akhir, endingnya terasa agak “crammed” karena diburu-buru.
Saya sendiri lebih simpati dengan Odelle dibandingkan tokoh perempuan lainnya di buku yang lumayan kental nuansa feminisnya ini. Tapi porsi Odelle tidak sebanyak kisah keluarga Scholls dan Robles, sehingga saya merasa saya kurang diberi waktu untuk bisa lebih relate dengan Odelle.
Bagaimanapun, The Muse termasuk kisah fiksi sejarah yang cukup solid, terutama untuk para penggemar sejarah seni.
Rating: 3.5/5
Recommended if you like: historical fiction, arts fiction, women inspired fiction, dual timeline
Judul: Dead Wake: The Last Crossing of the Lusitania
Penulis: Erik Larson
Penerbit: Broadway Books (2015)
Halaman: 452p
Beli di: Betterworldbooks.com (USD 9.98)
Erik Larson delivered again! Kalau ada penulis yang membuat saya bisa terpukau dengan buku sejarah, Larson lah orangnya. Kali ini, topik yang diangkat adalah tentang Lusitania, kapal besar yang mengangkut penumpang dari New York ke Liverpool, dan tenggelam karena ditorpedo oleh Jerman saat Perang Dunia I. Ini merupakan salah satu tragedi paling terkenal di dunia maritim, terutama karena terjadi pada kapal swasta yang seharusnya kebal dari ancaman perang.
Saya sendiri kurang tahu tentang peristiwa ini, dan tidak terlalu tertarik untuk mencari tahu lebih jauh. Tidak seperti Titanic yang kental dengan nuansa romantis (terutama setelah diangkat ke layar lebar oleh Hollywood), tragedia Lusitania -karena terjadi di masa perang- dianggap seperti collateral damage saja sehingga kurang menarik untuk diulik.
Tapi Erik Larson berpikiran lain – ia berhasil mengangkat peristiwa yang tadinya hanya dianggap sepintas lalu sebagai bagian Perang Dunia I – ke dalam sebuah naratif yang memikat. Seperti biasa, buku ini merupakan hasil penelitian panjang Larson dari berbagai sumber, termasuk buku harian, surat-surat dan dokumen lainnya.
Yang menarik, Larson bisa menggabungkan kisah masing-masing penumpang Lusitania – dari mulai persiapan mereka berangkat hingga tragedi menimpa mereka di atas kapal- dengan momen-momen di mana ketegangan antara Inggris dan Jerman semakin memuncak.
Ada dua hal besar yang membuat buku ini begitu menarik, dan Erik Larson dengan lihai bisa menjalin kedua isu utama ini ke dalam naratif yang mudah dibaca dan diikuti.
Yang pertama adalah Lusitania itu sendiri – sejarahnya, karakteristiknya, para penumpangnya, serta kapten yang menggawangi pelayaran tersebut, Captain Turner. Semuanya akan menjadi elemen-elemen penting yang mempengaruhi peristiwa tenggelamnya Lusitania secara tragis. Karena kapal swasta seharusnya aman dari serangan musuh dan menjadi wilayah netral di Perang Dunia I, tidak ada seorang pun yang merasa terancam secara serius, meski saat pelayaran ini berlangsung di bulan Mei 1915, Jerman sedang giat-giatnya menyebar kapal selam perang mereka di perairan Eropa dan menembaki kapal-kapal musuh.
Isu kedua yang tak kalah penting adalah ketegangan di antara Jerman dan Inggris, karena pertengahan tahun 1915 merupakan saat-saat stagnan di medan peperangan darat, dan lautan menjadi salah satu kunci untuk bisa memenangkan perang tersebut. Inggris sangat ingin Amerika Serikat bergabung dan beraliansi dengan mereka di Perang Dunia I, namun Presiden Woodrow Wilson tetap teguh ingin memegang netralitas Amerika. Sementara itu, tergoda untuk memenangkan perang sebelum Amerika ikut mendukung Inggris, Jerman pun mulai melancarkan serangan-serangan tajam di lautan, dan bahkan mulai menargetkan kapal-kapal non perang serta kapal dari negara netral.
Sementara itu, Presiden Wilson sendiri sedang mengalami banyak masalah pribadi, istrinya baru meninggal dan tak lama kemudian ia menjalin hubungan dengan seorang perempuan yang masih ragu untuk menjadi pendamping hidupnya. Konteks ini perlu diketahui karena cukup berpengaruh pada perasaan dan kondisi Wilson saat awal Perang Dunia I.
Yang paling membuat gemas adalah melihat cara Inggris menghadapi hari-hari menjelang penyerangan Lusitania. Badan intelijennya sudah menangkap tanda-tanda submarine U-20 yang berkeliaran di perairan sekitar Liverpool, tapi mereka tidak memperingatkan Lusitania dan masih menganggap ancaman penyerangan tersebut tidak serius.
Berita tenggelamnya Lusitania
Larson adalah penulis non fiksi dengan hati seorang novelis. Ia bisa menyajikan narasi yang memikat tapi tetap netral, tidak berat sebelah, dan mengungkap bukti-bukti keteledoran semua pihak. Tidak serta merta ia memihak Inggris atau menyalahkan Jerman, tapi menjelaskan semua fakta dengan apa adanya. Banyak faktor yang menyebabkan Lusitania ditorpedo pada bulan Mei 1915, dan banyak korban yang sebenarnya tidak perlu jatuh di hari itu, termasuk yang tertimpa perahu penyelamat atau kru yang terjebak di ruang bahan bakar.
Detail-detail yang begitu vivid seringkali membuat saya lupa kalau saya sedang membaca buku sejarah alih-alih novel fiksi. Dan itulah kepiawaian Erik Larson yang sulit ditandingi oleh penulis lain. Bahkan topik yang tidak terkenal, tidak terpikirkan, dan tidak terlihat menarik, bisa disulap menjadi buku yang engaging dan memikat. And I’m super happy because there are some of his books that I haven’t read 🙂
Rating: 4/5
Recommended if you want to read about: World War I, maritime tragedies, history book with a sense of fiction novel, detailed but engaging narratives.
Judul: The Unlikely Adventures of the Shergill Sisters
Penulis: Balli Kaur Jaswal
Penerbit: William Morrow (2019, Kindle edition)
Halaman: 320p
Beli di: Amazon.com (USD 1.99- bargain!)
Rajni, Jezmeen, dan Shirina adalah kakak-beradik keturunan India yang lahir dan besar di Inggris. Ketiganya memiliki karakter yang bertolak belakang dan tidak bisa dibilang akur satu sama lain. Namun, Ibu mereka -yang baru meninggal karena kanker- meninggalkan surat wasiat yang meminta mereka untuk melakukan perjalanan napak tilas ke India, sambil menebarkan abunya.
Tentu saja ketiga bersaudara ini amat tidak ingin melakukan perjalanan tersebut, tapi mereka terpaksa menuruti keinginan sang Ibu. Ketiganya semakin malas berangkat karena sedang mengalami masalah di kehidupan masing-masing. Rajni bertengkar hebat dengan anak satu-satunya, yang entah mengapa kini berpacaran dengan perempuan yang usianya lebih dari dua kali lipat usianya- dan seperti hendak menghancurkan masa depannya sendiri. Jazmeen, yang menekuni karier di dunia entertainment, mengalami kejadian amat memalukan yang langsung viral di sosial media. Sementara Shirina, si bungsu yang tinggal di Melbourne bersama suami dan ibu mertuanya, menghadapi dilema besar yang akan menentukan perjalanan hidupnya.
Ketiganya berangkat ke India dalam kondisi yang tidak bersemangat, dan pertengkaran demi pertengkaran kerap mewarnai perjalanan mereka. Namun, ketika melakukan satu demi satu keinginan Ibu mereka, termasuk mengunjungi berbagai tempat suci yang menjadi bagian dari kegiatan pilgrimage, mereka justru sedikit demi sedikit menguak rahasia masa lalu sang Ibu serta keluarganya. Dan mereka menyadari, banyak hal yang masih patut mereka syukuri, termasuk keberadaan mereka satu sama lain.
Ini adalah pengalaman pertama saya membaca buku karya Balli Kaur Jaswal, yang lebih populer dengan novel sebelumnya, Erotic Stories for Punjabi Widows. Jaswal memiliki gaya menulis yang santai, efortless, penuh humor natural dan dialog yang tidak dibuat-buat, serta sentuhan drama keluarga yang terasa pas. Meski awalnya saya sebal setengah mati dengan ketiga kakak beradik Shergill, lama kelamaan saya merasa terhubung dengan mereka, terutama karena masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan yang terasa seimbang.
Jaswal juga dengan piawai menggabungkan unsur drama keluarga, bumbu-bumbu rahasia yang bikin penasaran, dan setting India yang eksotik. Meski terasa cukup banyak yang ingin diangkat oleh Jaswal, termasuk isu imigran, kesenjangan sosial di India, serta isu feminisme; namun porsi masing-masing isu masih bisa dibilang pas, tidak terlalu berlebihan atau membuat overwhelmed. Mungkin juga karena gaya bahasa yang digunakan Jaswal amat luwes, sehingga tidak membuat isu-isu tersebut menjadi terlalu serius dan keluar dari tone buku keseluruhan.
Overall, saya cukup menikmati buku ini dengan segala drama dan komplikasinya. Penyelesaiannya juga cukup memuaskan. Dan saya jadi penasaran kepingin berkunjung ke India setelah membaca buku ini 😀
Penerbit: Vintage Crime/ Black Lizard (2016 edition)
Halaman: 516p
Beli di: Better World Books (USD 6.48)
Buku ketujuh serial Harry Hole ini mungkin adalah yang paling terkenal dan kontroversial, bahkan disebut sebagai salah satu buku terbaik karya Jo Nesbo.
Saya sendiri masih terbagi, antara setuju dan tidak. Setuju, karena buku ini adalah salah satu yang paling kuat mengupas tuntas karakter Harry, dan memiliki unsur perkembangan karakter yang paling dominan dibandingkan buku-buku sebelumnya. Namun di lain pihak, beberapa bagian dari buku ini agak terlalu bertele-tele, dengan twist yang cukup mudah tertebak dari mulai pertengahan buku, sampai red herring yang terlalu banyak sehingga mengganggu ketegangan kisah secara keseluruhan.
Untuk pertama kalinya, Harry Hole berhadapan dengan pembunuh berantai di negara kelahirannya sendiri, Norwegia, yang nyaris tidak pernah mengalami kasus pembunuhan berantai sepanjang sejarah berdirinya negara tersebut.
Pembunuh yang dijuluki Snowman ini mengincar perempuan yang sudah menikah dan memiliki anak, dan pembunuhan selalu dilakukan di musim dingin saat salju sedang turun, ditandai dengan sosok boneka salju yang selalu ia tinggalkan di TKP.
Harry merasa pembunuh berantai ini mengenalnya secara personal, karena ia sempat menerima surat tantangan dari si Snowman yang seolah langsung menunjuknya sebagai lawan utama dalam permainan ini. Sementara itu, kehidupan pribadi Harry tidak membuat keadaan bertambah mudah- hubungannya yang rumit dengan Rakel, mantan kekasihnya, serta staff baru di timnya, Katerine Bratt yang misterius, kadang mengganggu fokus Harry yang kerap kali sulit memisahkan kehidupan personal dengan pekerjaannya.
Di buku ketujuh ini, Nesbo seolah bersenang-senang dengan Harry Hole, mengembangkan karakter ciptaannya itu ke arah yang ia mau, tapi tanpa terlalu kehilangan fokus pada jalan cerita, meski menurut saya, tetap ada bagian-bagian yang bisa dipersingkat dan dihilangkan dari buku ini.
Bagaimanapun, The Snowman merupakaan sebuah titik tolak baru dari Harry Hole, yang pastinya akan mempengaruhi kisah-kisah selanjutnya. Kudos to Nesbo, yang bisa menjaga ritme dan konsistensi serial ini tanpa kehilangan momentum yang berarti.
Submitted for:
Kategori: A book recommended by your favorite blog, vlog, podcast, or online book club (@crimebythebook)