• About this blog
  • Clearance Sale!
  • Newbery Project
  • Popsugar Reading Challenge 2023
  • Previous Challenges
    • BBI Read and Review Challenge 2017
    • Challenges 2014
    • Challenges 2015
    • Lucky No.14 Reading Challenge
    • Lucky No.15 Reading Challenge
    • POPSUGAR Reading Challenge 2017
    • Popsugar Reading Challenge 2018
    • Popsugar Reading Challenge 2020
    • Popsugar Reading Challenge 2021
    • Popsugar Reading Challenge 2022
    • What’s in a Name 2018
    • Twenty-Ten Challenge
    • Challenges 2012
    • Challenges 2013
  • Round Ups
  • The Librarian

~ some books to share from my little library

Tag Archives: non fiction

Insomniac City: New York, Oliver Sacks, and Me by Bill Hayes

21 Tuesday Dec 2021

Posted by astrid.lim in non fiction

≈ 1 Comment

Tags

english, inspirational, LGBT, memoir, new york, non fiction, popsugar RC 2021

Judul: Insomniac City: New York, Oliver Sacks, and Me

Penulis: Bill Hayes

Penerbit: Bloomsbury USA (2018)

Halaman: 304p

Beli di: @post_santa (IDR 250k)

Some people were born to write haunting, heartbreaking stories, based on their haunting, heartbreaking experience. And Bill Hayes is one of them.

Setelah partnernya selama belasan tahun meninggal dunia, Bill Hayes memutuskan untuk meninggalkan San Francisco, kota yang terlalu penuh kenangan, dan memulai lembaran baru di New York. Ia bertekad ingin menghilang di tengah keramaian New York, memuaskan jiwa insomnianya di kota yang tak pernah tidur.

Namun, destiny membawa kejutan baru dalam hidupnya, ketika ia tanpa disangka-sangka jatuh cinta kembali, kali ini dengan seorang penulis lain yang sama-sama memiliki hati lembut dan sensitif, Oliver Sacks. Sacks adalah pribadi yang sangat tertutup dan pemalu, sifat introvernya membuat ia memilih untuk tidak pernah jatuh cinta, hingga ia bertemu dengan Bill di usia 75 tahun.

Perlahan, Bill membawa kita masuk ke dalam hubungannya yang sangat endearing bersama O (nicknamenya untuk Oliver Sacks), melalui snippet percakapan sehari-hari yang sangat profounding (begitulah kalau dua penulis menjalin hubungan), potongan adegan yang sederhana namun memorable, serta beberapa foto yang menggambarkan hubungan mereka yang easy going.

Bagian paling menyentuh tentu saja saat Oliver didiagnosis kanker dan memutuskan untuk menikmati hari-hari terakhirnya di rumah, bukan berjuang bertahan hidup di rumah sakit. Keputusan ini juga yang mengubah hidup Bill, sekaligus membuatnya bersyukur bisa mendampingi Oliver sampai akhir.

Buku ini ditulis sebagai tribute dari Bill untuk Oliver dan New York, yang mengizinkannya membuka lembaran baru sekaligus membuka hatinya untuk mencintai kembali di tengah rasa terpuruk dan hari-hari yang gelap. Keseluruhan buku ini, meski berbicara tentang grief, namun menghadirkan perasaan yang hangat dan memberikan harapan. True, there are some very sad moments, but in the end we were reminded that love prevails.

Rating: 4/5

Recommended if you like: thought provoking memoirs, New York City!!, inspirational conversations

Submitted for:

Category: A book about do-overs or fresh starts

Sapiens: a Graphic History, Vol 1 by Yuval Noah Harari

13 Monday Dec 2021

Posted by astrid.lim in non fiction

≈ Leave a comment

Tags

comic/graphic novel, funny haha, non fiction, popsugar RC 2021, science, series

Judul: Sapiens: a Graphic History, Vol 1 (The Birth of Humankind)

Penulis: Yuval Noah Harari

Ilustrator: David Vandermeulen, Daniel Casanave

Penerbit: Harper Perennial (2020)

Halaman: 248p

Beli di: Periplus.com (IDR 377k)

Yuval Noah Harari mungkin adalah salah satu penulis yang paling berpengaruh dan banyak disebut namanya selama satu dekade ini. Karya-karyanya, yang menerjemahkan peristiwa “kelahiran” manusia, asal usul bumi dan evolusi, serta perkembangan hingga dunia modern, ke dalam bahasa sehari-hari, menjadi perbincangan berbagai kalangan, dari mulai scientist hingga masyarakat awam.

Saya sendiri belum pernah membaca buku-bukunya, karena memang belum merasa tertarik saja. Apalagi, sepertinya butuh waktu yang cukup lama untuk melahap jenis buku yang ditulis oleh Harari. Namun, saat versi graphic history-nya muncul, saya jadi tergugah. Saya termasuk jarang membaca graphic novel, apalagi graphic non-fiction seperti Sapiens ini.

Ternyata, I enjoyed it a lot! Buku ini adalah seri pertama dari Sapiens versi graphic, yang fokus pada sejarah munculnya manusia berdasarkan teori evolusi biologi hingga kita menjadi makhluk yang survive saat ini. Namun, selain teori evolusi, Harari juga fokus pada konteks sejarah, yang melatarbelakangi mengapa pada akhirnya Homo Sapienslah yang mnejadi the last man standing di planet bumi. Sisi sosial spesies manusia ini dikupas habis oleh Harari, termasuk kebutuhan manusia untuk bersosialisasi, kecenderungan untuk hidup saling bergantung, hingga perkembangan teknologi yang menjadikan kita menjadi makhluk dengan teknik berkomunikasi paling canggih seplanet Bumi.

Tidak hanya temanya yang menarik dan dikemas dalam bahasa sehari-hari, tapi jalan ceritanya pun dibuat menggelitik, dengan Harari sendiri sebagai salah satu karakternya, yang kerap didampingi oleh keponakannya dan bersama-sama mencari tahu jawaban akan pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan. Humornya pas, dan ilustrasinya juga seru, dengan gaya dan warna yang mengingatkan saya akan komik-komik Eropa yang marak diterjemahkan di era 80-an (Smurf, Tintin, Steven Sterk, dan teman-temannya).

Overall, puas banget dengan buku ini, dan definitely saya akan melanjutkan ke volume ke-2. Meski agak mahal, menurut saya buku versi graphic ini sangat layak dikoleksi, dan bisa juga dibaca bersama dengan anak-anak. Oiya, kalau ingin yang versi terjemahan bahasa Indonesia, setahu saya sudah diterbitkan juga oleh Gramedia 🙂

Rating: 4/5

Recommended if you like: history, graphic novel, European style comic books, science topics with understandable vocabs, witty humor

Submitted for:

Category: A book in a different format than what you normally read (audiobooks, ebooks, graphic novels)

Furiously Happy by Jenny Lawson

08 Monday Nov 2021

Posted by astrid.lim in non fiction

≈ 3 Comments

Tags

blog, english, funny haha, memoir, mental health, non fiction, popsugar RC 2021

Judul: Furiously Happy

Penulis: Jenny Lawson

Penerbit: Picador (2015)

Halaman: 256p

Beli di: Big Bad Wolf (IDR 60k)

Sejujurnya, saya ingin menyukai buku ini. Saya berusaha membuka pikiran saya selama membaca Furiously Happy, dan berjanji untuk tidak judgmental. Jenny Lawson, di kata pengantarnya, sudah mengingatkan pembaca: either this book is for you, or not.

Dan ternyata, this is not for me.

Mungkin karena saya tidak mengenal sosok Jenny Lawson sebelumnya, tidak pernah membaca bukunya, atau follow dia di media sosial manapun, maka saya merasa kurang relate dengannya.

Jenny yang memiliki multiple mental illness, termasuk depresi dan anxiety disorder, menceritakan tentang perjuangannya sehari-hari lewat kisah-kisah yang absurd dan dipenuhi unsur komedi. Karena ia memang terkenal sebagai penulis komedi, terutama melalui blognya (yang membuatnya terkenal dengan sebutan The Bloggess) – maka sepertinya itulah yang menjadi kekuatan utamanya dalam menulis, dan yang memang disukai oleh para pembacanya. Dan di sinilah saya merasa lost, karena memang saya tidak pernah membaca karyanya yang lain.

Gaya Jenny yang penuh hiperbola mungkin menjadi coping mechanism-nya dalam menghadapi pergumulannya melawan penyakit yang dideritanya. Bagaimana ia memiliki rakun yang diawetkan dan menjadi semacam maskotnya, bagaimana ia kerap melakukan hal-hal aneh bersama kucing-kucingnya, dan bagaimana ia membuat suaminya (yang digambarkan amat pengertian) geleng-geleng lebih dari sepuluh kali dalam sehari – itulah inti kisah buku ini.

Ada beberapa bagian yang menurut saya cukup bagus, terutama saat Jenny menulis chapters yang lebih raw dan jujur tentang mental illness serta physical illness yang dideritanya. Namun, karena pada dasarnya Jenny adalah seorang komedian, bagian yang menyentuh seperti ini bisa dihitung dengan jari, dan tertimbun di antara kisah-kisah lainnya yang sarkastik dan penuh bumbu humor yang self deprecating.

Dan meski awalnya ada beberapa cerita yang masih bisa membuat saya tersenyum, lama kelamaan saya merasa lelah sendiri. Saya kebanyakan tidak bisa menemukan kelucuan tulisannya, dan semua adegan terutama yang menyangkut perdebatannya dengan Victor, suaminya, terasa over the top. Dan beberapa topik, yang mungkin lebih cocok di thread Twitter atau postingan blog, terasa amat random di buku ini dan malah meninggalkan kesan yang amat messy.

Bagaimanapun, dari review yang saya baca, banyak yang menyukai gaya tulisan Jenny, dan komunitas aktivis dan penderita mental illness termasuk target audience yang loyal pada tulisan Jenny Lawson. So I guess she was right: either this book is for you, or not.

Rating: 2.5/5

You might like this if you want to read about: quirky, sarcastic humor; unique perspective of mental health; short chapters read like blog/tweets, self deprecating jokes

Submitted for:

A book by a blogger, vlogger, YouTube video creator, or other online personality

Why We’re Polarized by Ezra Klein

27 Monday Sep 2021

Posted by astrid.lim in non fiction

≈ Leave a comment

Tags

america, culture, ebook, non fiction, politics, popsugar RC 2021, psychology

Judul: Why We’re Polarized

Penulis: Ezra Klein

Penerbit: Avid Reader Press/Simon & Schuster (2020, Kindle edition)

Halaman: 335p

Beli di: Amazon.com (USD 10.20)

Saya beberapa kali membaca artikel yang ditulis oleh Ezra Klein di New York Times, tapi ini adalah pertama kalinya saya membaca buku karya Klein. Gaya menulisnya tetap sama: lugas, to the point, mudah dimengerti, dan bisa menarabahasakan sesuatu yang rumit dengan lebih sederhana, tanpa simplified the issues.

Isu utama yang dibahas buku ini adalah polarisasi. Klein menulis Why We’re Polarized setelah beberapa tahun masa kepemimpinan Donald Trump. Ia mencoba menganalisis mengapa dunia saat ini jauh lebih terpolarisasi dibandingkan dengan sepuluh tahun lalu. Mengapa kita harus memilih antara ekstrem yang satu dan ekstrem yang lain, dan merasa sangat emosional jika pilihan kita didebat atau dipertanyakan?

Klein memang lebih banyak membahas isu polarisasi dari kacamata politik Amerika Serikat, khususnya di election 2016 dan pasca Donald Trump menjabat. Tapi saya sendiri merasa isu dan pembahasannya sangat relevan dengan kondisi dunia, termasuk Indonesia, saat ini. Saya masih ingat jelas betapa terpolarisasinya Indonesia di Pemilu 2014, dengan geng cebong dan kampret, yang terus berlarut-larut hingga sekarang, di masa pandemi ini. Dalam setiap isu, rakyat seolah harus memilih ingin berada di pihak mana, dan saling berlomba untuk menjadi yang paling benar dalam opini dan pilihan mereka.

Sangat menarik membaca analisis Klein tentang politik identitas (relevan juga dengan Indonesia!), baik menyangkut agama, region, etnis, dan banyak lagi hal-hal yang makin ke sini dirasa makin penting dibandingkan di masa lalu. Peran sosial media juga cukup besar, di mana polarisasi bisa dipertajam dengan debat online, compressed news stories, dan hoax. Penjelasannya sangat mengena, dengan bahasa sehari-hari yang membuat amat relatable dan mudah dimengerti.

But if our search is motivated by aims other than accuracy, more information can mislead us—or, more precisely, help us mislead ourselves. There’s a difference between searching for the best evidence and searching for the best evidence that proves us right. And in the age of the internet, such evidence, and such experts, are never very far away.

The simplest way to activate someone’s identity is to threaten it, to tell them they don’t deserve what they have, to make them consider that it might be taken away. The experience of losing status—and being told your loss of status is part of society’s march to justice—is itself radicalizing.

Satu lagi yang saya suka, Klein juga memberikan langkah-langkah praktis di bagian akhir buku, yang bisa kita coba untuk memperkecil gap polarisasi sehingga politik bisa kembali ke iklim yang sehat. Saya berharap ada penulis Indonesia yang juga bisa membahas isu ini dengan menjadikan Indonesia sebagai case study, karena menurut saya, situasi yang kita hadapi juga tidak jauh berbeda dengan Amerika Serikat.

Rating: 4/5

Recommended if you are into: politics, relevant issues, relatable case studies, internet and social media, easy to understand non fiction analysis

Submitted for:

Category: A book about a subject you are passionate about

Tiny Moons: A Year of Eating in Shanghai by Nina Mingya Powles

17 Friday Sep 2021

Posted by astrid.lim in non fiction

≈ Leave a comment

Tags

asia, english, essay, food, memoir, non fiction, popsugar RC 2021

Judul: Tiny Moons: A Year of Eating in Shanghai

Penulis: Nina Mingya Powles

Penerbit: The Emma Press (2020)

Halaman: 92p

Beli di: @post_santa (New Year’s box!)

Tiny Moons adalah koleksi essay karya Nina Mingya Powles, yang terus mengeksplorasi identitasnya melalui makanan. Nina lahir di New Zealand, namun berdarah campuran Chinese-Malaysia. Ia kerap berpindah-pindah dari mulai bersekolah di Wellington, mengunjungi neneknya di Kota Kinabalu, hingga menjadi murid bahasa Mandarin di Shanghai.

Di antara hari-harinya, Nina tidak pernah lelah mencari tahu jati dirinya, berusaha menemukan di mana sebenarnya ia belong. Kerap kali, suasana yang asing, ditambah sifatnya yang introvert, membuatnya merasa tidak bisa diterima di mana-mana. Namun, sejak kecil Nina sudah tertarik dengan makanan, dan mengidentifikasi dirinya melalui beragam makanan yang menjadi unsur budaya terkuat untuknya.

Buku ini berkisah tentang perjalanan Nina saat menjadi mahasiswa di Shanghai selama setahun, dan bagaimana ia berusaha beradaptasi dan terkoneksi dengan orang-orang di sekitarnya melalui makanan. Namun, di sela-sela kisahnya di Shanghai, Nina juga mengingat-ingat beragam makanan yang menemaninya saat ia tumbuh dewasa, terutama yang diperkenalkan oleh neneknya.

Tiny Moons terbagi menjadi bab-bab sesuai dengan musim yang dijalani Nina di Shanghai, yang memiliki makanan khas tertentu. Ada pan-fried dumplings di musim dingin, pineapple buns di musim semi, sesame pancakes di musim panas, dan chinese aubergines di musim gugur, dan banyak juga makanan lainnya.

Yang saya rasakan saat membaca kisah Nina adalah ikut merasa lapar dan craving makanan-makanan yang ia gambarkan. Nina sangat piawai menggambarkan rasa dan tekstur makanan yang dicobanya, sehingga saya bisa ikut merasakan sensasi yang ia rasakan. Ia juga mendeskripsikan dengan detail suasanan restoran atau warung tempat ia mencicipi hidangan-hidangan tersebut, yang ikut melengkapi sensasi kelezatan buku ini. Saya bisa membayangkan dengan jelas, misalnya, suasana dingin dan hujan, lalu berdesakan di warung mie, semeja dengan orang tak dikenal, yang sama-sama menikmati mie berkuah panas. Yum!

Satu hal yang saya agak sayangkan adalah kurang jelasnya timeline Nina dalam menjabarkan pengalamannya. Di sela-sela waktunya di Shanghai, Nina bercerita tentang saat ia berkunjung ke Kinabalu, atau saat ia kuliah dan bersekolah di New Zealand, juga ada saat ia sempat tinggal di Shanghai waktu masih kecil. Semuanya agak bercampur baur dan kadang menimbulkan kebingungan terhadap timeline secara keseluruhan.

Namun, saya tetap bisa menikmati kelezatan kisah Nina ini, yang ditulis dengan memikat.

Rating: 4/5

Recommended if you like: food, travel, culture, identity exploration, Asian food scenes

Submitted for:

Category: A book set in a restaurant

A is for Arsenic by Kathryn Harkup

28 Wednesday Jul 2021

Posted by astrid.lim in non fiction

≈ Leave a comment

Tags

agatha christie, bargain book!, crime, ebook, english, non fiction, science

Judul: A is for Arsenic: The Poisons of Agatha Christie

Penulis: Kathryn Harkup

Penerbit: Bloomsbury Sigma (2015, Kindle edition)

Halaman: 320p

Beli di: Amazon.com (USD 1.99, bargain!)

Salah satu metode pembunuhan yang paling sering dipakai oleh Agatha Christie dalam buku-bukunya adalah racun, dan hal inilah yang mengilhami Kathryn Harkup untuk menulis buku tentang racun-racun yang digunakan oleh Agatha Christie.

Premis buku ini sangat menarik, terutama untuk penggemar kisah Agatha Christie seperti saya. Harkup memilih beberapa racun menarik yang memang digunakan di lebih dari satu kisah-kisah Christie, lengkap dengan latar belakang ceritanya.

Dari mulai arsenik hingga sianida dan veronal, Harkup yang memang memiliki latar belakang kimia sangat fasih menjelaskan detail racun-racun tersebut, termasuk asal muasal racun, bagaimana racun itu bekerja, kasus di dunia nyata, dan tentu saja, cara Christie menerapkan keunikan racun tersebut ke dalam ceritanya.

Meski topiknya menarik, dan saya banyak mendapatkan fakta serta informasi baru, ada beberapa bagian di buku ini yang menurut saya terlalu dry, terutama ketika Harkup menjelaskan tentang bagaimana racun bekerja. Mungkin karena latar belakang science yang kental, di sini Harkup banyak menggunakan jargon kimia dan biologi yang membuat saya merasa seperti kembali ke bangku sekolah (dan menjalani ulang salah satu mata pelajaran dan kuliah yang paling saya benci: kimia organik!!). Meski Harkup berusaha menjabarkan bagian teknis ini dengan bahasa yang mudah dicerna, tetap saja beberapa bagian terasa sangat alot bagi saya XD

Hal lain yang saya kurang sreg adalah saat Harkup menyinggung kisah Christie yang berhubungan dengan racun yang ia bahas. Ia tampak ingin membuat bukunya spoiler free, tapi menurut saya malah terasa gantung, karena memang agak mustahil bisa membahas tuntas detail tentang penggunaan racun dan relevansinya dengan cerita yang dimaksud, tanpa membuka spoiler twist maupun pelaku pembunuhan di buku tersebut. Saya sendiri lebih prefer kalau Harkup sekalian saja memberi warning spoiler alert, dan membahas segalanya dengan tuntas. Bagaimanapun, kebanyakan target pembacanya pastilah fans Agatha Christie yang sudah membaca sebagian besar bahkan semua buku karrya the Queen of Crime.

Namun, secara keseluruhan A for Arsenic tetap merupakan buku yang menarik. Satu hal yang saya tangkap dari buku ini adalah pujian Harkup terhadap Christie, yang menurutnya cukup konsisten dalam menggunakan racunnya secara akurat. Christie, yang memang pernah bekerja di bagian farmasi di masa perang, melakukan risetnya dengan mendalam, dan hampir semua fakta serta teknik tentang racun yang ia gunakan dalam bukunya benar-benar akurat. Satu hal yang mengagumkan, mengingat jaman dulu belum ada Google ataupun sumber lain yang mudah diakses.

Rating: 3.5/5

Recommended if you like: true crime, chemistry, science, Agatha Christie, poison!

Wintering by Katherine May

09 Wednesday Jun 2021

Posted by astrid.lim in non fiction

≈ Leave a comment

Tags

british, english, memoir, mental health, non fiction, self help

Judul: Wintering

Penulis: Katherine May

Penerbit: Rider, Penguin Random House UK (2020)

Halaman: 273p

Beli di: Periplus Ngurah Rai Online (IDR 158k)

Wintering adalah buku yang menyejukkan. Subtitlenya “The power of rest and retreat in difficult times” menggambarkan dengan jelas apa tujuan buku ini. Dan membacanya di tengah suasana gelap pandemi yang entah kapan berakhirnya (meski di beberapa belahan dunia ada yang sudah menganggap pandemi ini selesai), terasa amat pas.

Katherine May berbagi kisah saat ia mengalami depresi, dan membandingkannya dengan musim dingin. Ia menggunakan metafora ini di sepanjang buku, mengaitkan persiapan yang dilakukan sebelum menyambut musim dingin, dengan persiapan saat keadaan sulit yang cenderung menyebabkan depresi sedang menyambangi hidup kita.

Katherine sendiri mengalami “winter” sejak ia kecil, saat autisme nya tidak terdiagnosis, saat suaminya sakit, saat ia sendiri sakit berkepanjangan, dan harus mundur dari pekerjaannya, serta saat anaknya mengalami kesulitan belajar. Seperti kata Katherine, musim dingin kadang datang berulang-ulang, seolah tidak memiliki jeda musim panas yang lebih menyenangkan di antaranya.

Untuk mengaitkan metafora musim dingin secara fisik dengan musim dingin secara mental, Katherine mengeksplorasi banyak hal, mulai dari binatang dan tumbuhan yang bisa menyesuaikan diri dengan winter alih-alih melawannya, hingga belajar dari orang-orang yang tinggal di ujung belahan utara dunia, di mana malam hari berlangsung terus-menerus sepanjang musim dingin tanpa ada secercah matahari sedikitpun.

Saya menyukai prosa dan gaya menulis May, yang memang indah, simpel tapi mengena. Saya juga menyukai idenya untuk membandingkan dan mengaitkan winter sebagai musim fisik maupun mental. Dan memang benar, pada akhirnya kita sebagai manusia perlu menyadari kapan waktunya beristirahat, retreating, dan menerima segala hal gelap dalam hidup kita sambil menunggu musim yang lebih hangat datang kembali.

Namun menurut saya, ada beberapa metafora yang agak terlalu dipaksakan di dalam buku ini, serta topik yang agak terlalu menjauh dari isu utamanya. Beberapa chapter juga ditulis dengan agak kurang halus, saat May berusaha mengaitkan unsur musim dingin dengan mental health.

Namun overall, Wintering tetap merupakan buku yang menyenangkan untuk dibaca, menenangkan, jernih, dan cocok dibuka-buka kembali saat kita sedang mengalami musim dingin pribadi.

Rating: 3.5/5

Recommended if you like: subtle memoirs, mental health issues, beautiful prose, calming tone

White Fragility by Robin DiAngelo

01 Monday Mar 2021

Posted by astrid.lim in Uncategorized

≈ Leave a comment

Tags

african american, america, black history month, black lives matter, history, non fiction, popsugar RC 2021, social issues

Judul: White Fragility: Why It’s So Hard for White People to Talk About Racism

Penulis: Robin DiAngelo

Penerbit: Penguin Random House (2018)

Halaman: 168p

Beli di: Periplus (IDR 126k)

Robin DiAngelo adalah seorang perempuan kulit putih Amerika yang berprofesi sebagai konsultan dan pembicara yang banyak membahas tentang racial diversity and inclusion, terutama di berbagai institusi di Amerika Serikat. Sejak awal buku ini, DiAngelo sudah mengklaim bahwa sudut pandangnya adalah sudut pandang seorang kulit putih Amerika, berdasarkan pengalaman dan keahliannya selama menekuninya profesinya saat ini, yang meskipun banyak menyangkut racial diversity, tetap tak lepas dari bias.

Buku ini membahas bahwa betatapun baiknya seseorang, betapapun tinggi moral yang dijunjung, setiap orang kulit putih tidak akan bisa lepas dari rasisme. Setiap orang kulit putih adalah rasis, bukan karena ia jahat, tetapi karena rasisme sudah sangat erat menyatu dalam kehidupannya (terutama di dalam konteks Amerika Serikat), atau dengan kata lain, rasisme sudah menjadi sistemik.

Tentu saja pernyataan kontroversial ini tidak diterima oleh orang-orang kulit putih, terutama mereka yang menganggap diri liberal, progresif, toleran, dan peduli dengan isu racial diversity maupun social justice. Dan sikap defensif serta denial inilah yang dikupas tuntas oleh DiAngelo, lewat bahasa yang mudah dimengerti, to the point, dan apa adanya. Karena ia adalah mantan dosen, saya suka penuturannya yang runut.

DiAngelo menjelaskan secara cukup detail tentang konstruksi sosial rasisme di Amerika Serikat, termasuk sejarah yang berawal dari perbudakan, diskriminasi orang kulit hitam, era Jim Crow, dan seterusnya. Setiap orang kulit putih mewarisi sistem ini turun temurun, yang secara tidak disadari sudah merasuk ke dalam alam bawah sadar mereka dan menyebabkan bias. Hal ini nantinya bisa terlihat dari casual racism, komentar yang tidak disengaja tapi ternyata mengandung unsur rasisme, asumsi yang diberikan pada orang kulit hitam, yang terlihat innocent padahal ternyata berakar dari rasisme tadi. White supremacy (baik di Amerika maupun di dunia) adalah nyata, dan hal mendasar inilah yang pertama-tama ingin disampaikan oleh DiAngelo.

DiAngelo juga menyinggung tentang sulitnya orang kulit putih Amerika menerima kenyataan tentang systemic racism ini, terutama karena mereka tidak ingin dianggap sebagai orang jahat, karena merasa tidak pernah membeda-bedakan teman dari rasnya, atau karena merasa sudah melakukan banyak hal baik terutama menyangkut social justice. Tapi apakah itu cukup? Ternyata tidak, karena justru tanpa mengakui adanya masalah mendasar bahwa setiap orang kulit putih merupakan bagian dari masalah rasisme di Amerika (dan dunia), masalah ini akan selalu ada dan tidak akan ada pemecahannya.

Satu hal menarik yang juga saya tangkap dari buku ini adalah konsep White Fragility itu sendiri. Saat ada gerakan seperti Black Lives Matter (BLM) yang sempat heboh beberapa tahun belakangan ini, orang-orang kulit putih (yang sudah biasa berada di zona nyaman dan aman) menjadi merasa “terancam”, seolah kedudukannya sebagai mayoritas akan digeser oleh orang-orang kulit hitam, satu hal yang sebenarnya sangat tidak mungkin. Saking sudah lamanya orang kulit putih berada dalam status mayoritas yang menikmati segala jenis privilege sejak dilahirkan ke dunia, perjuangan sekecil apapun dari kaum minoritas (terutama kulit hitam) dianggap sebagai sesuatu yang mengancam dan akhirnya menimbulkan polemik. Padahal, tuntutan BLM adalah racial equality dan inclusion. Bahwa mereka berhak mendapatkan hal-hal mendasar yang sudah dirasakan oleh kulit putih secara cuma-cuma.

Dan mau tidak mau, saya jadi membandingkan hal ini dengan kaum mayoritas di negara kita tercinta. Bahwa white fragility, meski di sini mungkin berubah namanya, memang ada di mana-mana. Kaum mayoritas dengan segala privilegenya akan merasa terancam jika ada wakil minoritas yang akan mengubah keadaan, dan mengancam kenyamanan tatanan dunia mereka. Satu hal yang patut kita renungkan bersama, dan menurut saya, akan sangat menarik jika ada penulis yang berani mengupas isu ini seperti DiAngelo berani mengupas terang-terangan perihal white fragility di Amerika.

We’ll see 🙂

Rating: 4,5/5

Recommended if you want to learn more about: racism, social justice, racial equity in America, black history, Black Lives Matter

Submitted for:

Category: A book found on a Black Lives Matter reading list

Dead Wake: The Last Crossing of the Lusitania by Erik Larson

07 Thursday Jan 2021

Posted by astrid.lim in Uncategorized

≈ Leave a comment

Tags

british, europe, history, non fiction, popsugar RC 2021, secondhand books, world war

Judul: Dead Wake: The Last Crossing of the Lusitania

Penulis: Erik Larson

Penerbit: Broadway Books (2015)

Halaman: 452p

Beli di: Betterworldbooks.com (USD 9.98)

Erik Larson delivered again! Kalau ada penulis yang membuat saya bisa terpukau dengan buku sejarah, Larson lah orangnya. Kali ini, topik yang diangkat adalah tentang Lusitania, kapal besar yang mengangkut penumpang dari New York ke Liverpool, dan tenggelam karena ditorpedo oleh Jerman saat Perang Dunia I. Ini merupakan salah satu tragedi paling terkenal di dunia maritim, terutama karena terjadi pada kapal swasta yang seharusnya kebal dari ancaman perang.

Saya sendiri kurang tahu tentang peristiwa ini, dan tidak terlalu tertarik untuk mencari tahu lebih jauh. Tidak seperti Titanic yang kental dengan nuansa romantis (terutama setelah diangkat ke layar lebar oleh Hollywood), tragedia Lusitania -karena terjadi di masa perang- dianggap seperti collateral damage saja sehingga kurang menarik untuk diulik.

Tapi Erik Larson berpikiran lain – ia berhasil mengangkat peristiwa yang tadinya hanya dianggap sepintas lalu sebagai bagian Perang Dunia I – ke dalam sebuah naratif yang memikat. Seperti biasa, buku ini merupakan hasil penelitian panjang Larson dari berbagai sumber, termasuk buku harian, surat-surat dan dokumen lainnya.

Yang menarik, Larson bisa menggabungkan kisah masing-masing penumpang Lusitania – dari mulai persiapan mereka berangkat hingga tragedi menimpa mereka di atas kapal- dengan momen-momen di mana ketegangan antara Inggris dan Jerman semakin memuncak.

Ada dua hal besar yang membuat buku ini begitu menarik, dan Erik Larson dengan lihai bisa menjalin kedua isu utama ini ke dalam naratif yang mudah dibaca dan diikuti.

Yang pertama adalah Lusitania itu sendiri – sejarahnya, karakteristiknya, para penumpangnya, serta kapten yang menggawangi pelayaran tersebut, Captain Turner. Semuanya akan menjadi elemen-elemen penting yang mempengaruhi peristiwa tenggelamnya Lusitania secara tragis. Karena kapal swasta seharusnya aman dari serangan musuh dan menjadi wilayah netral di Perang Dunia I, tidak ada seorang pun yang merasa terancam secara serius, meski saat pelayaran ini berlangsung di bulan Mei 1915, Jerman sedang giat-giatnya menyebar kapal selam perang mereka di perairan Eropa dan menembaki kapal-kapal musuh.

Isu kedua yang tak kalah penting adalah ketegangan di antara Jerman dan Inggris, karena pertengahan tahun 1915 merupakan saat-saat stagnan di medan peperangan darat, dan lautan menjadi salah satu kunci untuk bisa memenangkan perang tersebut. Inggris sangat ingin Amerika Serikat bergabung dan beraliansi dengan mereka di Perang Dunia I, namun Presiden Woodrow Wilson tetap teguh ingin memegang netralitas Amerika. Sementara itu, tergoda untuk memenangkan perang sebelum Amerika ikut mendukung Inggris, Jerman pun mulai melancarkan serangan-serangan tajam di lautan, dan bahkan mulai menargetkan kapal-kapal non perang serta kapal dari negara netral.

Sementara itu, Presiden Wilson sendiri sedang mengalami banyak masalah pribadi, istrinya baru meninggal dan tak lama kemudian ia menjalin hubungan dengan seorang perempuan yang masih ragu untuk menjadi pendamping hidupnya. Konteks ini perlu diketahui karena cukup berpengaruh pada perasaan dan kondisi Wilson saat awal Perang Dunia I.

Yang paling membuat gemas adalah melihat cara Inggris menghadapi hari-hari menjelang penyerangan Lusitania. Badan intelijennya sudah menangkap tanda-tanda submarine U-20 yang berkeliaran di perairan sekitar Liverpool, tapi mereka tidak memperingatkan Lusitania dan masih menganggap ancaman penyerangan tersebut tidak serius.

Berita tenggelamnya Lusitania

Larson adalah penulis non fiksi dengan hati seorang novelis. Ia bisa menyajikan narasi yang memikat tapi tetap netral, tidak berat sebelah, dan mengungkap bukti-bukti keteledoran semua pihak. Tidak serta merta ia memihak Inggris atau menyalahkan Jerman, tapi menjelaskan semua fakta dengan apa adanya. Banyak faktor yang menyebabkan Lusitania ditorpedo pada bulan Mei 1915, dan banyak korban yang sebenarnya tidak perlu jatuh di hari itu, termasuk yang tertimpa perahu penyelamat atau kru yang terjebak di ruang bahan bakar.

Detail-detail yang begitu vivid seringkali membuat saya lupa kalau saya sedang membaca buku sejarah alih-alih novel fiksi. Dan itulah kepiawaian Erik Larson yang sulit ditandingi oleh penulis lain. Bahkan topik yang tidak terkenal, tidak terpikirkan, dan tidak terlihat menarik, bisa disulap menjadi buku yang engaging dan memikat. And I’m super happy because there are some of his books that I haven’t read 🙂

Rating: 4/5

Recommended if you want to read about: World War I, maritime tragedies, history book with a sense of fiction novel, detailed but engaging narratives.

Submitted for:

Category: A book with a black-and-white cover

A Promised Land by Barack Obama

03 Sunday Jan 2021

Posted by astrid.lim in Uncategorized

≈ Leave a comment

Tags

2020, 5 stars, america, autobiography, english, memoir, non fiction, politics

Title: A Promised Land

Writer: Barack Obama

Publisher: Crown (First Edition, 2020)

Pages: 751p

Bought at: Periplus.com (IDR 472k, disc 20%)

Barack Obama is a good writer. That’s one of my main impressions after reading his memoir. He can write about a very complicated period in his life, with many complicated issues, in a really clear, organized way, easy to understand but not oversimplified everything, and in between those packed topics, he can still write in his style, with lots of humors and sarcastic comments here and there.

This book covered the first half of his presidency, but started way before that time, with a hint of his family background and unconventional childhood, how politics creeped into his life and changed who he became, and of course, his fateful meeting with Michelle. Reading this part reminded me of Michelle’s memoir, Becoming, that also told story of his meeting with Barack, and how their relationship changed her life. But if Michelle wrote in more personal, emotional way, with many reminiscing of her childhood and talked a lot about her personal identity, Barack didn’t write that much about his personal life. I think his main purpose is to record his path in politics and how his presidency helped changing America into the state that’s getting closer with his ideals. Even though, of course, the reality is not that easy.

Although I have been working with American government program for more than 10 years now, there are still many things, especially related to social-politics-economy of the country that I don’t understand. Reading this book, I learned a lot about the issues that are important to American people: the economy gap, racial issues, universal healthcare, justice system, and even the relationship with other countries in the world, especially in the Middle East area (with the never ending wars), Russia, and China, and how the dynamics of their relationships shaped the global world situation.

Obama wrote in a very detailed way, thoughtful, with step by step guidance on his decision making process, very useful for younger generations who are interested in working in politics. He is a natural born leader, with very sharp mind, great decision making skills, and outstanding ability to choose the right people for the right position. I think even for those who are not interested in politics, this book still teaches a lot about how to become a great leader.

Another interesting thing is how detailed Obama described his daily life in White House, including his favorite room, his routine, and all the people he met, from the gardeners to the world leaders. What he and his team usually did inside Air Force One (playing cards!), their obsession with basketball, and the Dad stuff he still did even though his life was very busy.

And Obama is a fair writer. He wrote about his failures and bad judgments with the same precisions and details with his writing about his successes. And every time he wrote about his success stories, he always mentioned in detailed the roles of other people to bring the success.

Overall, this is a really good memoir, a bit long, but necessary, and better to savor it slowly. Like Obama said, he planned to write a 500-page book about his two-term presidency, but he failed tremendously XD This is only the first volume of his journey, and it already reached 700 pages, hahaha.. I can’t wait for the second volume though, and learn more from his journey.

Also – it’s good to read this book right after the US election, so at least I was not too frustrated with the fact that every achievement that Obama made – already ruined or canceled by Trump. Hopefully Biden and Harris will bring back some of the good policies that Obama has started. We’ll see.

Rating: 5/5

Recommended if you like: good memoirs, world leader autobiography, politics and social issues, American history, long book but not boring, serious issues tackled with understandable language and great sense of humor

← Older posts

From the bookshelf

Categories

Looking for Something?

Enter your email address to follow Books to Share and receive notifications of new posts by email.

Join 1,036 other subscribers

Currently Reading

I’m a Proud Member! #BBI 1301004

Wishful Wednesday Meme

Fill your Wednesdays with wishful thinking =)

Popsugar Reading Challenge 2018

bookworms

  • aleetha
  • althesia
  • alvina
  • ana
  • annisa
  • bzee
  • dewi
  • dion
  • fanda
  • Ferina
  • helvry
  • inne
  • Kobo
  • maya
  • mei
  • melmarian
  • mia
  • ndari
  • nophie
  • oky
  • peri hutan
  • ren
  • Reygreena
  • sel sel kelabu
  • sinta
  • tanzil
  • tezar
  • yuska

shop til you drop

  • abe books
  • Amazon
  • better world books
  • book depository
  • BukaBuku
  • Buku Dedo
  • bukukita
  • vixxio

Top Posts & Pages

  • Spooktober Read (2): The Turn of the Screw by Henry James
    Spooktober Read (2): The Turn of the Screw by Henry James
  • The Rainmaker by John Grisham
    The Rainmaker by John Grisham
  • A Dance with Dragons by George R.R. Martin
    A Dance with Dragons by George R.R. Martin
  • The Best of Nancy Drew, Classic Collection Vol.1
    The Best of Nancy Drew, Classic Collection Vol.1
  • The Secret History
    The Secret History

Recent Comments

Puddin’ by Jul… on Dumplin’ by Julie M…
jesica on Abarat 2: Days of Magic, Night…
jesica on Abarat 2: Days of Magic, Night…
When the Stars Go Da… on The Paris Wife
Hapudin Bin Saheh on Insomniac City: New York, Oliv…

Create a free website or blog at WordPress.com.

Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
  • Follow Following
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Join 1,036 other followers
    • Already have a WordPress.com account? Log in now.
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Customize
    • Follow Following
    • Sign up
    • Log in
    • Report this content
    • View site in Reader
    • Manage subscriptions
    • Collapse this bar
 

Loading Comments...