• About this blog
  • Clearance Sale!
  • Newbery Project
  • Popsugar Reading Challenge 2022
  • Previous Challenges
    • BBI Read and Review Challenge 2017
    • Challenges 2014
    • Challenges 2015
    • Lucky No.14 Reading Challenge
    • Lucky No.15 Reading Challenge
    • POPSUGAR Reading Challenge 2017
    • Popsugar Reading Challenge 2018
    • Popsugar Reading Challenge 2020
    • Popsugar Reading Challenge 2021
    • What’s in a Name 2018
    • Twenty-Ten Challenge
    • Challenges 2012
    • Challenges 2013
  • Round Ups
  • The Librarian

~ some books to share from my little library

Tag Archives: sicklit

Rosie Coloured Glasses by Brianna Wolfson

06 Tuesday Oct 2020

Posted by astrid.lim in Uncategorized

≈ Leave a comment

Tags

adult, america, bullying, dysfunctional family, fiction, mental health, new york, popsugar summer RC 2020, sicklit

Judul: Rosie Coloured Glasses

Penulis: Brianna Wolfson

Penerbit: HQ (2018)

Halaman: 329p

Beli di: Big Bad Wolf (IDR 80k)

Rosie bukanlah seorang ibu yang biasa-biasa saja. Willow merasa amat beruntung memiliki ibu seperti Rosie. Janjian tengah malam di rumah pohon, bolos sekolah untuk berjalan-jalan ke pantai, serta memakai kostum heboh sambil menonton film, adalah segelintir dari keunikan Rosie yang tidak pernah membuat hari-hari Willow terasa membosankan.

Makanya, Willow selalu merasa amat sebal ketika harus kembali ke rumah ayahnya, Rex, yang berbeda 180 derajat dari Rosie (dan menjadi penyebab utama orang tua Willow bercerai). Rex amat kaku, menyukai peraturan dan sama sekali tidak memiliki imajinasi. Willow seringkali berandai-andai kalau saja ia bisa tinggal bersama Rosie selamanya dan tidak perlu berbagi waktu bersama Rex.

Namun di balik keceriaan Rosie, ada suatu kegelapan yang semakin menyelimutinya, dan bahkan membuat Willow merasa takut. Perlahan, kita diajak mengikuti perjalanan hidup Rosie, dari mulai pertemuannya dengan Rex, kisah cinta mereka yang bahagia namun harus berakhir dengan menyedihkan.

Willow terpaksa mengakui kalau Rosie bukan sekadar ibu yang unik dan lain dari yang lain, karena ada sisi lain yang tidak Willow ketahui, namun mulai terlihat sedikit demi sedikit, mengancam kebersamaan Willow dengan Rosie.

Buku ini memiliki plot yang menjanjikan: seorang ibu yang memiliki gangguan mental, dan bagaimana hal tersebut merusak hubungannya dengan keluarganya, terutama anak perempuan yang amat ia sayangi. Selain mental illnes, tema grieving juga coba diangkat oleh buku ini.

Saya ingin bisa menyukai buku ini dengan lebih lagi, tapi ada beberapa hal yang terasa cukup mengganjal buat saya. Yang pertama, setting waktu saat kisah ini berlangsung. Brianna Wolfson mengakui kalau kisah Willow sebenarnya terinspirasi dari masa kecilnya, yang mungkin terjadi di era 80-90an. Namun karena periode tersebut tidak dibahas secara gamblang di dalam buku, yang saya dapatkan adalah rentang waktu yang buram, tidak jelas dan jadinya kurang bisa menyatu dengan cerita (yang sebenarnya bisa dianggap kontemporer). Rasanya aneh saat mengetahui reaksi orang-orang dewasa saat Willow terlihat tidak bisa coping dengan kondisi Rosie, juga reaksi guru-guru terhadap para bullies di sekolah Willow. Banyak yang menjadi tidak masuk akal bila dilihat dari konteks masa kini, namun mungkin cukup masuk akal bila dilihat dari kacamata era 80-90an awal. Saya menyayangkan Wolfson yang tidak dengan jelas menyebutkan periode kisah Rosie berlangsung, atau setidaknya memasukkan unsur-unsur yang bisa memperjelas konteks setting waktu kisah tersebut.

Ganjalan kedua adalah gaya penulisan Wolfson yang kurang sreg bagi saya. Terlalu banyak pengulangan -yang maksudnya mungkin ingin menghasilkan prosa semi puitis, tapi buat saya malah jadi mengganggu jalannya cerita. Karena saya ingin tahu apa yang terjadi selanjutnya, bagaimana nasib Willow dan apa yang menyebabkan Rosie seperti itu. Namun dengan gaya bahasa mendayu-dayu ala sajak, kisah jadi terasa berjalan lambaaat dan klimaksnya terasa lebih seperti antiklimaks yang membuat gemas saking slownya.

Ini contohnya (p 202)

And she wanted to be fun and free with them. She wanted to be herself and be happy with them. She wanted to be coloring and singing and making a mess. She wanted to be watching movies and listening to records. She wanted to be playing dress-up and putting on makeup. Yes, she wanted to be herself. With her children next to her. She wanted all of them soaking each other up all the time. She wanted all of them filling each other with love.

etc etc

Kalau hanya beberapa paragraf sebenarnya sih tidak apa-apa, untuk memberikan nuansa lain yang lebih syahdu, atau puitis, atau melankolis. Tapi karena seluruh buku terdiri dari paragraf seperti itu, rasanya melelahkan juga membacanya. Dan lama kelamaan saya jadi tidak peduli pada Willow atau Rex atau siapapun di buku ini.

Anyway – another book with lovely premise, but the execution is not really my cuppa 🙂

Submitted for:

Category: A book with sunglasses on the cover

The Loose Ends List by Carrie Firestone

04 Tuesday Aug 2020

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

death, dysfunctional family, ebook, english, fiction, new adult, popsugar summer RC 2020, romance, sicklit, summer, travel, vacation

Judul: The Loose Ends List

Penulis: Carrie Firestone

Penerbit: Little, Brown Books (2016, Kindle Edition)

Halaman: 368p

Beli di: Amazon.com

Maddie memiliki banyak rencana untuk musim panas terakhirnya sebelum memulai kuliah. Terutama, ia ingin melakukan hal-hal yang sudah ia catat di “loose ends list” – nya, yaitu hal-hal yang masih harus dilakukan, masih membutuhkan closure, dan lain-lain, sebelum ia mengawali fase baru dalam hidupnya.

Namun rencananya berantakan saat tiba-tiba nenek yang sangat disayanginya mengumumkan kalau ia mengidap penyakit kanker stadium akhir dan sedang sekarat, dan sebagai hadiah terakhir bagi keluarganya, ia ingin mereka semua menghabiskan dua bulan musim panas berlayar keliling dunia dengan Wishwell Cruise.

Namun itu bukan sembarang pelayaran, karena cruise tersebut khusus diperuntukkan bagi orang-orang yang sedang sekarat atau menderita penyakit yang sudah tidak mungkin disembuhkan, dan memberi kesempatan pada mereka untuk menghabiskan hari-hari terakhir bersama keluarga, sebelum akhirnya mereka mengambil tindakan euthanasia. Seperti kata nenek Maddie, ini adalah cara untuk pergi dari dunia dengan penuh integritas dan harga diri. Karena ia (seperti juga banyak orang yang bergabung di Wishwell), tidak ingin hari-hari terakhirnya dihabiskan di rumah sakit, dengan obat-obatan dan menyusahkan keluarga serta orang lain.

Maka dimulailah petualangan Maddie, sekaligus mencari cara untuk melepaskan neneknya, dan menemukan banyak teman baru yang membuka pikiran dan hatinya.

Yang saya suka dari buku ini adalah temanya yang unik. Pelayaran khusus untuk orang-orang sekarat? Euthanasia di tengah samudera? Dan sambil bersenang-senang, pula, melihat berbagai tempat dan negara yang menarik dan eksotis. Carrie Firestone merupakan penulis yang luwes, menggambarkan dengan ringan suasana di atas kapal pesiar serta negara-negara yang mereka kunjungi, sehingga menambahkan kesan liburan musim panas dengan amat jelas, dan cukup kontras dengan maksud dari pelayaran tersebut, yang tentu saja berkaitan dengan tema kematian.

Namun ada hal-hal yang saya kurang sreg juga dari buku ini. Karakter utamanya, Maddie, bukanlah orang yang mudah mengundang simpati. Cewek kulit putih dari keluarga kaya raya, yang seringkali annoying tapi anehnya dipuja semua anggota keluarga (dan cowok gebetannya di kapal pesiar). Keluarganya pun sama saja, dengan segala first world problem yang menunjukkan privilege mereka. Meski ada beberapa bagian yang lucu, dan gaya penulisan Firestone yang ceria, namun ada dialog-dialog dan jokes yang menurut saya disajikan dengan kurang pas, terutama yang menyangkut disabilitas dan perbedaan budaya. Saya rasanya mau mengamuk saat Maddie mengeluh tentang makanan Taiwan yang memuakkan, serta penggambaran masyarakatnya yang seolah masih terbelakang. Padahal Taiwan adalah salah satu negara paling maju di Asia!

Anyway – The Loose Ends List bukan buku yang buruk, sebenarnya, hanya saja menurut saya banyak hal yang perlu direconsider oleh sang penulis, termasuk banyak sekali penis jokes yang sanga immature XD Oh well.

Submitted for:

Category: A book that takes place during the summer before high school or college

Turtles All The Way Down by John Green

13 Thursday Dec 2018

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ Leave a comment

Tags

borrowed, contemporary, english, fiction, mental health, popsugar RC 2018, realistic, sicklit, young adult

Judul: Turtles All The Way Down

Writer: John Green

Publisher: Dutton Books (2017)

Pages: 286p

Borrowed from: Essy

Di usianya yang 16 tahun, Aza memikirkan banyak sekali hal. Termasuk bakteri yang ada di dalam dirinya, kecemasannya akan terkena infeksi berbahaya akibat lupa mengganti band aid, kepanikannya saat menyadari kalau hidupnya tidak bisa ia kontrol sepenuhnya- ia bisa saja mati tiba-tiba dan melakukan hal-hal yang tidak ia inginkan dan akan membahayakan hidupnya.

Pemikiran yang berbelit-belit ini menyiksa hidup Aza, namun tidak ada yang bisa ia lakukan, kecuali mengikuti sesi terapi bersama psikiaternya. Untunglah Aza memiliki ibu dan sahabat yang suportif.

Hidup Aza bertambah ruwet saat kotanya dihebohkan dengan kasus hilangnya jutawan terkenal Russell Pickett, yang diduga kabur saat hendak ditahan polisi karena kasus korupsi besar. Polisi menawarkan reward yang cukup lumayan bagi siapapun yang memiliki petunjuk tentang keberadaan Pickett, dan tentu saja Daisy, sahabat karib Aza, tidak mau kehilangan kesempatan ini. Apalagi karena Aza memang mengenal anak Pickett, Davis, yang sempat ikut summer camp yang sama dengannya beberapa kali.

Namun di balik kehidupan Davis yang kaya raya, banyak hal yang baru Aza ketahui tentang dirinya. Dan kedekatan mereka yang awalnya terjadi karena kasus hilangnya ayah Davis, lama kelamaan berkembang menjadi persahabatan yang membawa warna baru di dunia Aza.

Saya tidak bisa dibilang fans berat John Green. Green bukanlah autobuy author yang buku-bukunya selalu saya beli dan baca segera setelah terbit. Saya menyukai Will Grayson, Will Grayson, tapi cukup kecewa dengan The Fault in Our Stars yang overhyped.

Jadi saya memang tidak terlalu punya ekspektasi apa-apa saat membaca Turtles All The Way Down, yang saya tahu hanyalah buku ini mengangkat isu mental health di kalangan young adult, dan memiliki rating serta review yang cukup bagus.

Satu hal yang saya seringkali tidak tahan dari buku- buku John Green adalah karakter-karakternya yang bisa dibilang amat pretensius, dengan dialog-dialog yang terlalu lebay untuk umurnya dan keseriusan memandang hidup yang berlebihan. Mungkin karena saya sudah melewati usia itu dan jadi kurang sabar menghadapi dialog-dialog yang pretensius tersebut.

Untunglah kisah Aza tidak termasuk dalam kategori itu. Sure, masih banyak dialog heboh seperti pengetahuan luar biasa Davis tentang tata surya atau kegemarannya membuat puisi dan mengutip buku-buku sastra. Tapi ini masih mendingan dibandingkan para tokoh dalam buku The Fault in Our Stars XD

Dan Aza cukup bisa membuat kita bersimpati, saya menghargai usaha Green yang cukup sukses untuk membawa kita menjelajahi pikiran Aza yang rumit, suram dan menakutkan, dan membuat kita lebih bisa mengerti apa yang dirasakan oleh orang-orang yang memiliki OCD. Isu mental health menjadi satu topik utama di sini, yang berhasil diangkat Green tanpa kesan menggurui melalui karakter Aza yang approachable meski kadang mengesalkan.

Saya juga suka dengan Daisy, sahabat Aza yang untungnya digambarkan tidak hanya sekadar sebagai sidekick tapi memilkki porsi yang cukup besar dan penting untuk perkembangan karakter Aza.

Overall, a great experience, membuat saya cukup berharap masih bisa menikmati buku-buku John Green lainnya.

Submitted for:

Category: A book about mental health

A Monster Calls by Patrick Ness

27 Friday May 2016

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ 6 Comments

Tags

british, children, english, fantasy, fiction, illustration, magical realism, middle grade, sicklit

monster callsTitle: A Monster Calls

Writer: Patrick Ness (original idea by Siobhan Dowd, Illustrations by Jim Kay)

Publisher: Walker Books Ltd (2011)

Pages: 115p

Bought at: Periplus Sale FX (IDR 39k, bargain!)

Lately, I was craving for a tearjerker, a book that can make me cry and bawl my eyes out. I think sometimes in life, you will need to release the emotions bottled up inside you. Otherwise, you’re getting hard inside.

So I tossed and turned, read some books that people said will bring my tears out, but I haven’t found one that could successfully satisfy my need.

Until I opened A Monster Calls.

The story revolved around a boy named Conor O’Malley, whose mother was very sick because of cancer. Since her mom was dying, Conor had repeatedly been having a nightmare, a nightmare so scary that he could barely sleep at night.

One night, another nightmare suddenly came -literally- into his life when a monster – an old tree monster- entered his house and haunted his life. The monster would tell three stories to Conor, but he asked Conor to tell him his own story, about his recurring nightmares that had made his life miserable.

Meanwhile Conor’s life kept on deteriorating. He lost his friends at school because he turned down everyone, there were some bullies who chased him everyday, he had to live with his grandma who was making him crazy, and his father chose to live in America with his new family, than to live with Conor.

Only the monster knew Conor’s feeling. But the lessons that he gave Conor required Conor’s bravery, faith and hope. Things that Conor has already forgotten about. And he’s not sure if he could bring those things back into his life.

A Monster Calls is a reminder for all of us on how to face our grieves. How to let go of things and people we love the most. How to lose someone and still face the world bravely.

It’s a beautiful, moving book with haunting illustrations, lyrical prose and dark atmosphere. It’s a book for children and adults, a book for people who just lost someone dear, a book for anyone who love a good story. A recommended book, period.

The Meaning of Maggie by Megan Jean Sovern

25 Monday Jan 2016

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ 3 Comments

Tags

children, contemporary, english, fiction, middle grade, realistic, sicklit

maggieJudul: The Meaning of Maggie

Penulis: Megan Jean Sovern

Penerbit: Chronicle Books (2015)

Halaman: 220p

Beli di: Barnes and Noble Washington DC (USD 6.99)

Maggie Mayfield kini berumur 11 tahun dan dunia seolah berada dalam genggamannya. Cita-citanya sebagai presiden Amerika Serikat didukung oleh nilai-nilainya yang selalu A, guru-guru yang menyukainya, dan segudang rencananya untuk kuliah di universitas terbaik.

Namun hidupnya menjadi jungkir balik saat penyakit ayahnya semakin parah, sehingga ibunya harus bekerja sebagai pencari nafkah utama, sementara ayahnya tinggal di rumah, di kursi rodanya. Belum lagi kakak-kakak Maggie yang semakin menyebalkan, dengan segala kegenitan masa remaja mereka.

Maggie merasa dikucilkan karena sepertinya semua orang mengetahui lebih banyak tentang penyakit ayahnya, dan menyembunyikan fakta-fakta penting dari hidupnya. Maggie bertekad untuk mencari tahu sebanyak-banyaknya tentang penyakit bernama Multiple Sclerosis itu, dan menambah sebuah cita-cita penting yang harus bisa dicapainya: memperbaiki ayahnya.

The Meaning of Maggie merupakan kisah keluarga berbalut sicklit dengan target pembaca middle grade. Sebuah perpaduan yang biasanya langsung membuat saya terkesima.

Namun ada sesuatu yang missing dari buku ini. Jangan salah, saya menyukai “suara” Maggie, yang dituangkan dalam bentuk “memoir” dalam buku ini. Kekocakannya yang merupakan gabungan sifat lugu, sok tahu namun humoris, cukup menyenangkan untuk diikuti. Tapi, ada beberapa bagian yang agak “kering”, humor yang terlalu “remaja”, dan plot yang agak menggantung, terutama karena saya berharap buku sicklit untuk middle grade ini bisa menyampaikan lebih detail tentang penyakit MS yang menjadi topik kisah Maggie.Ternyata sampai bagian akhir, tidak ada pencerahan tentang penyakit ini, juga apa penyebabnya dan bagaimana harus memperlakukan penderitanya. Semacam meraba-raba jadinya di sepanjang buku, padahal untuk buku anak, semestinya ada penjelasan yang lebih eksplisit untuk menghindari kesalahpahaman.

Selain itu, setting kisah yang menggunakan tahun 80an tidak terlalu terasa di buku ini, kecuali kenyataan kalau Maggie harus mengobrak abrik ensiklopedia dan bukannya mengetik di Google saat mencari fakta-fakta tentang penyakit MS. Tapi di luar itu, rasanya saya tidak menemukan relevansi setting 80an dalam buku ini- tidak seperti saya membaca Tell The Wolves I’m Home, misalnya.

Menurut saya buku ini menjadi serba nanggung- baik dari plot, karakter maupun setting. Sayang sebenarnya, karena premisnya sudah sangat menarik, dan covernya cantik banget!!

The Einstein Girl by Philip Sington

02 Monday Feb 2015

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 2 Comments

Tags

bahasa indonesia, europe, fiction, historical, medical, mystery, psychology, science, serambi, sicklit, terjemahan

einstein girlJudul: The Einstein Girl

Penulis: Philip Sington

Penerjemah: Salsabila Sakinah

Penerbit: PT Serambi Ilmu Semesta (2010)

Halaman: 525p

Swap with: Desty

Dunia dikejutkan dengan munculnya surat-menyurat rahasia antara Albert Einstein dan istri pertamanya, Mileva Maric, 30 tahun setelah kematian Einstein. Dari surat-surat tersebut, terungkap keberadaan seorang anak yang lahir sebelum Einstein menikah dengan Mileva. Anak yang tak pernah diakui oleh pasangan tersebut, dan identitasnya tetap menjadi misteri.

Hal inilah yang menjadi inspirasi Philip Sington ketika menulis kisah fiksi sejarah The Einstein Girl.

Kisah dibuka dengan munculnya seorang gadis yang nyaris tewas di sebuah hutan di luar kota Berlin. Ketika sang gadis pulih dari koma, ia tidak ingat siapa dirinya sebenarnya. Satu-satunya petunjuk adalah secarik kertas yang ditemukan di dekat sosoknya, berisi pemberitahuan tentang kuliah umum oleh Albert Einstein. Maka publik pun menjuluki gadis tersebut sebagai The Einstein Girl.

Psikiater yang menangani kasus ini, Martin Kirsch, bertekad ingin mengungkap identitas si Gadis Einstein. Penyelidikannya membawa Martin jauh melangkah ke masa lalu sang gadis, bahkan ke masa lalu Einstein yang rumit di Serbia dan Zurich. Ia juga sempat bertemu dengan Edward, anak laki-laki Einstein yang dirawat di rumah sakit jiwa, dan memegang kunci penting akan identitas si Gadis Einstein.

Buku ini ditulis dengan cukup teliti, riset yang dilakukan oleh Philip Sington terasa menyeluruh, baik mengenai kondisi Jerman menjelang kekuasaan Hitler (yang memaksa Einstein untuk kabur ke Amerika), teori Fisika Kuantum Einstein yang mengubah dunia, dan tentu saja, masa lalu pribadi Einstein yang rumit dan penuh desas desus.

Saya tidak tahu seberapa banyak dari kehidupan pribadi Einstein yang benar-benar nyata dalam buku ini, namun gaya bercerita Sington cukup bisa meyakinkan saya. Memang ada beberapa penjabaran mengenai teori fisika maupun psikiatri dasar yang menurut saya cukup bertele-tele, ditambah dengan terjemahan yang agak kaku, namun secara keseluruhan saya (surprisingly) lumayan menikmati kisah si Gadis Einstein.

Satu hal yang agak saya sayangkan adalah gaya penceritaan yang non linear tapi tidak diimbangi dengan detail yang jelas, membuat saya sempat kebingungan di beberapa bagian cerita.

Lalu, saya -yang tidak terlalu familiar dengan sejarah Jerman pra pemerintahan Hitler- juga agak tidak mengerti dengan subplot politik yang diselipkan Sington di pertengahan buku. Sington seolah mengasumsikan pembaca sudah mengerti benar apa yang ia bicarakan, sehingga merasa tidak perlu memberikan background yang terperinci. Sayangnya, beberapa bagian yang krusial justru terlewat begitu saja karena saya tidak merasa familiar dengan nama-nama yang terkait sejarah Jerman tersebut.

Overall, I quite enjoyed the story of the Einstein Girl, and recommend it for all hisfic lovers.

Submitted for:

Category "Name in the Title"

Category “Name in the Title”

Tell the Wolves I’m Home by Carol Rifka Brunt

31 Thursday Jul 2014

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ 1 Comment

Tags

america, dramatic, english, family, fiction, new york, review 2014, sicklit, tragedy, young adult

tell the wolves2Title: Tell the Wolves I’m Home

Author: Carol Rifka Brunt

Publisher/Edition: Pan Books (Paperback Edition 2013)

Pages: 376p

Bought at: Kinokuniya Nge Ann City (SGD 15,95)

It’s hard to review a good book, and it’s almost impossible to review the great one. But I’ll try 🙂

June Elbus was very closed with her uncle, the renowned painter Finn Weiss. As an introvert and shy 14-year-old girl, June didn’t have many friends, and she felt Finn could understand her like nobody did, not even her older sister Greta.

Then Finn was sick, very sick, and he asked his two nieces to pose for him, and to let him make the last painting of his life.

After Finn’s gone, June’s life felt very empty. Until a stranger showed up in her life, a stranger named Toby, who was very closed to Finn but for some reason always been kept as a secret from June.

Together, June and Toby embarked in a journey, where they tried to find the meaning of their lives, now that Finn, the best part of them, had already gone.

Tell the Wolves I’m Home is the remarkable first novel of Carol Rifka Brunt. The setting is New York City in the 80s, so lots of songs and pop culture references from this era that feels so right for this book.

The themes of this book are pretty heavy, but covered in beautiful language, easy to digest words and dramatic storyline (I cried several times reading this book and that is always a good sign!). This book talked about the outbreak of AIDS and the lack of knowledge about the disease in the 80s, LGBT and people’s reaction at the time, sibling relationships and of course, the self discovery.

Tell the Wolves I’m Home is the kind of book that doesn’t really fall in a certain category: a bit of YA, coming of age novel, but the content is more suitable for adults. For me I’m glad to read it as an adult so I could reflect with the story from my current point of view.

I love June as a narrator, she’s vulnerable, insecure but not pathetic. I also love Greta, the older sister, to show the readers that she is more than just a mean, cruel, annoying big sister. But I love Toby the most, the outsider who’s been a secret for too long.
It’s too bad we didn’t have a chance to know Finn firsthand since he’s already dead when the book starts. But knowing him through June’s (and everyone else’s) eyes is pretty interesting too.

I always long for this kind of book, and I do hope Brunt’s next one will be as good as her first- or even better!

Some quotes:

“You could try to believe what you wanted, but it never worked. Your brain and your heart decided what you were going to believe and that was that. Whether you liked it or not.”

“Maybe I was destined to forever fall in love with people I couldn’t have. Maybe there’s a whole assortment of impossible people waiting for me to find them. Waiting to make me feel the same impossibility over and over again.”

Wintergirls by Laurie Halse Anderson

25 Friday Jul 2014

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ 11 Comments

Tags

america, BBI, english, fiction, review 2014, sicklit, teens, tragedy, young adult

wintergirls1Judul: Wintergirls

Penulis: Laurie Halse Anderson

Penerbit: Speak (2010)

Halaman: 278p

Beli di: Amazon (USD 5.72)

I took the knife out of my pocket and cut my palm, just a little. “I swear to be the skinniest girl in school, skinnier than you.”

Cassie’s eyes got big as the blood pooled in my hand. She grabbed the knife and slashed her palm. “I bet I’ll be skinnier than you.”

“No, don’t make it a bet. Let’s be skinniest together.”

“Okay, but I’ll be skinnier.”

Lia dan Cassie telah bersahabat sejak kecil, namun seiring bertambahnya usia, lebih banyak pengaruh negatif yang saling mereka berikan satu sama lain. Saat SMA, mereka bertekad menjadi yang paling kurus dan sempurna. Cassie selalu memuntahkan makanan yang ia telan, sementara Lia berpuasa non stop, selalu menghitung kalori yang masuk ke dalam tubuhnya.

Kontes tidak sehat ini menyebabkan persahabatan mereka merenggang, dan mereka semakin terpuruk ke dunia mereka sendiri, menjelma menjadi wintergirls– gadis-gadis kurus kering yang seolah tidak hidup di dunia nyata dan menghilang seiring menyusutnya tubuh mereka.

Suatu hari Cassie ditemukan meninggal di sebuah kamar motel. Tragedi ini seolah menampar Lia, membuatnya merasa bersalah sekaligus ketakutan, apakah ia akan menyusul Cassie? Apakah sudah saatnya ia benar-benar mundur dari dunia ini?

Laurie Halse Anderson selalu berhasil menyajikan kisah remaja dengan issue yang berat namun mudah dicerna. Sangat gampang terjerumus ke dalam cerita yang pretensius jika seorang penulis terus mengangkat konflik serius seperti ini. Tapi Anderson bukan sembarang penulis. Ia mampu memberikan kesan manusiawi pada tokoh-tokohnya, membuat pembaca berusaha relate dengan mereka.

Awalnya, sulit bersimpati dengan Lia karena saya sama sekali tidak bisa membayangkan apa yang membuat seorang remaja menjadi penderita anorexia. Namun perlahan-lahan Anderson memaparkan kisah keluarga Lia, ambisi orang tuanya, perasaan tidak diterima, dan insecurity yang sangat parah, yang membuat saya bisa lebih mengerti karakter Lia.

Pergumulan Lia mengatasi anorexia nya juga digambarkan dengan sangat detail. Saya merinding sendiri membayangkan tubuh Lia yang sudah seperti tulang berlapis kulit, namun ia masih juga merasa terlalu gemuk dan menjijikkan.

Wintergirls bukan buku yang mudah untuk disukai. Selain temanya yang berat, setting ceritanya di sebuah kota kecil di New Hampshire saat musim dingin juga terasa sangat gelap. Tema kematian, keluarga yang tidak bahagia, penyakit dan tekanan hidup, semuanya cenderung membuat depresi. Untunglah masih ada Emma- adik tiri Lia- yang menjadi penyeimbang cerita. Hubungannya dengan Lia menjadi salah satu dari sedikit alasan mengapa hidup masih bisa terasa indah.

Sekali lagi, Anderson berhasil memukau saya lewat tangan emasnya.

Baca juga review saya untuk buku lain Anderson di sini dan sini.

Anorexia vs Bulimia

Keduanya adalah eating disorder yang banyak diderita oleh anak perempuan serta wanita dewasa (meski kini jumlah penderita laki-laki semakin bertambah). Perbedaan paling jelas ada pada symptom nya:

Anorexia: makan semakin sedikit dan sedikit, seringkali berpuasa. Olahraga secara berlebihan, selalu khawatir dengan kalori yang masuk ke dalam tubuh. Tidak pernah puas dengan berat badan, terobsesi menimbang badan terus menerus. Berhenti menstruasi (pada perempuan) dan disfungsi ereksi (pada laki-laki).

Bulimia: selalu khawatir dengan berat badan. Makan berlebihan (binge eat), lalu memuntahkan kembali makanan yang sudah masuk (biasanya menggunakan jari), Menstruasi tidak teratur. Dan terlepas dari segala usaha ini, biasanya berat badan tetap berada dalam batas normal.

Submitted for:

Posbar Tema Buku Sicklit bulan Juli 2014

Posbar Tema Buku Sicklit bulan Juli 2014

Wishful Wednesday [92]

08 Wednesday Jan 2014

Posted by astrid.lim in meme

≈ 16 Comments

Tags

BBI, meme, sicklit, wishful wednesday, wishlist

wishful wednesday

Hello! How’s 2014 treated you so far? Semoga baik-baik saja 🙂 Resolusi mengurangi belanja mungkin masih dipegang erat-erat, tapi berandai-andai tetap boleh jalan terus donk 😀

Dan karena itulah Wishful Wednesday tetap hadir setiap hari Rabu 😀

Awal tahun, semua pasti masih excited menyusun rencana buku-buku yang ingin dibaca, daftar reading challenge dan bertekad mengurangi timbunan 🙂 Aku sendiri sudah mendaftar ikut beberapa reading challenge, (dan meng-host satu reading challenge untuk seru-seruan). Salah satu yang kutunggu-tunggu adalah momen posting bareng Blogger Buku Indonesia, yang setiap bulannya selalu penuh ide dan tantangan seru.

Salah stau tema yang akan dibaca tahun ini adalah sicklit. Dan meski ini bukan genre favoritku, ada satu buku sicklit yang sedari dulu sudah penasaran kepingin kubaca, Wintergirls (Laurie Halse Anderson). Buku-buku Laurie selalu memikatku, dan kelihatannya yang satu ini juga begitu.

wintergirls1“Dead girl walking,” the boys say in the halls.
“Tell us your secret,” the girls whisper, one toilet to another.
I am that girl.
I am the space between my thighs, daylight shining through.
I am the bones they want, wired on a porcelain frame.

Lia and Cassie are best friends, wintergirls frozen in matchstick bodies, competitors in a deadly contest to see who can be the skinniest. But what comes after size zero and size double-zero? When Cassie succumbs to the demons within, Lia feels she is being haunted by her friend’s restless spirit.

In her most emotionally wrenching, lyrically written book since the multiple-award-winning Speak, Laurie Halse Anderson explores Lia’s descent into the powerful vortex of anorexia, and her painful path toward recovery.

Buku-buku Laurie selalu bergulat dengan tema-tema serius untuk remaja (bullying, wintergirls2depresi, etc) dan bahkan buku ini sudah ada sejak sebelum genre sicklit untuk YA menjadi hits (berkat The Fault in Our Stars sepertinya). Kemarin aku sudah cari-cari buku ini tapi sementara masih menahan diri untuk beli XD Mudah-mudahan bisa kesampaian sebelum momen baca bareng nanti.

Kalau kamu, apa wishmu hari ini?

-Silakan follow blog Books To Share – atau tambahkan di blogroll/link blogmu =)
-Buat posting mengenai buku-buku (boleh lebih dari 1) atau segala hal yang berhubungan dengan kebutuhan bookish kalian, yang jadi inceran kalian minggu ini, mulai dari yang bakal segera dibeli, sampai yang paling mustahil dan hanya sebatas mimpi. Oya, sertakan juga alasan kenapa buku/benda itu masuk dalam wishlist kalian ya!
-Tinggalkan link postingan Wishful Wednesday kalian di Mr. Linky (klik saja tombol Mr. Linky di bagian bawah post). Kalau mau, silakan tambahkan button Wishful Wednesday di posting kalian.
-Mari saling berkunjung ke sesama blogger yang sudah ikut share wishlistnya di hari Rabu =)

From the bookshelf

Categories

Looking for Something?

Enter your email address to follow Books to Share and receive notifications of new posts by email.

Join 1,037 other followers

Currently Reading

I’m a Proud Member! #BBI 1301004

Wishful Wednesday Meme

Fill your Wednesdays with wishful thinking =)

Popsugar Reading Challenge 2018

bookworms

  • aleetha
  • althesia
  • alvina
  • ana
  • annisa
  • bzee
  • dewi
  • dion
  • fanda
  • Ferina
  • helvry
  • inne
  • Kobo
  • maya
  • mei
  • melmarian
  • mia
  • ndari
  • nophie
  • oky
  • peri hutan
  • ren
  • Reygreena
  • sel sel kelabu
  • sinta
  • tanzil
  • tezar
  • yuska

shop til you drop

  • abe books
  • Amazon
  • better world books
  • book depository
  • BukaBuku
  • Buku Dedo
  • bukukita
  • vixxio

Top Posts & Pages

  • Red, White & Royal Blue by Casey McQuiston
    Red, White & Royal Blue by Casey McQuiston
  • A Feast for Crows by George R.R. Martin
    A Feast for Crows by George R.R. Martin
  • Dongeng-Dongeng Grimm Bersaudara
    Dongeng-Dongeng Grimm Bersaudara
  • Five Little Pigs
    Five Little Pigs
  • Station Eleven by Emily St.John Mendel
    Station Eleven by Emily St.John Mendel

Recent Comments

When the Stars Go Da… on The Paris Wife
Hapudin Bin Saheh on Insomniac City: New York, Oliv…
The Case of the Pecu… on The Case of the Left-Handed La…
astrid.lim on Lorong Waktu by Edward Pa…
nina on Lorong Waktu by Edward Pa…

Create a free website or blog at WordPress.com.

Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
  • Follow Following
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Join 1,037 other followers
    • Already have a WordPress.com account? Log in now.
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Customize
    • Follow Following
    • Sign up
    • Log in
    • Report this content
    • View site in Reader
    • Manage subscriptions
    • Collapse this bar
 

Loading Comments...