• About this blog
  • Clearance Sale!
  • Newbery Project
  • Popsugar Reading Challenge 2023
  • Previous Challenges
    • BBI Read and Review Challenge 2017
    • Challenges 2014
    • Challenges 2015
    • Lucky No.14 Reading Challenge
    • Lucky No.15 Reading Challenge
    • POPSUGAR Reading Challenge 2017
    • Popsugar Reading Challenge 2018
    • Popsugar Reading Challenge 2020
    • Popsugar Reading Challenge 2021
    • Popsugar Reading Challenge 2022
    • What’s in a Name 2018
    • Twenty-Ten Challenge
    • Challenges 2012
    • Challenges 2013
  • Round Ups
  • The Librarian

~ some books to share from my little library

Tag Archives: adventures

The Man in the Brown Suit by Agatha Christie

07 Monday Feb 2022

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

adventures, africa, agatha christie, british, classic, english, fiction, mystery/thriller, read christie 2022, romance, south africa, travel

Judul: The Man in the Brown Suit

Penulis: Agatha Christie

Penerbit: HarperCollinsPublishers (2017)

Halaman: 311p

Beli di: Kinokuniya (IDR 135k)

Tema #ReadChristie2022 adalah travel, dan untuk bulan Januari, buku yang terinspirasi dari perjalanan Agatha Christie. Buku pilihan resminya adalah The Man in the Brown Suit, yang terinspirasi perjalanan Agatha Christie ke Afrika Selatan.

Saya pernah membaca buku ini, dan jujur saja, bukan merupakan favorit saya. Kisahnya sendiri memang cukup berbeda dari tipikal buku Agatha Christie. Anne Beddingfeld yang haus akan petualangan, secara tidak sengaja terlibat dalam pengalaman menegangkan saat ia menyaksikan seorang pria tewas ditabrak kereta bawah tanah. Anne yakin, sebelum terjatuh ke rel, pria tersebut kaget melihat seorang laki-laki berjas cokelat yang membuatnya terpeleset dan tersambar kereta.

Anne pun bertekad untuk menemukan si pria berjas cokelat, apalagi saat ia menemukan secarik kertas jatuh dari kantong pria tersebut, yang membawanya berlayar dengan kapal Kilmorden Castle yang menuju ke Afrika Selatan. Di atas kapal, Anne mengalami banyak kejadian misterius, bertemu karakter-karakter yang tak kalah mencurigakan, mulai dari misionaris yang menyimpang rahasia, jutawan yang rumahnya baru-baru ini menjadi lokasi pembunuhan (yang dicurigai melibatkan si pria berjas cokelat), sekretarisnya yang selalu gugup, serta seorang pemuda misterius yang hanya muncul di saat-saat tertentu saja, dan yang membuat Anne jatuh cinta setengah mati.

Dan beginilah buku ini – penuh petualangan berbumbu kisah asmara, dengan latar belakang kapal pesiar serta Afrika Selatan yang eksotik. Kisah misterinya sendiri bukan merupakan inti buku ini, karena memang agak terlalu bombastis, apalagi karena Anne yang terlalu polos seolah berhasil mengelabui sepasukan kriminal profesional 😀

Tapi kalau ingin menikmati kisah yang berbeda, tanpa terlalu peduli plot, dan sedang ingin membaca romans berbumbu petualangan, The Man in the Brown Suit memang pilihan yang tepat. Dan menurut saya, memang buku yang tepat untuk #ReadChristie2022 bulan ini, karena nuansa travelingnya yang sangat kental memang menjadi kekuatan utamanya.

Rate: 3/5

Recommended if you like: adventures, romance, traveling, different Agatha, exotic settings

Submitted for:

Insipred by Agatha’s travels

The Salt Path by Raynor Winn

12 Monday Apr 2021

Posted by astrid.lim in non fiction

≈ Leave a comment

Tags

adventures, british, illnesses, inspirational, memoir, popsugar RC 2021, secondhand books, social issues, travel

Judul: The Salt Path

Penulis: Raynor Winn

Penerbit: Penguin Books (2019)

Halaman: 282p

Beli di: @ThereButForTheBooks (IDR 120k)

Sudah jatuh, tertimpa tangga. Mungkin itu adalah ungkapan yang tepat untuk hidup Raynor Winn, karena masalah datang padanya dengan bertubi-tubi. Suaminya, Moth, didiagnosa penyakit degenerasi langka yang tidak bisa disembuhkan, sementara itu, keluarga mereka mengalami krisis finansial parah akibat investasi gagal yang berlanjut ke ranah hukum, sehingga rumah merangkap pertanian mereka pun terpaksa disita. Raynor dan Moth resmi menjadi homeless, tanpa tahu harus tinggal di mana.

Suatu ide gila menghampiri Raynor di titik ter-desperate-nya, terinspirasi dari salah satu buku yang pernah ia baca. Raynor mengajak Moth untuk menyusuri South West Coast Path, jalur pejalan kaki di sebelah Barat Daya Inggris, yang melewati beberapa county termasuk Devon dan Cornwall. Rencananya, mereka berangkat dari Minehead, terus menuju ke Selatan hingga titik paling ujung bernama Land’s End, dan dari sana naik kembali ke Utara hingga berakhir di Poole. Total perjalanan mereka adalah 630 mil, dan mereka menggunakan buku Paddy Dillon sebagai acuan rute mereka.

Karena nyaris tidak punya uang, kecuali mengandalkan pemasukan mingguan seadanya dari tunjangan Moth, Raynor memutuskan mereka harus berkemah di sepanjang jalan, yang artinya melanggar peraturan pemerintah yang sebenarnya melarang perkemahan liar. Namun, karena mereka tidak mampu untuk menyewa space di perkemahan resmi, tidak ada pilihan lain kecuali mencari tempat tersembunyi di penghujung hari untuk mendirikan tenda.

Baik Raynor dan Moth sudah berusia separuh baya, dan kesehatan Moth pun makin menurun, sehingga banyak sekali tantangan yang harus mereka hadapi di sepanjang perjalanan. Cuaca buruk, medan yang berat, kehabisan uang, kekurangan makanan bergizi, bertemu dengan orang-orang dari mulai yang ingin tahu sampai menghakimi status homeless mereka. Namun di tengah kesulitan tersebut, masih banyak hal yang bisa disyukuri oleh Raynor dan Moth. Kesehatan Moth yang membaik setelah terbiasa dengan udara luar, orang-orang yang selalu ada saja yang ingin menolong, serta keindahan pesisir Inggris Selatan yang amat memukau.

Raynor Winn berhasil menuangkan petualangannya ke dalam deskripsi yang detail dan memikat, sehingga saya dengan mudah bisa membayangkan perjalanan yang mereka lalui, bahkan kadang-kadang sampai bisa mencium aroma laut yang asin. Tajamnya angin laut, koakan burung camar, hingga perubahan cuaca ekstrim dari yang panas terik menjadi dingin menggigit pun berhasil digambarkan oleh Raynor Winn dengan baik. Hanya saja, yang saya sayangkan adalah tidak adanya foto dalam buku ini, yang sebenarnya bisa membuat kisahnya semakin memukau, dan membuat kita lebih relate dengan Raynor dan Moth.

Satu hal yang juga menarik dalam buku ini adalah pembahasan tentang isu homeless di Inggris, karena Raynor dan Moth menjumpai banyak orang tanpa rumah seperti mereka, dengan berbagai kondisi dan alasan, yang mencoba bertahan di kerasnya dunia yang penuh dengan tuntutan standar kehidupan normal. Saya sendiri, yang sampai sekarang masih mengontrak rumah, tidak bisa membayangkan berada di posisi Raynor yang secara tiba-tiba kehilangan tempat tinggal. Buat saya, setidaknya ada support system seperti keluarga yang pasti masih akan membantu, entah memberi tumpangan sementara atau menguatkan mental kita. Tapi saya lihat, dalam kasus Raynor, bukan hanya sekadar tidak ada yang membantu, tapi prinsip dan budaya yang membuatnya sulit menerima bantuan orang lain, dan mempertahankan dignity saat tidak ada hal lain yang bisa ia pertahankan.

A truly eye opener, indeed.

Rating: 4/5

Recommended if you like: adventures, British outdoors, touching memoirs, beautiful views, real life struggles

Salah satu jalur South West Coast Path yang juga dikenal sebagai Salt Path
Rute yang ditempuh oleh Raynor dan Moth

Submitted for:

Category: A book set mostly or entirely outdoors

The Valley of Adventure by Enid Blyton

09 Tuesday Feb 2021

Posted by astrid.lim in Uncategorized

≈ Leave a comment

Tags

adventures, british, children, classic, historical fiction, mystery, series

Judul: The Valley of Adventure

Penulis: Enid Blyton

Penerbit: Macmillan Children’s Books (2015)

Halaman: 278p

Beli di: Big Bad Woolf, part of the bundle

Philip, Dinah, Jack, dan Lucy-Ann – serta burung mereka, Kiki, kembali terlibat petualangan yang menegangkan. Awalnya, mereka hanya mau berlibur bersama teman baik mereka, Bill, naik pesawatnya yang baru. Namun, suatu kejadian menyebabkan mereka naik pesawat yang salah, dan malah terdampar di lembah tersembunyi yang misterius.

Anehnya, tidak ada orang di lembah tersebut, kecuali kedua orang pilot yang membawa mereka ke sana tanpa sengaja. Penyelidikan Philip dan kawan-kawan mengungkap adanya harta tersembunyi di lembah itu, dan kedua pilot ternyata berusaha mencari harta tersebut, meski dengan cara-cara yang menyeramkan.

Dibandingkan dengan dua buku sebelumnya, The Valley of Adventure terasa lebih seru, petualangannya lebih mencekam, dengan setting yang juga cukup membuat bulu kuduk meremang. Ada yang aneh dengan lembah tempat mereka terdampar, dan sepertinya penjelasannya tidak sesederhana yang dibayangkan. Isu tentang harta tersembunyi yang ternyata disembunyikan saat Perang Dunia II berlangsung juga lumayan dark, sedikit berbeda dari buku-buku sebelumnya. Di sini, Blyton menyinggung sedikit tentang peran Nazi di Perang Dunia, meski tidak secara terang-terangan. Biasanya, Blyton tidak terlalu sering memasukkan unsur politik ke dalam buku-bukunya, kecuali beberapa kali membahas isu mata-mata, misalnya di kisah Lima Sekawan, tapi itu pun tidak spesifik menyebutkan negara ataupun isu yang menjadi inti cerita.

Saya sendiri mulai bisa lebih menikmati petualangan keempat anak ini (plus Kiki). Meski, saya juga menyadari, hubungan keempat anak ini memiliki dinamika yang agak berbeda dibandingkan dengan hubungan antar karakter di buku Lima Sekawan atau Pasukan Mau Tahu. Banyak kalimat yang cukup kasar diucapkan terutama oleh Dinah kepada kakaknya, Philip. Tapi Dinah juga beberapa kali bersikap kasar pada Lucy Ann. Tidak seperti George yang suka ngambek, Dinah terkesan lebih kasar dan bahkan suka memukul.

Saya sendiri tidak tahu apakah karena buku yang saya baca adalah versi Bahasa Inggris, sehingga tidak diperhalus (saya belum pernah membaca buku serial Petualangan dalam Bahasa Indonesia), atau memang dinamika hubungan anak-anak di serial ini agak lebih brutal dibandingkan serial petualangan Blyton lainnya. Interesting to find that out, though.

Rating: 3.5/5

Recommended if you like: adventures, British children classics, kids doing their stuff, stories full of food and picnic 🙂

The Great Alone by Kristin Hannah

21 Thursday Jan 2021

Posted by astrid.lim in Uncategorized

≈ 2 Comments

Tags

adventures, amerika, bargain book!, domestic fiction, dysfunctional family, historical fiction, popsugar RC 2021

Judul: The Great Alone

Penulis: Kristin Hannah

Penerbit: Pan Books (2019 mass market paperback)

Halaman: 440k

Beli di: Periplus (IDR 56k, bargain!)

Kristin Hannah is a good writer. Spesialisasinya memang historical fiction berlatar belakang perang dunia, tapi kali ini, dengan latar belakang yang amat berbeda, Hannah tetap berhasil menyajikan kisah yang memikat dengan gaya tulisan yang elegan seperti ciri khasnya.

Leni dibersarkan di keluarga yang tidak biasa. Ibunya kawin lari ketika berumur 16 tahun, dan ayahnya, setelah pulang dari Perang Vietnam, berubah menjadi pribadi yang abusif. Namun meski sudah disakiti berkali-kali, ibu Leni tetap bertahan, dengan alasan di balik kekasaran tersebut masih ada pribadi sang ayah yang sebenarnya baik hati dan amat mencintai keluarganya.

Suatu hari, Ernt, ayah Leni, mendapatkan kabar bahwa ia mewarisi sebidang tanah di ujung Alaska. Meski terdengar gila, Cora, ibunya, antusias dengan ide Ernt untuk pindah ke negara bagian antah berantah tersebut. Dan dimulailah petualangan keluarga kecil mereka di Kenai.

Namun, tentu saja banyak hal yang tidak mereka bayangkan sebelumnya. Tanpa pengalaman apapun, kini mereka harus mengelola kabin beserta kebutuhan hidup sehari-hari. Desa kecil tempat mereka tinggal amat terpencil, untuk menuju kota terdekat, Homer, mereka harus menempuh perjalanan dengan ferry. Dan setting di tahun 70-an semakin membuat kesan klautrophobic menjadi kental, karena terbatasnya alat komunikasi dan teknologi modern. Keluarga Leni harus belajar berjuang dari awal, mulai dari menanam tanaman untuk dimakan, memelihara binatang, hingga belajar menembak dan berburu untuk bertahan hidup.

Awalnya Ernt amat kerasan dan cocok di Alaska. Namun perlahan-lahan, sikapnya yang membenci pemerintah dan merasa yakin armagedon akan segera datang, membuat ia kerap melakukan hal-hal ekstrim, seperti memaksa keluarganya bangun tengah malam untuk latihan memasang senjata, juga kerap overprotective terhadap Leni dan Cora.

Leni sendiri serasa menemukan rumah di Alaska, apalagi setelah ia mengenal Matthew, satu dari sedikit anak yang seumuran dengannya. Persahabatan mereka membuat Leni semakin merasa betah di Alaska. Hanya saja, musim dingin panjang dan berat menjadi masalah bagi keluarga mereka, karena selama musim dingin yang gelap dan mengungkung, emosi Ernt semakin sulit untuk dikendalikan.

Ini adalah buku yang panjang tentang kisah luar biasa sebuah keluarga bertahan di kerasnya alam Alaska. Di tahun 70-an, Alaska belum menjadi tujuan pariwisata seperti sekarang. Fasilitas di desa kecil seperti desa Leni masih amat primitif: toilet di luar rumah, belum ada listrik, dan tidak ada telepon. Belum lagi, alam yang memang amat keras terutama di musim dingin yang panjang, di mana setiap langkah yang tidak hati-hati bisa membawamu ke kematian. Semua ini digambarkan Kristin Hannah dengan amat detail, namun ia justru menekankan kontras bahwa walaupun kondisi alam Alaska sangat berbahaya, justru bahaya paling utama dalam hidup Leni dan Cora ada di rumah mereka sendiri.

Isu KDRT dikupas amat dalam di buku ini, mulai dari tindakan abusive Ernt, hingga Cora yang selalu tidak berdaya, tidak mampu meninggalkan Ernt, dan selalu berharap bahwa ini adalah yang terakhir kalinya ia disakiti. Cintanya seolah dibutakan, mengingatkan saya akan Stockholm Syndrome yang juga sama tidak logisnya. Leni sendiri berada di pertengahan, di satu sisi ia ingin meninggalkan ayahnya dan pergi memulai hidupnya sendiri, namun di sisi lain, ia tidak sanggup meninggalkan ibunya sendirian.

Hannah membangun kisah ini perlahan-lahan, seperti yang biasa ia lakukan. Ia sangat menaruh perhatian pada pengembangan karakter, penggambaran setting waktu maupun tempat, dengan gaya bahasa yang tetap enak dibaca dan tidak bertele-tele. Namun setelah kejadian penting di pertengahan buku, ia seolah ingin memasukkan sebanyak mungkin plot untuk cepat-cepat menyelesaikan kisah ini, sehingga di separuh akhir buku, banyak adegan yang terlalu diburu-buru dan kesannya agak dipaksakan. Bahkan ada beberapa kali saya merasa Leni mengambil keputusan-keputusan yang aneh dan tidak masuk akal.

Namun secara keseluruhan, The Great Alone masih enak untuk dinikmati. Kristin Hannah masih bisa mengukuhkan posisinya sebagai salah satu penulis historical fiction terbaik di masa ini, terlepas dari tema dan setting apapun yang diambilnya. Di bagian catatan akhir, Hannah membuka fakta bahwa ia memang pernah tinggal di Alaska, dan masih memiliki kerabat di sana hingga saat ini. Mungkin itu yang membuat buku ini begitu hidup dan penggambarannya pun begitu nyata.

Kenai, Alaska

Rating: 4/5

Recommended if you want to read about: family adventures, Alaska story, survivalists, beautiful setting, domestic fiction (trigger warning: abusive husband)

Submitted for:

Category: A book featuring three generations (grandparent, parent, child)

The Summer of Bad Ideas by Kiera Stewart

04 Friday Sep 2020

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ Leave a comment

Tags

adventures, america, english, family, fiction, lovely heroine, middle grade, popsugar summer RC 2020, summer

Judul: The Summer of Bad Ideas

Penulis: Kiera Stewart

Penerbit: HarperCollins Publishers (2017)

Halaman: 296p

Beli di: Big Bad Wolf (IDR 70k)

Di belahan dunia Barat, khususnya Amerika Serikat, buku-buku summer menjadi “genre” tersendiri yang kerap ditunggu-tunggu kehadirannya. Mungkin karena summer di sana identik dengan masa santai atau liburan panjang, khususnya bagi anak sekolah dan kuliah, yang kadang panjangnya bisa lebih dari dua bulan.

Karenanya summer seringkali dijadikan waktu untuk bertualang, berefleksi, membawa perubahan ataupun membuka lembaran baru sebelum memulai cycle baru. Saya sendiri cukup menyukai buku-buku bergenre summer, yang biasanya memiliki gaya bahasa yang santai, setting yang hangat, dan tema yang inspiratif.

The Summer of Bad Ideas merupakan buku bersetting summer yang ditujukan bagi pembaca middle grade, dan menurut saya berhasil memenuhi ekspektasi sebagai buku summer yang menyenangkan.

Edie, sang karakter utama, terpaksa mengikuti orang tuanya berlibur di Florida, untuk membereskan rumah mendiang neneknya yang akan dijual. Meski kecewa tidak bisa menghabiskan musim panas dengan sahabatnya, Taylor, Edie cukup bersemangat untuk mengenal Rae, sepupu yang belum pernah ia temui dan masuk dalam kategori anak cool.

Edie yang pada dasarnya introvert dan nerdy, ingin membuat Rae terkesan, dengan mengusulkan kegiatan musim panas yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Ia menemukan list berisi kegiatan-kegiatan yang pernah dilakukan oleh Petunia, nenek mereka yang adventurous saat ia masih seusia mereka.

Menangkap ular dengan tangan kosong, menemukan harta terpendam, membuat wish saat bintang jatuh, dan memeluk seseorang yang tidak ingin kau peluk – adalah sebagian isi daftar yang Edie dan Rae coba untuk lakukan, sekaligus mengenang kehidupan Petunia yang penuh warna.

Namun ternyata, mencentang daftar tersebut tidaklah mudah, dan Edie menemukan banyak kendala yang bahkan merusak hubungannya dengan Rae. Namun di tengah semua tantangan tersebut, Edie juga menemukan banyak pengalaman baru, teman-teman baru, dan hal baru tentang dirinya sendiri.

The Summer of Bad Ideas menurut saya merupakan buku yang cukup solid, memiliki elemen-elemen yang pas untuk buku middle grade: interesting heroine, strong character development, great adventures, dan setting yang digambarkan dengan cukup detail dan unik. Kisah penemuan jati diri atau sejenisnya memang cukup klise, tapi Kiera Stewart adalah penulis yang baik, yang bisa menyajikan kisahnya dengan hidup, menimbulkan rasa simpati kita pada Edie, dan terhubung dengan keluarganya yang aneh namun menyenangkan. A recommended summer book, indeed.

Submitted for:

Category: A book with “summer” in the title

The Island of Adventure by Enid Blyton

19 Tuesday May 2020

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ 1 Comment

Tags

adventures, boxset, british, children, classic, english, enid blyton, fiction, popsugar RC 2020, series

Judul: The Island of Adventure

Penulis: Enid Blyton

Penerbit: Macmillan Children’s Books (2015)

Halaman: 276p

Beli di: Big Bad Wolf Jakarta (IDR 420k, part of a bundle)

The Adventure series dari Enid Blyton tidaklah seterkenal karya-karya sejenisnya yang lain, seperti Lima Sekawan atau Pasukan Mau Tahu. Tidak ada yang terlalu orisinil dengan kisah petualangan ini, karakter-karakternya medioker, dan jalan ceritanya pun mudah ditebak.

Namun, karena saya baru saja kehilangan banyak sekali koleksi buku Enid Blyton akibat banjir yang melanda rumah awal tahun kemarin, saya bertekad untuk mengumpulkan ulang buku-buku Blyton. Dan ketika saya melihat satu set bundel serian Adventures ini di bazaar buku Big Bad Wolf beberapa bulan lalu, saya tak pikir panjang untuk membelinya. Kebetulan covernya pun menarik, dan diterbitkan ulang sebagai bagian dari perayaan 70 tahun serial Adventure.

Kisahnya simpel: Philip harus mengikuti sekolah musim panas karena ia sempat sakit dan ketinggalan pelajaran semester yang lalu. Di sana, ia berkenalan dengan kakak beradik yang unik, Jack dan Lucy-Ann, serta burung kakaktua piaraan Jack yang bernama Kiki. Karena Jack dan Lucy-Ann adalah anak yatim piatu yang tidak bahagia tinggal bersama paman mereka yang galak, mereka memutuskan untuk kabur dan ikut dengan Philip pulang ke rumah Craggy-Tops, tempat Philip tinggal bersama Dinah, adiknya, serta paman dan bibinya. Ayah Philip juga sudah meninggal, sedangkan ibunya bekerja di kota lain untuk mencukupi kebutuhan mereka.

Craggy-Tops, seperti namanya yang mengasyikkan, merupakan rumah menyerupai kastil tua peninggalan zaman dahulu yang terletak di puncak tebing. Banyak sekali petualangan yang menanti kelompok mereka: mulai dari berenang di laut, menjelajahi gua, hiking ke bukit, bahkan belajar berlayar.

Sayangnya Joe, laki-laki yang membantu Aunt Polly di Craggy-Tops, bukanlah orang yang menyenangkan. Ia tidak mengizinkan anak-anak meminjam perahu layarnya, dan ia bahkan selalu merecoki dan membuntuti mereka seolah ingin merusak setiap kesenangan yang ada.

Untunglah, anak-anak bertemu dengan Bill, pria yang tinggal di bukit. Bill mengajari mereka berlayar, namun mereka harus berjanji tidak akan pergi ke pulau misterius Isle of Gloom. Tapi tentu saja bukan Enid Blyton bila tidak ada petualangan seru di pulau misterius, lengkap dengan sinyal cahaya di waktu malam, lorong rahasia, dan orang-orang berbahaya yang berkeliaran di pulau itu.

Membaca kisah ini memang rasanya seperti membaca kisah petualangan Lima Sekawan rasa KW alias versi tiruan XD

Philip, Dinah, Jack dan Lucy-Ann bukanlah anak-anak yang digambarkan memiliki karakter khas seperti George dan sepupu-sepupunya. Philip penyayang binatang, Jack pencinta burung, Dinah pemarah dan sering bertengkar dengan Philip, sedangkan Lucy-Ann mengingatkan saya pada Anne, sangat penurut dan memuja abangnya. Namun bagaimanapun formula Enid tetaplah menyenangkan untuk diikuti, terutama bila sedang mencari bacaan ringan dengan unsur nostalgia yang kental.

Tidak ada misteri yang terlalu mengejutkan di sini, tapi penyelesaiannya dibuat dengan cukup baik, lengkap dengan adegan penangkapan yang menegangkan, kejar-kejaran dan sejenisnya. Oiya, settingnya juga menyenangkan, sedikit lebih liar dari Pulau Kirrin, namun masih menyisakan kenangan akan ciri khas Enid Blyton.

Not remarkable, but quite enjoyable. A great choice for comfort reading in this difficult time.

Submitted for:

Kategori: A book by an author who has written more than 20 books

The Starless Sea by Erin Morgenstern

28 Tuesday Apr 2020

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

adventures, book about books, english, fantasy, fiction, LGBT, popsugar RC 2020

Judul: The Starless Sea

Penulis: Erin Morgenstern

Penerbit: Harvill Secker (2019)

Halaman: 498p

Beli di: Periplus.com (IDR 166k)

Nama Erin Morgenstern melambung setelah novel debutnya, The Night Circus, menjadi best seller di mana-mana. Kepiawaiannya meramu kisah cinta tidak biasa, dengan setting yang magical dan prosa yang menawan, menjadi jaminan bukunya dicintai banyak orang.

Ramuan yang kurang lebih mirip masih dipakai oleh Morgenstern di The Starless Sea, namun tentu saja dengan banyak modifikasi. Yang paling menonjol dari buku terbarunya ini adalah tema yang dipakai: alih-alih sirkus misterius, Morgenstern mengajak kita masuk ke dunia yang sudah pasti akan dicintai oleh para pencinta buku: perpustakaan bawah tanah rahasia.

Awalnya, Zachary Rawlins, mahasiswa S2 introvert yang juga kutu buku, menemukan sebuah buku di perpustakaan kampusnya. Buku itu berkisah tentang The Starless Sea, dunia bawah tanah yang ditempati oleh orang-orang yang berdedikasi untuk melindungi dunia literatur, melestarikan kisah-kisah yang sudah banyak terlupakan. Namun yang mengejutkan, Zachary juga menemukan kisahnya ditulis di buku tersebut. Ada hubungan apa antara dia dengan Starless Sea? Dan apakah itu berarti Starless Sea benar-benar nyata?

Zachary bertekad akan memecahkan misteri ini. Petunjuk dari cover buku tersebut, gambar lebah, kunci, dan pedang, membawanya ke sebuah pesta topeng dan klub rahasia namun berbahaya, yang mempertemukannya dengan seorang karakter misterus, Mirabel, serta Dorian, seorang pemuda yang memikat hati Zachary.

Maka dimulailah petualangan Zachary memasuki perpustakaan bawah tanah, namun sekelompok orang dengan motivasi yang belum jelas terus menghalangi Zachary untuk masuk ke sana. Zachary terkejut ketika mengetahui Starless Sea berada di ambang kehancuran – apakah kehadirannya mampu mengubah keadaan?

Di atas kertas, Starless Sea merupakan buku yang sempurna. Premisnya menarik, dengan setting yang menjadi impian setiap pencinta buku. Karakter-karakternya juga lumayan, dan meski ada unsur romansnya, namun tidak se-unyu Night Circus yang seperti ingin menyamai Twilight. Hubungan antara Zachary dan Dorian cukup menarik untuk diikuti, dan saya lumayan rooting for them.

Tapi- satu unsur penting seolah hilang dari buku ini: PLOT. Morgenstern seperti keasyikan bermain-main dengan world buildingnya (yang harus diakui cukup gemilang hasilnya), namun seolah mengesampingkan plot yang jelas, yang bisa mengikat keseluruhan kisah dan memiliki kesimpulan yang memuaskan.

Yang ada, kita diombang-ambingkan dengan banyak background stories dari beragam karakter, yang kebanyakan kurang jelas dan tidak memiliki relevansi terhadap plot secara keseluruhan, dan banyak sekali adegan cliffhanger yang seolah lupa untuk dilanjutkan di bab-bab berikutnya.

Hasilnya adalah sebuah buku tebal dengan kisah yang rumit dan panjang serta karakter yang lumayan banyak, namun tidak memiliki plot yang jelas. Apa sih sebenarnya yang terjadi? Apa tujuan Zachary, apa tujuan para penjahat? Ke mana kita akan dibawa? And why should I care?

Sayang memang, karena Erin Morgenstern adalah pencerita yang baik. Penggambaran dunia fantasinya benar-benar magical, membuat saya ingin berasa di sana. Dan detail-detail menarik seperti Zachary (yang biasanya tidak bisa melihat tanpa kaca mata) tiba-tiba bisa membaca dengan jelas selama berada di perpustakaan, menambah kesan magical yang menjadi kejutan menyenangkan di sana-sini.

Namun kalau saya disuruh menguraikan kembali sebenarnya apa inti kisah Starless Sea, semuanya terasa kabur untuk saya. Mungkin kesan banyak pembaca yang mengatakan kalau buku ini merupakan “love letter for literature”, lumayan bisa menggambarkan dengan tepat perasaan saya terhadap Starless Sea. Yang lebih baik dinikmati saja tanpa ekspektasi berlebih tentang maksud dari semuanya ini.

Submitted for:

Kategori: A book with a character with a vision impairment or enhancement (a nod to 20/20 vision

A Dance with Dragons by George R.R. Martin

05 Monday Feb 2018

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 1 Comment

Tags

adventures, english, epic, fantasy, fiction, high fantasy, popsugar RC 2018, series

Judul: A Dance with Dragons (A Song of Ice and Fire #5)

Penulis: George R.R. Martin

Penerbit: Bantam Books (2012)

Halaman: 1112p

Beli di: Gramedia Mal Taman Anggrek (IDR 75k, bargain!)

And here we are. The last book of the series that currently exists. But the story is far from finished.

Kisah A Dance with Dragons berlangsung paralel dengan kisah di buku sebelumnya, A Feast for Crows. Hanya saja, kali ini kita akan diajak mengikuti perjalanan para tokoh yang sebagian besar berada di luar King’s Landing.

Tyrion, yang sedang dalam pelarian akibat pembunuhan ayahnya, Tywin Lannister, menyelundup ke dunia baru, hingga ke Valyria. Dalam perjalanannya, Tyrion bertemu dengan berbagai tokoh yang banyak memegang peranan penting dalam perang dan revolusi yang sedang terjadi di Westeros, termasuk tokoh-tokoh yang sudah dianggap meninggal di masa lalu. Namun petualangan Tyrion yang terakhir membawanya mendekat ke Daenerys, membuatnya bertekad untuk bertemu dengan the Mother of Dragons.

Daenerys sendiri sesungguhnya sedang berada dalam kondisi yang penuh kemelut. Ia yang kini berbasis di Meereen, menghadapi perang yang tak henti-hentinya, baik dari para pemberontak, pendukung perbudakan, bahkan para pengkhianat di dalam istananya sendiri. Daenerys juga merasa kalut karena tidak bisa mengontrol naga-naganya, yang sudah mulai merenggut nyawa manusia. Di buku ini, beberapa laki-laki bersaing menjadi calon pasangan Daenerys, mendekatinya dengan agenda mereka masing-masing.

Dan di The Wall- Jon Snow tidak kalah stress. Ancaman the Others semakin nyata, dan ia harus mengambil keputusan sulit: menjadikan para wildlings sebagai sekutu, atau tetap menganggap mereka sebagai musuh? Perseteruan Night Watch dengan wildlings sudah berlangsung bergenerasi-generasi, dan tidak semudah itu bagi Jon untuk meyakinkan rekan persaudaraannya melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan sebelumnya: mengundang wildlings masuk ke sisi dalam tembok.

Selain ketiga tokoh utama ini, kita juga akan diajak melihat perjalanan beberapa tokoh lainnya, yang sebagian di antaranya merupakan karakter baru. Dan di bagian akhir buku, plot cerita kembali menyatu dengan akhir buku Feast for Crows, sehingga kita diberi kesempatan untuk kembali melihat apa yang terjadi pada karakter lainnya, termasuk keluarga Greyjoy dari Iron Islands (Theon! Apa yang terjadi dengan Theon?), Arya Stark dengan kegiatannya yang misterius, serta Bran Stark yang harus menghadapi takdirnya. Juga jangan lupa dengan Cersei! Cersei yang kini harus menghadapi segala dosan-dosanya, tapi apakah betul ia akan berhenti di sana?

So much more needs to happen, tapi sayangnya George R.R Martin malah sibuk bergelut dengan serial TV Game of Thrones dibandingkan menulis bukunya. Saat ini jalan cerita serial GoT sudah jauh melampaui kisah di bukunya, dan terus terang sangat mengganggu kenikmatan membaca bukunya, karena kita seolah dicekoki plot yang belum terjadi. Saya juga bingung kenapa Martin mau saja menulis skrip film yang sudah jelas melenceng (atau melampaui) buku yang merupakan karya orisinilnya sendiri. Mungkin maksudnya ingin menjangkau fans yang lebih luas lagi, tapi dengan melupakan fans buku yang sudah setia menunggu bertahun-tahun untuk kelanjutan kisahnya.

A Dance with Dragons sendiri terasa sangat kental aura Martinnya, tidak selambat buku sebelumnya tapi tetap padat dan memikat. Beberapa keputusan bodoh, terutama yang dilakukan oleh Jon Snow dan Daenerys, memang sempat membuat gemas, tapi saya yakin ada makna lain di balik kekacauan mereka.

Saya sendiri kepingin tetap membaca sampai akhir saga ini, sebelum benar-benar mengakui kalau plot yang di serial TV memang terjadi. Tapi ya itu, di PHP in George Martin sungguhlah tidak enak, terutama karena sepertiya dia tidak berniat untuk cepat-cepat menyelesaikan The Winds of Winter!

Submitted for:

Category: The next book in a series you started

 

 

Lioness Rampant by Tamora Pierce

19 Tuesday Dec 2017

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ 1 Comment

Tags

adventures, bbi review reading 2017, children, english, fiction, gift, middle grade, romance, series, young adult

Judul: Lioness Rampant (Song of the Lioness #4)

Penulis: Tamora Pierce

Penerbit: Atheneum (2015)

Halaman: 362p

Gift from: Grace

Akhirnyaaa…. sampai juga di penghujung seri ini 😀 Menutup tahun 2017, saya berhasil menamatkan serial Song of the Lioness yang sebelumnya sempat hampir membuat saya menyerah karena tidak tahan dengan perkembangan karakter utamanya, Alanna.

Alanna yang merupakan ksatria perempuan pertama di Tortall kembali melanjutkan petualangannya dalam buku ini. Kali ini, Alanna mendapat penglihatan untuk membawa pulang Dominion Jewel, batu permata legendaris yang akan mengantarkan Tortall ke masa kejayaannya. Namun tentu saja, perjuangan mengambil Dominion Jewel memaksa Alanna untuk mengerahkan seluruh kemampuannya bahkan hampir mengorbankan nyawanya.

Bagian kedua dari petualangan Alanna adalah saat ia kembali ke Tortall dan mendapati kerajaan yang ditinggalkannya ternyata telah banyak berubah. Salah satunya adalah kehadiran kembali Roger, musuh bebuyutan yang sudah dibunuhnya di buku ke-2, yang dihidupkan kembali oleh kakaknya sendiri, Thom.

Dan di sinilah cerita mulai menjadi aneh.

Karena… Roger, yang sudah ketahuan berbuat jahat dan memiliki rencana menggulingkan Raja, dan sudah dibunuh oleh Alanna, kini malah hidup kembali dan sepertinya dimaafkan begitu saja, bahkan masih diundang ke acara-acara resmi kerajaan, seolah tindakan gilanya yang dulu tidak berarti apa-apa. Weak plot, indeed! Kenapa ya, Tamora Pierce tidak menciptakan villain baru saja yang lebih meyakinkan dan membuat plot yang lebih seru? Membawa kembali Roger merupakan usaha yang terkesan “malas” menurut saya.

Satu hal yang unexpectedly cukup lumayan dari kisah pamungkas Alanna justru terletak pada plot romansnya, yang biasanya membuat saya sakit kepala. Di buku ini, Alanna bertemu dengan Shang Dragon, petarung tangguh bernama Liam, yang entah kenapa kehadirannya cukup menambahkan nuansa berbeda dan menyegarkan dari plot cinta segitiga antara Alanna, Prince Jonathan dan George Cooper di buku-buku sebelumnya. At least di sini -meskipun kadang masih annoying- Alanna terlihat cukup bertambah dewasa menjalani relationshipnya.

Saya juga suka beberapa tokoh baru, terutama Thayet (anak seorang penguasa daerah yang sedang berperang) dan pengawalnya, Buri. Kedua perempuan ini malah terkesan lebih tangguh dibandingkan Alanna dan karakternya pun dibuat apa adanya, tidak dipaksakan menjadi sempurna dan selalu sukses seperti Alanna. Saya jadi lebih tertarik mengikuti sepang terjang mereka dibandingkan si tokoh utama.

Anyway— ending kisah Alanna, untungnya, tidak terlalu klise, meski masih terkesan agak dipaksakan, terutama saat Alanna akhirnya memilih pasangan hidupnya. Namun saya lumayan bisa berdamai dengan serial ini pada akhirnya- tidak jadi membencinya sepenuh hati, meski tidak juga akan menjadikannya sebagai favorit.

Yang pasti, saya juga jadi lebih bersimpati dengan teman-teman saya yang merupakan penggemar berat serial ini karena mereka sudah membacanya di usia muda. Untuk audiens middle grade, Alanna ini memang cukup memikat, dan kisahnya pun menginspirasi, meski memang tidak begitu kena sih, kalau dibaca oleh pembaca dewasa apalagi yang sudah emak-emak XD

Submitted for:

Kategori Ten Points: Full Series

The Woman Who Rides Like a Man by Tamora Pierce

18 Monday Dec 2017

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ 1 Comment

Tags

adventures, bbi review reading 2017, english, fantasy, fiction, romance, series, young adult

Judul: The Woman Who Rides Like a Man (Song of the Lioness #3)

Penulis: Tamora Pierce

Penerbit: Atheneum Books for Young Readers (2011)

Halaman: 268p

Gift from: Grace

Hokaaay… here we go! Buku ketiga dari serial Song of The Lioness yang bikin sebal dan gemas XD

Ternyata buku ketiga ini tidak separah buku kedua, mungkin karena saya sudah mengantisipasi lebih dulu tentang karakter Alanna yang tidak setangguh yang saya harapkan.

Di buku ini, Alanna telah meraih gelar Knight atau Ksatira yang sudah ia dambakan, dan tiba saatnya ia meninggalkan istana dan bertualang bersama Coram, pengawal sekaligus teman baik yang sudah ikut membesarkannya sejak kecil. Petualangan Alanna dan Coram membawa mereka ke gurun pasir di daerah selatan Tortall, dan bertemu dengan suku Bazhir, penghuni padang pasir yang masih teguh memegang adat istiadat mereka dan tidak mengakui pemerintahan Tortall yang sah.

Alanna dan Coram akhirnya malah tinggal cukup lama di tengah suku Bazhir, dan bahkan diangkat menjadi anggota istimewa suku tersebut. Hanya saja, kondisi genting memaksa Alanna harus bergerak cepat sehingga suku-suku padang pasir mau mengakui kerajaan Tortall dan berdamai dengan mereka.

Petualangan Alanna di sini cukup decent, namun lagi-lagi, subplot mengenai romance nya membuat saya agak ilfil, hahaha.. Dimulai dari masalah dengan Prince Jonathan, sampai pelariannya ke George Cooper si King of Thieves, semuanya malah membuat Alanna terlihat sebagai perempuan yang lemah alih-alih berpendirian kuat. Mau tidak mau saya membandingkan Alanna dengan Katnis Everdeen, yang juga mengalami kelabilan luar biasa saat memilih antara dua laki-laki. Namun kegalauan Katnis digambarkan dengan manusiawi dan relatable, sementara Alanna malah jadi seperti Bella Swan yang whiny dan annoying. Mungkin Tamora Pierce memang tidak berbakat menulis romans ya 😀

Satu hal lagi yang saya sayangkan adalah peran Thom, kembaran Alanna yang terlalu sedikit di buku ini (dan di keseluruhan serial Song of the Lioness), padahal seharusnya kita diajak untuk mengenal Thom lebih dalam (bukan hanya sekadar dari surat-menyurat saja), apalagi mengingat perannya nanti di buku ke-4 yang lumayan penting. Sekali lagi, Tamora Pierce sepertinya kewalahan untuk mengatur keseimbangan subplot para karakternya, sehingga pembaca juga tidak diberi kesempatan untuk mendalami setiap karakter dan merasa peduli dengan mereka.

Bagaimanapun, buku ini masih lebih mending dibandingkan buku kedua, meski saya masih merasa bingung dengan rave review serial ini yang menurut saya tetap overhyped 😀

Submitted for:

Kategori Ten Points: Full Series

← Older posts

From the bookshelf

Categories

Looking for Something?

Enter your email address to follow Books to Share and receive notifications of new posts by email.

Join 1,036 other subscribers

Currently Reading

I’m a Proud Member! #BBI 1301004

Wishful Wednesday Meme

Fill your Wednesdays with wishful thinking =)

Popsugar Reading Challenge 2018

bookworms

  • aleetha
  • althesia
  • alvina
  • ana
  • annisa
  • bzee
  • dewi
  • dion
  • fanda
  • Ferina
  • helvry
  • inne
  • Kobo
  • maya
  • mei
  • melmarian
  • mia
  • ndari
  • nophie
  • oky
  • peri hutan
  • ren
  • Reygreena
  • sel sel kelabu
  • sinta
  • tanzil
  • tezar
  • yuska

shop til you drop

  • abe books
  • Amazon
  • better world books
  • book depository
  • BukaBuku
  • Buku Dedo
  • bukukita
  • vixxio

Top Posts & Pages

  • Red, White & Royal Blue by Casey McQuiston
    Red, White & Royal Blue by Casey McQuiston
  • The Secret History
    The Secret History
  • Klara and the Sun by Kazuo Ishiguro
    Klara and the Sun by Kazuo Ishiguro
  • The Monogram Murders by Sophie Hannah
    The Monogram Murders by Sophie Hannah
  • Puddin' by Julie Murphy
    Puddin' by Julie Murphy

Recent Comments

Puddin’ by Jul… on Dumplin’ by Julie M…
jesica on Abarat 2: Days of Magic, Night…
jesica on Abarat 2: Days of Magic, Night…
When the Stars Go Da… on The Paris Wife
Hapudin Bin Saheh on Insomniac City: New York, Oliv…

Blog at WordPress.com.

Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
  • Follow Following
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Join 1,036 other followers
    • Already have a WordPress.com account? Log in now.
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Customize
    • Follow Following
    • Sign up
    • Log in
    • Report this content
    • View site in Reader
    • Manage subscriptions
    • Collapse this bar
 

Loading Comments...