• About this blog
  • Clearance Sale!
  • Newbery Project
  • Popsugar Reading Challenge 2022
  • Previous Challenges
    • BBI Read and Review Challenge 2017
    • Challenges 2014
    • Challenges 2015
    • Lucky No.14 Reading Challenge
    • Lucky No.15 Reading Challenge
    • POPSUGAR Reading Challenge 2017
    • Popsugar Reading Challenge 2018
    • Popsugar Reading Challenge 2020
    • Popsugar Reading Challenge 2021
    • What’s in a Name 2018
    • Twenty-Ten Challenge
    • Challenges 2012
    • Challenges 2013
  • Round Ups
  • The Librarian

~ some books to share from my little library

Category Archives: non fiction

Insomniac City: New York, Oliver Sacks, and Me by Bill Hayes

21 Tuesday Dec 2021

Posted by astrid.lim in non fiction

≈ 1 Comment

Tags

english, inspirational, LGBT, memoir, new york, non fiction, popsugar RC 2021

Judul: Insomniac City: New York, Oliver Sacks, and Me

Penulis: Bill Hayes

Penerbit: Bloomsbury USA (2018)

Halaman: 304p

Beli di: @post_santa (IDR 250k)

Some people were born to write haunting, heartbreaking stories, based on their haunting, heartbreaking experience. And Bill Hayes is one of them.

Setelah partnernya selama belasan tahun meninggal dunia, Bill Hayes memutuskan untuk meninggalkan San Francisco, kota yang terlalu penuh kenangan, dan memulai lembaran baru di New York. Ia bertekad ingin menghilang di tengah keramaian New York, memuaskan jiwa insomnianya di kota yang tak pernah tidur.

Namun, destiny membawa kejutan baru dalam hidupnya, ketika ia tanpa disangka-sangka jatuh cinta kembali, kali ini dengan seorang penulis lain yang sama-sama memiliki hati lembut dan sensitif, Oliver Sacks. Sacks adalah pribadi yang sangat tertutup dan pemalu, sifat introvernya membuat ia memilih untuk tidak pernah jatuh cinta, hingga ia bertemu dengan Bill di usia 75 tahun.

Perlahan, Bill membawa kita masuk ke dalam hubungannya yang sangat endearing bersama O (nicknamenya untuk Oliver Sacks), melalui snippet percakapan sehari-hari yang sangat profounding (begitulah kalau dua penulis menjalin hubungan), potongan adegan yang sederhana namun memorable, serta beberapa foto yang menggambarkan hubungan mereka yang easy going.

Bagian paling menyentuh tentu saja saat Oliver didiagnosis kanker dan memutuskan untuk menikmati hari-hari terakhirnya di rumah, bukan berjuang bertahan hidup di rumah sakit. Keputusan ini juga yang mengubah hidup Bill, sekaligus membuatnya bersyukur bisa mendampingi Oliver sampai akhir.

Buku ini ditulis sebagai tribute dari Bill untuk Oliver dan New York, yang mengizinkannya membuka lembaran baru sekaligus membuka hatinya untuk mencintai kembali di tengah rasa terpuruk dan hari-hari yang gelap. Keseluruhan buku ini, meski berbicara tentang grief, namun menghadirkan perasaan yang hangat dan memberikan harapan. True, there are some very sad moments, but in the end we were reminded that love prevails.

Rating: 4/5

Recommended if you like: thought provoking memoirs, New York City!!, inspirational conversations

Submitted for:

Category: A book about do-overs or fresh starts

Sapiens: a Graphic History, Vol 1 by Yuval Noah Harari

13 Monday Dec 2021

Posted by astrid.lim in non fiction

≈ Leave a comment

Tags

comic/graphic novel, funny haha, non fiction, popsugar RC 2021, science, series

Judul: Sapiens: a Graphic History, Vol 1 (The Birth of Humankind)

Penulis: Yuval Noah Harari

Ilustrator: David Vandermeulen, Daniel Casanave

Penerbit: Harper Perennial (2020)

Halaman: 248p

Beli di: Periplus.com (IDR 377k)

Yuval Noah Harari mungkin adalah salah satu penulis yang paling berpengaruh dan banyak disebut namanya selama satu dekade ini. Karya-karyanya, yang menerjemahkan peristiwa “kelahiran” manusia, asal usul bumi dan evolusi, serta perkembangan hingga dunia modern, ke dalam bahasa sehari-hari, menjadi perbincangan berbagai kalangan, dari mulai scientist hingga masyarakat awam.

Saya sendiri belum pernah membaca buku-bukunya, karena memang belum merasa tertarik saja. Apalagi, sepertinya butuh waktu yang cukup lama untuk melahap jenis buku yang ditulis oleh Harari. Namun, saat versi graphic history-nya muncul, saya jadi tergugah. Saya termasuk jarang membaca graphic novel, apalagi graphic non-fiction seperti Sapiens ini.

Ternyata, I enjoyed it a lot! Buku ini adalah seri pertama dari Sapiens versi graphic, yang fokus pada sejarah munculnya manusia berdasarkan teori evolusi biologi hingga kita menjadi makhluk yang survive saat ini. Namun, selain teori evolusi, Harari juga fokus pada konteks sejarah, yang melatarbelakangi mengapa pada akhirnya Homo Sapienslah yang mnejadi the last man standing di planet bumi. Sisi sosial spesies manusia ini dikupas habis oleh Harari, termasuk kebutuhan manusia untuk bersosialisasi, kecenderungan untuk hidup saling bergantung, hingga perkembangan teknologi yang menjadikan kita menjadi makhluk dengan teknik berkomunikasi paling canggih seplanet Bumi.

Tidak hanya temanya yang menarik dan dikemas dalam bahasa sehari-hari, tapi jalan ceritanya pun dibuat menggelitik, dengan Harari sendiri sebagai salah satu karakternya, yang kerap didampingi oleh keponakannya dan bersama-sama mencari tahu jawaban akan pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan. Humornya pas, dan ilustrasinya juga seru, dengan gaya dan warna yang mengingatkan saya akan komik-komik Eropa yang marak diterjemahkan di era 80-an (Smurf, Tintin, Steven Sterk, dan teman-temannya).

Overall, puas banget dengan buku ini, dan definitely saya akan melanjutkan ke volume ke-2. Meski agak mahal, menurut saya buku versi graphic ini sangat layak dikoleksi, dan bisa juga dibaca bersama dengan anak-anak. Oiya, kalau ingin yang versi terjemahan bahasa Indonesia, setahu saya sudah diterbitkan juga oleh Gramedia 🙂

Rating: 4/5

Recommended if you like: history, graphic novel, European style comic books, science topics with understandable vocabs, witty humor

Submitted for:

Category: A book in a different format than what you normally read (audiobooks, ebooks, graphic novels)

Furiously Happy by Jenny Lawson

08 Monday Nov 2021

Posted by astrid.lim in non fiction

≈ 3 Comments

Tags

blog, english, funny haha, memoir, mental health, non fiction, popsugar RC 2021

Judul: Furiously Happy

Penulis: Jenny Lawson

Penerbit: Picador (2015)

Halaman: 256p

Beli di: Big Bad Wolf (IDR 60k)

Sejujurnya, saya ingin menyukai buku ini. Saya berusaha membuka pikiran saya selama membaca Furiously Happy, dan berjanji untuk tidak judgmental. Jenny Lawson, di kata pengantarnya, sudah mengingatkan pembaca: either this book is for you, or not.

Dan ternyata, this is not for me.

Mungkin karena saya tidak mengenal sosok Jenny Lawson sebelumnya, tidak pernah membaca bukunya, atau follow dia di media sosial manapun, maka saya merasa kurang relate dengannya.

Jenny yang memiliki multiple mental illness, termasuk depresi dan anxiety disorder, menceritakan tentang perjuangannya sehari-hari lewat kisah-kisah yang absurd dan dipenuhi unsur komedi. Karena ia memang terkenal sebagai penulis komedi, terutama melalui blognya (yang membuatnya terkenal dengan sebutan The Bloggess) – maka sepertinya itulah yang menjadi kekuatan utamanya dalam menulis, dan yang memang disukai oleh para pembacanya. Dan di sinilah saya merasa lost, karena memang saya tidak pernah membaca karyanya yang lain.

Gaya Jenny yang penuh hiperbola mungkin menjadi coping mechanism-nya dalam menghadapi pergumulannya melawan penyakit yang dideritanya. Bagaimana ia memiliki rakun yang diawetkan dan menjadi semacam maskotnya, bagaimana ia kerap melakukan hal-hal aneh bersama kucing-kucingnya, dan bagaimana ia membuat suaminya (yang digambarkan amat pengertian) geleng-geleng lebih dari sepuluh kali dalam sehari – itulah inti kisah buku ini.

Ada beberapa bagian yang menurut saya cukup bagus, terutama saat Jenny menulis chapters yang lebih raw dan jujur tentang mental illness serta physical illness yang dideritanya. Namun, karena pada dasarnya Jenny adalah seorang komedian, bagian yang menyentuh seperti ini bisa dihitung dengan jari, dan tertimbun di antara kisah-kisah lainnya yang sarkastik dan penuh bumbu humor yang self deprecating.

Dan meski awalnya ada beberapa cerita yang masih bisa membuat saya tersenyum, lama kelamaan saya merasa lelah sendiri. Saya kebanyakan tidak bisa menemukan kelucuan tulisannya, dan semua adegan terutama yang menyangkut perdebatannya dengan Victor, suaminya, terasa over the top. Dan beberapa topik, yang mungkin lebih cocok di thread Twitter atau postingan blog, terasa amat random di buku ini dan malah meninggalkan kesan yang amat messy.

Bagaimanapun, dari review yang saya baca, banyak yang menyukai gaya tulisan Jenny, dan komunitas aktivis dan penderita mental illness termasuk target audience yang loyal pada tulisan Jenny Lawson. So I guess she was right: either this book is for you, or not.

Rating: 2.5/5

You might like this if you want to read about: quirky, sarcastic humor; unique perspective of mental health; short chapters read like blog/tweets, self deprecating jokes

Submitted for:

A book by a blogger, vlogger, YouTube video creator, or other online personality

Why We’re Polarized by Ezra Klein

27 Monday Sep 2021

Posted by astrid.lim in non fiction

≈ Leave a comment

Tags

america, culture, ebook, non fiction, politics, popsugar RC 2021, psychology

Judul: Why We’re Polarized

Penulis: Ezra Klein

Penerbit: Avid Reader Press/Simon & Schuster (2020, Kindle edition)

Halaman: 335p

Beli di: Amazon.com (USD 10.20)

Saya beberapa kali membaca artikel yang ditulis oleh Ezra Klein di New York Times, tapi ini adalah pertama kalinya saya membaca buku karya Klein. Gaya menulisnya tetap sama: lugas, to the point, mudah dimengerti, dan bisa menarabahasakan sesuatu yang rumit dengan lebih sederhana, tanpa simplified the issues.

Isu utama yang dibahas buku ini adalah polarisasi. Klein menulis Why We’re Polarized setelah beberapa tahun masa kepemimpinan Donald Trump. Ia mencoba menganalisis mengapa dunia saat ini jauh lebih terpolarisasi dibandingkan dengan sepuluh tahun lalu. Mengapa kita harus memilih antara ekstrem yang satu dan ekstrem yang lain, dan merasa sangat emosional jika pilihan kita didebat atau dipertanyakan?

Klein memang lebih banyak membahas isu polarisasi dari kacamata politik Amerika Serikat, khususnya di election 2016 dan pasca Donald Trump menjabat. Tapi saya sendiri merasa isu dan pembahasannya sangat relevan dengan kondisi dunia, termasuk Indonesia, saat ini. Saya masih ingat jelas betapa terpolarisasinya Indonesia di Pemilu 2014, dengan geng cebong dan kampret, yang terus berlarut-larut hingga sekarang, di masa pandemi ini. Dalam setiap isu, rakyat seolah harus memilih ingin berada di pihak mana, dan saling berlomba untuk menjadi yang paling benar dalam opini dan pilihan mereka.

Sangat menarik membaca analisis Klein tentang politik identitas (relevan juga dengan Indonesia!), baik menyangkut agama, region, etnis, dan banyak lagi hal-hal yang makin ke sini dirasa makin penting dibandingkan di masa lalu. Peran sosial media juga cukup besar, di mana polarisasi bisa dipertajam dengan debat online, compressed news stories, dan hoax. Penjelasannya sangat mengena, dengan bahasa sehari-hari yang membuat amat relatable dan mudah dimengerti.

But if our search is motivated by aims other than accuracy, more information can mislead us—or, more precisely, help us mislead ourselves. There’s a difference between searching for the best evidence and searching for the best evidence that proves us right. And in the age of the internet, such evidence, and such experts, are never very far away.

The simplest way to activate someone’s identity is to threaten it, to tell them they don’t deserve what they have, to make them consider that it might be taken away. The experience of losing status—and being told your loss of status is part of society’s march to justice—is itself radicalizing.

Satu lagi yang saya suka, Klein juga memberikan langkah-langkah praktis di bagian akhir buku, yang bisa kita coba untuk memperkecil gap polarisasi sehingga politik bisa kembali ke iklim yang sehat. Saya berharap ada penulis Indonesia yang juga bisa membahas isu ini dengan menjadikan Indonesia sebagai case study, karena menurut saya, situasi yang kita hadapi juga tidak jauh berbeda dengan Amerika Serikat.

Rating: 4/5

Recommended if you are into: politics, relevant issues, relatable case studies, internet and social media, easy to understand non fiction analysis

Submitted for:

Category: A book about a subject you are passionate about

Tiny Moons: A Year of Eating in Shanghai by Nina Mingya Powles

17 Friday Sep 2021

Posted by astrid.lim in non fiction

≈ Leave a comment

Tags

asia, english, essay, food, memoir, non fiction, popsugar RC 2021

Judul: Tiny Moons: A Year of Eating in Shanghai

Penulis: Nina Mingya Powles

Penerbit: The Emma Press (2020)

Halaman: 92p

Beli di: @post_santa (New Year’s box!)

Tiny Moons adalah koleksi essay karya Nina Mingya Powles, yang terus mengeksplorasi identitasnya melalui makanan. Nina lahir di New Zealand, namun berdarah campuran Chinese-Malaysia. Ia kerap berpindah-pindah dari mulai bersekolah di Wellington, mengunjungi neneknya di Kota Kinabalu, hingga menjadi murid bahasa Mandarin di Shanghai.

Di antara hari-harinya, Nina tidak pernah lelah mencari tahu jati dirinya, berusaha menemukan di mana sebenarnya ia belong. Kerap kali, suasana yang asing, ditambah sifatnya yang introvert, membuatnya merasa tidak bisa diterima di mana-mana. Namun, sejak kecil Nina sudah tertarik dengan makanan, dan mengidentifikasi dirinya melalui beragam makanan yang menjadi unsur budaya terkuat untuknya.

Buku ini berkisah tentang perjalanan Nina saat menjadi mahasiswa di Shanghai selama setahun, dan bagaimana ia berusaha beradaptasi dan terkoneksi dengan orang-orang di sekitarnya melalui makanan. Namun, di sela-sela kisahnya di Shanghai, Nina juga mengingat-ingat beragam makanan yang menemaninya saat ia tumbuh dewasa, terutama yang diperkenalkan oleh neneknya.

Tiny Moons terbagi menjadi bab-bab sesuai dengan musim yang dijalani Nina di Shanghai, yang memiliki makanan khas tertentu. Ada pan-fried dumplings di musim dingin, pineapple buns di musim semi, sesame pancakes di musim panas, dan chinese aubergines di musim gugur, dan banyak juga makanan lainnya.

Yang saya rasakan saat membaca kisah Nina adalah ikut merasa lapar dan craving makanan-makanan yang ia gambarkan. Nina sangat piawai menggambarkan rasa dan tekstur makanan yang dicobanya, sehingga saya bisa ikut merasakan sensasi yang ia rasakan. Ia juga mendeskripsikan dengan detail suasanan restoran atau warung tempat ia mencicipi hidangan-hidangan tersebut, yang ikut melengkapi sensasi kelezatan buku ini. Saya bisa membayangkan dengan jelas, misalnya, suasana dingin dan hujan, lalu berdesakan di warung mie, semeja dengan orang tak dikenal, yang sama-sama menikmati mie berkuah panas. Yum!

Satu hal yang saya agak sayangkan adalah kurang jelasnya timeline Nina dalam menjabarkan pengalamannya. Di sela-sela waktunya di Shanghai, Nina bercerita tentang saat ia berkunjung ke Kinabalu, atau saat ia kuliah dan bersekolah di New Zealand, juga ada saat ia sempat tinggal di Shanghai waktu masih kecil. Semuanya agak bercampur baur dan kadang menimbulkan kebingungan terhadap timeline secara keseluruhan.

Namun, saya tetap bisa menikmati kelezatan kisah Nina ini, yang ditulis dengan memikat.

Rating: 4/5

Recommended if you like: food, travel, culture, identity exploration, Asian food scenes

Submitted for:

Category: A book set in a restaurant

Shakespeare and Company by Sylvia Beach

10 Tuesday Aug 2021

Posted by astrid.lim in non fiction

≈ Leave a comment

Tags

autobiography, book about books, bookstores, english, europe, history, memoir, non ficttion

Judul: Shakespeare and Company

Penulis: Sylvia Beach

Penerbit: Bison Book (New Edition, 1991)

Halaman: 230p

Beli di: shakespeareandcompany.com (23 Euro)

Salah satu obsesi saya adalah mengunjungi toko buku legendaris di berbagai belahan dunia. Dan yang sampai sekarang masih menjadi bucket list adalah Shakespeare and Company yang terletak di kota Paris. Meski beruntung sudah pernah menginjakkan kaki di Paris, entah kenapa nasib belum membawa saya berkunjung ke toko buku bersejarah ini.

Saat Shakespeare and Co. kemarin sempat terancam tutup di tengah pandemi Covid-19, saya bersama beberapa teman memutuskan untuk berbelanja online di toko tersebut, sebagai bentuk dukungan kami terhadap toko buku independen yang memang banyak mengalami kesulitan terutama di masa pandemi. Dan salah satu buku yang menarik perhatian saya tentu saja Shakespeare and Company, memoir Sylvia Beach sang pendiri original toko buku ini sejak tahun 1919.

Dalam memoir yang ditulis dengan gaya jurnal ini, Sylvia Beach bercerita tentang asal muasal Shakespeare and Company, bagaimana seorang perempuan Amerika berhasil membuka toko buku pertama yang berbahasa Inggris di Paris, di era setelah Perang Dunia I. Sylvia yang memang pencinta budaya, literatur, dan seni, sudah bercita-cita ingin memiliki toko buku sendiri, dan ketika impiannya untuk membuka cabang toko buku Prancis di New York kandas, ia banting setir dan malah membuka toko buku berbahasa Inggris di Paris.

Ternyata, Shakespeare and Company malah sukses besar. Bukan hanya menjadi toko buku pionir yang menjual buku bahasa Inggris di tengah kota yang amat kental nuansa Prancisnya, namun Shakespeare and Co. juga menjadi tempat berkumpul para penulis yang nantinya akan menjadi penulis legendaris seperti Ernest Hemingway, Scott Fitzgerald, dan D.H Lawrence. Belum lagi hubungan dekat Sylvia dengan James Joyce, dan dari buku ini saya juga baru tahu kalau Shakespeare and Company pernah berperan sebagai penerbit Ulysess karena tidak ada penerbit yang mau menerbitkan novel tersebut.

Meski kadang seringkali rambling, dengan gaya bahasa santai namun sering tidak jelas urut-urutan timelinenya, saya tetap merasa bisa menikmati memoir Sylvia Beach ini. Beach bercerita dengan apa adanya tentang tantangannya mengelola toko buku, termasuk dari sisi bisnis, politik, dan sosial. Ia kehilangan teman, mendapatkan teman baru, dan bahkan pasangan hidup (Beach adalah salah satu pionir LGBT di era nya), karena Shakespeare and Company.

Hal lain yang juga saya suka dari buku ini adalah penggambaran kota Paris yang terasa dekat. Sylvia Beach mampu mendeskripsikan dengan detail, namun tidak membosankan, suasana Paris, baik di sekitar Shakespeare and Co maupun di daerah lain yang tak kalah cantik. Selain itu, beberapa foto yang tampil di memoir ini juga memperkuat kesan yang diperoleh, karena kita bisa dengan mudah membayangkan suasana toko buku maupun daerah sekitarnya, lengkap dengan tokoh-tokoh yang diceritakan Beach dalam buku ini. Penggambaran kesannya terhadap karakter-karakter yang ditemuinya sepanjang berkarier sebagai pemilik toko buku juga terasa hangat, apa adanya, dan penuh dengan anekdot yang membuat saya mendapatkan fakta-fakta baru tentang para penulis maupun tokoh dunia sastra lainnya.

Overall, this is a nice memoir. Yang pasti, setelah membaca buku ini, jangan kaget kalau langsung craving for some traveling to Paris!

Note: Shakespeare and Co. ditutup tahun 1941, saat Nazi mulai menguasai Prancis, dan tidak pernah dibuka kembali. Shakespeare and Co. versi saat ini didirikan tahun 1951 oleh George Whitman, dan dinamai sama dengan toko Sylvia Beach sebagai tribut terhadap toko buku dan pendirinya yang legendaris tersebut. Sylvia Whitman, anak perempuan George, mengambil alih toko buku Shakespeare and Co. di tahun 2006 hingga sekarang, dan semoga, toko ini tak akan pernah tutup 🙂

The original Shakespeare and Company
Shakespeare and Company masa kini

Rating: 4/5

Recommended if you like: Paris!, books about books and bookstores, history of literature, unusual name dropping, journal slash memoir

Submitted for:

Category: A book where the main character works at your current or dream job

A is for Arsenic by Kathryn Harkup

28 Wednesday Jul 2021

Posted by astrid.lim in non fiction

≈ Leave a comment

Tags

agatha christie, bargain book!, crime, ebook, english, non fiction, science

Judul: A is for Arsenic: The Poisons of Agatha Christie

Penulis: Kathryn Harkup

Penerbit: Bloomsbury Sigma (2015, Kindle edition)

Halaman: 320p

Beli di: Amazon.com (USD 1.99, bargain!)

Salah satu metode pembunuhan yang paling sering dipakai oleh Agatha Christie dalam buku-bukunya adalah racun, dan hal inilah yang mengilhami Kathryn Harkup untuk menulis buku tentang racun-racun yang digunakan oleh Agatha Christie.

Premis buku ini sangat menarik, terutama untuk penggemar kisah Agatha Christie seperti saya. Harkup memilih beberapa racun menarik yang memang digunakan di lebih dari satu kisah-kisah Christie, lengkap dengan latar belakang ceritanya.

Dari mulai arsenik hingga sianida dan veronal, Harkup yang memang memiliki latar belakang kimia sangat fasih menjelaskan detail racun-racun tersebut, termasuk asal muasal racun, bagaimana racun itu bekerja, kasus di dunia nyata, dan tentu saja, cara Christie menerapkan keunikan racun tersebut ke dalam ceritanya.

Meski topiknya menarik, dan saya banyak mendapatkan fakta serta informasi baru, ada beberapa bagian di buku ini yang menurut saya terlalu dry, terutama ketika Harkup menjelaskan tentang bagaimana racun bekerja. Mungkin karena latar belakang science yang kental, di sini Harkup banyak menggunakan jargon kimia dan biologi yang membuat saya merasa seperti kembali ke bangku sekolah (dan menjalani ulang salah satu mata pelajaran dan kuliah yang paling saya benci: kimia organik!!). Meski Harkup berusaha menjabarkan bagian teknis ini dengan bahasa yang mudah dicerna, tetap saja beberapa bagian terasa sangat alot bagi saya XD

Hal lain yang saya kurang sreg adalah saat Harkup menyinggung kisah Christie yang berhubungan dengan racun yang ia bahas. Ia tampak ingin membuat bukunya spoiler free, tapi menurut saya malah terasa gantung, karena memang agak mustahil bisa membahas tuntas detail tentang penggunaan racun dan relevansinya dengan cerita yang dimaksud, tanpa membuka spoiler twist maupun pelaku pembunuhan di buku tersebut. Saya sendiri lebih prefer kalau Harkup sekalian saja memberi warning spoiler alert, dan membahas segalanya dengan tuntas. Bagaimanapun, kebanyakan target pembacanya pastilah fans Agatha Christie yang sudah membaca sebagian besar bahkan semua buku karrya the Queen of Crime.

Namun, secara keseluruhan A for Arsenic tetap merupakan buku yang menarik. Satu hal yang saya tangkap dari buku ini adalah pujian Harkup terhadap Christie, yang menurutnya cukup konsisten dalam menggunakan racunnya secara akurat. Christie, yang memang pernah bekerja di bagian farmasi di masa perang, melakukan risetnya dengan mendalam, dan hampir semua fakta serta teknik tentang racun yang ia gunakan dalam bukunya benar-benar akurat. Satu hal yang mengagumkan, mengingat jaman dulu belum ada Google ataupun sumber lain yang mudah diakses.

Rating: 3.5/5

Recommended if you like: true crime, chemistry, science, Agatha Christie, poison!

Wintering by Katherine May

09 Wednesday Jun 2021

Posted by astrid.lim in non fiction

≈ Leave a comment

Tags

british, english, memoir, mental health, non fiction, self help

Judul: Wintering

Penulis: Katherine May

Penerbit: Rider, Penguin Random House UK (2020)

Halaman: 273p

Beli di: Periplus Ngurah Rai Online (IDR 158k)

Wintering adalah buku yang menyejukkan. Subtitlenya “The power of rest and retreat in difficult times” menggambarkan dengan jelas apa tujuan buku ini. Dan membacanya di tengah suasana gelap pandemi yang entah kapan berakhirnya (meski di beberapa belahan dunia ada yang sudah menganggap pandemi ini selesai), terasa amat pas.

Katherine May berbagi kisah saat ia mengalami depresi, dan membandingkannya dengan musim dingin. Ia menggunakan metafora ini di sepanjang buku, mengaitkan persiapan yang dilakukan sebelum menyambut musim dingin, dengan persiapan saat keadaan sulit yang cenderung menyebabkan depresi sedang menyambangi hidup kita.

Katherine sendiri mengalami “winter” sejak ia kecil, saat autisme nya tidak terdiagnosis, saat suaminya sakit, saat ia sendiri sakit berkepanjangan, dan harus mundur dari pekerjaannya, serta saat anaknya mengalami kesulitan belajar. Seperti kata Katherine, musim dingin kadang datang berulang-ulang, seolah tidak memiliki jeda musim panas yang lebih menyenangkan di antaranya.

Untuk mengaitkan metafora musim dingin secara fisik dengan musim dingin secara mental, Katherine mengeksplorasi banyak hal, mulai dari binatang dan tumbuhan yang bisa menyesuaikan diri dengan winter alih-alih melawannya, hingga belajar dari orang-orang yang tinggal di ujung belahan utara dunia, di mana malam hari berlangsung terus-menerus sepanjang musim dingin tanpa ada secercah matahari sedikitpun.

Saya menyukai prosa dan gaya menulis May, yang memang indah, simpel tapi mengena. Saya juga menyukai idenya untuk membandingkan dan mengaitkan winter sebagai musim fisik maupun mental. Dan memang benar, pada akhirnya kita sebagai manusia perlu menyadari kapan waktunya beristirahat, retreating, dan menerima segala hal gelap dalam hidup kita sambil menunggu musim yang lebih hangat datang kembali.

Namun menurut saya, ada beberapa metafora yang agak terlalu dipaksakan di dalam buku ini, serta topik yang agak terlalu menjauh dari isu utamanya. Beberapa chapter juga ditulis dengan agak kurang halus, saat May berusaha mengaitkan unsur musim dingin dengan mental health.

Namun overall, Wintering tetap merupakan buku yang menyenangkan untuk dibaca, menenangkan, jernih, dan cocok dibuka-buka kembali saat kita sedang mengalami musim dingin pribadi.

Rating: 3.5/5

Recommended if you like: subtle memoirs, mental health issues, beautiful prose, calming tone

The Salt Path by Raynor Winn

12 Monday Apr 2021

Posted by astrid.lim in non fiction

≈ Leave a comment

Tags

adventures, british, illnesses, inspirational, memoir, popsugar RC 2021, secondhand books, social issues, travel

Judul: The Salt Path

Penulis: Raynor Winn

Penerbit: Penguin Books (2019)

Halaman: 282p

Beli di: @ThereButForTheBooks (IDR 120k)

Sudah jatuh, tertimpa tangga. Mungkin itu adalah ungkapan yang tepat untuk hidup Raynor Winn, karena masalah datang padanya dengan bertubi-tubi. Suaminya, Moth, didiagnosa penyakit degenerasi langka yang tidak bisa disembuhkan, sementara itu, keluarga mereka mengalami krisis finansial parah akibat investasi gagal yang berlanjut ke ranah hukum, sehingga rumah merangkap pertanian mereka pun terpaksa disita. Raynor dan Moth resmi menjadi homeless, tanpa tahu harus tinggal di mana.

Suatu ide gila menghampiri Raynor di titik ter-desperate-nya, terinspirasi dari salah satu buku yang pernah ia baca. Raynor mengajak Moth untuk menyusuri South West Coast Path, jalur pejalan kaki di sebelah Barat Daya Inggris, yang melewati beberapa county termasuk Devon dan Cornwall. Rencananya, mereka berangkat dari Minehead, terus menuju ke Selatan hingga titik paling ujung bernama Land’s End, dan dari sana naik kembali ke Utara hingga berakhir di Poole. Total perjalanan mereka adalah 630 mil, dan mereka menggunakan buku Paddy Dillon sebagai acuan rute mereka.

Karena nyaris tidak punya uang, kecuali mengandalkan pemasukan mingguan seadanya dari tunjangan Moth, Raynor memutuskan mereka harus berkemah di sepanjang jalan, yang artinya melanggar peraturan pemerintah yang sebenarnya melarang perkemahan liar. Namun, karena mereka tidak mampu untuk menyewa space di perkemahan resmi, tidak ada pilihan lain kecuali mencari tempat tersembunyi di penghujung hari untuk mendirikan tenda.

Baik Raynor dan Moth sudah berusia separuh baya, dan kesehatan Moth pun makin menurun, sehingga banyak sekali tantangan yang harus mereka hadapi di sepanjang perjalanan. Cuaca buruk, medan yang berat, kehabisan uang, kekurangan makanan bergizi, bertemu dengan orang-orang dari mulai yang ingin tahu sampai menghakimi status homeless mereka. Namun di tengah kesulitan tersebut, masih banyak hal yang bisa disyukuri oleh Raynor dan Moth. Kesehatan Moth yang membaik setelah terbiasa dengan udara luar, orang-orang yang selalu ada saja yang ingin menolong, serta keindahan pesisir Inggris Selatan yang amat memukau.

Raynor Winn berhasil menuangkan petualangannya ke dalam deskripsi yang detail dan memikat, sehingga saya dengan mudah bisa membayangkan perjalanan yang mereka lalui, bahkan kadang-kadang sampai bisa mencium aroma laut yang asin. Tajamnya angin laut, koakan burung camar, hingga perubahan cuaca ekstrim dari yang panas terik menjadi dingin menggigit pun berhasil digambarkan oleh Raynor Winn dengan baik. Hanya saja, yang saya sayangkan adalah tidak adanya foto dalam buku ini, yang sebenarnya bisa membuat kisahnya semakin memukau, dan membuat kita lebih relate dengan Raynor dan Moth.

Satu hal yang juga menarik dalam buku ini adalah pembahasan tentang isu homeless di Inggris, karena Raynor dan Moth menjumpai banyak orang tanpa rumah seperti mereka, dengan berbagai kondisi dan alasan, yang mencoba bertahan di kerasnya dunia yang penuh dengan tuntutan standar kehidupan normal. Saya sendiri, yang sampai sekarang masih mengontrak rumah, tidak bisa membayangkan berada di posisi Raynor yang secara tiba-tiba kehilangan tempat tinggal. Buat saya, setidaknya ada support system seperti keluarga yang pasti masih akan membantu, entah memberi tumpangan sementara atau menguatkan mental kita. Tapi saya lihat, dalam kasus Raynor, bukan hanya sekadar tidak ada yang membantu, tapi prinsip dan budaya yang membuatnya sulit menerima bantuan orang lain, dan mempertahankan dignity saat tidak ada hal lain yang bisa ia pertahankan.

A truly eye opener, indeed.

Rating: 4/5

Recommended if you like: adventures, British outdoors, touching memoirs, beautiful views, real life struggles

Salah satu jalur South West Coast Path yang juga dikenal sebagai Salt Path
Rute yang ditempuh oleh Raynor dan Moth

Submitted for:

Category: A book set mostly or entirely outdoors

Inside Out by Demi Moore

26 Friday Jun 2020

Posted by astrid.lim in non fiction

≈ Leave a comment

Tags

autobiography, celebrity author, gift, hollywood, memoir, non fiction, popsugar RC 2020, secondhand books

Judul: Inside Out

Penulis: Demi Moore

Penerbit: Fourth Estate (2019)

Halaman: 304p

Beli di: @BaliBooks (free book!)

Demi Moore adalah salah satu sosok aktris modern paling legendaris di Hollywood. Bukan hanya pencapaian profesionalnya dikenang oleh para penggemarnya, namun juga kehidupan personalnya yang tidak kalah sensasional.

Demi dibesarkan dalam keluarga yang tidak bisa dibilang stabil. Ayah dan ibunya bukanlah tipe orang tua bertanggung jawab yang peduli dengan kesejahteraan dan masa depan anak-anaknya. Sifat egois dan kekanak-kanakan kerap membuat rumah tangga mereka kacau balau, terpecah belah, dipenuh dengan drama yang tak jarang berakhir dengan tragedi dan kekerasan. Perpisahan pun kerap terjadi, baik yang sifatnya sementara maupun cukup permanen.

Masa kecil yang serba tak pasti ini membuat Demi tumbuh menjadi anak yang kurang percaya diri, tidak jelas ingin melangkah ke mana, terlebih tidak ada sosok mentor yang bisa ia jadikan pegangan. Saat remaja, Demi tinggal bersama ibunya di Los Angeles, untuk pertama kalinya mendekati area yang nantinya akan membesarkan namanya.

Setelah itu, hidup Demi mulai berubah. Bertemu dengan para pria yang satu per satu akan merebut hatinya, memberinya nama baru, keluarga baru, bahkan status baru di Hollywood. Yang paling dikenang orang mungkin adalah pernikahannya dengan Bruce Willis di saat keduanya sedang berada di puncak karier. Dekade Hollywood 80 dan 90-an tidak akan pernah sama tanpa kehadiran mereka. Mereka dengan cepat menjadi salah satu pasangan paling legendaris di Hollywood.

Namun kehidupan Demi seolah tidak pernah berhenti dari drama- pernikahannya dengan Bruce berakhir, dan ia bertemu dengan Ashton Kutcher, aktor yang sedang menanjak kariernya, beberapa puluh tahun lebih muda, namun Demi yakin mereka adalah soulmate. Tapi seperti yang kita semua tahu – ini pun tidak berakhir dengan kebahagiaan untuk Demi.

Buku ini, sesuai dengan pengakuan Demi, lebih seperti terapi baginya. Ia mencurahkan seluruh keluh kesah, kepedihan, penyesalan, kemarahan dan semua emosi yang selama ini terpendam dalam hatinya, yang membentuk hidupnya seperti sekarang ini. Ia mengakui segala kesalahannya yang membuatnya menjadi istri dan ibu yang tidak baik, bahkan sempat berhenti bicara dengan anak-anaknya.

Secara materi, buku autobiography ini dipenuhi dengan detail yang juicy, yang saking dramatisnya kadang terasa sudah seperti film Hollywood. Namun tak bisa dipungkiri, saya merasa ada yang kurang dengan cara penyampaian Demi. Mungkin karena ia bukan seorang penulis, dan tidak ingin bukunya dipengaruhi terlalu kuat oleh ghostwriter maupun editor. Hasilnya memang jadi lumayan datar. Kesan emosional yang kuat tidak saya tangkap di sini, dan bahkan beberapa bagian terasa seperti hanya merupakan wadah Demi mengeluarkan unek-unek saja.

Yang juga cukup terasa adalah betapa singkat halaman yang didedikasikan Demi untuk menceritakan tentang hubungannya dengan Ashton, dari sejak awal mereka jatuh cinta hingga pengkhianatan sang suami. Sepertinya Demi masih merasa amat sakit hati dan belum bisa membuka diri terlalu dalam di bagian kisah hidupnya yang ini. Kesan yang saya dapatkan adalah bagian akhir buku ini terasa ditulis dengan terburu-buru, dan saya kurang memperoleh kesan refleksi Demi di sini. Sayang memang, karena mungkin inilah salah satu hal yang menjadikan kisah hidup Demi layak untuk dibaca. Karena semua ingin rooting untuk kebahagiaan Demi. Namun yang saya rasakan, Demi seperti seorang teman yang belum rela membuka diri seutuhnya.

Submitted for:

Kategori: A book with the same title as a movie or TV show but is unrelated to it

← Older posts

From the bookshelf

Categories

Looking for Something?

Enter your email address to follow Books to Share and receive notifications of new posts by email.

Join 1,036 other followers

Currently Reading

I’m a Proud Member! #BBI 1301004

Wishful Wednesday Meme

Fill your Wednesdays with wishful thinking =)

Popsugar Reading Challenge 2018

bookworms

  • aleetha
  • althesia
  • alvina
  • ana
  • annisa
  • bzee
  • dewi
  • dion
  • fanda
  • Ferina
  • helvry
  • inne
  • Kobo
  • maya
  • mei
  • melmarian
  • mia
  • ndari
  • nophie
  • oky
  • peri hutan
  • ren
  • Reygreena
  • sel sel kelabu
  • sinta
  • tanzil
  • tezar
  • yuska

shop til you drop

  • abe books
  • Amazon
  • better world books
  • book depository
  • BukaBuku
  • Buku Dedo
  • bukukita
  • vixxio

Top Posts & Pages

  • Lima Sekawan - The Series
    Lima Sekawan - The Series
  • Lethal White by Robert Galbraith
    Lethal White by Robert Galbraith
  • Dongeng-Dongeng Grimm Bersaudara
    Dongeng-Dongeng Grimm Bersaudara
  • The House in the Cerulean Sea by T.J. Klune
    The House in the Cerulean Sea by T.J. Klune
  • Abarat 2: Days of Magic, Nights of War by Clive Barker
    Abarat 2: Days of Magic, Nights of War by Clive Barker

Recent Comments

When the Stars Go Da… on The Paris Wife
Hapudin Bin Saheh on Insomniac City: New York, Oliv…
The Case of the Pecu… on The Case of the Left-Handed La…
astrid.lim on Lorong Waktu by Edward Pa…
nina on Lorong Waktu by Edward Pa…

Create a free website or blog at WordPress.com.

Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
  • Follow Following
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Join 1,036 other followers
    • Already have a WordPress.com account? Log in now.
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Customize
    • Follow Following
    • Sign up
    • Log in
    • Report this content
    • View site in Reader
    • Manage subscriptions
    • Collapse this bar
 

Loading Comments...