• About this blog
  • Clearance Sale!
  • Newbery Project
  • Popsugar Reading Challenge 2023
  • Previous Challenges
    • BBI Read and Review Challenge 2017
    • Challenges 2014
    • Challenges 2015
    • Lucky No.14 Reading Challenge
    • Lucky No.15 Reading Challenge
    • POPSUGAR Reading Challenge 2017
    • Popsugar Reading Challenge 2018
    • Popsugar Reading Challenge 2020
    • Popsugar Reading Challenge 2021
    • Popsugar Reading Challenge 2022
    • What’s in a Name 2018
    • Twenty-Ten Challenge
    • Challenges 2012
    • Challenges 2013
  • Round Ups
  • The Librarian

~ some books to share from my little library

Category Archives: Uncategorized

The Night Shift by Alex Finlay

13 Friday Jan 2023

Posted by astrid.lim in Uncategorized

≈ Leave a comment

Judul: The Night Shift

Penulis: Alex Finlay

Penerbit: Minotaur Books (Kindle Edition)

Halaman: 368p

Beli di: Amazon.com (USD 1.99, bargain!)

Pembunuhan itu terjadi di malam tahun baru 1999. Ketika seisi kota dihebohkan dengan isu Y2k dan pesta akhir tahun, tragedi terjadi di Blockbuster Video di Linden, New Jersey. Empat remaja perempuan yang bekerja di sana menjadi korban serangan maut. Hanya satu orang yang bertahan.

Kasus tersebut tidak pernah menemukan penyelesaiannya, dan lima belas tahun kemudian, pembunuhan yang sangat mirip terjadi kembali, kali ini korbannya adalah karyawan kedai es krim lokal di Linden, dan hanya satu penyintas yang selamat.

Kita dibawa menyusuri kasus ini lewat tiga orang karakter: penyintas kasus Blockbuster yang kini berprofesi sebagai konselor, adik laki-laki dari tersangka pembunuhan Blockbuster, dan agen FBI yang sedang hamil besar. Masing-masing memiliki kepentingan untuk menemukan pelaku pembunuhan kedai es krim, yang mereka yakin masih berhubungan dengan kasus Blockbuster.

The Night Shift memiliki momen-momen yang cukup seru dan intriguing, dan termasuk buku fast paced yang bisa dibaca dalam waktu singkat. Namun kelemahannya adalah karakter-karakternya yang kurang believable, weak dan tidak konsisten. Jadi suka gemas juga terutama saat ketiga karakter ini mengambil keputusan-keputusan konyol yang patut dipertanyakan.

Namun, twistnya cukup mengejutkan, meski mungkin sebagian pembaca bisa menebak sejak pertengahan buku. Ini pertama kalinya saya membaca buku karya Alex Finlay, jadi tidak bisa membandingkan dengan buku-buku sebelumnya. Tapi, saya masih tertarik mencoba membaca karya-karyanya yang lain.

Rating: 3.5/5

Recommended if you like: small town setting, twisted ending, multiple POVs, serial killer vibes, fast paced read

Submitted for:

Category: Advanced: A book about a holiday thatโ€™s not Christmas

Popsugar Reading Challenge 2022

04 Tuesday Jan 2022

Posted by astrid.lim in Uncategorized

≈ Leave a comment

Happy new year! 2021 just flew by, without too many memorable things happened in my life, but at least I can say that I finished Popsugar Reading Challenge, and almost reviewed all of the books I read for the challenge ๐Ÿ™‚

So, just to continue the tradition, for the 5th time, I will join another Popsugar Reading Challenge, and hopefully, can review all of the books I read this year!

Wish me luck ๐Ÿ™‚

There’s no specific logo/button this year!

Here’s the complete list of book that I will read:

  1. A book published in 2022: TBD
  2. A book set on a plane, train, or cruise ship: Confessions on the 7.45 (Lisa Unger)
  3. A book about or set in a nonpatriarchal society: The End of Men (Christina Sweeney-Baird)
  4. A book with a tiger on the cover or “tiger” in the title: The Tiger’s Wife (Tea Obrecht)
  5. A sapphic book: Carmilla (J. Sheridan Le Fanu)
  6. A book by a Latinx author: Velvet was the Night (Silvia Moreno-Garcia)
  7. A book with an onomatopoeia in its title: Cloud Cuckoo Land (Anthony Doerr)
  8. A book with a protagonist who uses a mobility aid: Out of My Mind (Sharon M Draper)
  9. A book about a “found family”: 10 Minutes 38 Seconds in This Strange World (Elif Shafak)
  10. An Anisfield-Wold Book Award winner: Deacon King Kong (James McBride)
  11. A #BookTok recommendation: The Midnight Library (Matt Haig)
  12. A book about the afterlife: The Library of the Unwritten (AJ Hackwith)
  13. A book set in the 1980s: The Great Believers (Rebecca Makkai)
  14. A book with a cutlery on the cover or in the title: Writers & Lovers (Lily King)
  15. A book by a Pacific Islander author: Sharks in the Time of Saviors (Kawai Strong Washburn)
  16. A book about witches: The Familiars (Stacey Halls)
  17. A book becoming a TV series or movie in 2022: Munich (Robert Harris)
  18. A romance novel by a BIPOC author: Aristotle & Dante Dive into the Waters of the World (Benjamin Alire Saenz)
  19. A book that takes place during your favorite season: People we Meet on Vacation (Emily Henry)- Summer!
  20. A book whose title begins with the last letter of your previous read: TBD
  21. A book about a band or musical group: The Final Revival of Opal & Nev (Dawnie Walton)
  22. A book with a character on the ace spectrum: Every Heart a Doorway (Seanan McGuire)
  23. A book with a recipe in it: Crying in H Mart (Michelle Zaune)
  24. A book you can read in one sitting: This is Paris (M Sasek)
  25. A book about a secret: Next Year in Havana (Chanel Cleeton)
  26. A book with a misleading title: Djinn Patrol on the Purple Line (Deepa Anappara)
  27. A Hugo Award winner: Flowers for Algernon (Daniel Keyes)
  28. A book set during a holiday: The Christmas Bookshop (Jenny Colgan)
  29. A different book by an author you read in 2021: Every Vow you Break (Peter Swanson)
  30. A book with the name of a board game in the title: Real Life (Brandon Taylor)
  31. A book featuring a man-made disaster: How Beautiful We Were (Imbolo Mbue)
  32. A book with a quote from your favorite author on the cover or Amazon page: In My Dreams I Hold a Knife (Ashley Winstead)
  33. A social-horror book: The Only Good Indians (Stephen Graham Jones)
  34. A book set in Victorian times: Little Dorrit (Charles Dickens)
  35. A book with a constellation on the cover or in the title: The House of the Scorpion (Nancy Farmer)
  36. A book you know nothing about: Harbart (Nabarun Bhattacharya)
  37. A book about gender identity: Detransition, Baby (Torrey Peters)
  38. A book featuring a party: Malibu Rising (Taylor Jenkins Reid)
  39. An #OwnVoices SFF (science fiction and fantasy) book: The City we Became (NK Jemisin)
  40. A book that fulfills your favorite prompt from a past Popsugar Reading Challenge: The Bookshop of Yesterdays (Amy Meyerson) – A book that involves a bookstore or library (2018)

Advanced

41. A book with a reflected image on the cover or “mirror” in the title: When the Stars Go Dark (Paula McLain)

42. A book that features two languages: The Paris Library (Janet Skeslien Charles)

43. A book with a palindromic title: Bob (Wendy Mass)

44. A duology (1): Ready Player One (Ernest Cline)

45. A duology (2): Ready Player Two (Ernest Cline)

46. A book about someone leading a double life: The Huntress (Kate Quinn)

47. A book featuring a parallel reality: Dark Matter (Blake Crouch)

48. A book with two POVs: Hell of a Book (Jason Mott)

49. Two books set in twin cities, aka “sister cities” (1): The Paris Hours (Alex George): Paris

50. Two books set in twin cities, aka “sister cities” (2): Before the Coffee Gets Cold (Toshikazu Kawaguchi): Tokyo

Unsettled Ground by Claire Fuller

01 Friday Oct 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction, Uncategorized

≈ Leave a comment

Tags

british, contemporary, dysfunctional family, english, fiction, literature, twins, women prize

Judul: Unsettled Ground

Penulis: Claire Fuller

Penerbit: Fig Tree (2021)

Halaman: 289p

Beli di: @transitsanta (IDR 300k)

First of all – the cover of this book is so exquisite!! Bener-bener pas dengan tone nya yang suram, full of abandonment feeling dan being in a rotten life.

Kisahnya adalah tentang kakak beradik kembar, Jeanie dan Julius, yang hidup di sebuah desa bersama ibu mereka. Suatu pagi, mereka menemukan ibu mereka meninggal dunia, dan tiba-tiba saja Julius dan Jeanie ditinggalkan berdua, dan harus menghadapi dunia yang sebelumnya tidak pernah mereka lakukan sendiri.

Jangan membayangkan kalau Julius dan Jeanie adalah dua anak kecil tak berdaya. Sebaliknya, mereka adalah dua orang dewasa paruh baya, yang tidak memiliki cacat tubuh apapun, namun sejak masih muda, selalu berada dalam lindungan ketat ibu mereka. Jeanie dan Julius tidak diberikan bekal pendidikan, keahlian khusus baik soft skills maupun hard skills, yang bisa membuat mereka menjadi orang-orang mandiri. Jeanie selalu merasa ia lambat dalam belajar, dan jantungnya pun tak sekuat orang lain, sementara Julius amat pemalu, dan hanya bekerja sesekali saja menjadi buruh kasar bila keluarga mereka memerlukan uang.

Meninggalnya sang ibu memaksa Jeanie dan Julius untuk keluar dari zona nyaman mereka, sekaligus bersinergi untuk bertahan hidup. Namun, masalah demi masalah menghampiri mereka. Mulai dari diusir landlord dari rumah yang seumur hidup mereka tinggali, tidak punya uang untuk mengubur ibu mereka, mencari pekerjaan padahal sebelumnya tidak pernah bekerja, dan bahkan, jatuh cinta di tengah situasi yang serba tidak pasti ini, mengancam ikatan persaudaraan yang selama ini menjadi dasar kehidupan mereka.

Unsettled Ground adalah buku yang tidak panjang, hening, namun sangat menghantui, karena kisahnya yang seolah terjadi di dunia lain, sebenarnya amat dekat dengan keseharian kita. Julius dan Jeanie adalah wakil dari kaum marginal yang kadang terselip di celah-celah peradaban. Mereka tidak tinggal di lokasi terpencil, dan penduduk desa sebenarnya mengetahui kondisi kehidupan mereka. Tapi berapa banyak yang mau peduli dan rela membantu tanpa pamrih? Justru kebanyakan malah membully, atau membantu tapi dengan mengasihani mereka. Mereka lupa, Jeanie dan Julius juga manusia, yang tidak butuh charity, tapi humanisme.

Ini adalah pertama kalinya saya membaca buku karya Claire Fuller, and I’m hooked. Memang kisahnya agak lambat, dan kita harus bersabar membacanya. Tapi penggambaran karakter serta setting yang vivid membuat saya serasa berada bersama dengan Julius dan Jeanie, berempati dengan mereka, sekaligus amaze karena masih ada (dan banyak!) orang seperti mereka di dunia sekitar kita.

Unsettled Ground mengajarkan kita untuk menggali empati dalam diri masing-masing, tanpa nada yang menggurui.

Rating: 4/5

Recommended if you like: British lit, siblings and twins interaction, haunting prose, thought provoking issues

Pet by Akwaeke Emezi

05 Friday Mar 2021

Posted by astrid.lim in Uncategorized

≈ 2 Comments

Tags

afrofuturism, black history month, fantasy, LGBT, popsugar RC 2021, young adult

Judul: Pet

Penulis: Akwaeke Emezi

Penerbit: Faber&Faber (Kindle Edition, 2019)

Halaman: 208p

Beli di: Amazon.com (USD 7)

Belakangan ini, nama Akwaeke Emezi sedang banyak muncul di berbagai media dan media sosial, terutama karena buku-bukunya digadang-gadang sebagai masa depan literatur Afrika. Tapi saya justru belum sempat membaca karya-karyanya yang hits seperti The Death of Vivek Oji atau Freshwater. Membaca buku Pet ini pun sebenarnya tidak disengaja, karena memenuhi salah satu prompt Popsugar Reading Challenge saja ๐Ÿ™‚

Pet berkisah tentang suatu kota fiksi bernama Lucille, dengan setting masa depan yang tidak disebutkan. Yang pasti, Lucille merupakan tempat ideal karena sudah tidak ada lagi “monster” yang berkeliaran. Semua yang tinggal di sana adalah orang baik-baik, karena semua monster alias kriminal sudah ditumpas oleh para pahlawan yang dikenal sebagai “angels”.

Hanya saja, suatu hari, hadir sesosok makhluk dari dunia yang lain, menyambangi Jam dan keluarganya. Makhluk misterius yang menyebut dirinya sebagai “Pet” ini menyampaikan peringatan bahwa ada monster yang diam-diam menyelinap di Lucille, dan yang membuat Jam terkejut, monster tersebut ada di sekeliling sahabatnya, Redemption.

Meski takut, Jam terpaksa bergabung dengan Pet untuk berburu monster dan melindungi Redemption. Namun Jam tidak sepenuhnya percaya, karena keluarga Redemption dipenuhi oleh orang-orang baik yang sudah ia anggap seperti keluarganya sendiri. Terlebih lagi, Jam tidak pernah hidup di dunia yang memiliki monster, karena ia dilahirkan di era setelah monster berhasil disingkirkan dari Lucille. Bagaimana ia bisa mengenali sosok monster, kalau ia tidak pernah tahu satupun monster sebelumnya?

Pet diklasifikasikan sebagai afrofuturism, yaitu literatur yang memiliki unsur futuristik atau science fiction, biasanya memiliki setting di masa depan, namun menggabungkan kisah futuristik tersebut dengan elemen Black history dan culture. Saya sendiri masih asing dengan genre ini, dan sengaja memilih Pet yang ditujukan lebih ke pembaca young adult, sehingga kisahnya masih termasuk mudah untuk diikuti.

Satu hal yang saya sadari saat membaca buku ini adalah karakter-karakternya yang sangat diverse, namun ditulis dengan sangat kasual tanpa membesar-besarkan masalah identitas tersebut. Kisah tentang Jam yang transgender dan didukung penuh oleh orang-orang di sekitarnya, lalu tentang orang tua Redemption yang digambarkan memiliki hubungan polyamory, dan salah satu orang tuanya adalah non-binary – semuanya merupakan hal biasa, yang menurut saya, memang sengaja dibuat seolah sesuatu yang normal di masa depan (yang ideal).

Hal lain yang menarik perhatian saya adalah betapa vague-nya konflik dalam buku ini. Monster tidak dijelaskan dengan detail sudah melakukan kejahatan apa, dan monster di keluarga Redemption pun hanya dijelaskan dengan subtle. Sementara itu setting yang sangat utopia juga membuat saya agak susah relate dengan karakter dan plot di buku ini. Saya tidak tahu apakah kebanyakan afrofuturim books memang gaya penceritaannya seperti ini, atau ini adalah ciri khas Akwaeke Emezi. Mungkin saya harus sampling beberapa buku afrofuturisme yang lain, yang ditujukan untuk pembaca dewasa. Overall, this is an interesting experience though.

Rating: 3.5/5

Recommended if you’d like to try: afrofuturism book, unusual plot, queer characters, mysterious creature from another world, intriguing black young adult book.

Submitted for:

Category: An Afrofuturist book

Parker Pyne Investigates by Agatha Christie

03 Wednesday Mar 2021

Posted by astrid.lim in Uncategorized

≈ Leave a comment

Tags

agatha christie, british, classics, mystery, read christie 2021, short stories, twist

Judul: Parker Pyne Investigates

Penulis: Agatha Christie

Penerbit: HarperCollins (2017, first published in 1934)

Halaman: 260p

Beli di: Kinokuniya (IDR 135k)

Bulan Februari kemarin, tema #readchristie2021 adalah bukua Agatha Christie yang memiliki unsur romens atau percintaan, dan pilihan resmi dari @officialagathachristie adalah Parker Pyne Investigates. Saya sendiri sudah pernah membaca buku ini versi terjemahan Bahasa Indonesia-nya, tapi ini kali pertama saya membacanya dalam versi bahasa Inggris.

Mr. Parker Pyne adalah pensiunan pegawai negeri, tepatnya departmen statistik, yang membuka biro konsultasi pribadi. Iklan yang ia pasang di koran sangat singkat namun mengena:

Are you happy? If not, consult Mr. Parker Pyne, 17 Richmond Street.

And that’s it! Tidak ada keterangan apa pun, tapi justru karena itulah orang jadi penasaran, dan untuk mereka yang merasa tidak berbahagia (dengan berbagai alasan), terinspirasi untuk menyambangi Mr.Pyne. Menurut Mr. Pyne, ada 5 penyebab utama seseorang tidak bahagia, dan meski ia menyebutkan beberapa di antaranya, Mr. Pyne tidak pernah menerangkan dengan jelas apa 5 penyebab ini, membuat saya bertanya-tanya di sepanjang buku.

Kisah-kisah dalam buku ini merupakan kumpulan kasus-kasus yang pernah ditangani oleh Mr. Pyne, dan meski judul buku ini menyiratkan kasus-kasus yang melibatkan penyelidikan, tidak semua cerita mengandung unsur misteri atau kriminal. Beberapa kisah (yang super hilarious) justru lebih kental nuansa dramanya, baik itu percintaan, rumah tangga atau domestik hubungan ibu dan anak. Meski demikian, semuanya masih tetap bisa dinikmati meski sedikit berbeda dari kisah Agatha Christie pada umumnya.

Bagian kedua buku ini mengambil setting di Timur Tengah, karena Parker Pyne sedang berlibur. Dan seperti juga Poirot, Mr, Pyne tidak bisa berlibur dengan tenang karena pasti dihadapkan pada kasus, dari mulai pembunuhan hingga penipuan.

Buku Parker Pyne Investigates mungkin adalah salah satu buku Christie yang tidak terlalu “aging well” – karena beberapa cerita di dalamnya memang cukup ketinggalan jaman, dan tidak semua metode Mr. Pyne terasa masuk akal bila dilihat dari perspektif masa kini. Karena itu, saya menyarankan pembaca untuk menikmati buku ini with a grain of salt. Tidak usah terlalu kritis, karena ingat saja kalau buku ini diterbitkan pertama kali tahun 1934. Beberapa contoh kisah yang agak absurd misalnya adalah kisah penukaran identitas di “The Case of the Rich Woman” – terasa mustahil bila dilakukan saat ini, dan bahkan bisa dituntut karena memalsukan identitas dianggap sebagai tindakan penipuan. Lalu di kisah “The Case of Discontented Soldier”, Christie memakai tokoh kulit hitam (yang disebut Negroes atau Darkies) sebagai penjahat yang sangat stereotype.

Namun, ada beberapa kisah yang termasuk favorit saya – seperti “The Case of Middle-Aged Wife” dan “The Case of rge Discontented Husband” yang lumayan mirip, namun berbeda sudut pandang saja (sama-sama tentang pernikahan yang tidak memuaskan, satu dari sudut pandang sang istri dan satu dari suami). Saya juga lumayan suka beberapa kisah misteri berlatar belakang Timur Tengah, yang mengingatkan saya akan kisah-kisah Poirot.

Yang juga unik, ada beberapa tokoh di buku ini yang nantinya juga akan muncul di kisah-kisah Poirot – Mrs. Oliver membantu Mr. Pyne membuatkan skrip untuk kasus-kasusnya, sementara Miss Lemon muda yang sudah terlihat efisien berperan sebagai sekretaris Mr. Pyne. Saya menyayangkan Mr. Pyne tidak diberi kesempatan bertemu dan berkolaborasi dengan Poirot, karena pasti akan seru juga melihat kedua pria brilian ini bekerja sama memecahkan kasus-kasus!

Rating: 3/5

Recommended if you want to try: lighter Agatha Christie, cheeky short stories, delightful mysteries, Roald Dahl plot twist vibes, funny characters

Submitted for:

February: a story featuring love

White Fragility by Robin DiAngelo

01 Monday Mar 2021

Posted by astrid.lim in Uncategorized

≈ Leave a comment

Tags

african american, america, black history month, black lives matter, history, non fiction, popsugar RC 2021, social issues

Judul: White Fragility: Why It’s So Hard for White People to Talk About Racism

Penulis: Robin DiAngelo

Penerbit: Penguin Random House (2018)

Halaman: 168p

Beli di: Periplus (IDR 126k)

Robin DiAngelo adalah seorang perempuan kulit putih Amerika yang berprofesi sebagai konsultan dan pembicara yang banyak membahas tentang racial diversity and inclusion, terutama di berbagai institusi di Amerika Serikat. Sejak awal buku ini, DiAngelo sudah mengklaim bahwa sudut pandangnya adalah sudut pandang seorang kulit putih Amerika, berdasarkan pengalaman dan keahliannya selama menekuninya profesinya saat ini, yang meskipun banyak menyangkut racial diversity, tetap tak lepas dari bias.

Buku ini membahas bahwa betatapun baiknya seseorang, betapapun tinggi moral yang dijunjung, setiap orang kulit putih tidak akan bisa lepas dari rasisme. Setiap orang kulit putih adalah rasis, bukan karena ia jahat, tetapi karena rasisme sudah sangat erat menyatu dalam kehidupannya (terutama di dalam konteks Amerika Serikat), atau dengan kata lain, rasisme sudah menjadi sistemik.

Tentu saja pernyataan kontroversial ini tidak diterima oleh orang-orang kulit putih, terutama mereka yang menganggap diri liberal, progresif, toleran, dan peduli dengan isu racial diversity maupun social justice. Dan sikap defensif serta denial inilah yang dikupas tuntas oleh DiAngelo, lewat bahasa yang mudah dimengerti, to the point, dan apa adanya. Karena ia adalah mantan dosen, saya suka penuturannya yang runut.

DiAngelo menjelaskan secara cukup detail tentang konstruksi sosial rasisme di Amerika Serikat, termasuk sejarah yang berawal dari perbudakan, diskriminasi orang kulit hitam, era Jim Crow, dan seterusnya. Setiap orang kulit putih mewarisi sistem ini turun temurun, yang secara tidak disadari sudah merasuk ke dalam alam bawah sadar mereka dan menyebabkan bias. Hal ini nantinya bisa terlihat dari casual racism, komentar yang tidak disengaja tapi ternyata mengandung unsur rasisme, asumsi yang diberikan pada orang kulit hitam, yang terlihat innocent padahal ternyata berakar dari rasisme tadi. White supremacy (baik di Amerika maupun di dunia) adalah nyata, dan hal mendasar inilah yang pertama-tama ingin disampaikan oleh DiAngelo.

DiAngelo juga menyinggung tentang sulitnya orang kulit putih Amerika menerima kenyataan tentang systemic racism ini, terutama karena mereka tidak ingin dianggap sebagai orang jahat, karena merasa tidak pernah membeda-bedakan teman dari rasnya, atau karena merasa sudah melakukan banyak hal baik terutama menyangkut social justice. Tapi apakah itu cukup? Ternyata tidak, karena justru tanpa mengakui adanya masalah mendasar bahwa setiap orang kulit putih merupakan bagian dari masalah rasisme di Amerika (dan dunia), masalah ini akan selalu ada dan tidak akan ada pemecahannya.

Satu hal menarik yang juga saya tangkap dari buku ini adalah konsep White Fragility itu sendiri. Saat ada gerakan seperti Black Lives Matter (BLM) yang sempat heboh beberapa tahun belakangan ini, orang-orang kulit putih (yang sudah biasa berada di zona nyaman dan aman) menjadi merasa “terancam”, seolah kedudukannya sebagai mayoritas akan digeser oleh orang-orang kulit hitam, satu hal yang sebenarnya sangat tidak mungkin. Saking sudah lamanya orang kulit putih berada dalam status mayoritas yang menikmati segala jenis privilege sejak dilahirkan ke dunia, perjuangan sekecil apapun dari kaum minoritas (terutama kulit hitam) dianggap sebagai sesuatu yang mengancam dan akhirnya menimbulkan polemik. Padahal, tuntutan BLM adalah racial equality dan inclusion. Bahwa mereka berhak mendapatkan hal-hal mendasar yang sudah dirasakan oleh kulit putih secara cuma-cuma.

Dan mau tidak mau, saya jadi membandingkan hal ini dengan kaum mayoritas di negara kita tercinta. Bahwa white fragility, meski di sini mungkin berubah namanya, memang ada di mana-mana. Kaum mayoritas dengan segala privilegenya akan merasa terancam jika ada wakil minoritas yang akan mengubah keadaan, dan mengancam kenyamanan tatanan dunia mereka. Satu hal yang patut kita renungkan bersama, dan menurut saya, akan sangat menarik jika ada penulis yang berani mengupas isu ini seperti DiAngelo berani mengupas terang-terangan perihal white fragility di Amerika.

We’ll see ๐Ÿ™‚

Rating: 4,5/5

Recommended if you want to learn more about: racism, social justice, racial equity in America, black history, Black Lives Matter

Submitted for:

Category: A book found on a Black Lives Matter reading list

The Water Dancer by Ta-Nehisi Coates

24 Wednesday Feb 2021

Posted by astrid.lim in Uncategorized

≈ Leave a comment

Tags

african american, america, historical fiction, magical realism, popsugar RC 2021, slavery, tragedy

Judul: The Water Dancer

Penulis: Ta-Nehisi Coates

Penerbit: One World (2019)

Halaman: 403p

Beli di: Periplus (IDR 55k, bargain!)

Saya memang belum pernah membaca buku Ta-Nehisi Coates yang paling terkenal, Between the World and Me, dan ada di semua list wajib bacaan terkait Black Lives Matter (BLM). Saya langsung loncat membaca buku fiksi pertamanya, The Water Dancer. Namun dari buku ini, saya bisa mengerti mengapa Coates disebut-sebut sebagai salah satu penulis kulit hitam paling fenomenal di generasinya.

The Water Dancer berkisah tentang Hiram, pemuda kulit hitam yang dilahirkan sebagai budak di sebuah pertanian di Virginia. Hiram muda sudah mengalami banyak sekali hal-hal tragis dalam hidupnya. Ibunya dijual ke tempat lain saat ia kecil, sedangkan ayahnya adalah laki-laki kulit putih pemilik pertanian yang tidak menganggapnya sebagai anak. Namun Hiram tumbuh menjadi anak yang kuat, bertekad ingin membuktikan pada dunia kalau ia pun berharga.

Setiap kali menghadapi pertistiwa penting, terutama yang mengancam keselamatannya, Hiram dikaruniai kemampuan yang bisa membuatnya berpindah tempat. Hal ini ternyata ia warisi dari neneknya yang juga memiliki kemampuan yang sama. Kemampuan ini membuat Hiram dilirik oleh organisasi bawah tanah yang berjuang untuk pembebasan para budak. Dan organisasi ini semakin berjuang keras terutama untuk para budak di Virginia. Saat itu, kondisi ekonomi di Virginia makin memburuk, karena produksi pertaniannya semakin menurun. Banyak budak yang terancam akan dijual ke daerah yang lebih selatan, yang terkenal dengan kekejamannya yang jauh lebih mengerikan dibandingkan dengan Virginia yang terletak agak lebih di utara. Dan di organisasi underground inilah Hiram menemukan panggilan hidupnya, namun ternyata tidak semudah itu menguasai kemampuan yang sudah dikaruniakan kepadanya.

Buku ini kental dengan nuansa magical realism, semacam gabungan history of slave dengan sepercik sentuhan superhero. Namun, dengan piawai Coates mampu menyatukan berbagai elemen yang terlihat tidak masuk akal ini ke dalam kisah yang powerful, menyentuh, dan sarat dengan fakta sejarah penting, termasuk perjuangan Harriet Tubman yang legendaris.

Hiram adalah narator yang mudah mengundang simpati tapi tidak terkesan pathetic. Keinginannya untuk bebas tidak membuatnya melupakan keluarga yang masih terjebak lingkaran perbudakan. Dan petualangan-pteualangannya ke berbagai tempat di Amerika, baik yang anti perbudakan maupun yang masih melegalkan perbudakan, membawa banyak bahan pemikiran.

This is a wonderful, beautiful read. And now I believe in Ta-Nehisi Coates’s reputation ๐Ÿ˜€

Rating: 4/5

Recommended for: history buff, magical realism enthusiast, if you want to learn about slavery in America, sympathetic narrator, heartbreaking story

Submitted for:

Category: A book that has the same title as a song

Such a Fun Age by Kiley Reid

18 Thursday Feb 2021

Posted by astrid.lim in Uncategorized

≈ Leave a comment

Tags

african american, america, contemporary, ebook, popsugar RC 2021, race, racism, reese's book club, social issues, women

Judul: Such a Fun Age

Penulis: Kiley Reid

Penerbit: Putnam (Kindle edition, 2019)

Halaman: 320p

Beli di: Amazon.com (USD 1.99, bargain!)

Membaca buku bestseller atau yang sudah menang berbagai penghargaan memang agak sulit, karena kita biasanya sudah terpengaruh bias yang ada. Kita jadi agak memaksakan diri untuk menyukai buku tersebut, meski mungkin dalam hati kita bertanya-tanya mengapa semua orang begitu memuja buku ini, sementara kita tidak merasakan hal yang sama? What is wrong with me? Terutama, kalau buku yang dimaksud mengupas hal-hal penting dan memang memiliki pesan yang relevan.

Itulah sekelumit yang saya rasakan saat membaca Such a Fun Age, buku yang sudah membuat saya penasaran sejak terpilih jadi salah satu bacaan Reese’s Book Club, dan menggondol berbagai jenis penghargaan. Premisnya sangat menarik: Emira Tucker, perempuan kulit hitam berusia pertengahan 20-an, tinggal di Philadelphia dan bekerja paruh waktu sebagai baby sitter keluarga Alix Chamberlain yang berkulit putih. Suatu malam, saat keluarga tersebut mendadak mengalami kejadian tak terduga, Emira diminta untuk sejenak membawa keluar Briar, anak perempuan Alix, ke supermarket dekat rumah mereka, Tapi karena sudah hampir tengah malam, dan Emira -yang baru pulang dari pesta- memakai baju yang tidak seperti babysitter, kehadiran mereka mulai mengundang kasak-kusuk, dan memuncak ketika seorang ibu kulit putih memanggil security untuk memastikan Emira tidak menculik Briar.

Things are escalating quickly setelah kejadian itu – Emira yang panik jadi bersikap defensif, dan ada seorang laki-laki (yang sedang belanja) sibuk merekam kejadian tersebut dengan kameranya. Sementara itu, sang security dan si ibu yang curiga menginterogasi Emira tanpa sebab yang jelas (well, sebabnya jelas bagi mereka – Emira yang berkulit hitam bersama dengan Briar, anak perempuan kulit putih dari keluarga kaya – mengundang kecurigaan besar).

Setelah adegan yang emosional dan sarat akan makna ini, saya bersiap untuk menghadapi perjalanan panjang bersama Emira untuk mencari makna racial equality. Dan memang, berbagai isu terkait rasisme di dunia modern Amerika Serikat banyak dibahas dalam buku ini. Casual racism, prejudice, white fragility, racial fetishism, adalah beberapa hal yang sehari-hari dialami oleh Black people di sana, dan sudah dianggap sebagai makanan sehari-hari. Bagaimana Alix yang bermaksud baik (namun dengan motivasi yang patut dipertanyakan) ingin menolong Emira, namun tanpa benar-benar memahami dari mana Emira berasal dan apa yang dialaminya sehari-hari.

Ada juga Kelley Copeland, cowok kulit putih yang tertarik dengan Emira, namun ternyata masa lalunya menyimpan rahasia yang tidak disangka-sangka.

Buku ini ingin menggambarkan bahwa rasisme bisa terjadi bahkan dari hal paling kecil sekalipun, dari setitik joke tak berdosa atau lirikan spontan yang mengandung prejudice dari alam bawah sadar. Rasisme sudah menyatu dengan diri kita, dan terutama orang-orang kulit hitam (di Amerika) yang selalu menjadi korbannya. Saya mengerti pesan yang ingin disampaikan buku ini, dan menurut saya sangat relevan dengan kenyataan yang ada di Amerika, terutama saat dan setelah masa pemerintahan Donald Trump.

Tapi, menurut saya, buku ini ditulis dengan agak berantakan – banyak sekali momen-momen awkward dan selingan tak penting yang muncul di antara isu-isu penting yang dibahas. Entah karena memang seperti itu gaya menulis Kiley Reid (ini adalah novel debut nya, jadi tidak ada buku lain yang bisa dijadikan perbandingan), atau karena ia ingin kita benar-benar masuk ke dalam dunia Emira sehingga mengedepankan beberapa detail yang terasa kurang perlu? Entahlah, tapi saya merasa agak lelah membaca buku ini, karena gaya penulisannya menurut saya kurang sesuai dengan isu yang ingin disampaikan.

Satu hal lain adalah tidak adanya karakter yang bisa membuat saya simpati. Bahkan Emira pun, dengan segala permasalahannya, membuat saya sebal, karena ia sebenarnya memiliki potensi untuk membuat perubahan dalam hidupnya (teman-temannya yang PoC semuanya memiliki karier dan kehidupan yang lebih memuaskan), tapi memang karakternya tidak ingin berkembang, membuat saya menjadi gemas setengah mati. Dan ending buku ini benar-benar membuat saya memutar bola mata XD

Anyway, ini bukan pertama kalinya saya merasa pandangan saya berbeda dengan pandangan mayoritas pembaca buku. Saya mengalami kesan serupa saat membaca Little Fires Everywhere, dan saya bahkan sempat membahas hal ini dengan detail saat mereview buku Me Before You. It’s ok to feel different, it’s ok to not like what everyone else likes. You don’t need validation for your opinions and feelings of a book ๐Ÿ™‚

Rating: 2.5/5

I’d still recommend this book if you’re looking for books about: social issues, racism in America, debut novel with different topic, complicated take on casual racism, Reese’s Book Club pick

Submitted for:

Category: A book about a social justice issue

The Leopard by Jo Nesbo

16 Tuesday Feb 2021

Posted by astrid.lim in Uncategorized

≈ Leave a comment

Tags

harry hole, murder mystery, mystery/thriller, nordic noir, series

Judul: The Leopard

Penulis: Jo Nesbo

Penerbit: Vintage (2011)

Halaman: 740p

Beli di: BookDepository (IDR 185k)

Setelah mengungkap kasus The Snowman yang membuatnya trauma berat, Harry Hole menghilang di tengah kekacauan kota Hong Kong. Kecanduan opium, terlibat hutang judi pacuan kuda, dan dikejar-kejar mafia Hong Kong, sepertinya Harry sudah tidak bersemangat untuk hidup.

Hingga suatu hari, wakil kepolisian Oslo menemuinya, memintanya kembali ke Oslo karena ada satu lagi serial killer yang merajalela di kota tersebut, membunuh orang-orang tanpa sebab dan motif yang jelas. Awalnya Harry tidak mau memenuhi permintaan itu, tapi karena ia mendapat kabar sedih tentang ayahnya yang sedang sakit keras, Harry tidak punya pilihan selain kembali ke kota yang ia cintai sekaligus ia benci.

Yang membingungkan dari kasus ini, tidak ada petunjuk apapun dari TKP, dan korabn-korban si pembunuh pun (awalnya) terlihat tidak berhubungan. Bukan kejahatan seksual, meski si pembunuh menunjukkan kesadisannya. Harry mulai tertantang menyusuri jejak si pembunuh, namun langkahnya pun terantuk masalah politik antara kepolisian Oslo dengan Krimstek, semacam penyidik federal yang sedang berusaha mengambil alih kasus-kasus pembunuhan yang dianggap high profile dari tangan polisi lokal.

Sementara itu, Harry dibantu oleh tim kecil terus berusaha bekerja tanpa terendus pihak-pihak birokrat, meski Harry terus dibingungkan karena sepertinya petinggi Krimstek tahu saja apa yang sedang ia lakukan.

The Leopard merupakan satu lagi karya Nesbo yang solid, slow burn, tapi tidak membosankan. Sosok Harry dibuat sangat manusiawi di sini, ia bisa juga gagal, kalah cepat, kalah gesit, tidak bisa menahan emosi, dan menjadi salah satu orang paling denial bila menyangkut keluarga dan kehidupan pribadinya. Tidak mudah menyamai The Snowman, yang merupakan salah satu buku Nordic Noir terbaik di luar sana, tapi menurut saya The Leopard masih bisa dibilang sukses, terutama untuk pencinta Harry Hole.

Tidak ada yang lebih melegakan selain melihat Harry berhasil mengalahkan lawan-lawannya, baik lawan kriminal maupun politis, meski ia tidak selalu berakhir sebagai pemenang, dan kemenangannya kadang dibarengi dengan tragedi lain dalam hidupnya. Because, again, he’s only human.

Rating: 4/5

Recommended if you love: gritty murder mystery, nordic noir, scandinavian setting, brooding detectives who fight their demons. And of course, if you love Harry Hole ๐Ÿ™‚

The Valley of Adventure by Enid Blyton

09 Tuesday Feb 2021

Posted by astrid.lim in Uncategorized

≈ Leave a comment

Tags

adventures, british, children, classic, historical fiction, mystery, series

Judul: The Valley of Adventure

Penulis: Enid Blyton

Penerbit: Macmillan Children’s Books (2015)

Halaman: 278p

Beli di: Big Bad Woolf, part of the bundle

Philip, Dinah, Jack, dan Lucy-Ann – serta burung mereka, Kiki, kembali terlibat petualangan yang menegangkan. Awalnya, mereka hanya mau berlibur bersama teman baik mereka, Bill, naik pesawatnya yang baru. Namun, suatu kejadian menyebabkan mereka naik pesawat yang salah, dan malah terdampar di lembah tersembunyi yang misterius.

Anehnya, tidak ada orang di lembah tersebut, kecuali kedua orang pilot yang membawa mereka ke sana tanpa sengaja. Penyelidikan Philip dan kawan-kawan mengungkap adanya harta tersembunyi di lembah itu, dan kedua pilot ternyata berusaha mencari harta tersebut, meski dengan cara-cara yang menyeramkan.

Dibandingkan dengan dua buku sebelumnya, The Valley of Adventure terasa lebih seru, petualangannya lebih mencekam, dengan setting yang juga cukup membuat bulu kuduk meremang. Ada yang aneh dengan lembah tempat mereka terdampar, dan sepertinya penjelasannya tidak sesederhana yang dibayangkan. Isu tentang harta tersembunyi yang ternyata disembunyikan saat Perang Dunia II berlangsung juga lumayan dark, sedikit berbeda dari buku-buku sebelumnya. Di sini, Blyton menyinggung sedikit tentang peran Nazi di Perang Dunia, meski tidak secara terang-terangan. Biasanya, Blyton tidak terlalu sering memasukkan unsur politik ke dalam buku-bukunya, kecuali beberapa kali membahas isu mata-mata, misalnya di kisah Lima Sekawan, tapi itu pun tidak spesifik menyebutkan negara ataupun isu yang menjadi inti cerita.

Saya sendiri mulai bisa lebih menikmati petualangan keempat anak ini (plus Kiki). Meski, saya juga menyadari, hubungan keempat anak ini memiliki dinamika yang agak berbeda dibandingkan dengan hubungan antar karakter di buku Lima Sekawan atau Pasukan Mau Tahu. Banyak kalimat yang cukup kasar diucapkan terutama oleh Dinah kepada kakaknya, Philip. Tapi Dinah juga beberapa kali bersikap kasar pada Lucy Ann. Tidak seperti George yang suka ngambek, Dinah terkesan lebih kasar dan bahkan suka memukul.

Saya sendiri tidak tahu apakah karena buku yang saya baca adalah versi Bahasa Inggris, sehingga tidak diperhalus (saya belum pernah membaca buku serial Petualangan dalam Bahasa Indonesia), atau memang dinamika hubungan anak-anak di serial ini agak lebih brutal dibandingkan serial petualangan Blyton lainnya. Interesting to find that out, though.

Rating: 3.5/5

Recommended if you like: adventures, British children classics, kids doing their stuff, stories full of food and picnic ๐Ÿ™‚

← Older posts

From the bookshelf

Categories

Looking for Something?

Enter your email address to follow Books to Share and receive notifications of new posts by email.

Join 1,036 other subscribers

Currently Reading

I’m a Proud Member! #BBI 1301004

Wishful Wednesday Meme

Fill your Wednesdays with wishful thinking =)

Popsugar Reading Challenge 2018

bookworms

  • aleetha
  • althesia
  • alvina
  • ana
  • annisa
  • bzee
  • dewi
  • dion
  • fanda
  • Ferina
  • helvry
  • inne
  • Kobo
  • maya
  • mei
  • melmarian
  • mia
  • ndari
  • nophie
  • oky
  • peri hutan
  • ren
  • Reygreena
  • sel sel kelabu
  • sinta
  • tanzil
  • tezar
  • yuska

shop til you drop

  • abe books
  • Amazon
  • better world books
  • book depository
  • BukaBuku
  • Buku Dedo
  • bukukita
  • vixxio

Top Posts & Pages

  • Red, White & Royal Blue by Casey McQuiston
    Red, White & Royal Blue by Casey McQuiston
  • The Secret History
    The Secret History
  • Klara and the Sun by Kazuo Ishiguro
    Klara and the Sun by Kazuo Ishiguro
  • The Monogram Murders by Sophie Hannah
    The Monogram Murders by Sophie Hannah
  • Puddin' by Julie Murphy
    Puddin' by Julie Murphy

Recent Comments

Puddin’ by Jul… on Dumplin’ by Julie M…
jesica on Abarat 2: Days of Magic, Night…
jesica on Abarat 2: Days of Magic, Night…
When the Stars Go Da… on The Paris Wife
Hapudin Bin Saheh on Insomniac City: New York, Oliv…

Blog at WordPress.com.

Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
  • Follow Following
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Join 1,036 other followers
    • Already have a WordPress.com account? Log in now.
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Customize
    • Follow Following
    • Sign up
    • Log in
    • Report this content
    • View site in Reader
    • Manage subscriptions
    • Collapse this bar
 

Loading Comments...