• About this blog
  • Clearance Sale!
  • Newbery Project
  • Popsugar Reading Challenge 2023
  • Previous Challenges
    • BBI Read and Review Challenge 2017
    • Challenges 2014
    • Challenges 2015
    • Lucky No.14 Reading Challenge
    • Lucky No.15 Reading Challenge
    • POPSUGAR Reading Challenge 2017
    • Popsugar Reading Challenge 2018
    • Popsugar Reading Challenge 2020
    • Popsugar Reading Challenge 2021
    • Popsugar Reading Challenge 2022
    • What’s in a Name 2018
    • Twenty-Ten Challenge
    • Challenges 2012
    • Challenges 2013
  • Round Ups
  • The Librarian

~ some books to share from my little library

Tag Archives: gift

Inside Out by Demi Moore

26 Friday Jun 2020

Posted by astrid.lim in non fiction

≈ Leave a comment

Tags

autobiography, celebrity author, gift, hollywood, memoir, non fiction, popsugar RC 2020, secondhand books

Judul: Inside Out

Penulis: Demi Moore

Penerbit: Fourth Estate (2019)

Halaman: 304p

Beli di: @BaliBooks (free book!)

Demi Moore adalah salah satu sosok aktris modern paling legendaris di Hollywood. Bukan hanya pencapaian profesionalnya dikenang oleh para penggemarnya, namun juga kehidupan personalnya yang tidak kalah sensasional.

Demi dibesarkan dalam keluarga yang tidak bisa dibilang stabil. Ayah dan ibunya bukanlah tipe orang tua bertanggung jawab yang peduli dengan kesejahteraan dan masa depan anak-anaknya. Sifat egois dan kekanak-kanakan kerap membuat rumah tangga mereka kacau balau, terpecah belah, dipenuh dengan drama yang tak jarang berakhir dengan tragedi dan kekerasan. Perpisahan pun kerap terjadi, baik yang sifatnya sementara maupun cukup permanen.

Masa kecil yang serba tak pasti ini membuat Demi tumbuh menjadi anak yang kurang percaya diri, tidak jelas ingin melangkah ke mana, terlebih tidak ada sosok mentor yang bisa ia jadikan pegangan. Saat remaja, Demi tinggal bersama ibunya di Los Angeles, untuk pertama kalinya mendekati area yang nantinya akan membesarkan namanya.

Setelah itu, hidup Demi mulai berubah. Bertemu dengan para pria yang satu per satu akan merebut hatinya, memberinya nama baru, keluarga baru, bahkan status baru di Hollywood. Yang paling dikenang orang mungkin adalah pernikahannya dengan Bruce Willis di saat keduanya sedang berada di puncak karier. Dekade Hollywood 80 dan 90-an tidak akan pernah sama tanpa kehadiran mereka. Mereka dengan cepat menjadi salah satu pasangan paling legendaris di Hollywood.

Namun kehidupan Demi seolah tidak pernah berhenti dari drama- pernikahannya dengan Bruce berakhir, dan ia bertemu dengan Ashton Kutcher, aktor yang sedang menanjak kariernya, beberapa puluh tahun lebih muda, namun Demi yakin mereka adalah soulmate. Tapi seperti yang kita semua tahu – ini pun tidak berakhir dengan kebahagiaan untuk Demi.

Buku ini, sesuai dengan pengakuan Demi, lebih seperti terapi baginya. Ia mencurahkan seluruh keluh kesah, kepedihan, penyesalan, kemarahan dan semua emosi yang selama ini terpendam dalam hatinya, yang membentuk hidupnya seperti sekarang ini. Ia mengakui segala kesalahannya yang membuatnya menjadi istri dan ibu yang tidak baik, bahkan sempat berhenti bicara dengan anak-anaknya.

Secara materi, buku autobiography ini dipenuhi dengan detail yang juicy, yang saking dramatisnya kadang terasa sudah seperti film Hollywood. Namun tak bisa dipungkiri, saya merasa ada yang kurang dengan cara penyampaian Demi. Mungkin karena ia bukan seorang penulis, dan tidak ingin bukunya dipengaruhi terlalu kuat oleh ghostwriter maupun editor. Hasilnya memang jadi lumayan datar. Kesan emosional yang kuat tidak saya tangkap di sini, dan bahkan beberapa bagian terasa seperti hanya merupakan wadah Demi mengeluarkan unek-unek saja.

Yang juga cukup terasa adalah betapa singkat halaman yang didedikasikan Demi untuk menceritakan tentang hubungannya dengan Ashton, dari sejak awal mereka jatuh cinta hingga pengkhianatan sang suami. Sepertinya Demi masih merasa amat sakit hati dan belum bisa membuka diri terlalu dalam di bagian kisah hidupnya yang ini. Kesan yang saya dapatkan adalah bagian akhir buku ini terasa ditulis dengan terburu-buru, dan saya kurang memperoleh kesan refleksi Demi di sini. Sayang memang, karena mungkin inilah salah satu hal yang menjadikan kisah hidup Demi layak untuk dibaca. Karena semua ingin rooting untuk kebahagiaan Demi. Namun yang saya rasakan, Demi seperti seorang teman yang belum rela membuka diri seutuhnya.

Submitted for:

Kategori: A book with the same title as a movie or TV show but is unrelated to it

Lioness Rampant by Tamora Pierce

19 Tuesday Dec 2017

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ 1 Comment

Tags

adventures, bbi review reading 2017, children, english, fiction, gift, middle grade, romance, series, young adult

Judul: Lioness Rampant (Song of the Lioness #4)

Penulis: Tamora Pierce

Penerbit: Atheneum (2015)

Halaman: 362p

Gift from: Grace

Akhirnyaaa…. sampai juga di penghujung seri ini 😀 Menutup tahun 2017, saya berhasil menamatkan serial Song of the Lioness yang sebelumnya sempat hampir membuat saya menyerah karena tidak tahan dengan perkembangan karakter utamanya, Alanna.

Alanna yang merupakan ksatria perempuan pertama di Tortall kembali melanjutkan petualangannya dalam buku ini. Kali ini, Alanna mendapat penglihatan untuk membawa pulang Dominion Jewel, batu permata legendaris yang akan mengantarkan Tortall ke masa kejayaannya. Namun tentu saja, perjuangan mengambil Dominion Jewel memaksa Alanna untuk mengerahkan seluruh kemampuannya bahkan hampir mengorbankan nyawanya.

Bagian kedua dari petualangan Alanna adalah saat ia kembali ke Tortall dan mendapati kerajaan yang ditinggalkannya ternyata telah banyak berubah. Salah satunya adalah kehadiran kembali Roger, musuh bebuyutan yang sudah dibunuhnya di buku ke-2, yang dihidupkan kembali oleh kakaknya sendiri, Thom.

Dan di sinilah cerita mulai menjadi aneh.

Karena… Roger, yang sudah ketahuan berbuat jahat dan memiliki rencana menggulingkan Raja, dan sudah dibunuh oleh Alanna, kini malah hidup kembali dan sepertinya dimaafkan begitu saja, bahkan masih diundang ke acara-acara resmi kerajaan, seolah tindakan gilanya yang dulu tidak berarti apa-apa. Weak plot, indeed! Kenapa ya, Tamora Pierce tidak menciptakan villain baru saja yang lebih meyakinkan dan membuat plot yang lebih seru? Membawa kembali Roger merupakan usaha yang terkesan “malas” menurut saya.

Satu hal yang unexpectedly cukup lumayan dari kisah pamungkas Alanna justru terletak pada plot romansnya, yang biasanya membuat saya sakit kepala. Di buku ini, Alanna bertemu dengan Shang Dragon, petarung tangguh bernama Liam, yang entah kenapa kehadirannya cukup menambahkan nuansa berbeda dan menyegarkan dari plot cinta segitiga antara Alanna, Prince Jonathan dan George Cooper di buku-buku sebelumnya. At least di sini -meskipun kadang masih annoying- Alanna terlihat cukup bertambah dewasa menjalani relationshipnya.

Saya juga suka beberapa tokoh baru, terutama Thayet (anak seorang penguasa daerah yang sedang berperang) dan pengawalnya, Buri. Kedua perempuan ini malah terkesan lebih tangguh dibandingkan Alanna dan karakternya pun dibuat apa adanya, tidak dipaksakan menjadi sempurna dan selalu sukses seperti Alanna. Saya jadi lebih tertarik mengikuti sepang terjang mereka dibandingkan si tokoh utama.

Anyway— ending kisah Alanna, untungnya, tidak terlalu klise, meski masih terkesan agak dipaksakan, terutama saat Alanna akhirnya memilih pasangan hidupnya. Namun saya lumayan bisa berdamai dengan serial ini pada akhirnya- tidak jadi membencinya sepenuh hati, meski tidak juga akan menjadikannya sebagai favorit.

Yang pasti, saya juga jadi lebih bersimpati dengan teman-teman saya yang merupakan penggemar berat serial ini karena mereka sudah membacanya di usia muda. Untuk audiens middle grade, Alanna ini memang cukup memikat, dan kisahnya pun menginspirasi, meski memang tidak begitu kena sih, kalau dibaca oleh pembaca dewasa apalagi yang sudah emak-emak XD

Submitted for:

Kategori Ten Points: Full Series

In the Hand of the Goddess by Tamora Pierce

13 Wednesday Dec 2017

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ 1 Comment

Tags

adventures, bbi review reading 2017, children, english, fantasy, fiction, gift, series, young adult

Judul: In the Hand of the Goddess (Song of the Lioness #2)

Penulis: Tamora Pierce

Penerbit: Atheneum Books for Young Readers (2011)

Halaman: 252p

Gift from: Grace

Di buku kedua ini, Alanna meneruskan petualangannya, menyamar sebagai anak laki-laki untuk menggapai cita-citanya dilantik menjadi seorang Ksatria atau Knight. Namun, berbeda dari buku pertama, di buku ini beberapa teman Alanna sudah mengetahui identitas aslinya.

Karena beranjak dewasa, banyak masalah yang dialami Alanna yang agak lain dari petualangannya di buku pertama, terutama menyangkut hubungan percintaan. Iya, Alanna kini menjalin hubungan dengan Prince Jonathan, meski George Cooper, si King of Thieves juga sudah menyatakan cintanya pada Alanna.

Dan mungkin itulah satu hal yang membuat saya jadi sebal setengah mati dengan buku ini. Plot percintaannya betul-betul alay banget XD Apalagi di beberapa bab, dikisahkan pertambahan usia Alanna yang melaju cepat, sehingga di satu bab kita merasa masih mengenal dia sebagai anak remaja tanggung yang polos, di bab berikutnya tiba-tiba dia sudah tidur dengan kekasihnya. Seolah kita tidak diberi waktu yang cukup untuk mencerna perubahan usia dan kondisi Alanna.

Selain itu, yang membuat saya jadi tidak suka dengan kelanjutan kisah Alanna adalah kemudahannya untuk memperoleh dan menghadapi segala sesuatu. Dari mulai kancah peperangan yang sadis sampai pertempuran dengan tukang tenung paling hebat, semuanya berhasil dimenangkan oleh Alanna tanpa perlawanan yang terlalu berarti. Saya sendiri masih lebih suka kalau Alanna sesekali menghadapi kekalahan atau peristiwa yang akan memberikan pelajaran berarti baginya, membuatnya lebih manusiawi dan mudah untuk disukai.

Paradoks karakter Alanna memang menjadi ganjalan utama saya saat meneruskan serial ini. Ia digambarkan sebagai sosok feminis yang tangguh, memperjuangkan hak perempuan dan ingin dianggap sederajat dengan laki-laki. Namun di sisi lain, kalau sudah menyangkut masalah cowok — semua sifatnya yang tangguh itu langsung lenyap seketika. Yang ada, Alanna tiba-tiba berubah menjadi damsel in distress, tokoh perempuan Mary Sue yang serba labil, tergantung pada laki-laki, dan selalu berharap untuk diselamatkan.

Saya sendiri merasa agak tidak enak hati, karena serial Alanna ini dihadiahkan pada saya oleh salah satu teman saya yang juga sesama bookworm, dan biasanya selera kami cukup mirip. Dan kecintaannya pada Alanna dan Tamora Pierce berujung pada pemberian boxset serial ini kepada saya. Selidik punya selidik, Alanna adalah pahlawannya di masa kecil, dan setelah saya banyak melakukan penelitian via review Goodreads, ternyata banyak penggemar Alanna dan Tamora Pierce yang membaca serial ini sejak kecil dan menjadikannya favorit sepanjang masa. Sementara, saya yang baru membaca kisah Alanna di saat usia sudah sekian puluh tahun, merasakan perbedaan yang amat sangat tentang kesan saya terhadap serial ini.

Anyway, saya akan mencoba menamatkan serial ini hingga selesai, dan berusaha membaca petualangan Alanna menggunakan sudut pandang yang lebih “muda” 😀 Wish me luck!

Submitted for:

Kategori Ten Points: Full Series

Hotel on the Corner of Bitter and Sweet by Jamie Ford

24 Thursday Mar 2016

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

america, bahasa indonesia, fiction, gift, history, matahati, romance, terjemahan, world war

Hotel on the Corner of Bitter and SweetJudul: Hotel on the Corner of Bitter and Sweet

Penulis: Jamie Ford

Penerbit: M-Pop (Matahati, 2011)

Penerjemah: Leinoval Bahfein

Halaman: 398p

Gift from: Ren

Tidak banyak buku yang mengangkat kisah penahanan warga keturunan Jepang di Amerika Serikat saat Perang Dunia II, selepas pengeboman Pearl Harbor oleh Jepang. Hotel on the Corner of Bitter and Sweet menawarkan sudut pandang lain dari era Perang Dunia II ini, dengan setting di kota Seattle di Amerika Serikat.

Henry merupakan anak keturunan Cina, yang akibat ambisi orang tuanya yang ingin menjadikannya anak Amerika sejati, dipaksa bersekolah di sekolah kulit putih. Hidupnya cukup berat akibat bullying yang kerap dialaminya, karena diskriminasi rasial masih sangat kental saat itu. Namun semuanya berubah setelah ia mengenal Keiko, anak perempuan keturunan Jepang yang juga baru disekolahkan di sana. Persahabatan unik tumbuh di antara mereka, yang berangkat dari perasaan tertekan sebagai kaum minoritas.

Berbagai tantangan dalam persahabatan mereka pun berusaha mereka hadapi, mulai dari Ayah Henry yang menentang keras segala sesuatu berbau Jepang dan menganggap Jepang adalah musuh abadi Cina, serta kondisi perang yang semakin parah dan membahayakan kaum keturunan Jepang yang tinggal di Seattle akibat antipati warga Amerika kepada mereka.

Suatu hari, terjadi pemindahan besar-besaran terhadap warga keturunan Jepang di Seattle ke tempat pengungsian, semacam kamp untuk mengamankan mereka sampai perang berakhir. Henry dan Keiko bertekad untuk terus mempertahankan hubungan mereka, namun tentu saja kondisi tidak akan semudah yang mereka harapkan.

Sementara itu, maju ke puluhan tahun setelahnya, kita diajak menemui Henry yang sudah tua, dan masih bersedih sepeninggal istrinya yang menderita kanker. Sebuah penemuan di Hotel Panama, bangunan tua bersejarah di kota Seattle, menggugah perasaan Henry. Ternyata selama bertahun-tahun, ruang bawah tanah menyimpan ratusan barang titipan warga keturunan Jepang saat mereka diungsikan, yang tak lagi diambil setelah perang berakhir. Barang-barang ini mengusik kenangan Henry akan masa lalunya, khususnya Keiko, dan ia bertekad akan menyelesaikan urusannya yang belum beres di masa lalu.

Hotel on the Corner of Bitter and Sweet, sesuai judulnya, adalah kisah manis yang mengelupas sejarah tersembunyi peninggalan Perang Dunia II, yang diselingi oleh kisah cinta dan persahabatan dari dua dunia yang amat berbeda. Seperti layaknya kisah fiksi sejarah berbumbu romans, unsur sejarah dalam buku ini dibuat cukup ringan, dan penekanannya lebih diberikan pada kisah cinta kedua karakter utamanya. Saya sendiri tidak keberatan karena porsinya masih bisa dibilang pas, sementara sang penulis juga tidak mengabaikan begitu saja karakter-karakter ini menjadi makhluk-makhluk menyebalkan yang kerap dilakukan penulis kisah hisfic yang terlalu berkonsentrasi terhadap jalinan cerita sejarah di buku mereka.

Bagian yang paling saya suka justru adalah persahabatan Henry dengan Sheldon, musisi jazz kulit hitam di Seattle, serta hubungan Henry dengan anaknya, Marty- yang menjadi penyeimbang akan kisah hubungan Henry dan ayahnya yang terbilang cukup pahit.

Saya sendiri berharap cerita tentang Hotel Panama yang bersejarah bisa mengambil porsi yang lebih besar, karena di buku ini sepertinya Hotel Panama hanya menjadi tempelan setting kisah romantis Henry dan Keiko saja, dan bukan menjadi unsur krusial yang dijanjikan oleh judul buku ini.

Overall, lumayan direkomendasikan untuk penyuka kisah historis berbumbu cerita cinta 🙂

 

Spider’s Web by Charles Osbourne

23 Tuesday Feb 2016

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

adaptation, agatha christie, BBI, drama, english, fiction, gift, mystery, novelization, play, secret santa

spider webJudul: Spider’s Web

Penulis: Charles Osborne (adapted from Agatha Christie’s screenplay)

Penerbit: St. Martin’s Press (2001)

Halaman: 291p

Gift from Secret Santa (aka Matris :))

Saya bukan penggemar play atau naskah drama ‎yang dijadikan buku ataupun novel. Buat saya, drama atau teater itu ya untuk ditonton, dinikmati akting para pemainnya dan setting panggungnya yang memukau. Tapi karena Spider’s Web adalah salah satu drama panggung karya Agatha Christie yang terkenal, tidak ada alasan bagi saya untuk menghindarinya.

Spider’s Web berkisah tentang Clarissa, seorang wanita muda yang juga istri diplomat serius, Henry Hailsham-Brown. Mereka baru pindah ke sebuah rumah di pinggiran kota London bersama anak Henry dari pernikahan sebelumnya, Pippa. Di rumah tersebut juga ada sepasang suami istri yang bekerja sebagai pelayan dan juru masak, serta seorang wanita tukang kebun yang gemar mencari ribut.

Di suatu akhir pekan, Clarissa menjamu beberapa tamu di rumahnya, Jeremy yang masih muda dan tergila-gila padanya, Sir Rowland ayah baptisnya, serta Hugo tetangga yang sekaligus juga anggota penegak hukum yang terkenal.

Clarissa yang gemar drama tiba-tiba mendapati dirinya terlibat dalam drama besar, saat ia menemukan mayat misterius korban pembunuhan di ruang tamunya. Dengan bantuan ketiga tamunya, Clarissa merancang kisah rumit untuk diceritakan kepada polisi, supaya suaminya terhindar dari skandal tersebut di tengah-tengah peristiwa penting dalam kariernya.

Ketiga rekannya menghadapi dilema saat inspektur polisi mewawancarai mereka secara terpisah untuk mengetahui kejadian sesungguhnya dan apa hubungan mereka dengan sang mayat misterius. ‎Apalagi saat ketiga orang tersebut sadar, ada kisah lain yang disembunyikan oleh Clarissa sehingga membuat mereka saling mencurigai satu sama lain.

Jujur, kalau saya tidak diberi tahu bahwa Spider’s Web adalah karya Agatha Christie, saya tidak akan menduganya. Kisahnya benar-benar berbeda dari kisah Christie pada umumnya. Tidak ada pendalaman karakter, tidak ada plot yang sederhana namun cerdas, dan tidak ada penyelesaian yang memuaskan. Bahkan biasanya buku-buku Christie tanpa Poirot atau Miss Marple pun jauh lebih mengasyikkan daripada ini!

Beberapa kekecewaan saya mungkin berdasarkan pada rasa tidak familiar pada buku novel yang diadaptasi dari naskah drama. Dominasi dialog dan deskripsi gerak gerik para karakter tidak diimbangi oleh narasi yang biasanya menjadi kekuatan utama kisah klasik Christie. Apalagi, banyak dialog dan gerak-gerik para karakter buku ini yang menurut saya agak terlalu komikal untuk ukuran novel misteri.

Lalu, saya juga tidak bisa masuk ke dalam karakter-karakter yang ada di sini, yang semuanya terasa kurang meyakinkan bagi saya. Apalagi Clarissa! Sebagai karakter utama, dia benar-benar menyebalkan, ratu drama yang selalu senang membuat segala sesuatu rumit, tanpa ada alasan yang jelas.

Saya juga agak sebal karena banyak petunjuk yang terlalu jelas tentang siapa sebenarnya pelaku pembunuhan di kisah ini. Dari awal, petunjuk yang terlalu obvious sudah disebar di sana-sini, mungkin karena memang target awalnya adalah audience yang menonton langsung pertunjukan drama di panggung, jadi petunjuk yang ada sengaja ditampilkan dengan cukup jelas, tidak seperti clue di kisah dalam novel yang diletakkan lebih subtle.

Jadi, kesimpulannya apa?

Mungkin saya memang tidak terbiasa dengan adaptasi naskah drama, mungkin juga saya tidak rela kalau kisah Christie ditulis ulang oleh penulis lain, atau saya hanya merasa kangen dengan Hercule Poirot! Hehe… Bagaimanapun, sebagai fans berat Dame Agatha, rasanya memang belum lengkap kalau belum membaca semua bukunya, termasuk yang diadaptasi oleh penulis lain 🙂

 

 

Station Eleven by Emily St.John Mendel

01 Monday Jun 2015

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

canada, dystopia, fantasy, gift, post apocalypse, review15

station eleven1Judul: Station Eleven

Penulis: Emily St.John Mendel

Penerbit: Picador (2014)

Halaman: 333p

Beli di: Kinokuniya Nge Ann City (SGD 19.94)- thanks @thatharetha!

Cerita tentang post-apocalypse selalu bisa membuat saya merinding, ngeri, stress, tapi juga… menikmati. Semacam memenuhi kebutuhan masochistic saya :p Namun tentu saja tidak semua kisah menjadi masuk akal, berkesan, dan brilian. Tapi untungnya, Station Eleven berhasil memenuhi harapan saya.

Kisah diawali di sebuah teater di Toronto, saat aktor terkenal Arthur Leander meninggal mendadak di atas panggung ketika memerankan drama King Lear. Di malam yang sama, virus flu mematikan mulai menyebar ke seluruh dunia, dan beserta dengannya- dimulailah apa yang dikenal sebagai akhir zaman.

Dua puluh tahun berselang, segelintir orang yang bertahan hidup (baik karena mengisolasikan diri dari dunia luar saat wabah flu menyerang, atau karena memiliki kekebalan tubuh luar biasa) berusaha memulai kembali peradaban manusia yang telah runtuh. Salah satu kelompok tersebut menamakan diri mereka The Travelling Symphony, yang rutin berkeliling benua Amerika Utara untuk mementaskan drama Shakespeare di permukiman penduduk yang mereka lewati. Dan meski bertahan hidup merupakan prioritas manusia yang tersisa, Travelling Symphony memiliki moto tambahan: Because survival is insufficient.

Tanpa internet, tanpa iPod, tanpa TV dan film yang merekam semua peninggalan buatan manusia- seni dan budaya sudah nyaris punah. Peninggalan manusia hampir hilang, dan dengan modal seadanya, mengais-ngais sejumput sisa budaya yang tertinggal, Travelling Symphony bertekad menyebarluaskan apa yang mereka miliki ke generasi berikut- yang lahir setelah peradaban runtuh.

Kirsten, aktris anggota kelompok Travelling Symphony yang nyaris tidak ingat apa-apa tentang masa sebelum wabah flu, menemukan komik berjudul Station Eleven yang membuatnya berpikir tentang kehidupan manusia di masa lalu, tentang seni, keindahan, mimpi dan segala hal yang melampaui kehidupannya saat ini. Yang membuatnya berharap bahwa ada kesempatan kedua bagi manusia untuk membangun kembali peradabannya.

Namun keinginan Kirsten- dan kelompoknya- terancam oleh kehadiran seorang nabi, yang ditakuti oleh sebagian besar orang karena bisa meramalkan nasib peradaban manusia- dan nabi ini akan berusaha semaksimal mungkin untuk mencegah peradaban kembali dibangun. Karena menurutnya, akhir dunia adalah takdir manusia.

Station Eleven merupakan sebuah kisah rumit tentang akhir peradaban manusia- yang dibalut unsur fantasi namun terasa amat dekat dengan realita saat ini. Buku ini adalah jenis buku yang mengharuskan kita untuk berpikir, bagaimana bila kejadian ini benar-benar menimpa kita? Sejauh mana ribuan tahun peradaban akan bertahan dari akhir dunia? Apa yang akan terjadi dengan lagu, film, buku, lukisan, pemikiran, teknologi, yang sudah susah payah diciptakan oleh manusia?

Station Eleven ditulis dengan alur maju-mundur (sebelum dan sesudah peradaban runtuh)- dengan mengedepankan tokoh yang berbeda-beda di setiap babnya, yang nantinya akan terhubung satu sama lain, dan pada akhirnya membentuk satu kesatuan puzzle yang utuh (agak mengingatkan saya dengan buku Cloud Atlas-nya David Mitchell).

Station Eleven berbeda dari buku dystopia atau post apocalyptic lainnya karena -bukannya fokus pada bagaimana cara bertahan hidup- namun membuat kita berpikir satu langkah lebih jauh, tentang apa yang akan kita tinggalkan untuk generasi masa depan. Apakah peradaban yang kita ciptakan saat ini dapat bertahan? Apakah worth it untuk ditinggalkan?

Because you may realize too, that survival is insufficient.

Empress Orchid by Anchee Min

29 Monday Sep 2014

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 3 Comments

Tags

asia, china, english, fiction, gift, history, review 2014, whats in a name 2014

empress orchidTitle: Empress Orchid

Writer: Anchee Min

Publisher: Bloomsbury Publishing (paperback edition 2005)

Pages: 336p

Gift from Essy

Seventeen-year-old Orchid came from a poor (albeit blue blood) family. To save her family from poverty, and avoid marrying her “retarded” cousin, Orchid decided to compete to be one of the Emperor’s wives.

She’s successfully chosen as a lower-ranking concubine and entered the Forbidden City. But beneath the majestic gardens and buildings, there were gossips, rumors, even murders. And so many enemies who wanted the same thing as Orchid: to bear the Emperor’s son and became the Emperor’s most favorite girl.

The majestic city...

The majestic city…

Orchid dived into the fierce competition, learned every trick to seduce the Emperor and even got to know the real politics- without first realizing that she would become China’s last Empress.

First I thought this book will be some kind of a boring historical fiction slash Asian literature. But it turned out that when you expect the least- you get more than you expected. Empress Orchid is a fantastic historical fiction, written in rich details, juicy plots and convincing characters that make you can’t help but to believe in them.

What I love the most about this book is its detail setting of the Forbidden City, from its architectural wonders to the unique inhabitants and culture.

One of the most memorable scenes for me is this:

“I pictured the Grand Empress sitting on her chamber pot, attended by a roomful of maids. She must think that her shit is diamonds and her farts perfume. Does Her Majesty have rules about the size, shape, length, color and odor of stools?

All I want is to be able to shit by myself!”

The life of an Empress is not an easy one. And Anche Min could capture that sense with pretty much accuracy.

And the collapse of China in the hand of its last Emperor, how Orchid had tried to save her kingdom – the plots are flowing nicely without too many unnecessary details.

I can’t help but feel more and more amazed by the history of one of the oldest civilizations in our world. Thanks to Orchid and her amazing life.

Submitted for:

"Position of royalty" category

“Position of royalty” category

Spellbinder by Helen Stringer

22 Friday Aug 2014

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ 4 Comments

Tags

bahasa indonesia, children, fantasi, gift, Gramedia, review 2014, series, terjemahan

spellbinderJudul: Spellbinder (Sang Pengikat Mantra)

Penulis: Helen Stringer

Penerjemah: Fialita & Primadonna Angela

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2014)

Halaman: 408p

Gift from: Ren

Belladona Johnson bisa melihat hantu, kemampuan yang ia warisi dari sang ibu. Meski sebal dengan keistimewaan ini, Belladona harus bersyukur karena setelah kedua orangtuanya meninggal, ia masih bisa melihat mereka, yang memang “menghantui” rumah keluarganya.

Namun suatu hari, orangtua Belladona- beserta semua hantu lain di dunia- menghilang tanpa jejak.

Belladona, dibantu temannya Steve, terpaksa menyelidiki apa yang terjadi dengan para hantu. Petualangan mereka diteruskan hingga ke Sisi Lain- tempat para hantu bermukim- yang ternyata sedang dilanda kekacauan tiada tara. Bisakah Belladona (dan Steve) menemukan dan menyelamatkan para hantu?

Terus terang, saya memilih buku ini ketika menang salah satu giveaway di blog nya Ren karena saya berharap akan menemukan sesuatu yang menyegarkan, seru dan tidak biasa- mungkin seperti buku Lockwood & Co yang memiliki tema sejenis.

Tapi Helen Stringer bukanlah Jonathan Stroud, dan bukunya pale in comparison. Banyak plot yang terasa dipaksakan, setting yang agak kurang jelas (terutama di Sisi Lain, saya kurang dapat membayangkan dengan baik setting yang digambarkan Stringer), dan penuturan yang sangat bertele-tele.

Berkali-kali saya menemukan kalimat yang diulang, misalnya: Belladona menyelipkan rambutnya ke belakang telinga; atau Belladona melesakkan tangannya ke dalam saku; Steve melesakkan amulet ke dalam sakunya; Belladona melesakkan buku ke dalam tasnya… Pokoknya begitulah.

Ketidakjelasan buku ini diperparah juga dengan terjemahannya yang terasa sangat amatir untuk ukuran penerbit sekelas GPU. Separo buku pertama menyebutkan Inggris sedang mengalami musim semi (di bulan Oktober!) dan bersiap-siap untuk musim dingin. Baru di pertengahan cerita, hal ini diralat dengan menyebutkan musim gugur. Ketidaktelitian yang amat mengganggu.

Secara keseluruhan, Spellbinder bukanlah buku yang memorable, apalagi menyamai kualitas buku sejenis seperti Lockwood & Co. Sayang memang, karena premisnya sebetulnya cukup menarik. Saya sendiri tidak yakin akan meneruskan buku kedua dari serial ini.

Come, Tell Me How You Live by Agatha Christie Mallowan

03 Tuesday Jun 2014

Posted by astrid.lim in non fiction

≈ 6 Comments

Tags

adventures, agatha christie, english, gift, humor, memoir, middle east, non fiction, review 2014, travel

come tell meJudul: Come, Tell Me How You Live, an archaeological memoir

Penulis: Agatha Christie Mallowan

Penerbit: HarperCollins paperback edition (1999)

Pages: 205p

Gift from: Sel-Sel Kelabu

Sebagai penggemar berat Agatha Christie, sangatlah menarik untuk mengetahui lebih jauh tentang kehidupan penulis ini yang jauh dari kata biasa. Setelah bercerai dengan suami pertamanya, Agatha menikah dengan Max Mallowan, seorang arkeologi dan ahli benda purbakala yang mengkhususkan minatnya dengan daerah Siria. Agatha menghabiskan beberapa tahun hidupnya di tahun 1930an untuk mengikuti Max dalam petualangan menggali ke masa lampau.

Buku ini mengisahkan pengalaman Agatha selama mendampingi suaminya di daerah Siria, dari mulai perjalanan survei yang memberikan banyak kejutan, menemukan tempat untuk mereka tinggal selama penggalian di Chagar Bazar dan Brak, hingga hari-hari yang tak pernah membosankan selama penggalian berlangsung beberapa tahun.

Yang paling mengasyikkan dari buku ini adalah gaya bahasa Christie yang sangat ringan, mengalir dan penuh humor. Karena selama ini saya hanya familiar dengan tulisan Christie yang bernada misteri, maka membaca kehangatannya di sini sangatlah menyegarkan. Banyak adegan di mana Christie menertawakan kekonyolannya sendiri, terutama saat berusaha beradaptasi dengan budaya dan kehidupan di Timur Tengah yang sangat berbeda dengan budaya Inggris.

Adegan favorit saya adalah saat Agatha berusaha tidur di malam pertama rombongan mereka di markas penggalian, dan ia shock berat melihat ribuan kecoak, laba-laba dan serangga lainnya nongol saat lampu dimatikan. Karena tidak tahan, ia meminta agar tempat tidurnya dipindahkan ke halaman depan sehingga ia bisa tidur di alam terbuka.

Sementara itu, karakter-karakter yang muncul pun digambarkan dengan sangat kocak dan hidup, seolah kita ikut mengenal mereka. Max, suami Agatha yang layaknya sejarawan, suka berada di dunianya sendiri, lalu Mac, arsitek rombongan mereka yang sangat dingin seperti orang Inggris sejati, satu-satunya orang yang bisa membuat Agatha terintimidasi. Juga ada Abdullah, supir cabutan yang sepertinya malah tidak bisa menyetir, dan Isa, koki yang tidak bisa memasak. Kekacauan demi kekacauan dipaparkan Agatha dengan gaya ringan, lucu dan menarik, membuat kita seakan-akan berada di sana bersamanya.

Hanya ada dua hal yang sedikiiiit saya sayangkan dari buku ini. Yang pertama adalah banyaknya kalimat dan istilah bahasa Prancis yang digunakan Agatha di sini, tanpa ada penjelasan dalam bahasa Inggris sehingga saya terpaksa menebak-nebak maksud kalimat-kalimat tersebut.

Yang kedua, sebenarnya saya berharap ada bagian khusus yang bercerita tentang inspirasi dan proses menulis Agatha, terutama karena disebutkan bahwa Agatha memperolah inspirasi beberapa bukunya saat melakukan perjalanan ini, yaitu Murder in Mesopotamia dan Appointment With Death. Sayangnya, tidak ada bagian khusus yang bercerita tentang hal tersebut, karena fokus buku ini bukan mengenai Agatha Christie sang penulis, tetapi Agatha Christie Mallowan, istri dari seorang arkeolog.

Buku ini ditutup dengan bagian mengharukan tentang suasana Eropa menjelang dan saat Perang Dunia II, tepat saat penggalian mereka berakhir. Agatha mengingat-ingat kehidupan menyenangkan dan hangat di Siria, membandingkannya dengan Inggris yang porak poranda di saat perang.

Sebuah perjalanan menyenangkan bersama seorang penulis hebat yang kehidupannya luar biasa kaya.

Max Mallowan & Agatha Christie :) Pic from here

Max Mallowan & Agatha Christie 🙂 Pic from here

Trivia

– Judul buku ini diambil dari salah satu puisi di buku Through a Looking Glass (Lewis Carroll), yang juga menjadi judul puisi Agatha Christie untuk suaminya, Max Mallowan.

– Buku ini adalah satu dari dua buku yang ditulis oleh Agatha dengan menggunakan nama Christie-Mallowan. Buku lainnya adalah Star Over Bethlehem, buku poetry dan short stories dengan tema religius.

-Robin Macartney alias Mac, arsitek pendiam yang menjadi salah satu anggota rombongan ekspedisi ke Siria, nantinya menjadi ilustrator untuk beberapa buku Christie yang bersetting Timur Tengah, seperti Murder in Mesopotamia, Death on the Nile dan Appointment with Death.

Book Haul April 2014

19 Monday May 2014

Posted by astrid.lim in my story, shopping

≈ 6 Comments

Tags

book haul, bukumoo, gift, penguin, periplus, reading lights, sale, shopping

book haul

A bit late for this showing off sharing post about my book haul from last month. But it’s better late than never, right? 😀

Now I almost come in terms with the harsh reality that I can not spend a month without buying books. So, there it is. I admit it. I can’t resist books (shopping), however hard I try! XD

From last month, here are my conquers:

may1From Periplus bargain sale in FX Sudirman, all these lovely books are less than IDR 200k. Lucky me!

may2The Family Collection by Enid Blyton, I got that from Bukumoo, my treasure source. The Last Child and Brooklyn are from Better World Book sale (shopping with Fanda and Melisa), while the Agatha Christie and Kate Morton books are from Reading Lights, the cool bookshop in Bandung.

Best conquers of the month

This one is a total surprise. One of my friends who works in Penguin USA sent this cool, wonderful, amazing box full of books (some of them are edited by him). I just can’t express my joy more! (And there’s even a clothbound one!)

books

Thanks Doug for this wonderful gifts.

See you all in the next month book haul! 🙂

← Older posts

From the bookshelf

Categories

Looking for Something?

Enter your email address to follow Books to Share and receive notifications of new posts by email.

Join 1,036 other subscribers

Currently Reading

I’m a Proud Member! #BBI 1301004

Wishful Wednesday Meme

Fill your Wednesdays with wishful thinking =)

Popsugar Reading Challenge 2018

bookworms

  • aleetha
  • althesia
  • alvina
  • ana
  • annisa
  • bzee
  • dewi
  • dion
  • fanda
  • Ferina
  • helvry
  • inne
  • Kobo
  • maya
  • mei
  • melmarian
  • mia
  • ndari
  • nophie
  • oky
  • peri hutan
  • ren
  • Reygreena
  • sel sel kelabu
  • sinta
  • tanzil
  • tezar
  • yuska

shop til you drop

  • abe books
  • Amazon
  • better world books
  • book depository
  • BukaBuku
  • Buku Dedo
  • bukukita
  • vixxio

Top Posts & Pages

  • Red, White & Royal Blue by Casey McQuiston
    Red, White & Royal Blue by Casey McQuiston
  • The Secret History
    The Secret History
  • Klara and the Sun by Kazuo Ishiguro
    Klara and the Sun by Kazuo Ishiguro
  • The Monogram Murders by Sophie Hannah
    The Monogram Murders by Sophie Hannah
  • Puddin' by Julie Murphy
    Puddin' by Julie Murphy

Recent Comments

Puddin’ by Jul… on Dumplin’ by Julie M…
jesica on Abarat 2: Days of Magic, Night…
jesica on Abarat 2: Days of Magic, Night…
When the Stars Go Da… on The Paris Wife
Hapudin Bin Saheh on Insomniac City: New York, Oliv…

Blog at WordPress.com.

Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
  • Follow Following
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Join 1,036 other followers
    • Already have a WordPress.com account? Log in now.
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Customize
    • Follow Following
    • Sign up
    • Log in
    • Report this content
    • View site in Reader
    • Manage subscriptions
    • Collapse this bar
 

Loading Comments...