• About this blog
  • Clearance Sale!
  • Newbery Project
  • Popsugar Reading Challenge 2023
  • Previous Challenges
    • BBI Read and Review Challenge 2017
    • Challenges 2014
    • Challenges 2015
    • Lucky No.14 Reading Challenge
    • Lucky No.15 Reading Challenge
    • POPSUGAR Reading Challenge 2017
    • Popsugar Reading Challenge 2018
    • Popsugar Reading Challenge 2020
    • Popsugar Reading Challenge 2021
    • Popsugar Reading Challenge 2022
    • What’s in a Name 2018
    • Twenty-Ten Challenge
    • Challenges 2012
    • Challenges 2013
  • Round Ups
  • The Librarian

~ some books to share from my little library

Tag Archives: culture

There’s No Such Thing as an Easy Job by Kikuko Tsumura

11 Friday Feb 2022

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

12booksby12friends, asia, culture, english, japan, mental health

Judul: There’s No Such Thing as an Easy Job

Penulis: Kikuko Tsumura

Penerjemah: Polly Barton

Penerbit: Bloomsbury Publishing (2020)

Halaman: 401p

Beli di: Periplus.com (IDR 150k)

Buku ini banyak disebut-sebut senada dengan karya Haruki Murakami: gloomy, depresif, dan dark. Awalnya saya agak skeptis karena takut bosan atau ngantuk, apalagi memang sedang tidak mood baca buku yang terlalu berat.

Tapi ternyata, Kikuko Tsumura sukses membuat saya bertahan sampai akhir, bahkan menikmati buku ini.

Kisahnya adalah tentang seorang perempuan tak bernama, yang burnout parah di pekerjaan sebelumnya, sehingga cita-citanya saat ini hanya satu: memiliki pekerjaan yang nggak bikin stress! Kalau bisa, yang nggak pakai mikir, nggak ada tanggung jawab, dan nggak butuh keahlian khusus.

Maka, tokoh kita mulai mencoba satu demi satu pekerjaan yang ditawarkan oleh agen tenaga kerja. Dari mulai menjadi analis kamera sekuriti yang kerjanya melotot memonitor screen CCTV sepanjang hari, lalu menjadi penyusun iklan baris yang dibacakan di bus umum, menulis info trivia di paket cracker, menempel poster berisi iklan layanan masyarakat, serta menjadi penjaga pos di tengah kebun raya yang super luas.

Meski semua pekerjaan tersebut terdengar mudah dan sederhana, namun uniknya di setiap pekerjaan itu, si tokoh tak bernama (sebut saja X) ini selalu menemukan kisah yang tidak biasa, yang akhirnya menguras pikiran dan tenaganya. Sebenarnya, tidak ada yang memaksa X untuk melakukan lebih dari yang ditugaskan, namun X selalu invested lebih dari yang ia rencanakan.

Hal ini akhirnya membuatnya kembali menelaah tentang kehidupan dan pekerjaan sebelumnya, apa yang menyebabkannya burnout, dan apakah mungkin suatu hari ia kembali menekuni pekerjaan yang sudah menjadi profesinya selama bertahun-tahun.

Yang saya suka dari buku ini adalah penggambaran mendetail namun tidak membosankan dari setiap pekerjaan yang dilakukan X. Dari mulai suasana kantor, rekan-rekan kerja, deskripsi pekerjaan, bahkan kantin atau makanan yang dimakan saat makan siang, semuanya menjadi bagian tak terpisahkan dari narasi X, namun karena disampaikan dengan apa adanya, dan dengan gaya X yang lugu, saya jadi ikut merasa invested dengan pekerjaan X, dan bahkan seolah merasakan sendiri pekerjaan-pekerjaan tersebut.

Kisah di setiap pekerjaan juga menjadi unsur yang menarik, selalu ada misteri kecil, konflik seru, dan interaksi dengan rekan kerja yang serba unik, yang menjadi bumbu cerita dan disampaikan dengan baik. Tsumura memang memiliki gaya dark yang sejenis dengan Murakami, namun lebih kental nuansa humor dan femininnya.

Secara keseluruhan, meski awalnya terasa cukup lambat, alur buku ini cukup menarik untuk diikuti. Topiknya yang membahas tentang etos kerja dan mental health di lingkungan pekerja Jepang pun terasa sangat relevan dan menarik untuk saya.

Saya sendiri membaca buku ini sebagai bagian dari reading challenge 12 books recommended by 12 friend, dan buku ini direkomendasikan oleh Ferina 🙂

Rating: 4/5

Recommended if you like: Japanese lit, dark humor, unique theme, intriguing narrative

Last Tang Standing by Lauren Ho

19 Tuesday Oct 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 4 Comments

Tags

asia, chicklit, culture, ebook, english, fiction, funny haha, romance, southeast asia, women

Judul: Last Tang Standing

Penulis: Lauren Ho

Penerbit: HarperCollins (2020, Kindle edition)

Halaman: 416p

Beli di: Amazon.com (USD 5.99)

Buku ini digadang-gadang sebagai penerus Crazy Rich Asian, mengangkat kisah orang-orang kaya di Asia dengan segala permasalahannya. Karena saya termasuk penyuka Crazy Rich Asian, terutama buku pertamanya, saya cukup berharap banyak dengan Last Tang Standing.

Andrea Tang adalah seorang pengacara sukses yang berkarier di kantor hukum terkenal di Singapura, Menjadi partner adalah goalnya, yang saat ini sudah akan hampir tercapai. Hanya saja, Andrea masih memiliki kekurangan besar dalam hidupnya, yang selalu diungkit-ungkit oleh ibunya: ia masih single.

Dan seperti banyak perempuan di Asia, kesuksesan dalam karier tetap tidak lengkap bila tidak diimbangi dengan kesuksesan dalam mendapatkan jodoh, terutama yang memiliki kriteria sesuai idaman orang tua: kaya, sukses, kalau bisa berasal dari ras dan latar belakang yang sama. Bibit, bebet, bobot. Namun, Andrea kerap dipertemukan dengan cowok-cowok yang tidak sesuai kriteria ideal: terlalu muda, terlalu tua, atau bahkan, sudah bertunangan, seperti rekan kerjanya yang super ganteng namun mengancam impiannya menjadi partner.

Yang saya suka dari buku ini adalah usaha sang penulis untuk menunjukkan budaya Asia Tenggara. Family dynamic, marriage vs career dilemma, dan konflik antara budaya tradisional dan kehidupan modern. Semuanya relatable, sesuai dengan kondisi yang memang sehari-hari ditemui di area urban Asia Tenggara, termasuk Singapura, Malaysia, atau Indonesia. And they work pretty well here.

But… unfortunately, the main character is super annoying. Saya benar-benar tidak bisa merasa relate dengan Andrea Tang, cewek 33 tahun keturunan Chinese/Malaysia yang hidupnya dipenuhi dengan mengeluh, belanja tas branded, dating nggak jelas, berantem dengan sahabatnya, meremehkan tokoh-tokoh perempuan lain di buku ini, complain tentang pekerjaannya setiap saat, dan minum. Sangat banyak minum. Saya berusaha mencari hal-hal yang relatable atau bisa disukai dari Andrea, namun lumayan susah.

Dan menurut saya, perbandingan dengan Crazy Rich Asian yang merupakan bagian promosi buku ini malah menjadi backlash, karena Last Tang Standing fell flat compare to the fresh comedy and witty humor of CRA series. Tang seperti trying too hard terutama mendeskripsikan dilema Andrea, tapi seperti lupa mengembangkan karakternya supaya menjadi lebih relatable dan likable. Saya tidak peduli dengan Andrea, dan unsur romansnya yang sangat predictable juga membuat saya malas bertele-tele mengikuti perjalanan Andrea mencari jodoh, yang seperti dipanjang-panjangkan saja jadinya.

Saya bukan termasuk penggemar genre romans, tapi kadang-kadang saya menemukan hidden gems, dan I have a weakness of South(east) Asian chiclits. Tapi sayangnya, Last Tang Standing gagal menjadi favorit saya, meski tetap ada beberapa bagian yang lumayan memorable. Hopefully Lauren Ho akan menulis lebih banyak buku, karena sebenarnya Tang memiliki potensi besar untuk menjadi hits, However- please stay away from Crazy Rich Asian reference, LOL.

Rating: 3/5

Recommended if you want to try: Southeast Asian chiclit, anything non Crazy Rich Asians, light reading, predictable romance, a taste of Singapore setting

Why We’re Polarized by Ezra Klein

27 Monday Sep 2021

Posted by astrid.lim in non fiction

≈ Leave a comment

Tags

america, culture, ebook, non fiction, politics, popsugar RC 2021, psychology

Judul: Why We’re Polarized

Penulis: Ezra Klein

Penerbit: Avid Reader Press/Simon & Schuster (2020, Kindle edition)

Halaman: 335p

Beli di: Amazon.com (USD 10.20)

Saya beberapa kali membaca artikel yang ditulis oleh Ezra Klein di New York Times, tapi ini adalah pertama kalinya saya membaca buku karya Klein. Gaya menulisnya tetap sama: lugas, to the point, mudah dimengerti, dan bisa menarabahasakan sesuatu yang rumit dengan lebih sederhana, tanpa simplified the issues.

Isu utama yang dibahas buku ini adalah polarisasi. Klein menulis Why We’re Polarized setelah beberapa tahun masa kepemimpinan Donald Trump. Ia mencoba menganalisis mengapa dunia saat ini jauh lebih terpolarisasi dibandingkan dengan sepuluh tahun lalu. Mengapa kita harus memilih antara ekstrem yang satu dan ekstrem yang lain, dan merasa sangat emosional jika pilihan kita didebat atau dipertanyakan?

Klein memang lebih banyak membahas isu polarisasi dari kacamata politik Amerika Serikat, khususnya di election 2016 dan pasca Donald Trump menjabat. Tapi saya sendiri merasa isu dan pembahasannya sangat relevan dengan kondisi dunia, termasuk Indonesia, saat ini. Saya masih ingat jelas betapa terpolarisasinya Indonesia di Pemilu 2014, dengan geng cebong dan kampret, yang terus berlarut-larut hingga sekarang, di masa pandemi ini. Dalam setiap isu, rakyat seolah harus memilih ingin berada di pihak mana, dan saling berlomba untuk menjadi yang paling benar dalam opini dan pilihan mereka.

Sangat menarik membaca analisis Klein tentang politik identitas (relevan juga dengan Indonesia!), baik menyangkut agama, region, etnis, dan banyak lagi hal-hal yang makin ke sini dirasa makin penting dibandingkan di masa lalu. Peran sosial media juga cukup besar, di mana polarisasi bisa dipertajam dengan debat online, compressed news stories, dan hoax. Penjelasannya sangat mengena, dengan bahasa sehari-hari yang membuat amat relatable dan mudah dimengerti.

But if our search is motivated by aims other than accuracy, more information can mislead us—or, more precisely, help us mislead ourselves. There’s a difference between searching for the best evidence and searching for the best evidence that proves us right. And in the age of the internet, such evidence, and such experts, are never very far away.

The simplest way to activate someone’s identity is to threaten it, to tell them they don’t deserve what they have, to make them consider that it might be taken away. The experience of losing status—and being told your loss of status is part of society’s march to justice—is itself radicalizing.

Satu lagi yang saya suka, Klein juga memberikan langkah-langkah praktis di bagian akhir buku, yang bisa kita coba untuk memperkecil gap polarisasi sehingga politik bisa kembali ke iklim yang sehat. Saya berharap ada penulis Indonesia yang juga bisa membahas isu ini dengan menjadikan Indonesia sebagai case study, karena menurut saya, situasi yang kita hadapi juga tidak jauh berbeda dengan Amerika Serikat.

Rating: 4/5

Recommended if you are into: politics, relevant issues, relatable case studies, internet and social media, easy to understand non fiction analysis

Submitted for:

Category: A book about a subject you are passionate about

The Night Tiger by Yangsze Choo

30 Friday Jul 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

asia, bargain book!, culture, english, fiction, folklore, historical, popsugar RC 2021, reeses book club, romance, southeast asia

Judul: The Night Tiger

Penulis: Yangsze Choo

Penerbit: Flatiron Books (2019)

Halaman: 384p

Beli di: Books and Beyond (IDR 70k, bargain!!)

Meski tidak semua, biasanya buku-buku pilihan Reese’s Book Club selalu meninggalkan kesan baik untuk saya. Tak terkecuali The Night Tiger, kisah unik yang menggabungkan unsur folklore, sejarah, dan misteri.

Berlatar belakang di Malaysia tahun 1930-an, The Night Tiger langsung membawa saya mundur ke zaman kolonialisme di Malaya, di mana budaya penduduk asli bercampur baur dengan budaya modern yang dibawa oleh koloni Inggris.

Ren yang berusia 11 tahun bekerja sebagai asisten seorang dokter asing di pedalaman Malaya, dan ketika sang dokter meninggal, pesan terakhirnya adalah supaya Ren mencari jarinya yang hilang, dan menyatukannya dengan jenazahnya. Ren memiliki 49 hari untuk memenuhi tugas ini, kalau tidak, jiwa sang dokter akan terus bergentayangan di bumi, sesuai dengan kepercayaan penduduk lokal.

Sementara itu, Ji Lin bekerja sebagai asisten penjahit, dan menyambi sebagai partner dansa di gedung tempat berdansa, pekerjaan yang tidak bisa dibilang terhormat, tapi merupakan segelintir pilihan bila ia ingin terus membantu ibunya membayar hutang. Namun suatu malam, seorang pengunjung tempat dansa meninggalkan suvenir mengerikan: j potongan jari manusia.

Dan nasiblah yang nantinya akan mempertemukan Ren dengan Ji Lin, tentu setelah mereka mengalami berbagai kejadian mengerikan, termasuk beberapa pembunuhan, siluman harimau yang kerap muncul di tempat tak terduga, serta karakter-karakter yang mencurigakan.

Unexpectedly, I enjoyed this story quite a lot. Latar belakang Malaysia terasa similar dengan Indonesia, dan beberapa folklorenya, seperti manusia harimau siluman, juga terasa familiar. Yangsze Choo berhasil memadukan unsur budaya dan folklore ini dengan kisah misteri yang lumayan intriguing. Saya sudah bisa menebak siapa culpritnya dari bagian pertengahan buku, tapi tetap saja banyak detail baru yang muncul secara mengejutkan.

Dan biasanya, saya suka malas dengan romance plot, tapi kali ini (mungkin karena sedang mood juga, lol) saya bahkan bisa lebih menikmati plot romansnya juga, mungkin karena karakter Ji Lin menurut saya cukup likable dan relatable.

Yang paling saya suka dari buku ini adalah penggambaran plotnya yang begitu hidup. Saya bisa membayangkan dengan mudah rumah sakit kolonial, dancehall di kota Ipoh, hingga daerah pedalaman Malaysia yang penuh dengan kebun kelapa sawit. Kudos to Yangsze Choo for this beautifully written book. Can’t wait to read more of her works!

Rating: 4/5

Recommended if you like: historical fiction, Southeast Asia setting, folklore and mystery, unusual friendship

Submitted for:

A book you have seen on someone’s bookshelf (in real life, on a Zoom call, in a TV show, etc)- Stacey Abrams, whoop whoop!

The Round House by Louise Erdrich

02 Friday Jul 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

america, crime, culture, english, fiction, indigenous, legal, mystery/thriller, native smerican, popsugar RC 2021

Judul: The Round House

Penulis: Louise Erdrich

Penerbit: Harper Perennial (2013)

Halaman: 321p

Beli di: Books and Beyond (IDR 70k, bargain!)

Di musim semi tahun 1988, di sebuah reservasi Indian di North Dakota, Geraldine Coutts diserang dan nyaris terbunuh. Kasus ini semakin sulit ditelurusi karena Geraldine yang amat trauma dengan insiden tersebut tidak mau memberikan informasi kepada suaminya maupun pada pihak polisi.

Anak Geraldine, Joe, merasa putus asa. Ia ingin melindungi ibunya, namun ia juga ingin mencari tahu siapa pelaku penyerangan tersebut. Karena frustrasi dengan perkembangan penyelidikan pihak berwajib, termasuk ayahnya yang adalah seorang tribal judge, Joe dibantu oleh sahabat-sahabatnya, Cappy, Zack, dan Angus, menemukan jawaban atas misteri tersebut.

Penyelidikan membawa mereka ke Round House, gedung pertemuan yang dianggap sakral bagi suku Ojibwe. Namun ketika mereka menyangka sudah memecahkan kasus, ternyata hal itu baru merupakan langkah awal, karena mereka dihadapkan pada kenyataan pahit: sistem hukum yang tidak memihak kaum Indian.

Saya masih cukup jarang membaca buku tentang Native American, dan beberapa buku yang sudah saya baca lebih banyak berkisah tentang identitas dan budaya Native American. The Round House menawarkan sisi lain: di sini saya diajak melihat kehidupan nyata kaum Indian di era 80-an, dan bagaimana sistem hukum Amerika mempengaruhi hidup mereka.

Tidak seperti kisah thriller/crime pada umumnya, The Round House, meski memiliki unsur misteri dan twist yang cukup cerdas, lebih banyak berkutat tentang apa pengaruh sistem hukum Amerika terhadap keadilan yang diharapkan oleh para Native American. Lokasi terjadinya kejahatan bisa menentukan apakah kasus tersebut ditangani oleh pemerintah federal atau polisi tribal, yang akan menentukan juga proses pengadilan selanjutnya. Tidak cukup hanya mengalami diskriminasi rasial dalam kehidupan sehari-hari, di”singkir”kan ke reservasi Indian, dan dipersulit dalam mengakses hak-hak sebagai warga negara Amerika Serikat, para Native American pun harus mengalami diskriminasi di sistem peradilan.

Buku ini benar-benar membuka mata saya tentang sulitnya menjadi suku Indian di Amerika Serikat, khususnya di era 80-an. Dan narasi yang dibawakan Joe terasa sangat pas di sini. Meski usianya baru 13 tahun, Joe dipaksa untuk menjadi lebih cepat dewasa akibat lingkungan sekitar dan situasi yang ia hadapi. Dan persahabatannya dengan ketiga anak laki-laki dari reservasi juga memberikan nuansa yang lebih humane, meski cukup heartbreaking.

Louisa Erdirch adalah pencerita yang hebat, dan kisahnya diperkuat dari pengalaman keluarganya yang memang masih keturunan Native American. Saya tidak sabar untuk membaca buku-bukunya yang lain.

Rating: 4/5

Recommended if you want to read about: Native American culture, slow burn thriller/crime, heartbreaking friendship, superb narrator, nostalgic 80s vibes

Submitted for:

Category: A book by an Indigenous author

How We Disappeared by Jing-Jing Lee

23 Wednesday Jun 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

asia, culture, english, fiction, popsugar RC 2021, singapore, southeast asia, women, women prize, world war

Judul: How We Disappeared

Penulis: Jing-Jing Lee

Penerbit: OneWorld Book (2020 paperback edition)

Halaman: 341p

Beli di: @therebutforthebooks (IDR 200k)

Singapore, 1942: Tentara Jepang merangsek masuk, menguasai negara kecil yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Inggris. Rakyat Singapura panik, dan satu demi satu mengalami penderitaan di bawah penjajahan Belanda. Tak terkecuali Wang-Di, anak perempuan yang diculik tentara Jepang dan dibawa ke bangunan yang ternyata merupakan brothel bagi tentara Jepang.

Singapore, 2000: Wang-Di hidup dalam kesepian, suaminya baru meninggal dunia dan ia masih menyimpan rahasianya selama perang tahun 1942. Keinginannya untuk membagi beban hidup terasa terlambat setelah suaminya meninggal dan ia hidup sebatang kara. Namun, kemunculan seorang anak laki-laki bernama Kevin, akan mengubah hidup Wang-Di.

Membaca buku ini membutuhkan hati yang kuat. Miris, kesal, marah, sedih, sakit, adalah berbagai perasaan yang muncul ketika saya membaca kisah Wang-Di, terutama saat ia dipaksa menjadi “comfort woman”, istilah pemerkosaan yang dilegalkan, selama Perang Dunia II berlangsung dan Singapura dijajah oleh Jepang. Terlebih, setelah perang usai, Wang-Di kembali ke keluarganya, namun semua orang mengira ia hidup bersenang-senang sebagai wanita simpanan tentara Jepang dan mengkhianati negaranya sendiri.

Buat saya, kisah tentang Singapura semasa Perang Dunia II termasuk jarang ditemui, dan membaca How We Disappeared membuka mata saya tentang penderitaan yang dialami oleh negara-negara di Asia Tenggara selama penjajahan Jepang. Sekelumit kisah Wang-Di hanya mewakili sedikit dari penderitaan yang terjadi, namun sudah mampu mengaduk emosi saya sampai rasanya mual sendiri membaca adegan yang lumayan detail di sini. Selain tema kekerasan seksual di masa penjajahan, buku ini juga menyinggung tentang trauma yang dialami Wang-Di, dan stigma masyarakat Asia, khususnya di era 1940-an, yang masih menganggap tabu pembicaraan tentang mental health dan kekerasan seksual.

Sayangnya, bagian kisah tentang Kevin, menurut saya agak terlalu dipanjang-panjangkan. Awalnya cukup membuat penasaran, apa hubungan Kevin dengan Wang-Di, dan kita diajak menyusuri lika-liku masa lalu keluarga Kevin hingga akhirnya bermuara di Wang-Di. Tapi karena agak terlalu lambat plotnya, dan banyak memotong kisah masa lalu Wang-Di, lama-lama jadi kurang sabar juga membaca bagian ini.

Meski tidak perfect, menurut saya buku ini tetap merupakan buku yang sangat recommended, terutama untuk yang mau tahu lebih banyak tentang sejarah Singapura, dan penggambaran settingnya memang sangat mendetail, baik Singapura di era 1940-an maupun di era modern 2000-an. Dan betul, Singapura lebih dari sekadar Orchard Road 🙂

Rating: 3.5/5

Recommended if you like: Southeast Asian reads, historical fiction, World War II, beautiful writing, a glimpse of life in Singapore

Submitted for:

A book set somewhere you’d like to visit in 2021

Gods of Jade and Shadow by Silvia Moreno-Garcia

21 Monday Jun 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

culture, english, fantasy, fiction, latin america, mayan, mythology, popsugar RC 2021

Judul: Gods of Jade and Shadow

Penulis: Silvia Moreno-Garcia

Penerbit: Jo Fletcher Books (2020)

Halaman: 332p

Beli di: Book Depository (IDR 135k)

First of all: the cover of this book is gorgeous!!!! Kombinasi warna, font, elemen budaya Maya- semuanya terasa pas dengan judul dan tema keseluruhan buku. Kudos to the designer!!

Kisahnya sendiri cukup menarik. Casiopea Tun adalah gadis 17 tahun yang tinggal di rumah kakeknya di sebuah kota kecil di Mexico. Nasib buruk karena memiliki ayah yang dianggap berkasta lebih rendah dari keluarga kakeknya yang kaya raya, membuat Casiopea selalu dipandang sebelah mata, malah dianggap sebagai pembantu alih-alih anggota keluarga. Mimpi Casiopea cuma satu, pergi jauh dari desa terbelakang tersebut dan melihat dunia luar.

Suatu hari, Casiopea tidak sengaja membuka peti terlarang di kamar kakeknya, dan alangkah terkejutnya dia karena peti tersebut ternyata menyimpan Hun-Kame, dewa kematian suku Maya yang terkurung puluhan tahun lamanya. Karena membebaskan Hun Kame, Casiopea mau tidak mau terlibat ke dalam intrik Xibalba, dunia bawah tanah tempat dewa kematian berkuasa, dan pertarungan abadi antara Hun Kame dengan saudara sekaligus nemesisnya, Vucub-Kame.

Gods of Jade and Shadow mengambil tema budaya dan mitologi Maya, yang agak jarang diangkat oleh penulis mainstream. Saya sendiri sepertinya hanya pernah membaca tentang suku Maya di buku-buku misteri dan petualangan middle grade. Dan memang banyak sekali hal baru yang saya dapat dari buku ini, tentang dewa kematian, kepercayaan suku Maya terhadap Xibalba, Land of the Dead, dan pertarungan sengit antar dewa yang sepertinya menjadi topik yang cukup familiar bagi bangsa Maya.

Saya juga suka penggambaran Mexico di buku ini, perjalanan Casiopea dan Hun-Kame menyusuri negara Mexico hingga berujung di Xibalba. Detail yang cukup hidup membantu menghidupkan juga kisah dalam buku ini. Satu hal yang menurut saya agak kurang sreg adalah insta-love plot antara Casiopea dan Hun-Kame, yang meski dirasa perlu (untuk menggambaran sisi human nya si dewa kematian), tapi masih terlalu predictable. Untung saja endingnya tidak cheesy dan masih bisa memperbaiki tone keseluruhan buku yang sempat agak menye-menye di bagian tengah XD

Anyway, I will still recommend this book especially if you want to read more about Native Mayan culture.

Rating: 3.5/5

Recommended if you want to read about: Mayan culture, mythology, fable, road trip, a bit cheesy love story XD

Submitted for:

Category: A book with a gem, mineral, or rock in the title

His Only Wife by Peace Adzo Medie

30 Tuesday Mar 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

africa, black history month, culture, domestic fiction, ebook, ghana, reeses book club, romance, women

Judul: His Only Wife

Penulis: Peace Adzo Medie

Penerbit: Algonquin Books (2020, Kindle Edition)

Halaman: 225p

Beli di: Amazon.com (USD 1.99 – bargain!)

Afi Tekple dijodohkan oleh keluarganya untuk menikahi Elikem Ganyo, anak keluarga kaya di desa Afi yang orang tuanya sudah banyak membantu keluarga Afi. Namun perjodohan ini tidak seperti perjodohan standar, karena Afi diberi tugas oleh keluarga Elikem untuk memisahkan Elikem dari perempuan yang selama ini menjalin hubungan dengannya dan bahkan sudah memberinya seorang anak perempuan. Perempuan dari Liberia ini amat ditentang oleh keluarga Elikem karena dianggap merusak hubungan Elikem dengan keluarganya, dan mengubah Elikem menjadi anak yang selalu menentang orang tuanya. Singkatnya, perempuan tersebut membawa pengaruh buruk, dan harus segera disingkirkan.

Dari awal, Afi sudah tahu tugasnya akan terasa berat. Ia hanyalah seorang gadis desa yang berasal dari keluarga miskin, sedangkan Eli berpendidikan, berasal dari keluarga kaya dan tinggal di kota besar Accra. Di pesta pernikahan mereka pun Eli tidak bisa datang karena sedang business trip ke luar negeri, sehingga diwakilkan oleh adik laki-lakinya. Dan setelah Afi pindah ke Accra, bukannya tinggal serumah dengan Eli, ia malah disediakan apartemen mewah dan tinggal di sana seperti seorang perempuan simpanan alih-alih istri resmi, sementara sang perempuan Liberia tinggal bersama Eli di rumahnya.

His Only Wife bercerita tentang normal sosial dan budaya di masyarakat Ghana modern, yang masih amat kental dengan nuansa patriarki, salah satunya melalui budaya poligami. Meski masyarakat Ghana masa kini sudah lebih menghargai peran perempuan dan memberikan kesempatan yang lebih banyak pada mereka (terlihat dari beberapa karakter di buku ini, termasuk ibu Eli yang memegang perusahaan keluarga, serta Afi yang meniti karier sebagai perancang busana), namun tetap saja bila menyangkut pernikahan dan peran perempuan di dalam rumah tangga, norma yang diikuti masih sama dengan zaman dulu.

Buat saya, melihat isu poligami dari kacamata budaya Ghana yang tidak terlalu familiar buat saya adalah pengalaman yang amat menarik. Apalagi, Peace Adzo Medie adalah seorang penulis yang andal, yang mampu merangkai kisah ini menjadi amat menggigit, menarik diikuti, dan membuat saya merasa terhubung dengan para karakternya. Tidak ada karakter yang 100% baik atau 100% villain di sini. Semua memiliki alasan masing-masing untuk bertindak sesuai dengan kondisinya. Afi yang naive pun tidak selamanya benar, ada momen-momen di mana ia tidak mengambil keputusan yang bijak. Sementara itu, sang perempuan Liberia pun ternyata bukan sosok villain seperti yang dikesankan oleh keluarga Eli.

Biasanya, buku domestic drama dan romance bukanlah cup of tea saya. Tapi saya benar-benar menikmati buku ini, yang membuka mata saya terhadap banyak hal-hal baru seputar kehidupan masyarakat Ghana modern, terutama kaum perempuannya. Dan setting Ghana, terutama kontras antara desa Afi dan kota Accra yang megah, mengingatkan saya akan Indonesia dengan segala kesenjangannya. Turns out we’re all more similar than we think, aren’t we? 🙂

Rating: 4/5

Recommended if you want to read about: domestic drama and romance, modern African life, polygamist culture, women role in Africa, life in Ghana, juicy plot and fresh dialogue.

Transcendent Kingdom by Yaa Gyasi

09 Tuesday Mar 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

african american, america, award, culture, dysfunctional family, immigrant, literature, mental health, race, science

Judul: Transcendent Kingdom

Penulis: Yaa Gyasi

Penerbit: Alfred A. Knopf (2020)

Halaman: 264p

Beli di: @Post_Santa (IDR 265k)

Gifty adalah seorang anak imigran dari Ghana yang sedang menyelesaikan studi PhD nya di bidang neuroscience. Fokus risetnya adalah tentang bagaimana otak tikus bekerja, dan apa hubungan antara reward-seeking behaviour dengan syaraf yang menyebabkan depresi dan adiksi. Terdengar ribet, tapi sebenarnya riset ini sangat berhubungan erat dengan kehidupan pribadi Gifty. Kakak laki-lakinya, Nana, meninggal akibat OD, gara-gara kecanduan opioid setelah cedera yang dialaminya. Padahal Nana adalah calon atlet basket yang masa depannya tampak begitu cemerlang. Sementara itu, ibu Gifty menderita depresi parah setelah ditinggal oleh anak laki-lakinya, dan bahkan memiliki kecenderungan suicidal.

Gifty yang berotak cemerlang bertekad akan menemukan jawaban scientific akan hal-hal yang dialami keluarganya, supaya orang lain terhindar dari tragedi yang sama. Saat penelitiannya hampir selesai, Gifty menerima kabar kalau ibunya lagi-lagi mengalami depresi, dan ia akhirnya meminta agar ibunya yang tinggal di Alabama sementara pindah ke apartemennya di California.

Yaa Gyasi did it again. Transcendent Kingdom memang tidak sepowerful Homegoing yang lebih kental unsur historical dramanya, tapi buku ini tetap meninggalkan kesan mendalam buat saya. Leave it to Gyasi to write any kind of topic and make it a beautiful read. Di Transcendent Kingdom, Gyasi lebih fokus pada isu imigran (orang tua Gifty adalah imigran dari Ghana yang menetap di Alabama) dengan segala tantangannya, dari mulai mencari pekerjaan, menghadapi isu rasisme, hingga usaha keras yang harus dilakukan untuk membuktikan kalau anak-anak imigran pun bisa sukses.

Dan di sinilah kita disuguhi salah satu permasalahan kompleks namun sangat marak terjadi, termasuk di keluarga imigran: adiksi opioid, yang awalnya biasanya hanya diresepkan sebagai painkillers, namun karena mudah diakses, dengan cepat bisa menyebabkan kecanduan.

Gyasi banyak sekali membahas isu rumit dan kompleks di buku ini. Selain isu kecanduan opioid, juga ada isu mental health dan stigma depresi yang masih dipegang oleh budaya para imigran, termasuk keluarga Gifty. Dan tentu saja, sajian utama Transcendent Kingdom adalah penelitian Gifty sendiri, yang begitu kompleks namun terkait erat dengan permasalahan hidupnya.

Kalau dilihat sepintas, memang buku ini seolah ingin membahas terlalu banyak isu kompleks yang terancam akan membuat pusing pembacanya. Namun, sekali lagi saya ingin menegaskan pendapat saya, kalau Gyasi adalah penulis yang amat andal. Topik-topik tadi bisa dirangkum dengan begitu hati-hati, mengalir, dengan pemaparan karakter yang detail tapi tidak membosankan, dan membawa kita masuk ke dalam kehidupan Gifty dengan begitu mudah. Hingga buku ini berakhir, saya seolah sudah melakukan penelitian bersama-sama Gifty di labnya di Stanford XD

Can’t wait to see what Yaa Gyasi brings on next.

Rating: 4/5

Recommended if you like: immigrant story, science related topic, haunting prose, beautiful writing, realistic fiction

The Unlikely Adventures of the Shergill Sisters by Balli Kaur Jaswal

01 Thursday Oct 2020

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

asia, culture, ebook, english, europe, family, fiction, immigrant, india, kindle, popsugar summer RC 2020, travel

Judul: The Unlikely Adventures of the Shergill Sisters

Penulis: Balli Kaur Jaswal

Penerbit: William Morrow (2019, Kindle edition)

Halaman: 320p

Beli di: Amazon.com (USD 1.99- bargain!)

Rajni, Jezmeen, dan Shirina adalah kakak-beradik keturunan India yang lahir dan besar di Inggris. Ketiganya memiliki karakter yang bertolak belakang dan tidak bisa dibilang akur satu sama lain. Namun, Ibu mereka -yang baru meninggal karena kanker- meninggalkan surat wasiat yang meminta mereka untuk melakukan perjalanan napak tilas ke India, sambil menebarkan abunya.

Tentu saja ketiga bersaudara ini amat tidak ingin melakukan perjalanan tersebut, tapi mereka terpaksa menuruti keinginan sang Ibu. Ketiganya semakin malas berangkat karena sedang mengalami masalah di kehidupan masing-masing. Rajni bertengkar hebat dengan anak satu-satunya, yang entah mengapa kini berpacaran dengan perempuan yang usianya lebih dari dua kali lipat usianya- dan seperti hendak menghancurkan masa depannya sendiri. Jazmeen, yang menekuni karier di dunia entertainment, mengalami kejadian amat memalukan yang langsung viral di sosial media. Sementara Shirina, si bungsu yang tinggal di Melbourne bersama suami dan ibu mertuanya, menghadapi dilema besar yang akan menentukan perjalanan hidupnya.

Ketiganya berangkat ke India dalam kondisi yang tidak bersemangat, dan pertengkaran demi pertengkaran kerap mewarnai perjalanan mereka. Namun, ketika melakukan satu demi satu keinginan Ibu mereka, termasuk mengunjungi berbagai tempat suci yang menjadi bagian dari kegiatan pilgrimage, mereka justru sedikit demi sedikit menguak rahasia masa lalu sang Ibu serta keluarganya. Dan mereka menyadari, banyak hal yang masih patut mereka syukuri, termasuk keberadaan mereka satu sama lain.

Ini adalah pengalaman pertama saya membaca buku karya Balli Kaur Jaswal, yang lebih populer dengan novel sebelumnya, Erotic Stories for Punjabi Widows. Jaswal memiliki gaya menulis yang santai, efortless, penuh humor natural dan dialog yang tidak dibuat-buat, serta sentuhan drama keluarga yang terasa pas. Meski awalnya saya sebal setengah mati dengan ketiga kakak beradik Shergill, lama kelamaan saya merasa terhubung dengan mereka, terutama karena masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan yang terasa seimbang.

Jaswal juga dengan piawai menggabungkan unsur drama keluarga, bumbu-bumbu rahasia yang bikin penasaran, dan setting India yang eksotik. Meski terasa cukup banyak yang ingin diangkat oleh Jaswal, termasuk isu imigran, kesenjangan sosial di India, serta isu feminisme; namun porsi masing-masing isu masih bisa dibilang pas, tidak terlalu berlebihan atau membuat overwhelmed. Mungkin juga karena gaya bahasa yang digunakan Jaswal amat luwes, sehingga tidak membuat isu-isu tersebut menjadi terlalu serius dan keluar dari tone buku keseluruhan.

Overall, saya cukup menikmati buku ini dengan segala drama dan komplikasinya. Penyelesaiannya juga cukup memuaskan. Dan saya jadi penasaran kepingin berkunjung ke India setelah membaca buku ini 😀

Submitted for:

Category: A book about a vacation

← Older posts

From the bookshelf

Categories

Looking for Something?

Enter your email address to follow Books to Share and receive notifications of new posts by email.

Join 1,036 other subscribers

Currently Reading

I’m a Proud Member! #BBI 1301004

Wishful Wednesday Meme

Fill your Wednesdays with wishful thinking =)

Popsugar Reading Challenge 2018

bookworms

  • aleetha
  • althesia
  • alvina
  • ana
  • annisa
  • bzee
  • dewi
  • dion
  • fanda
  • Ferina
  • helvry
  • inne
  • Kobo
  • maya
  • mei
  • melmarian
  • mia
  • ndari
  • nophie
  • oky
  • peri hutan
  • ren
  • Reygreena
  • sel sel kelabu
  • sinta
  • tanzil
  • tezar
  • yuska

shop til you drop

  • abe books
  • Amazon
  • better world books
  • book depository
  • BukaBuku
  • Buku Dedo
  • bukukita
  • vixxio

Top Posts & Pages

  • Spooktober Read (2): The Turn of the Screw by Henry James
    Spooktober Read (2): The Turn of the Screw by Henry James
  • The Rainmaker by John Grisham
    The Rainmaker by John Grisham
  • A Dance with Dragons by George R.R. Martin
    A Dance with Dragons by George R.R. Martin
  • The Best of Nancy Drew, Classic Collection Vol.1
    The Best of Nancy Drew, Classic Collection Vol.1
  • Popsugar Reading Challenge 2023
    Popsugar Reading Challenge 2023

Recent Comments

Puddin’ by Jul… on Dumplin’ by Julie M…
jesica on Abarat 2: Days of Magic, Night…
jesica on Abarat 2: Days of Magic, Night…
When the Stars Go Da… on The Paris Wife
Hapudin Bin Saheh on Insomniac City: New York, Oliv…

Blog at WordPress.com.

Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
  • Follow Following
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Join 1,036 other followers
    • Already have a WordPress.com account? Log in now.
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Customize
    • Follow Following
    • Sign up
    • Log in
    • Report this content
    • View site in Reader
    • Manage subscriptions
    • Collapse this bar
 

Loading Comments...