• About this blog
  • Clearance Sale!
  • Newbery Project
  • Popsugar Reading Challenge 2023
  • Previous Challenges
    • BBI Read and Review Challenge 2017
    • Challenges 2014
    • Challenges 2015
    • Lucky No.14 Reading Challenge
    • Lucky No.15 Reading Challenge
    • POPSUGAR Reading Challenge 2017
    • Popsugar Reading Challenge 2018
    • Popsugar Reading Challenge 2020
    • Popsugar Reading Challenge 2021
    • Popsugar Reading Challenge 2022
    • What’s in a Name 2018
    • Twenty-Ten Challenge
    • Challenges 2012
    • Challenges 2013
  • Round Ups
  • The Librarian

~ some books to share from my little library

Tag Archives: dystopian

The Memory Police by Yoko Ogawa

21 Friday May 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

asia, dystopian, fantasy, fiction, Gramedia, japanese, literature, mystery/thriller, popsugar RC 2021, terjemahan

Judul: The Memory Police (Polisi Kenangan)

Penulis: Yoko Ogawa

Penerjemah: Iingliana

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2020)

Beli di: Gramedia.com (IDR 93k)

Apa jadinya bila satu demi satu benda-benda di sekitar kita mulai menghilang, bersama dengan kenangan kita akan mereka? Bagaimana rasanya bangun di suatu pagi dan menyadari bahwa mulai hari itu sudah tidak ada lagi bunga mawar, atau burung merpati, atau kapal feri dan buku novel? Yang tersisa hanyalah kehampaan, rasa kehilangan akan suatu memori yang bahkan kita tidak ingat lagi tentang apa.

Kisah sendu, gloomy, dan menyedihkan ini terjadi di suatu pulau tak bernama, yang saat ini dikuasai oleh rezim yang sangat opresif (mungkin sejenis junta militer). Secara berkala, rezim ini mulai menghilangkan benda-benda dari hidup dan ingatan setiap orang, termasuk seorang novelis muda yang tinggal sendirian di rumah peninggalan orang tuanya.

Namun, ternyata ada orang-orang tertentu yang tetap memiliki ingatan sempurna, tak tersentuh oleh tekanan rezim, namun nyawa mereka berada dalam ancaman. Si novelis narator kita berusaha melindungi editornya yang termasuk ke dalam golongan orang yang tak bisa lupa. Dibantu oleh temannya, si pria tua mantan pekerja kapal, sang novelis menyembunyikan editornya di ruang rahasia, meski itu berarti ia juga membahayakan nyawanya sendiri.

The Memory Police adalah buku yang amat unik. Kisahnya sendiri menurut saya agak terlalu vague- dari mulai setting tempat dan karakter yang tidak bernama, sampai ketidakjelasan latar belakang rezim dan apa tujuannya menghilangkan ingatan orang-orang. Saya merasa gemas sesekali karena ingin mengetahui lebih banyak tentang latar belakang kisah ini, yang sebenarnya akan sangat menarik bila digali lebih dalam. Tapi sepertinya fokus Yoko Ogawa memang lebih kepada prosa yang mengalir, yang disusun sedemikian rupa sehingga kita bisa benar-benar merasuk ke dalam kisah mencekam ini.

Pemilihan diksi yang mendeskripsikan masing-masing benda dan ingatan yang hilang memang menjadi salah satu kekuatan utama buku ini, yang untungnya bisa diterjemahkan dengan sangat baik oleh sang penerjemah. Selain itu, ada alur paralel yang menceritakan tentang buku yang sedang ditulis oleh si novelis, yang juga memiliki nada yang sama suramnya, dan kita bisa melihat kesulitan si novelis menulis bukunya saat satu demi satu ingatan perlahan hilang dari dirinya.

The Memory Police (yang merupakan simbol rezim opresif) sepertinya memang buku yang enak dinikmati sebagai ide, mengajak kita bermain-main dalam imajinasi tentang suatu saat di mana manusia tidak lagi memiliki kontrol atas hidup dan ingatannya, dan tanpa ingatan apalah artinya kita, hanya sosok-sosok yang tidak memiliki tujuan hidup.

A thought provoking, albeit a bit vague story.

Rating: 3/5

Recommended if you want to try: Japanese lit, unusual plot, beautiful prose, gloomy read

Submitted for:

Category: A book about forgetting

The Handmaid’s Tale by Margaret Atwood

27 Monday Aug 2018

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

bargain books, classic, dystopia, dystopian, english, feminist, fiction, secondhand books, women

Judul: The Handmaid’s Tale

Penulis: Margaret Atwood

Penerbit: Vintage (2010)

Halaman: 324p

Beli di: @Balibooks (IDR 50k)

One of the most difficult reads for me this year, and definitely one of the hardest to be reviewed.

Kisah fenomenal ini bercerita tentang Offred, seorang perempuan yang tinggal di Republic of Gilead setelah dunia mengalami revolusi besar. Di dunia Offred, perempuan dianggap sebagai properti, harta kepemilikan bagi kaum laki-laki. Status mereka dibagi berdasarkan tugas utama mereka dalam keberlangsungan hidup laki-laki: mengurus makanan dan keperluan rumah tangga, sebagai trophy wife alias istri untuk menunjang status, atau sebagai alat reproduksi yang akan melahirkan anak-anak bagi mereka. Ini biasanya terjadi di keluarga berada, di mana sang istri sudah tidak produktif lagi sementara si laki-laki masih membutuhkan generasi penerus.

Offred sendiri masuk ke kategori Handmaid, alias alat reproduksi bagi sang Commander, seorang perwira berpangkat tinggi di republik tersebut. Bila gagal atau ketahuan berkhianat, berbagai ancaman menanti Offred: digantung, dikirim ke komunitas penuh radiasi tempat orang-orang buangan berada, serta nasib mengerikan lainnya.

Dalam kesehariannya yang suram, di mana ia harus siap untuk melakukan ritual berhubungan dengan si Commander dan disaksikan oleh sang istri sah, Offred menyimpan harapan tentang adanya gerakan perjuangan bawah tanah yang akan mengubah nasib perempuan di Gilead. Namun siapa yang harus ia percayai? Sesama Handmaid yang sering berjalan bersamanya setiap hari dan memberikan kode-kode misterius dalam percakapan mereka? Supir pribadi si Commander yang memperlihatkan kepedulian mendalam terhadap Offred (apakah tulus atau bagian dari konspirasi?), atau bahkan si Commander sendiri, yang memiliki kehidupan rahasia yang tidak diketahui siapapun?

The Handmaid’s Tale adalah bacaan sulit yang merupakan mimpi buruk bagi perempuan. Belakangan, kisah klasik ini juga sedang naik daun lagi karena baru diadaptasi ke layar kaca. Saya sendiri belum sempat menonton serial ini karena memang agak sulit mencari waktu luang. Tapi dari yang saya dengar, sepertinya serial produksi Hulu itu cukup berhasil tampil sesuai ekspektasi.

Ini kali kedua saya membaca buku karya Margaret Atwood, dan gayanya masih memberikan kesan yang sama pada saya: agak kering namun menghantui, dengan aura suram samar yang makin lama terasa makin kental. Gaya bercerita Offred sebagai narator menjadi suara yang tak terlupakan: hati-hati, seperti menyembunyikan sesuatu dan menganggap kita sebagai pembaca juga menyimpan niat buruk untuk mengkhianatinya. Sedikit mengingatkan saya dengan gaya narasi Winston di 1984 yang mengalami situasi yang serupa.

Satu hal yang saya sayangkan adalah ending buku ini yang dibuat sangat vague, dengan klimaks terlalu cepat yang tidak sesuai dengan tempo keseluruhan buku yang sudah dibuat lambat. Dan sepertinya kurang adil bagi pembaca yang sudah telanjur peduli dengan nasib Offred, untuk kemudian diminta menebak-nebak sendiri apa yang terjadi pada dirinya. Saya tidak tahu apakah serial TV nya menambahkan ending yang berbeda, mudah-mudahan saja bisa memberi closure yang lebih memuaskan.

Latar belakang terbentuknya Gilead juga tidak dikupas tuntas di sini, mungkin karena cerita lebih berfokus pada Offred dan pergumulannya. Padahal sepertinya akan lebih seru kalau peristiwa terjadinya Republik Gilead ini dibahas dengan lebih mendalam, setidaknya memberikan konteks yang lebih jelas untuk pembaca.

Terlepas dari keluhan-keluhan tersebut, saya mengakui kalau The Handmaid’s Tale merupakan buku penting yang akan selalu masuk daftar bacaan wajib khususnya untuk perempuan. Kisah Offred mengajak kita untuk mencerna apa tujuan reproduksi, hak-hak perempuan untuk menentukan fungsi biologisnya sendiri, dan banyak hal lain yang diasosiasikan dengan isu-isu feminis. Satu hal yang juga amat relevan dengan masa sekarang, di mana banyak negara maju menjadikan isu reproduksi (termasuk KB, aborsi dll) sebagai salah satu agenda politik yang dipandang penting.

Tidak akan habis-habisnya isu ini untuk dibahas, namun The Handmaid’s Tale setidaknya bisa memulai diskusi ini dengan sudut pandang yang tidak biasa.

Submitted for:

Category: A book about feminism

 

The Giver by Lois Lowry

24 Wednesday Sep 2014

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ 5 Comments

Tags

banned books, dystopian, english, fantasi, fiction, series, young adult

giverJudul: The Giver

Penulis: Lois Lowry

Penerbit: Dell Laurel-Leaf (2002)

Halaman: 179p

Beli di: Books & Beyond (IDR 89k)

Jonas tinggal di dunia yang sempurna, terkontrol baik tanpa ada ancaman kekacauan apapun. Tidak ada perang, rasa sakit dan kehilangan. Semua orang memiliki peran masing-masing dalam hidupnya yang sudah diatur oleh para tetua.

Ketika berusia 12 tahun, Jonas terpilih sebagai penerus The Giver, sebuah peran yang penting dan menuntut kemampuan amat langka. Jonas mendapatkan pelatihan dari The Giver, laki-laki tua yang memiliki kemampuan menyimpan memori tentang kehidupan yang telah lampau, dunia yang dialami sebelum utopia yang mereka tinggali terbentuk.

Dunia yang penuh rasa sakit, kesedihan, kemarahan, namun juga kebahagiaan, kerinduan, dan cinta; hal-hal yang tidak pernah Jonas ketahui keberadaannya. Jonas baru sadar kehilangan besar yang dialami komunitas “sempurna” nya. Bersama The Giver, Jonas menyusun rencana bagaimana bisa keluar dari komunitasnya dan mencari secuil kehidupan yang sesungguhnya di luar sana. Namun sanggupkah ia mengecoh para tetua dan pemimpin komunitasnya?

The Giver adalah salah satu pionir kisah dystopia (yang berawal dari utopia) untuk segmen Young Adult. Sebelum kemunculan Hunger Games yang menghebohkan- diikuti oleh puluhan serial lain yang sejenis- The Giver tampil berani, dan apa adanya. Tapi mungkin juga karena saya sudah terlebih dulu membaca buku-buku dystopia YA yang lebih sophisticated, The Giver terasa begitu bland buat saya. Apalagi Lowry memperlakukan buku ini seperti novella- kisahnya singkat, tidak ada pendalaman yang berarti untuk karakter-karakternya, termasuk Jonas, sehingga saya sulit merasa terhubung dengan mereka.

Satu-satunya yang saya suka adalah hubungan antara Jonas dan The Giver- yang terasa cukup menyentuh, tapi sayangnya digambarkan dengan terlalu singkat. Saya berharap Lowry mau membuat kisah Jonas sedikit lebih panjang, dan tidak mengakhirinya seperti kue setengah matang.

Setelah The Giver, Lowry masih menerbitkan 3 buku lain yang menjadi companion dalam serial ini. Namun sayangnya kisah-kisah selanjutnya tidak ada yang berhubungan langsung dengan nasib yang dialami Jonas pasca The Giver, meskipun menurut reviewnya, buku terakhir menjelaskan benang merah dan kesimpulan antar kisah.

Namun saya memutuskan untuk tetap membaca ketiga buku lainnya. Bagaimanapun, tulisan Lowry memang enak dibaca, penciptaan settingnya cukup original, meski porsi keseluruhannya kurang menggigit 🙂

This review is made to celebrate Banned Books Week. Care to join? Check this link for the list of Banned Books 🙂

A Clockwork Orange

30 Monday Sep 2013

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 16 Comments

Tags

BBI, classic, dystopian, english, fiction, satire, secondhand

clockworkorange1Judul: A Clockwork Orange

Penulis: Anthony Burgess

Penerbit: Penguin Books (1972)

Halaman: 149p

Beli di: Homerian Shop (IDR 75k)

Membaca buku-buku dystopia selalu membuatku bersyukur hidup di dunia kita, yang meskipun sulit, masih bisa dibilang tertahankan. Setidaknya, lebih baik daripada dunia yang diciptakan oleh Anthony Burgess dalam bukunya yang fenomenal, A Clockwork Orange.

Pemuda berusia 15 tahun yang bernama Alex mengepalai sebuah geng yang kerjanya melakukan hal-hal yang melanggar hukum (hanya saja, hukum tidak terlalu berarti banyak di dunia tersebut). Mereka menghabiskan malam-malam mereka dengan berkelahi, menyerang orang-orang yang lemah, merampok toko, mendobrak masuk ke rumah orang, bahkan membunuh dan memperkosa. Mereka, bersama banyak geng pemuda lainnya, seolah kebal hukum dan berkuasa terutama di malam hari.

Suatu malam, Alex terjebak dalam situasi sulit saat polisi memergokinya melakukan suatu pelanggaran berat, yang menyebabkannya harus menanggung hukuman penjara. Di penjara, Alex menjadi kelinci percobaan untuk suatu jenis terapi baru yang dikembangkan oleh pemerintah. Terapi ini bertujuan untuk menghilangkan setiap keinginan jahat dari diri manusia, dan memaksanya menjadi orang yang tidak punya hasrat untuk berbuat sesuatu yang melanggar hukum. Namun saat Alex keluar dari penjara, ia menyadari kalau pemaksaan ini justru membuatnya sangat vulnerable, terutama dari dendam bekas-bekas musuhnya dulu.

Membaca buku ini mengingatkanku pada buku Fahrenheit 451, kisahnya singkat, sederhana, namun sulit untuk dicerna. Banyak sekali adegan sadis dalam Clockwork Orange yang menggambarkan kebrutalan Alex dan teman-temannya yang seolah tak tersentuh hukum. Hal ini dipersulit juga dengan bahasa yang diciptakan Anthony Burgess sepanjang novel ini, yaitu bahasa “nadsat”, semacam bahasa “prokem” atau “alay” yang digunakan remaja saat itu.

“Yarbles, great bolshy yarblockos to you. What you done then you had no right. I’ll meet you with chain or nozh or britva any time, not having you aiming tolchocks at me reasonless”

……
“Droogs, aren’t we? It isn’t right droogs should behave thiswise. See, there are some loose-lipped malchicks over there smecking at us” (p69)

Bahasa ini awalnya sangat mengganggu, susah dimengerti dan diikuti. Namun setelah beberapa saat, you can’t help but follow the language. Gaya bicara Alex dan teman-temannya semakin masuk akal, dan bahkan aku merasa sedikit kehilangan saat buku ini berakhir.
Membahas tentang kekerasan, dan pilihan untuk menjadi jahat atau baik, buku ini mengajak kita berpikir tentang pentingnya memiliki freewill. Apakah lebih baik menjadi orang yang baik karena memang tidak ada pilihan? Atau menjadi jahat karena kita tahu segala konsekuensinya? Anthony Burgess telah melahirkan suatu karya yang tidak saja fenomenal, tapi tetap relevan bahkan lebih dari 40 tahun setelah buku ini ditulis.

Submitted for Posting Bareng Blogger Buku Indonesia bulan September 2013, tema dystopia.

Fahrenheit 451

03 Wednesday Oct 2012

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 8 Comments

Tags

classic, dystopian, english, fiction

Title: Fahrenheit 451

Writer: Ray Bradbury

Publisher: Del Rey Books (2003)

Pages: 190p

Bought at: Barnes & Noble, Los Angeles (USD 6,99)

Although relatively short, this is such a difficult read for me. I don’t know if it’s because of the “future world” described by Bradbury with true absurdity, or just because of its dark and gloomy feel.

Guy Montag worked as a fireman. But instead of putting the fire off, firemen in his time was told to start fire, to burn the books that still existed although it’s been banned for quite some time. Guy tried to be a good fireman, to not be tempted to sneak some books or question anything about his job.

But then one day, after meeting a neighbor girl, Guy was beginning to think. The girl told Guy that there was a time when people were not afraid, when they talked to each other instead of talking to TV, a time when books were everywhere and people took time to do everything. Guy realized he had to do something, and he made a very big decision that will change his life -and the world around him- forever.

Although in some parts Guy Montag’s world was pretty absurd (four walls television installed in each house, people zooming in the streets inside their speedy cars), somehow it has a great resemblance with our current world. Maybe that’s why this book becomes a classic. It is as if Bradbury could predict the future – and the doom that awaits there. People lived like robots and if we’re not careful enough, we could turn into ones pretty soon!

The darkness inside this book made it hard for me to finish it quickly. I kept holding back, tried not to think too much if someday, one day, books are banned in our world. It’s like the end of everything.

Like Bradbury said in one of his interviews:

If there are two buildings remained intact after a huge earthquake, one of them should be built into a library. Because reading is at the center of our lives, the library is our brain, and without it, we have no civilization.

Note: Fahrenheit 451 (232,7 Celcius) is the temperature when books could get burnt.

Never Let Me Go

31 Friday Aug 2012

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 32 Comments

Tags

bahasa indonesia, BBI, british, dystopian, fiction, Gramedia, list, terjemahan

Judul     : Never Let Me Go

Penulis : Kazuo Ishiguro

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama (2011)

Pages: 358p

Beli di: Pesta Novel Gramedia (UDR 60k, disc 20%)

Buku ini ditulis dari sudut pandang Kathy K, seorang perawat lulusan sekolah asrama bergengsi, Hailsham, yang sedang mengingat hari-harinya di masa lalu. Hailsham tampak seperti sekolah berasrama biasa di Inggris, tapi melalui kisah Kathy, kita dibawa ke dalam dinding sekolah tersebut, melihat kejadian-kejadian biasa yang ternyata luar biasa.

Masa lalu Kathy di Hailsham sebenarnya cukup menyenangkan, bagaimana ia menjalin persahabatan dengan Ruth, gadis keras kepala yang kadang menjengkelkan namun sebenarnya baik hati, serta Tommy, anak laki-laki pemarah yang menyimpan sifat menyenangkan dalam dirinya. Kathy tumbuh besar di Hailsham bersama teman-temannya, menghabiskan hari-hari masa kecil mereka hingga tumbuh dewasa, dengan satu fakta penting: tidak boleh berhubungan dengan dunia luar.

Awalnya, kita hanya bisa menebak-nebak ada apa di balik misteri Hailsham: para guardian (guru-guru sekolah) yang serba tertutup, larangan ini-itu bagi murid-muridnya, dan masa depan besar yang mengerikan yang menanti mereka. Apa yang terjadi setelah mereka lulus?

Jawabannya bukan merupakan sesuatu yang mengejutkan, karena fakta bahwa anak-anak Hailsham merupakan kloningan yang disiapkan untuk menjadi donor-donor organ tubuh di masa mendatang bagi manusia sudah disinggung sejak awal cerita. Namun berbagai misteri yang berusaha ditebak-tebak Kathy dan teman-temannya untuk memahami tujuan hidup mereka, disingkap perlahan-lahan seiring penuturan Kathy, dan inilah inti buku ini.

Sejujurnya, Never Let Me Go merupakan kisah menyentuh yang mengangkat isu moral dan kehidupan dalam tingkat yang tidak terbayangkan sebelumnya. Namun, entah karena gaya penulisan yang super lambat atau aura terlampau suram yang memenuhi buku yang bersetting di Inggris ini, aku tidak bisa menangkap ke”agungan” cerita ini yang membuatnya dinobatkan menjadi salah satu dari 1001 Books To Read Before You Die versi list ini.

Buku ini ditulis di era 2000-an, sehingga temanya yang kontroversial  sebenarnya tidak sekontroversial itu juga. Segala teknologi kloning yang dikembangkan para ilmuwan mungkin saja suatu saat benar-benar akan membawa solusi bagi penyakit-penyakit yang tidak bisa disembuhkan selama ini: kanker dan AIDS adalah beberapa di antaranya. Namun, bagaimana bila para kloningan tersebut sebenarnya adalah manusia yang memiliki jiwa layaknya manusia biasa? Sampai sejauh mana ‘pengorbanan’ mereka mampu mengetuk rasa kemanusiaan kita?

Postingan ini dibuat dalam rangka baca bersama BBI yang mengambil tema 1001 Books To Read Before You Die. Dan salah satu pemikiran yang ingin diangkat adalah: apakah buku yang dibaca benar-benar layak masuk daftar bergengsi tersebut? Well, Never Let Me Go membuat pendapatku terbelah dua: temanya yang tidak biasa, semi-dystopian yang berbeda dari kisah sejenis, membuatnya layak masuk ke daftar ini. Namun, gaya penceritaannya yang oh-so-British, sangat-sangat lambat dengan karakterisasi yang super datar, hmm…membuatku bertanya-tanya apa yang membuat buku ini segitu istimewanya hingga berhasil masuk ke list ini? Tapi sekali lagi, aku sendiri belum yakin apa kriteria yang dipakai si pembuat list untuk menyusun list ini? Temanya? Potensinya untuk menjadi buku yang klasik dan legendaris?

Never Let Me Go sdah difilmkan, dengan beberapa aktris Inggris seperti Keira Knightley dan Carrey Mulligan sebagai pemeran utamanya. Apakah alurnya selambat bukunya? Mudah-mudahan saja tidak =)

 

This World We Live In

23 Monday Jul 2012

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ 2 Comments

Tags

dystopian, english, fantasi, fiction, series, TBR challenge

Title: This World We Live In

Writer: Susan Beth Pfeffer

Publisher: Graphia (2010)

Pages: 239 p

Bought at: Kramerbooks & Afterwords – Washington, DC (USD 7,99)

Finally, the last installment of the frightening series, where the moon was hit by asteroid and getting out of its orbit, causing all kind of troubles and disasters on Earth. After knowing Miranda in the first book, and Alex in the second book, now it’s the time that our two main characters finally met.

In this third book, we were taken back to the small town in Pennsylvania, through the diary entries of Miranda Evans. It’s been a year since the asteroid hit the moon and the Earth is slowly dying, coming to an end. Landscapes are frozen and food is increasingly scarce. Miranda’s family is still struggling to live with everything they have. And things are not getting easier when one day, Miranda’s father arrives with his wife, Lisa, their newborn child, Gabriel, and three other strangers.

One of the strangers, a boy named Alex Morales from New York City, becomes friends with Miranda, although in beginning things are a bit rough between them. But Alex has a different plan for him and his sister Julie, that makes Miranda thinks for the first time about leaving her family and starts her own journey.

Is it better to leave and embrace the unknown world, to find anything even though the cost of it is dying or losing her family? Or is it really better to just wait, like her mother said, hope for something better to come, in their cozy little house, even though the food is getting more and more scarce each day?

One faithful day, a bad storm comes to the town, forcing Miranda to make a decision, that could change her life forever, not to mention her whole family’s life.

The last book of this series is not as engaging as the first one, but it’s better than the second one, probably because Miranda is back with her true feelings written in her journals. But somehow I couldn’t really feel the romance and relationship between Miranda and Alex. I remembered when in the first book Miranda was falling in love with Dan, her friend from swimming team, and how their relationship seemed in contrast with the crumbling world. Sad, but sweet.

Unfortunately, I can’t feel the sensation in this book. Too bad, since Miranda/Alex is the main issue in this series, and the writer has spent her time to build their characters and their emotions during the first two books.

This trilogy makes me think a lot about the Earth, this world we live in. How we sometimes took things for granted and not being grateful enough of everyday’s miracle. This kind of book is leaving a lot of stuff to think about, and I truly like it because of that (although there’s still some romance inside, but the whole vibe is more about the Earth, environment, family values and friendship). It’s a bit of fresh air in the middle of dystopian/fantasy-romance with those paranormal stuff.

And you know what? I loveee the cover of these three books.

 

 

The Dead and The Gone

12 Thursday Jul 2012

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ 1 Comment

Tags

dystopian, english, fantasi, fiction, series, TBR challenge, teens

Title: The Dead and The Gone

Writer: Susan Beth Pfeffer

Publisher: Graphia (2008)

Pages: 319 p

Bought at: Kramerbooks & Afterwords – Washington, DC (USD 7,99)

After reading the terrifying story from Miranda’s journal in Life As We Knew It, in the second installment of the series, we were taken to New York City, looking at the effects of this disaster from another point of view. Alex Morales was a high school student – with scholarship and bright future- living in an apartment in NYC. His dad was a superintendent for the apartment (that’s why they could live in the building), and his mom worked in a hospital. Carlos, Alex’s older brother joined the marine some time ago, so Alex now only lived with his sisters: Brianna, the devoted catholic girl and Julie, who was a bit of a rebel.

When the moon hit by asteroid, Alex’s dad was in Puerto Rico for family visit, and his mom was working in the hospital. Alex couldn’t reach them and heard nothing from them, he didn’t know if they’re actually still alive. Alex didn’t have many choices, he had to take care of his sisters, and being responsible on their safety.

In the crazy situation that followed the disaster : chaos in the city, no electricity, ashes in the air, and no food – Alex had to make every decision carefully for his sisters. Should he send Brianna to the convent north of the town, suggested by their priest in church? Should he keep looking for his mom’s body in the Yankee Stadium, or keep on hoping that she’s still alive? And how to deal with Julie, the teenage rebel in their family, so she can obey him all the time?

The Dead and The Gone was not as tense as its predecessor, Life As We Knew It. Probably because the element of surprise was already gone, or maybe because the setting of this book, in a big city like New York, the tragedy didn’t hit as hard as in a small town in Pennsylvania. The communication line and electricity were still there even though they’re not as reliable as used to be. And there’s still food delivery from government – not to mention the black market.

But the situation was still rough – bodies were everywhere, even Alex had to learn to go “body shopping” – taking every valuable things from a body to be sold to the black market. The survival skills needed in NYC were quite different than the ones needed in Pennsylvania.

Somehow, the characters in this book were not as likable as the ones in previous book. Sure, the Latino-Catholic background was quite interesting, and having a guy as a main character is a nice change. But still, this book is lack of something. Something that can make you connect with the characters, feeling worry and sad for them.

Anyway, that’s a risk of writing (and reading) a series, right? You will always compare. Let’s see how I feel about the final installment!

 

Life As We Knew It

05 Thursday Jul 2012

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ 10 Comments

Tags

dystopian, english, fiction, series, TBR challenge, teens, tragedy

Title: Life As We Knew It

Writer: Susan Beth Pfeffer

Publisher: Graphia (2006)

Pages: 337 p

Bought at: Kramerbooks & Afterwords – Washington, DC (USD 7,99)


Miranda Evans was an ordinary teenage girl living in a small town in Pennsylvania. She worried a lot about her grades in school, college plans, boys and dating, and she picked up swimming after she had an injury and couldn’t continue figure skating as her hobby. This summer, she’s looking forward to seeing her father who lived with her stepmom, Lisa, in Springfield.

But who knows? This summer was not like every other summer. Because everything changed. Big time.

It started when an asteroid hit the moon and made it moved outside the orbit, closer to the Earth. Suddenly, disasters happened all over the world. Flood, tsunamis, thunderstorm, and volcanoes, making the air full with ashes and even breathing became harder and harder everyday. The crops were dying because the sun didn’t even shine its light due to the ashes in the air. And the weather changed drastically – snowing in August and freezing before December.

The worst of it all was the food became scarce. And all the communication line was cut off, including electricity. Miranda never thought how lucky she was when she used to have all the things she needed: food, water, warm weather, electricity and internet, and took them for granted. The assurance that everything will be okay eventually.

Now, all of it were gone, replaced by fear, hunger, and not a single hope that the Earth will be back as it used to be. Not to mention the future existence of the mankind.

Written in the form of diary from Miranda’s point of view, Life As We Knew It was surprisingly real and believable, made me think a lot about things I took for granted, and how does it feel to lose all of it in a split second, facing an uncertain life and future, living in fear and waiting in vain for something good to happen. Miranda’s vivid details of her feelings, and her struggle to survive with her family, her protective mom, her older brother Matt and younger brother Jon, who suddenly looked very grown up because of all the grief they faced – it’s all been very convincing.

And the scary fact about hunger: how does it feel to know that one day there will be no food, even though you tried so hard to save all you have, eating as little as you could – when a can of chicken soup means one more day of survival… And the people were gone one by one, until one day Miranda was sure that they were the last living family on Earth.

Life As We Knew It is a terrible story about how the world could come to end without us being prepared for it. It’s very realistic, very logical, that I could feel the fear inside my bone. This book reminds me of the depressing feeling I had when reading The Road, only this time it was told from a teenager’s point of view. Miranda was a very good narrator, her story was so real and genuine, and I could relate much to her worries, fear and even her hunger. How she tried so much to grow up just like her brothers, but still had all the teenage baggage with her: arguing with her mom, self pitying herself, and even thinking about boy, about the prom she would never have. What made this book more real is the “waiting” factor. Miranda’s family was not affected directly with the disaster (there was no volcanoes or tsunamis inside this book), but they felt it in their every day’s lives – from the never ending hunger and the anxiety of hearing good news, and the loneliness.

I truly recommend this book for people who crave for good disaster/dystopian Young Adult novel – without too much romance in it. I can’t say the same about the next two book in this series (there will be separate reviews of them!), but still, this series is better than most of the current YA – dystopian – romance trend.

moon orbiting the earth – and how i pray it will always stay like this!


Across The Universe

12 Monday Mar 2012

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ 2 Comments

Tags

borrowed, dystopian, english, fantasi, fiction, teens

Judul: Across The Universe

Penulis: Beth Revis

Penerbit: Razorbill (2011)

Halaman:398 p

Pinjam dari: Dini

Amy dan kedua orang tuanya dibekukan untuk ikut dalam Project Ark Ship, suatu proyek pencarian planet baru akibat bumi sudah tidak layak lagi didiami oleh manusia. Mereka memasuki pesawat Godspeed dan rencananya akan dibangunkan 300 tahun kemudian, ketika mendarat di planet baru. Meski berat, Amy memilih untuk mengikuti kedua orang tuanya yang sama-sama dibutuhkan dalam proyek ini, dan meninggalkan segala yang dicintainya: teman-teman, kekasih, bahkan planet Bumi itu sendiri.

Namun 50 tahun sebelum jadwal pendaratan,Amy dibangunkan dengan paksa dari tidur bekunya, dan mendapati dirinya terjebak dalam kehidupan pesawat Godspeed yang tidak dapat ia mengerti. Semuanya begitu berbeda dari kehidupan di Bumi yang dikenalnya. Godspeed dipimpin oleh seorang tiran, Eldest, yang memerintah layaknya diktator, dan sebagian besar penduduk tidak tampak normal, lebih seperti robot ketimbang manusia. Satu-satunya teman Amy adalah Elder, calon penerus Eldest yang memiliki sifat pemberontak dan tampak normal layaknya manusia yang dikenal Amy di Bumi.

Plot cerita buku ini lebih menekankan tentang hubungan Amy dan Elder, bukan melulu dalam konteks romantis, tapi lebih ke rasa percaya yang berusaha mereka tanamkan satu sama lain. Apakah Amy bisa mempercayai Elder? Apalagi ketika ada sosok misterius yang mencoba mencairkan orang-orang yang dibekukan, termasuk orang tua Amy, dan menghilangkan nyawa mereka. Apakah Elder tahu sesuatu tentang hal itu?

Buku ini menggunakan sudut pandang yang bergantian antara Amy dan Elder, namun ketika kita dibawa ke sudut pandang Elder, terasa ada sesuatu yang misterius dan tidak diceritakan sepenuhnya, bahkan hingga akhir buku. Sementara Amy lebih jujur dalam mengungkapkan pikiran-pikirannya, terutama kesendiriannya menghadapi situasi ini, sementara Ayah dan Ibunya tampak begitu dekat, namun sekaligus begitu jauh!

Across the Universe mengingatkanku pada Chaos Walking Trilogy – dari tema dystopian, sentilan politis (diktator yang manipulatif, prinsip yang dipaksakan mengenai berbahayanya menjadi “berbeda” (Hitler, anyone?), demokrasi dan human rights), juga nuansa keputusasaan yang menguasai keseluruhan buku. Apa yang terjadi kalau misi ini gagal? Menunggu pesawat terapung-apung di luar angkasa? Dan betapa sempitnya dunia yang mereka kenal – untuk para claustrophobic, lebih baik hindari buku ini karena rasanya bikin sesak nafas! Tidak ada bintang, langit, sinar matahari, bahkan hujan pun buatan manusia, dan air yang diminum adalah hasil daur ulang bertahun-tahun! Sama sekali berbeda dengan kesan yang kita dapat saat menonton Star Trek – dengan peralatan canggih, modernisasi dan gemerlapnya bintang serta planet asing.

Buku ini merupakan serial pertama dari trilogi yang direncanakan. Buku kedua, A Million Suns baru diterbitkan Januari kemarin. Di antara bejibunnya buku Young Adult dengan teman dystopian, rasa-rasanya Across The Universe masih bisa dikategorikan lumayan, meski masih di bawah Hunger Games atau Chaos Walking. Paling tidak, aku masih penasaran bagaimana kelanjutan misi Godspeed di buku berikutnya, dan berharap agar karakter Elder lebih dibuat se-charming Amy.

a million suns, lebih bagus mana covernya dengan across the universe?

 

 

 

← Older posts

From the bookshelf

Categories

Looking for Something?

Enter your email address to follow Books to Share and receive notifications of new posts by email.

Join 1,036 other subscribers

Currently Reading

I’m a Proud Member! #BBI 1301004

Wishful Wednesday Meme

Fill your Wednesdays with wishful thinking =)

Popsugar Reading Challenge 2018

bookworms

  • aleetha
  • althesia
  • alvina
  • ana
  • annisa
  • bzee
  • dewi
  • dion
  • fanda
  • Ferina
  • helvry
  • inne
  • Kobo
  • maya
  • mei
  • melmarian
  • mia
  • ndari
  • nophie
  • oky
  • peri hutan
  • ren
  • Reygreena
  • sel sel kelabu
  • sinta
  • tanzil
  • tezar
  • yuska

shop til you drop

  • abe books
  • Amazon
  • better world books
  • book depository
  • BukaBuku
  • Buku Dedo
  • bukukita
  • vixxio

Top Posts & Pages

  • Spooktober Read (2): The Turn of the Screw by Henry James
    Spooktober Read (2): The Turn of the Screw by Henry James
  • The Rainmaker by John Grisham
    The Rainmaker by John Grisham
  • A Dance with Dragons by George R.R. Martin
    A Dance with Dragons by George R.R. Martin
  • The Best of Nancy Drew, Classic Collection Vol.1
    The Best of Nancy Drew, Classic Collection Vol.1
  • The Secret History
    The Secret History

Recent Comments

Puddin’ by Jul… on Dumplin’ by Julie M…
jesica on Abarat 2: Days of Magic, Night…
jesica on Abarat 2: Days of Magic, Night…
When the Stars Go Da… on The Paris Wife
Hapudin Bin Saheh on Insomniac City: New York, Oliv…

Blog at WordPress.com.

Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
  • Follow Following
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Join 1,036 other followers
    • Already have a WordPress.com account? Log in now.
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Customize
    • Follow Following
    • Sign up
    • Log in
    • Report this content
    • View site in Reader
    • Manage subscriptions
    • Collapse this bar
 

Loading Comments...