• About this blog
  • Clearance Sale!
  • Newbery Project
  • Popsugar Reading Challenge 2023
  • Previous Challenges
    • BBI Read and Review Challenge 2017
    • Challenges 2014
    • Challenges 2015
    • Lucky No.14 Reading Challenge
    • Lucky No.15 Reading Challenge
    • POPSUGAR Reading Challenge 2017
    • Popsugar Reading Challenge 2018
    • Popsugar Reading Challenge 2020
    • Popsugar Reading Challenge 2021
    • Popsugar Reading Challenge 2022
    • What’s in a Name 2018
    • Twenty-Ten Challenge
    • Challenges 2012
    • Challenges 2013
  • Round Ups
  • The Librarian

~ some books to share from my little library

Tag Archives: tragedy

The Water Dancer by Ta-Nehisi Coates

24 Wednesday Feb 2021

Posted by astrid.lim in Uncategorized

≈ Leave a comment

Tags

african american, america, historical fiction, magical realism, popsugar RC 2021, slavery, tragedy

Judul: The Water Dancer

Penulis: Ta-Nehisi Coates

Penerbit: One World (2019)

Halaman: 403p

Beli di: Periplus (IDR 55k, bargain!)

Saya memang belum pernah membaca buku Ta-Nehisi Coates yang paling terkenal, Between the World and Me, dan ada di semua list wajib bacaan terkait Black Lives Matter (BLM). Saya langsung loncat membaca buku fiksi pertamanya, The Water Dancer. Namun dari buku ini, saya bisa mengerti mengapa Coates disebut-sebut sebagai salah satu penulis kulit hitam paling fenomenal di generasinya.

The Water Dancer berkisah tentang Hiram, pemuda kulit hitam yang dilahirkan sebagai budak di sebuah pertanian di Virginia. Hiram muda sudah mengalami banyak sekali hal-hal tragis dalam hidupnya. Ibunya dijual ke tempat lain saat ia kecil, sedangkan ayahnya adalah laki-laki kulit putih pemilik pertanian yang tidak menganggapnya sebagai anak. Namun Hiram tumbuh menjadi anak yang kuat, bertekad ingin membuktikan pada dunia kalau ia pun berharga.

Setiap kali menghadapi pertistiwa penting, terutama yang mengancam keselamatannya, Hiram dikaruniai kemampuan yang bisa membuatnya berpindah tempat. Hal ini ternyata ia warisi dari neneknya yang juga memiliki kemampuan yang sama. Kemampuan ini membuat Hiram dilirik oleh organisasi bawah tanah yang berjuang untuk pembebasan para budak. Dan organisasi ini semakin berjuang keras terutama untuk para budak di Virginia. Saat itu, kondisi ekonomi di Virginia makin memburuk, karena produksi pertaniannya semakin menurun. Banyak budak yang terancam akan dijual ke daerah yang lebih selatan, yang terkenal dengan kekejamannya yang jauh lebih mengerikan dibandingkan dengan Virginia yang terletak agak lebih di utara. Dan di organisasi underground inilah Hiram menemukan panggilan hidupnya, namun ternyata tidak semudah itu menguasai kemampuan yang sudah dikaruniakan kepadanya.

Buku ini kental dengan nuansa magical realism, semacam gabungan history of slave dengan sepercik sentuhan superhero. Namun, dengan piawai Coates mampu menyatukan berbagai elemen yang terlihat tidak masuk akal ini ke dalam kisah yang powerful, menyentuh, dan sarat dengan fakta sejarah penting, termasuk perjuangan Harriet Tubman yang legendaris.

Hiram adalah narator yang mudah mengundang simpati tapi tidak terkesan pathetic. Keinginannya untuk bebas tidak membuatnya melupakan keluarga yang masih terjebak lingkaran perbudakan. Dan petualangan-pteualangannya ke berbagai tempat di Amerika, baik yang anti perbudakan maupun yang masih melegalkan perbudakan, membawa banyak bahan pemikiran.

This is a wonderful, beautiful read. And now I believe in Ta-Nehisi Coates’s reputation 😀

Rating: 4/5

Recommended for: history buff, magical realism enthusiast, if you want to learn about slavery in America, sympathetic narrator, heartbreaking story

Submitted for:

Category: A book that has the same title as a song

The Clockmaker’s Daughter by Kate Morton

01 Wednesday Jul 2020

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

arts, bargain, british, english, fiction, historical fiction, magical realism, mystery, popsugar RC 2020, romance, tragedy

Judul: The Clockmaker’s Daughter

Penulis: Kate Morton

Penerbit: Mantle (2018)

Halaman: 582p

Beli di: Kinokuniya Grand Indonesia (IDR 321k, disc 50%)

Kate Morton adalah salah satu penulis autobuy dan autoread versi saya, terutama di genre historical fiction. Hampir semua bukunya saya suka, sayang setahu saya belum ada yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Gaya Morton yang menggabungkan kisah misteri, sejarah keluarga, dengan setting gothic yang sangat atmospheric, mengingatkan saya akan buku karya Dianne Setterfield.

Dari premisnya, The Clockmaker’s Daughter sepertinya masih masuk ke dalam jajaran calon buku favorit saya. Kisahnya tentang tragedi misterius yang terjadi pada musim panas tahun 1862 di Birchwood Manor. Sekeolmpok muda-mudi, yang kebanyakan adalah seniman, dipimpin oleh pelukis berbakat Edward Radcliffe, menghabiskan musim panas di rumah tersebut sambil menyelesaikan karya masterpiece masing-masing. Namun rencana mereka terganggu oleh suatu kejadian menghebohkan: seorang perempuan tewas tertembak, seorang lagi menghilang, permata pusaka keluarga lenyap, dan karier Edward terancam hancur.

Seratus lima puluh tahun kemudian, seorang archivist di London, Elodie Winslow, menemukan sebuah tas berisi buku sketsa serta foto misterius yang menuntunnya ke Birchwood Manor. Apakah ia berhasil mengungkap misteri yang terjadi satu abad yang lalu? Dan mengapa Birchwood Manor terasa sangat familiar baginya?

Terus terang, saya tidak bisa menikmati buku ini seperti karya-karya Morton sebelumnya. Mungkin karena alurnya terlalu panjang dan terkesan terlalu berbelit-belit. Dari hampir 600 halaman buku ini, saya rasa sebenarnya Morton bisa memangkasnya hingga hampir separonya saja. Biasanya, Morton terasa sangat efektif menggunakan taji-nya, yaitu karakter yang semuanya penting, serta konsep alur waktu yang berselang-seling antara masa lalu dan masa kini, yang akan bertemu di tengah-tengah dan memberikan jawaban yang rapi dan memuaskan.

Namun di Clockmaker’s Daughter, Morton sepertinya ingin mencoba sesuatu yang lain. Ia menggabungkan sedikit unsur magical realisme, dengan menempatkan hantu sebagai salah satu naratornya, yang sebenarnya masih bisa dimaklumi, kalau saja tidak membuatnya jadi seolah kehilangan pegangan untuk menjaga alur kisah utamanya. Bermain-main dengan unsur baru malah membuat Morton seolah melupakan gaya penuturannya yang selalu ditunggu-tunggu oleh pembacanya.

Banyak karakter yang kurang penting ditampilkan di sini, kadang dieksplor dengan agak berlebihan padahal tidak memiliki peran yang penting, malah menjadi distraksi saja. Sementara karakter yang cukup penting justru hanya setengah-setengah saja dieksplorasi, membuat kita jadi agak sulit terhubung dan bersimpati dengan para karakter utamanya, termasuk Elodie dan sang narator hantu.

Mencoba gaya baru tentu adalah hak setiap penulis, apalagi jika tujuannya memang ingin mengembangkan karyanya, tentu harus didukung oleh penggemarnya. Namun saya menyayangkan Kate Morton yang meninggalkan gaya lamanya yang sudah amat dicintai oleh pembacanya, sehingga buku ini tidak se-memikat karya-karya sebelumnya yang membuat saya jatuh cinta pada tulisannya.

Submitted for:

Kategori: A book with more than 20 letters in its title.

Geek Love by Katherine Dunn

27 Wednesday May 2020

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

america, circus, drama, dysfunctional family, english, fiction, popsugar RC 2020, secondhand books, tragedy

Judul: Geek Love

Penulis: Katherine Dunn

Penerbit: Vintage Contemporary Edition (2002)

Halaman: 348p

Beli di: @therebutforthebooks (IDR 120k)

Keluarga Binewski bukanlah keluarga biasa. Papa dan Mama Binewski merupakan visioner yang berambisi menjadi keluarga sirkus paling sukses dan terkenal di seantero Amerika Serikat. Tidak tanggung-tanggung, saking berambisinya, mereka memiliki metode tertentu untuk memastikan semua anak yang mereka lahirkan memiliki keunikan yang bisa menjadi aset besar sirkus mereka.

Arturo the Aquaboy lahir dengan sirip alih-alih tangan dan kaki, mengingatkan saya akan Deni si Manusia Ikan 🙂 Namun kelebihan utama Arturo adalah kharismanya yang luar biasa, mampu memengaruhi orang hingga ia memiliki serombongan groupies yang kerap mengikutinya saat sirkus berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya.

Si kembar siam Iphy dan Elly selalu ditunggu-tunggu penampilannya, bukan saja karena duet piano mereka yang menakjubkan, tapi lebih karena kecantikan mereka yang terlihat makin menonjol dengan kondisi tubuh mereka yang unik.

Narator kisah ini, Oly, dianggap kurang memuaskan karena nyaris terlihat normal dibandingkan saudara-saudaranya, kalau saja ia tidak memiliki punuk di punggungnya serta kondisi albino yang membuatnya terlihat agak seperti bagian dari kisah horror. Namun, Oly merasa ia tidak memiliki bakat apapun seperti saudara-saudaranya.

Sedangkan anak termuda keluarga mereka, Chick, terlihat amat sangat normal seperti anak laki-laki pada umumnya, namun ternyata menyimpan kekuatan paling luar biasa yang membuat saudara-saudaranya (terutama Arturo) merasa terancam.

Kisah dimulai dengan narasi Oly yang sudah menginjak usia dewasa, ia tinggal di rumah kos dengan ibunya, Lil, yang sudah dementia dan tidak mengenali Oly sebagai anaknya, serta Miranda, pelukis muda yang -menurut Oly- adalah anak perempuannya namun tidak mengetahui fakta tersebut.

Bagaimana sampai Oly tiba di situasi itu? Di mana anggota keluarganya yang lain?

Oly perlahan-lahan membawa kita menelusuri kisah keluarga Binewski, dari sejak awal terbentuknya sirkus hingga menjadi salah satu atraksi paling terkenal di zamannya. Dari sana sedikit demi sedikit Oly juga membuka kisah kelam yang mengakibatkan kejatuhan keluarga Binewski. Sementara itu, Oly berusaha berdamai dengan masa lalunya dan ingin memastikan Miranda memiliki kehidupan yang lebih baik.

Geek Love adalah buku yang padat, dengan cerita penuh detail tentang salah satu keluarga teraneh yang pernah saya temui di dunia fiksi. Gaya penuturan Katherine Dunn kadang terasa agak lambat, dengan pilihan kata dan kalimat pretensius yang banyak memiliki makna filosofis. Saya sendiri cukup lama menamatkan buku ini karena ada beberapa bagian yang memerlukan waktu lebih untuk dicerna.

Namun kepiawaian Dunn mengolah kisah drama keluarga dysfunctional di sini memang patut diacungi jempol. Emosi saya ikut teraduk-aduk karena saya tidak memiliki satu karakter yang benar-benar saya sukai, semuanya memiliki porsi menyebalkan yang sama, yang membuat saya gemas sekaligus kasihan dengan mereka, terutama anak-anak yang tidak memiliki pilihan dilahirkan seperti kondisi mereka.

Saya memilih buku ini untuk Popsugar Challenge untuk kategori Seven Deadly Sins, dan saya benar-benar menemukan banyak sekali contoh dosa-dosa tersebut di buku ini. Ada Arturo, dengan jealousy dan pride nya, selalu ingin jadi yang utama, semacam memiliki megalomania sindrom yang mengerikan. Kemudian si kembar yang memanfaatkan kondisi tubuh mereka untuk memuaskan lust orang-orang yang penasaran, dan juga Papa dengan greed nya, selalu ingin sirkus mereka menjadi yang lebih dan lebih lagi, bahkan mengorbankan anak-anaknya untuk itu.

A great, albeit difficult read, about humanity and how close we are to create our own doom.

Submitted for:

Kategori: A book featuring one of the seven deadly sins

Circe by Madeline Miller

29 Friday Mar 2019

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 2 Comments

Tags

english, europe, fantasy, fiction, lovely heroine, mythology, romance, tragedy

Judul: Circe

Penulis: Madeline Miller

Penerbit: Bloomsbury Publishing (2018)

Halaman: 336p

Beli di: Periplus.com (IDR 192k, disc 20%)

Kisah berawal di istana Dewa Matahari yang paling berkuasa di antara kaum Titan, Helios. Seorang anak perempuan lahir, namun berbeda dari anak-anak lainnya, Circe tidak memiliki suara atau penampilan sempurna layaknya para dewi. Ia dibenci oleh kaumnya dan bahkan semakin ditakuti karena ternyata memiliki keahlian tersembunyi: sihir.

Suatu tragedi yang dipicu Circe membuatnya dihukum dan diusir ke sebuah pulau terpencil bernama Aiaia. Di sini Circe belajar banyak hal, tentang cinta, kehidupan, manusia, dan terutama, tentang dirinya sendiri. Circe tahu takdir tidak bisa dilangkahi dan ia memang dilahirkan sebagai dewi yang immortal. Namun mengapa keingintahuan dan kepeduliannya terhadap manusia, kaum yang fana, seolah mengalahkan keinginannya untuk hidup selamanya? Untuk menemukan jawaban yang akan menentukan jalan hidupnya ini, Circe harus bersinggungan lebih dulu dengan kepedihan, kehilangan, dan orang-orang yang menyakiti hatinya lagi dan lagi.

Saya sendiri bukan termasuk penggemar -apalagi ahli- mitologi Yunani. Saya masih suka bingung apa bedanya Olympian dengan Titan, siapa itu Artemis dan Athena, dan mengapa Zeus merupakan dewa yang paling berkuasa. Rasa-rasanya kisah tentang para dewa ini terlalu banyak dipenuhi oleh drama dan kadang plot cerita ruwet yang tidak perlu, dan saya tidak punya cukup kesabaran untuk mengikutinya.

Namun anehnya, Circe berhasil memikat saya sejak halaman yang pertama. Saya belum pernah membaca buku Madeline Miller sebelumnya (The Song of Achilles merupakan karya yang melambungkan namanya), tapi saya langsung jatuh cinta dengan gaya bertuturnya yang sangat enak diikuti.

Layaknya the master of storytelling, Miller berhasil merunut kisah Circe menjadi rangkaian cerita menarik yang membuat kita mau tidak mau bersimpati padanya, sekaligus ingin akhir yang bahagia untuknya. Memang ada beberapa bagian yang agak lambat, terutama di awal kisah saat Circe masih berusaha mencari tahu jati dirinya. Namun tone cerita menjadi lebih cepat dan enak diikuti di pertengahan buku.

Dari buku ini juga saya jadi tahu tentang asal muasal beberapa mitologi lainnya, seperti naga Scylla yang melegenda, tokoh Odysseus yang sering disebut-sebut dalam tragedi Troya, serta banyak lagi kisah tentang para dewa-dewi Yunani yang lumayan banyak terlibat dalam hidup Circe. Tokoh favorit saya di buku ini entah kenapa adalah Hermes, si dewa iseng yang seringkali mengganggu Circe dan menjadikan hidupnya kacau, tapi kehadirannya justru membuat hidup Circe lebih berwarna.

Now I can’t wait to dive into Madeline Miller’s other book(s)!!

Laut Bercerita by Leila S. Chudori

10 Monday Sep 2018

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 2 Comments

Tags

bahasa indonesia, borrowed, fiction, historical fiction, indonesia, indonesia asli, literature, politics, popsugar RC 2018, tragedy

Judul: Laut Bercerita

Penulis: Leila S. Chudori

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG, cetakan ketiga, Januari 2018)

Halaman: 379p

Pinjam dari: Althesia

Kisah ini dituturkan oleh Biru Laut, mahasiswa aktivis yang kuliah di Yogya, yang pada tahun 1998 hilang diculik oknum tak dikenal dan selama berbulan-bulan disiksa, diinterogasi, dipukuli, disetrum dan ditindas, dipaksa untuk menjawab pertanyaan aparat mengenai gerakan aktivis yang ingin menggulingkan pemerintahan saat itu.

Laut mengajak kita untuk berkilas balik menelusuri kehidupannya. Awal perkenalannya dengan teman-teman yang nantinya akan berjuang bersamanya. Keluarganya yang saling mencintai, yang seringkali harus ia korbankan demi hasratnya memperjuangkan Indonesia yang lebih demokratis. Pertemuannya dengan cinta pertamanya, Anjani. Kegemarannya akan makanan dan obsesinya menyempurnakan resep warisan keluarga, mulai dari tengkleng hingga kuah Indomie istimewa yang menjadi ciri khasnya.

Laut adalah bagian dari sejarah Indonesia. Lewat penuturannya, kita diajak untuk menyelami masa-masa kelam penuh ancaman dan suasana mencekam selama diktator Orde Baru berkuasa. Tanpa mahasiswa seperti Laut dan teman-temannya, kenikmatan hidup bebas berdemokrasi saat ini tak akan pernah kita rasakan.

Secara pribadi, saya sendiri jauh lebih menyukai buku Laut Bercerita dibandingkan buku Leila sebelumnya yang juga sedikit menyinggung tentang perjuangan reformasi, Pulang. Laut Bercerita memiliki ramuan yang pas antara karakter-karakter yang digambarkan cukup dalam dan tidak terkesan klise, konflik yang tidak bertele-tele dan tentu saja, ending yang kepingin bikin berteriak-teriak saking emosionalnya. Kisah Laut sukses membuat air mata saya mengalir, perasaan tercabik-cabik dan hati yang remuk seolah saya sendiri berada di sana, ikut berjuang bersama para sahabat tersebut.

Tidak seperti dalam Pulang, Leila cukup konsisten menjaga tempo cerita dan karakter-karakternya sehingga tetap memikat hingga akhir. Meski ia berganti narator beberapa kali, namun semua babnya masih enak untuk diikuti. Ditambah lagi, tidak ada aura romans yang terlalu kental, atau cinta segitiga dan sejenisnya di sini. Semuanya diceritakan seperlunya saja, dan fokus kisah tentang perjuangan reformasi, serta persahabatan di antara para aktivis, cukup terjaga baik.

Buku ini saya rekomendasikan untuk segenap masyarakat Indonesia yang kerap lupa, yang seringkali bercanda tentang enaknya zaman Soeharto dan impian untuk kembali ke Orde Baru, untuk anak-anak muda yang bahkan tidak bisa membayangkan kengerian yang dialami oleh Laut dan teman-temannya, karena kengerian terbesar mereka mungkin hanyalah kehilangan wifi gratisan. Buku ini saya rekomendasikan untuk mereka yang masih butuh pengingat tentang pahlawan-pahlawan tanpa nama, yang bahkan hingga hari ini masih tidak diketahui keberadaannya. Buku ini saya rekomendasikan untuk yang masih ingin berjuang menyelesaikan pekerjaan rumah menumpuk yang masih dimiliki Indonesia. Buku ini saya rekomendasikan untuk siapapun yang masih mengaku mencintai Indonesia dan ingin yang terbaik bagi negara ini.

#menolaklupa

Dalam catatan penulis, Leila menyebutkan salah satu inspirasinya dalam menulis buku ini adalah the real reformation heroes, para mahasiswa dan aktivis yang berjuang hingga Indonesia bisa menikmati kebebasan demokrasi seperti saat ini. Dan di antara mereka, hingga kini masih ada 13 aktivis yang hilang (selain juga 9 korban penculikan yang berhasil kembali). Ada juga korban yang akhirnya ditemukan sudah dalam keadaan tidak bernyawa.

Siapa yang bertanggung jawab terhadap kasus-kasus penculikan ini? Bagaimana nasib ke-13 aktivis tersebut? Ini adalah PR besar pemerintah Indonesia, yang sayangnya hingga kini mashi mentok dan belum berhasil menemukan titik terang (alias belum memproses secara hukum para pelaku dan otak kejahatan ini). Bayangkan apa rasanya menjadi keluarga para aktivis korban penculikan ini, yang hingga kini bahkan tidak tahu nasib orang-orang yang mereka sayangi, bahkan memakamkan dengan layak pun mereka tidak bisa.

It’s a dark history of Indonesia. And please, do not ever forget.

Submitted for:

popsugarRC2018button

Category: A book by a local author

 

 

A Library of Lemons by Jo Cotterill

26 Monday Mar 2018

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ Leave a comment

Tags

book about books, british, children, dysfunctional family, english, fiction, grief, middle grade, popsugar RC 2018, tragedy, whats in a name 2018

Judul: A Library of Lemons

Penulis: Jo Cotterill

Penerbit: Piccadilly Press (2016)

Halaman: 249p

Beli di: Kinokuniya Plaza Senayam (IDR 131k)

This is a beautiful, heartbreaking story about a family who tried to deal with their loss.

Calypso adalah anak yang pendiam, dunianya dipenuhi dengan buku-buku, dan ia tidak merasa perlu memiliki teman. Sepeninggal ibunya, Calypso hanya hidup berdua dengan ayahnya di rumah yang sepi dan sudah bobrok. Ayah Calypso bekerja sebagai proofreader dan selalu tenggelam dalam naskah-naskahnya, ditambah lagi ia sedang menulis sebuah buku mengenai sejarah buah lemon.

Seringkali Calypso tidak menemukan makanan di rumahnya, dan ia malah bertindak sebagai kepala keluarga: mengurus rumah, makanan, hingga ayahnya.

Hidup Calypso berubah total saat Mae hadir. Mae, anak baru di sekolahnya, yang begitu mirip dengan Calypso, namun sekaligus sangat berbeda. Mae juga menyukai buku, namun ia adalah anak periang, dengan keluarga yang hangat, yang tidak takut mengekspresikan emosi mereka, meski itu berarti harus berkonfrontasi satu sama lain. Sementara Calypso diajarkan ayahnya untuk selalu memendam emosinya supaya menjadi anak yang kuat, terlebih setelah ibunya meninggal dunia.

Namun suatu penemuan besar di rumahnya membuat Calypso meragukan segala yang diajarkan ayahnya. Ada sesuatu yang sangat salah dengan ayahnya dan bagaimana caranya menghadapi masalah, terutama ketika sedang berduka. Calypso merasa ia perlu melakukan sesuatu untuk memperbaiki semuanya- namun bagaimana bila itu malah memperburuk suasana dan ia harus kehilangan ayahnya juga?

A Library of Lemons adalah jenis buku underrated yang tidak banyak bergaung, namun memiliki pesan yang kuat dan tersampaikan dengan sangat baik tanpa harus berlebihan.

Dealing with grief, adalah tema yang gampang-gampang susah. Saya pernah membahasnya baru-baru ini saat mereview buku Lily and the Octopus. Kalau berusaha terlalu keras, buku jenis ini malah berkesan dipaksakan dan kehilangan kehangatannya, malah kadang jadi bersifat preachy. A Library of Lemons, untungnya, bukan jenis buku seperti itu. Bersahaja, sederhana, namun amat mengena.

Calypso adalah tipe karakter utama yang mudah disukai, tidak mengasihani diri sendiri namun membuat kita tetap ingin melindunginya. Semua emosi yang terdapat di buku ini juga digambarkan dengan wajar, tidak berlebihan dan memang nyata dihadapi oleh orang-orang yang sedang berduka dan mengalami kehilangan mendalam.

A Library of Lemons sangat saya rekomendasikan terutama untuk yang sedang mencari referensi kisah dealing with grief bagi anak-anak. Buku ini menjadi perkenalan yang -meski heartbreaking, tetap juga heartwarming. Oiya, Calypso juga digambarkan sebagai si kutu buku, dan banyak referensi buku bagus juga dari kisah ini. Paket komplit!

Submitted for:

Category: A book about death or grief

 

Category: A fruit or vegetable

 

The Thing About Jellyfish by Ali Benjamin

09 Friday Sep 2016

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ 2 Comments

Tags

children, dramatic, english, fiction, friendship, middle grade, tragedy

the thing about jellyfishJudul: The Thing about Jellyfish

Penulis: Ali Benjamin

Penerbit: Macmillan Children’s Books (2015)

Halaman: 343p

Beli di: Books and Beyond (108k)

Fakta: ada sekitar 150 juta sengatan ubur-ubur yang terjadi setiap tahunnya. Ini berarti satu sengatan untuk setiap 46 orang di dunia, atau empat sampai lima sengatan setiap detiknya. Dan sebagian besar dari sengatan tersebut sangat mematikan.

 

Inilah hal-hal yang dipelajari oleh Suzy saat ia memutuskan untuk membuat penelitian dengan topik ubur-ubur untuk tugas sekolahnya.

Dan semakin banyak Suzy mempelajari tentang ubur-ubur, semakin yakinlah ia kalau sahabatnya, Franny, meninggal karena sengatan makhluk air tersebut. Habis, apa lagi penjelasannya? Franny adalah perenang andal yang sudah berenang sejak masih anak-anak, namun ia meninggal karena tenggelam di laut saat berlibur di Maryland.

Suzy bertekad ingin membuktikan hipotesisnya ini, bahkan berencana untuk mengontak para ahli ubur-ubur demi mendukung dugaannya. Namun penelitiannya ini membawa Suzy semakin jauh dari keluarganya, karena ia berhenti bicara sejak Franny meninggal.

Buku ini -seperti A Monster Calls– mengambil tema kedukaan, atau grieving, dan bagaimana beratnya perjuangan untuk menerima kepergian orang terkasih kita, terutama bila kita berpisah tidak dalam keadaan yang baik-baik saja.

Suzy adalah narator yang pas: mengundang simpati tanpa berkesan pathetic, apa adanya dan mudah dipahami. Saya menikmati format buku ini yang ditulis menyerupai laporan penelitian ilmiah, dengan metafora ubur-ubur yang terasa amat sesuai dengan pencarian Suzy terhadap kebenaran dan cara-caranya untuk menerima kenyataan menyedihkan yang ia hadapi.

Yang juga saya suka dari buku ini adalah peran keluarga yang dibuat sangat menonjol- satu hal yang kadang terlupakan dalam buku-buku young adult atau middle grade. Ibu dan ayah Suzy yang sudah berpisah, dan bagaimana kenyataan ini ikut memperkuat kekecewaan Suzy terhadap dunia dan keputusannya berhenti bicara, juga sedikit sempalan tentang hubungan Suzy dengan kakak laki-lakinya. Terutama, saya sangat suka dengan adegan akhir saat Suzy menelepon ayahnya. Very touching!

The Thing about Jellyfish adalah buku yang sederhana, namun amat memorable. Seperti buku bagus pada umumnya: tidak berlebihan, namun diramu dengan keren. Buku wajib untuk anak-anak usia middle grade, dan setiap pencinta kisah-kisah indah 🙂

The Book of Speculation by Erika Swyler

09 Tuesday Feb 2016

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

book about books, circus, dramatic, dysfunctional family, english, fiction, tragedy

book of speculationJudul: The Book of Speculation

Penulis: Erika Swyler

Penerbit: Corvus (2015)

Halaman: 339p

Beli di: Kinokuniya Ngee Ann City (SGD 29.95)

Simon Watson hidup sendirian di rumah keluarganya di Long Island Sound. Rumah tersebut sudah menjadi milik keluarga selama bergenerasi-generasi, dan menyimpan banyak kisah tragedi yang kerap menghantui mereka. Terletak di tepi tebing yang menjorok ke laut, rumah itu sebenarnya sudah sangat berbahaya dan tidak layak ditempati, apalagi banyak bagian di dalam dan luarnya yang sudah bobrok dan perlu perbaikan segera, namun Simon terlalu bangkrut untuk bisa melakukan apapun. Pekerjaannya sebagai pustakawan memang tidak memberikan pemasukan yang cukup untuk itu.

Suatu hari di bulan Juni, Simon menerima sebuah buku misterius dari pedagang buku antik yang tak dikenal. Pedagang itu mengirim buku tersebut pada Simon karena membaca nama Verona Bonn -yang merupakan nenek Simon dari pihak ibunya- di dalam buku. Buku misterius tersebut berkisah tentang sepasang kekasih yang hidup di tengah sirkus keliling lebih dari dua abad yang lalu, dan bagaimana tragedi menimpa mereka, yang akhirnya diturunkan ke generasi berikutnya termasuk nenek dan ibu Simon.

Dari buku aneh itu juga Simon mengetahui fakta mengerikan tentang keluarganya, terutama yang menimpa kaum perempuan: banyak dari mereka yang meninggal karena tenggelam di tanggal 24 Juli. Termasuk ibunya sendiri!

Kekalutan Simon membuatnya bertekad untuk menyelamatkan adik perempuan satu-satunya, Enola, yang bekerja di sebuah karnaval, dan memastikan ia tidak akan mengalami kisah tragis yang sama. Apakah Simon bisa memutuskan kutukan turun-temurun ini?

The Book of Speculation adalah jenis buku juicy yang pastinya akan menarik perhatian setiap pencinta buku- temanya tentang buku antik, tragedi keluarga dan kutukan turun-temurun, serta profesi aneh yang digeluti para karakternya (pembaca kartu tarot, ikan duyung dalam sirkus, penyelam andal) tampak terlalu menarik untuk dilewatkan. Dan harapan saya memang cukup tinggi saat mulai membaca buku ini. Apalagi settingnya juga seru: rumah tua bobrok di pinggir tebing kota tepi pantai yang bisa runtuh sewaktu-waktu.

Yang juga tidak biasa adalah karakter utama kisah ini, Simon Watson, yang sekaligus menjadi narator. Biasanya cerita fiksi sejarah dengan tema keluarga seringkali didominasi oleh suara perempuan, namun Erika Swyler mendobrak tradisi ini dan mengganti naratornya dengan sosok laki-laki, meski sentral cerita tetap berkisah pada tokoh-tokoh perempuan di dalamnya.

Saya cukup suka tema yang disajikan buku ini, meski terus terang unsur supranaturalnya terlalu fantastis buat saya. Ramalan tarot dan kutukan turun-temurun bukan sesuatu yang saya percayai 100 persen, karenanya menurut saya kisah ini lebih seperti fantasi dibandingkan kisah sejarah ‎keluarga. Saya juga -seperti biasa- lebih menyukai plot kisah masa lalu nenek moyang Simon- yang mengawali segala kutukan ini- dibandingkan kisah Simon dan Enola di masa kini.

Dan sejujurnya saya berharap lebih pada Book of Speculation, sebutan untuk buku antik yang menjadi pusat segala cerita di sini. Saya berharap Simon menghabiskan waktu lebih banyak dengan buku ini, dibandingkan mengurus kisah cintanya dengan anak tetangga yang agak menyedihkan. Di beberapa bagian, bahkan saya ingin Simon tidak usah muncul dulu, karena saya lebih tertarik dengan kisah misterius si buku kuno, yang sampai akhir agak tidak jelas ujung pangkalnya.

The Book of Speculation ingin menggabungkan banyak sekali unsur: sejarah keluarga, kisah sirkus dan tarot, kutukan dan dendam, misteri, drama adik kakak dan percintaan. Namun seperti biasa, buku yang ingin bercerita terlalu banyak kadang malah membuat pembacanya kenyang sebelum waktunya, dan itulah yang saya rasakan saat membaca buku ini. Seru sih, tapi seringkali hal-hal yang saya harap akan dijawab oleh penulisnya, malah dikesampingkan untuk plot atau misteri baru yang dimaksud supaya membuat kisah lebih seru lagi.

Saya tetap merekomendasikan buku ini -terutama untuk pembaca yang haus akan unsur magis- tapi lebih baik dinikmati saja tanpa pretensi, tanpa harapan apa-apa selain ikut duduk dengan Simon meratapi rumahnya yang hampir runtuh.

The Impossible Knife of Memory by Laurie Halse Anderson

09 Monday Feb 2015

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ 2 Comments

Tags

america, dramatic, dysfunctional family, english, fiction, lucky15, review 15, tragedy, war, young adult

impossible knifeJudul: The Impossible Knife of Memory

Penulis: Laurie Halse Anderson

Penerbit: Scholastic Children’s Books (2014)

Halaman: 374p

Beli di: Kinokuniya Nge Ann City (SGD 19.90)

How does it feel to live by fighting off your memories from the past?

Hayley tidak ingin mengingat masa lalunya- dia melawan segala hal yang bisa memicu kembalinya ingatan akan masa lalunya.

Hayley melawan ayahnya- seorang tentara veteran yang tidak mau mengakui kalau ia memiliki masalah besar karena trauma akan hari-harinya di medan perang. Hayley melawan guru-guru di sekolahnya- yang tanpa henti selalu berusaha membuatnya keluar dari cangkang. Hayley melawan Trish- ibu tiri yang dulu merawatnya dengan baik, namun sempat meninggalkannya sendirian. Dan Hayley bahkan melawan Finn- anak laki-laki nerdy dan baik hati yang tanpa sadar sudah merebut hatinya.

Hayley membenci dunia, namun ia lebih membenci keadaan ayahnya- yang bisa hidup seperti zombie dan selalu membuatnya ketakutan akan ditinggalkan sewaktu-waktu.

Dunia Hayley terasa semakin jungkir balik ketika satu demi satu, ingatan akan masa lalu yang selama ini berhasil dipendamnya, mulai muncul ke permukaan, memaksanya untuk menghadapi hidupnya dengan berani- bukan melawan, tapi menerima. Mampukah Hayley?

Laurie Halse Anderson. Satu nama yang -bagi saya- selalu merupakan jaminan mutu di salah satu genre yang biasanya sulit memuaskan saya- Young Adult.

Laurie selalu mampu mengangkat tema-tema serius tanpa harus berkesan pretensius alias berlebihan. Tema anorexia, pelecehan seksual, atau tekanan untuk masuk ke dunia kampus ivy league, berhasil ditulisnya dengan mulus, memorable, tapi tetap terasa light.

Kali ini Laurie mengangkat tema keluarga veteran- bagaimana perang bukan saja mempengaruhi korban di negara yang bersangkutan maupun para tentara yang berjuang, namun juga keluarga veteran tersebut. Rasa takut, trauma, ditambah pelarian menuju obat-obatan dan alkohol, adalah hal-hal yang biasa dihadapi oleh veteran perang- dan tentunya mempengaruhi keluarga mereka.

Laurie bermain-main dengan isu memori melalui penuturan yang cerdas: bagaimana memori Hayley dan Andy, ayahnya, saling bertaut dan bersilangan- menyusun keping-keping yang meski mereka coba lupakan, namun tak bisa disangkal, menjadi bagian erat hidup mereka.

Banyak dialog yang menyentuh antara Hayley dan Andy, yang membuat saya bisa melihat karakter mereka bukan hanya satu dimensi belaka. Dan hubungan antara ayah dan anak ini menjadi salah satu yang paling berkesan bagi saya.

Oya, bonus dari buku ini? Finn, cowok yang rasa-rasanya bisa menjadi kanditat kuat saya sebagai Book Boyfriend of The Year 😉 Saya jarang terpesona dengan karakter di buku YA, tapi Finn bisalah membuat saya serasa kembali ke jaman SMA 😀

Nih, saya kasih contekan sms-an ala Hayley dan Finn, setelah adegan unyu mereka melihat bintang 🙂

 “Flowers were sweet, stars spectacular, thx” (Hayley)

“Nxt to you, I didn’t notice any stars. Night” (Finn)

Swoon!!!!!

Submitted for:

Something New Category

Something New Category

We Were Liars by E. Lockhart

21 Thursday Aug 2014

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ 8 Comments

Tags

america, dysfunctional family, english, fiction, review 2014, summer, teens, tragedy, twisted, young adult

we were liarsTitle: We Were Liars

Writer: E.Lockhart

Publisher/Edition: Delacorte Press (First Edition, 2014)

Pages: 227p

Bought at: Periplus Bandara Soetta (IDR 186k, disc 10%)

This is a story about The Sinclair family, an old, rich family from Boston. They own a private island near Martha Vineyard called the Beechwood Island, where they spent their summers and each daughter has a house for their own family.

The grandchildren, along with a friend of family (and American Indian boy named Gat), have their own group. They called themselves the Liars.

The Liars are Cadence (our narrator), Johnny (the jock), Mirren (the rainbow) and Gat (the outsider). They shared their crazy moments, greatest fears and endless laughter. They love each other and think nothing can stop them.

Until one day, a sad, dark tragedy happened, and nothing is the same anymore. They drifted apart, and Cadence was the only one who can solve the problem, bring back the Liars as they used to be.

We Were Liars is the kind of book that you can easily love or hate with all your heart. Some can say it is unoriginal, pretentious and trying too hard to be brilliant. But I’m with the other side. The Liars captured my heart truly, maybe because they remind me of my own childhood with my cousins and siblings. Things that I missed the most and can’t have it anymore.

I love the way Lockhart pictured the Sinclairs, a snob but dysfunctional family with their covered up flaws.

The daughters who only cared about money- and the grandfather, super patriarch who was fairly racist.

But the grandkids, I love them. I love their chaotic relationships that -again- remind me of my own family. The days of crazy pranks, love and hate relationships and sneaking out in midnight coloring our hair purple 🙂 And the dogs! The golden retrievers that also always been a part of my life, just like the Sinclairs have.

Anyway. Either you’ll love or hate this book, but you have to admit that the juicy plots, beautiful setting and twisted ending- although not 100% original- fits the story nicely.

And even though some of the dialogues are pretty cheesy, I can still live with that 🙂

 

Map of Beechwood Island, land of the Sinclairs

Map of Beechwood Island, land of the Sinclairs

 

← Older posts

From the bookshelf

Categories

Looking for Something?

Enter your email address to follow Books to Share and receive notifications of new posts by email.

Join 1,036 other subscribers

Currently Reading

I’m a Proud Member! #BBI 1301004

Wishful Wednesday Meme

Fill your Wednesdays with wishful thinking =)

Popsugar Reading Challenge 2018

bookworms

  • aleetha
  • althesia
  • alvina
  • ana
  • annisa
  • bzee
  • dewi
  • dion
  • fanda
  • Ferina
  • helvry
  • inne
  • Kobo
  • maya
  • mei
  • melmarian
  • mia
  • ndari
  • nophie
  • oky
  • peri hutan
  • ren
  • Reygreena
  • sel sel kelabu
  • sinta
  • tanzil
  • tezar
  • yuska

shop til you drop

  • abe books
  • Amazon
  • better world books
  • book depository
  • BukaBuku
  • Buku Dedo
  • bukukita
  • vixxio

Top Posts & Pages

  • Spooktober Read (2): The Turn of the Screw by Henry James
    Spooktober Read (2): The Turn of the Screw by Henry James
  • The Rainmaker by John Grisham
    The Rainmaker by John Grisham
  • A Dance with Dragons by George R.R. Martin
    A Dance with Dragons by George R.R. Martin
  • The Best of Nancy Drew, Classic Collection Vol.1
    The Best of Nancy Drew, Classic Collection Vol.1
  • Popsugar Reading Challenge 2023
    Popsugar Reading Challenge 2023

Recent Comments

Puddin’ by Jul… on Dumplin’ by Julie M…
jesica on Abarat 2: Days of Magic, Night…
jesica on Abarat 2: Days of Magic, Night…
When the Stars Go Da… on The Paris Wife
Hapudin Bin Saheh on Insomniac City: New York, Oliv…

Blog at WordPress.com.

Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
  • Follow Following
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Join 1,036 other followers
    • Already have a WordPress.com account? Log in now.
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Customize
    • Follow Following
    • Sign up
    • Log in
    • Report this content
    • View site in Reader
    • Manage subscriptions
    • Collapse this bar
 

Loading Comments...