Judul: A Feast for Crows
Penulis: George R.R. Martin
Penerbit: Bantam Books (2011 Mass Market Edition)
Halaman: 1058p
Gift from: Anggun (Markituka)
Buku ke-4 dari serial ikonik Game of Thrones ini langsung melaju pesat menyambung akhir kisah buku ke-3. Perang 5 Raja sudah berada di ujung akhir, dan Westeros pun mulai berbenah menyambut era baru. Tapi apakah semuanya damai sejahtera? Ohoho, tentu saja tidak.
Di King’s Landing, adik Joffrey Baratheon, Tommen, yang belum lagi berumur 10 tahun, kini berkuasa menggantikan kakaknya. Ibunya, Cersei, tetap menjadi pemimpin yang sesungguhnya dan mengendalikan setiap keputusa Tommen. Namun, sifat Cersei yang over ambisius sekaligus paranoid, membuat Cersei kerap mengambil keputusan-keputusan bodoh, dibantu oleh para penasihatnya yang sama-sama tidak becus. Salah satu rencananya adalah menyingkirkan Margaery Tyrell, yang baru dinikahi Tommen. Cersei yakin Margaery akan merebut kekuasaan dari tangannya.
Sementara itu di daerah Riverland, akhir perang membawa kerumitan tersendiri, karena adanya pembagian dan perpindahan kekuasaan yang harus dilakukan. Termasuk di Riverrun, di mana paman Catelyn Stark masih berusaha mempertahankan kastil keluarga Tully. Jaime Lannister ditugaskan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, ditambah beberapa masalah pindah tangan kastil lainnya seperti Harenhall yang digosipkan berhantu.
Brienne of Tarth, yang di buku sebelumnya ditugaskan oleh Jaime untuk mencari keberadaan Sansa Stark, berkeliling di daerah Riverland, namun malah bertemu dengan orang-orang yang nantinya akan berperan banyak dalam pencariannya.
Beberapa peristiwa penting lainnya:
– Di daerah Iron Islands, setelah penguasa mereka Balon Greyjoy meninggal, diadakan pemilihan untuk mencari pengganti pucuk pimpinan Seastone Chair. Apakah adik-adik Balon, Victorion dan Crow’s Eye, atau anak perempuan Balon, Asha Greyjoy, yang akan memenangi pemilihan tersebut?
-Di Vale, Sansa yang menyamar menjadi anak Littlefinger yang bernama Alayne, bersembunyi dari dunia luar, namun harus mengeluarkan keberaniannya saat musim dingin semakin memuncak dan seluruh penghuni kastil Eyrie harus turun ke bawah dan bergabung bersama penduduk Vale yang lain.
-Arya mengungsi ke Braavos untuk mencari Jaquen H’ghar, namun malah bertemu dengan sebuah sekte yang pekerjaannya adalah menghilangkan nyawa orang-orang yang ingin meninggalkan kehidupan. Arya memutuskan untuk bergabung dengan mereka tanpa tahu apa yang menantinya di depan sana.
-Samwell Tarly diperintahkan Jon Snow untuk meninggalkan The Wall dan belajar ke Citadel untuk menjadi Maester. Pelayaran yang dialami Sam sangat berat, ditambah lagi ia harus mengurus Maester Aemon yang sakit keras dan Gilly serta bayinya yang baru pertama kali naik kapal.
– Di Dorne, ada pemberontakan yang sedang direncanakan oleh Putri Arienne, anak perempuan Prince Doran, yang ingin mengangkat Putri Myrcella (yang dijodohkan dengan adik laki-laki Arienne) menjadi penguasa Iron Throne menggantikan adiknya, Tommen.
A Feast for Crows memiliki keanehan: tidak menyinggung sama sekali kisah dari sudut pandang Jon Snow, Bran, Daenerys dan juga Stannis. Ke mana mereka semua? Apa yang terjadi?
Di bagian belakang buku, saya baru menemukan jawabannya dari sang penulis. Martin mengungkapkan bahwa awalnya ia menulis keseluruhan kisah buku ke-4 termasuk dari sudut pandang karakter-karakter yang saya sebut tadi. Tapi karena akhirnya buku tersebut menjadi terlalu panjang, Martin memutuskan untuk membaginya menjadi dua bagian: A Feast for Crows dan A Dance with Dragons. Ia memfokuskan buku Feast for Crows di daerah King’s Landing dan sekitarnya, dan akan membahas daerah-daerah lain termasuk The Wall dan Daenerys yang ada di seberang lautan di buku berikutnya.
Dampaknya cukup terasa sih. Menurut saya buku ini jadi agak lebih membosankan karena fokusnya yang terlalu sempit, dan sudut pandang karakter yang tidak sevariatif biasanya. Apalagi, banyak dari karakter yang dihilangkan tersebut justru memegang kunci cerita, seperti Daenerys dan Tyrion. Jadi berasa gantung juga, terpaksa menahan rasa penasaran ini sampai di buku selanjutnya.
Ditambah lagi, beberapa sudut pandang di buku ini benar-benar membuat saya darah tinggi dan semakin benci dengan beberapa karakter. Tidak seperti buku-buku sebelumnya, di mana saya bisa jadi bersimpati dengan Jaime dan Tyrion Lannister, di sini saya tidak bisa berkata hal yang sama saat membaca kisah dari sudut pandang Cersei Lannister atau Asha Greyjoy. Buat saya, mereka tetap sebitchy, bahkan lebih bitchy dari sebelumnya.
Tema feminis juga menjadi cukup kental di buku ini, dengan hadirnya beberapa tokoh perempuan super yang ingin membuktikan dirinya lebih hebat dari laki-laki. Sayangnya, saya tidak bisa bersimpati dengan mereka. Cersei, Asha dan Arianne adalah contoh beberapa perempuan gila kuasa yang rela menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan mereka, yang hanya sekadar ingin membuktikan pengaruhnya kepada orang-orang sekitar. Simpati hanya bisa saya berikan pada Brienne of Tarth, yang di buku ini cukup mendapat porsi besar dan dibuat lebih manusiawi.
Saya jadi tidak sabar ingin membaca A Dance with Dragons yang sampai saat ini merupakan buku terakhir yang sudah diterbitkan dari serial ini. Tapi pertanyaannya: setelah Dragons, berapa lama lagi kita harus menunggu Martin menerbitkan buku selanjutnya?? Berapa lama lagi kita akan dibuat penasaran oleh sang penulis?