• About this blog
  • Clearance Sale!
  • Newbery Project
  • Popsugar Reading Challenge 2023
  • Previous Challenges
    • BBI Read and Review Challenge 2017
    • Challenges 2014
    • Challenges 2015
    • Lucky No.14 Reading Challenge
    • Lucky No.15 Reading Challenge
    • POPSUGAR Reading Challenge 2017
    • Popsugar Reading Challenge 2018
    • Popsugar Reading Challenge 2020
    • Popsugar Reading Challenge 2021
    • Popsugar Reading Challenge 2022
    • What’s in a Name 2018
    • Twenty-Ten Challenge
    • Challenges 2012
    • Challenges 2013
  • Round Ups
  • The Librarian

~ some books to share from my little library

Tag Archives: movie tie in

The Case of the Missing Marquess by Nancy Springer

01 Saturday May 2021

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ 1 Comment

Tags

british, feminist, historical fiction, lovely heroine, middle grade, movie tie in, mystery, series, young adult

Judul: The Case of the Missing Marquess (Enola Holmes Mystery #1)

Penulis: Nancy Springer

Penerbit: Puffin Books (2011, reissued edition)

Halaman: 216p

Beli di: Periplus (IDR 106k)

Enola Holmes adalah adik perempuan Sherlock dan Mycroft Holmes, yang usianya terpaut cukup jauh dengan kedua abangnya. Ia tinggal berdua dengan ibunya di estate keluarga Holmes, dan nyaris tidak pernah bertemu dan mengenal kedua saudara laki-lakinya.

Saat ulang tahunnya yang ke-14, Enola dikejutkan oleh peristiwa menghilangnya ibunya, tanpa petunjuk apapun, selain fakta yang menyatakan bahwa ibunya pergi dengan keinginan sendiri, bukan diculik atau terlibat kejahatan lainnya.

Enola menghubungi kedua abangnya, namun alih-alih mendapat perlindungan dan dukungan seperti yang ia harapkan, Enola malah dipaksa untuk masuk ke sekolah anak perempuan, terutama setelah Mycroft menyadari kalau uang yang selama ini ia kirim kepada sang ibu tidak digunakan untuk pendidikan Enola seperti yang ia perintahkan, tapi malah disimpan ibunya untuk tujuan misterius.

Enola, yang tidak mau terkurung di sekolah anak perempuan dan kehilangan kebebasan yang amat ia cintai, memutuskan untuk ikut kabur dari rumah, dan menyelidiki misteri ini sendiri. Namun, di tengah pelarian dan penyelidikannya, Enola malah dihadapkan oleh kasus lain, yaitu menghilangnya seorang Marquess, anak laki-laki bangsawan yang juga lenyap tanpa jejak.

Mengandalkan kecerdikan dan kemampuan untuk berpikir mandiri, seperti yang diajari ibunya, Enolla pun mengikuti petunjuk demi petunjuk, namun apa yang disangkanya adalah peristiwa kaburnya anak laki-laki dari rumah, ternyata menyimpan misteri yang lebih pelik. Sementara itu, Enola juga harus berpikir cepat supaya kedua abangnya, terutama sang detektif ulung, bisa mencium jejaknya di kota London.

Enola Holmes adalah serial yang menyegarkan, dan merupakan salah satu favorit saya dari banyaknya spinoff atau pastiche kisah-kisah Sherlock Holmes. Sosok Enolla yang mandiri, keras kepala, namun lugu, cerdik namun seringkali mengambil keputusan yang terlalu nekat, sangat menyenangkan untuk diikuti. Ia pun masih digambarkan manusiawi, penuh flaws, dan keinginan terpendamnya supaya bisa memiliki keluarga utuh, terutama bisa dekat dengan abang yang amat ia kagumi (namun sepertinya tidak peduli dengan dirinya), juga kerap mengundang simpati.

Nancy Springer banyak membahas tentang isu feminisme di buku ini, terutama berkaitan dengan kegiatan sufragist di Inggris, saat kaum perempuan masih dianggap sebelah mata dan berjuang super keras untuk mendapatkan hak-hak mereka. Enola sedikit banyak dipengaruhi oleh pemikiran ibunya yang amat progresif, namun ia juga berusaha mencari tahu sendiri apa yang ia inginkan di dunia ini, di usianya yang masih terbilang muda.

Untuk yang sudah menonton filmnya di Netflix, saya rasa akan bisa menikmati lebih lanjut petualangan Enola lewat buku-bukunya. Kisah filmnya tidak sama persis dengan buku, dan ada lebih banyak bumbu romans ala remaja di versi film, dibandingkan versi buku yang lebih dalam membahas pencarian jati diri Enola. Saya sendiri mau tidak mau terus membayangkan sosok Millie Bobby Brown sebagai Enola, yang memang terasa sangat pas memerankan tokoh tersebut.

Serial Enola Holmes terdiri dari 6 buku, dan saya rasa Netflix tertarik untuk mengadaptasi semua (atau sebagian besarnya) dalam versi film. Hopefully they will do the justice to them, like they did to the first movie.

Meanwhile, let’s dig the books more!

Enola Holmes, Netflix series

Rating: 4/5

Recommended if you like: middle grade mysteries, strong female character, historical London, good Sherlock Holmes spin-off

Spooktober Read (1): Rebecca by Daphne du Maurier

19 Thursday Nov 2020

Posted by astrid.lim in Uncategorized

≈ Leave a comment

Tags

british, classics, english, fiction, lovely heroine, movie tie in, romance, spooktober, suspense/thriller, twist ending

I dedicated October to read spooky books, even though I am a scaredy cat and usually prefer not to read stories that will make me hard to sleep at night XD

Because I’m not a fan of ghost and gory stories, I focused more on the gothic genre. Spooky houses, vague thrills, suspense and -sometimes- murders – those are my stuff!! I will try to review some of the best ones, and this is my first entry, and one of the best books I’ve read in October: Rebecca, by Daphne du Maurier.

Title: Rebecca

Writer: Daphne du Maurier

Publisher: Avon (2002, mass market paperback)

Pages: 380p

Bought at: BookDepository (IDR 135k)

Genre: Gothic, Suspense, Romance, Mystery

I’ve heard a lot about this book, it’s all over the best of classics lists. But I was never really interested in reading it, not until Netflix decided to make a movie based on the book. As a firm believer that the book will always be better, I’ve decided to read it before watching the movie.

One of my favorite things from gothic books is the atmospheric setting – especially the magnificent old houses that usually become a separate character by its own. And Rebecca didn’t disappoint me, because Manderley is wonderful, and probably one of the strongest and most memorable settings I’ve ever read in a book.

The story began with an anonymous girl from a poor family who worked as a companion of a rich lady and accompanied her to Monte Carlo for a vacation. The girl (whose name was not revealed at all in the book) met with a mysterious handsome gentleman, Mr. Maxim de Winter, and quickly fell for him. Because this was in 1920s, things were moving rather fast, and the girl (without any hints or preparations), suddenly became the next Mrs. de Winter.

But what happened with the previous Mrs. de Winter? Rebecca was her name, and she was all over the book without really being there in person. She was dead about a year ago, drown in the sea near Manderley. But her personality was too strong to just diminish with her body. And that’s where the story became more and more interesting.

The young Mrs. de Winter, inexperienced that she was, came to Manderley, Maxim’s family heirloom, a grand house near the sea, with so many rooms and the garden like paradise. But of course, she wasn’t prepared at all. Especially when she met with Mrs. Danvers – a Rebecca loyalist, full of hatred and jealousy that her former lady was replaced by this so called urchin girl, with no proper background and education and especially lack of ladylike attitude.

And this is where things were getting juicy – with the devilish Mrs. Danvers who always had suspicious tricks for Mrs. de Winter, and Manderley itself, with Rebecca’s footprints everywhere (from her writing in the desk to her immaculate bedroom) – felt very threatening for the young mistress. Moreover, she was inexperienced and very insecure too, and I think one of the best parts about the book was the way Daphne du Maurier portrayed the insecurities perfectly, therefore making us voluntarily became her allies. You can’t help but sympathize with her.

The ending itself was quite dramatic, but somehow fit excellently with the vibe of the story.

Netflix movie

So do I think Netflix did justice to Rebecca? Hmm.. I honestly can’t 100% agree with it. For me, the experience of being inside the head of Mrs. de Winter, her helpless love of Maxim, and her neverending fear of Rebecca, was what made the book feel superior. Nothing can compare to that feeling, and the movie certainly can’t make me feel that way.

Moreover, the movie changed Mrs. de Winter’s character into someone who was becoming braver and more independent, something that was not in the book at all and inadvertently changed the whole tone of the movie. But – the castings are great, I love Lily James and Armie Hammer, and the setting is wonderful, especially Manderley.

If you haven’t read the book though, I would suggest you to read it first before watching the movie, because the sensation is different 🙂

I recommend Rebecca if you like:

  • suspenseful romance
  • 1920 gothic vibes
  • atmospheric setting (especially old houses!)
  • strong, detailed characterizations
  • British snobs
  • dark, gloomy man (and mysterious ex!)
  • twisted ending

The Gunslinger by Stephen King

30 Tuesday Oct 2018

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

bahasa indonesia, fantasy, fiction, Gramedia, horror, movie tie in, popsugar RC 2018, science fiction, series, terjemahan

Judul: The Gunslinger (Sang Gunslinger), The Dark Tower #1

Penulis: Stephen King

Penerjemah: Femmy Syahrani

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2016)

Halaman: 304p

Beli di: HobbyBuku (IDR 91k, disc 20%)

The Gunslinger merupakan buku pertama dari serial The Dark Tower, yang adalah salah satu masterpiece karya Stephen King. Di sini kita diperkenalkan kepada Roland Deschain, Gunslinger (penyandang pistol???) terakhir dari Gilead. Dunianya amat sangat sunyi, dan tujuan hidupnya cuma satu: memburu si lelaki berbaju hitam, iblis yang mampu membangkitkan orang mati dan memorakporandakan sisa dunia yang sudah sekarat ini. Apa yang terjadi sebelum dunia menjadi seperti ini, dikisahkan dengan amat perlahan melalui kilas balik memori si Gunslinger.

Namun dalam perjalanannya, Roland bertemu dengan beberapa karakter yang akan mengubah kehidupannya, meski tekadnya masih tetap sama: mengejar si lelaki berbaju hitam, dan mencapai destinasi terakhir, Menara Gelap, yang masih menjadi misteri hingga buku pertama ini selesai.

Menikmati Gunslinger haruslah dengan kehati-hatian, tidak perlu buru-buru apalagi berharap dengan adegan chaos dan twist yang terus menerus. Unsur ketegangannya tetap terasa, dan kadang hadir melalui kejutan penuh adegan gory yang tidak disangka-sangka. Bagaimanapun, Stephen King tetaplah rajanya kisah fiksi horor fantasi yang tidak tersaingi. Hanya saja dalam buku ini, terlihat sekali kemampuannya mengolah unsur tegang tadi dalam kisah yang sunyi dan lambat, bahkan kadang terkesan monoton. B

Bahasa yang digunakan juga banyak yang merupakan metafora yang kadang sulit dibedakan dari bagian yang ditulis dengan kalimat non metafora, saking absurdnya setting yang dipakai. Saya sendiri awalnya sangsi akan bisa menikmati The Gunslinger. Apalagi karena memang saya belum familiar sama sekali dengan serial Dark Tower, yang digadang-gadang sebagai karya terbesar King sepanjang kariernya.

Tapi ternyata, tanpa ekspektasi yang berlebih, saya malah bisa lumayan menikmati kisah Roland yang sunyi dan mencekam. Setting Gilead dan dunia aneh yang Roland tempati, awalnya memang bikin depresi karena kekelamannya dan nuansa tanpa harapan yang menguasai keseluruhan cerita. Namun belakangan, setelah mengenal Roland lebih dalam (meski sosoknya masih menyimpan banyak sekali misteri), saya mau tidak mau jadi bersimpati dengannya dan menyemangati tujuan pengejarannya (meski, sekali lagi, banyak misteri yang menyelubungi misi tersebut). Beberapa karakter yang ia temui di sepanjang perjalanannya, baik yang hanya singkat maupun yang cukup lama mendampinginya, juga membawa warna tersendiri yang membuat saya bertanya-tanya apakah mereka akan mempunyai peran lebih lanjut di seri berikutnya.

Bagaimanapun, The Gunslinger berhasil membuat saya tergelitik untuk menguak kisah Dark Tower lebih jauh, dan voila, buku kedua (yang juga sudah diterjemahkan oleh GPU) berhasil saya genggam. Pertanyaannya tinggal: kapan saya akan melanjutkan kisah petualangan Roland ya? ☺

The Movie

The Gunslinger diangkat ke layar lebar tahun 2017 lalu, dengan Idris Elba sebagai pemeran Roland, dan Matthew McConaughey sebagai si Lelaki Berbaju Hitam. Saya sendiri belum menonton film besutan Nicolaj Arcel ini, tapi berdasarkan beberapa review yang saya baca, sepertinya film ini kurang mendapatkan sambutan yang baik. Beberapa kritik mengatakan kalau film ini terlalu segmented, tidak bisa dimengerti oleh penonton yang belum membaca serial Dark Tower. Namun ada juga kritik yang mengatakan kalau film ini juga tidak memuaskan dari sudut pandang fans Stephen King dan Dark Tower.

Saya sendiri belum berminat menonton filmnya, meski cukup penasaran juga dengan sosok Idris Elba sebagai si Gunslinger 🙂

Submitted for:

Category: A book set on a different planet

 

Murder on The Orient Express by Agatha Christie

28 Friday Jul 2017

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 6 Comments

Tags

agatha christie, bahasa indonesia, BBI, bbi review reading 2017, british, classic, Gramedia, movie tie in, mystery, popsugar RC 2017, terjemahan

Judul: Murder on The Orient Express

Penulis: Agatha Christie

Penerjemah: Gianny Buditjahja

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (Januari 2014)

Halaman: 360p

Beli di: HobbyBuku (Bundel Agatha Christie)

Orient Express adalah kereta api mewah yang membawa penumpangnya melintasi daerah Timur Tengah menuju ke benua Eropa. Poirot berada dalam kereta ini di suatu musim dingin yang ganas, dan cuaca buruk menyebabkan kereta tersebut terperangkap salju di tengah pegunungan Balkan.

Kondisi ini diperburuk dengan terjadinya pembunuhan salah satu penumpang kereta yang ditusuk berulang-ulang secara brutal. Poirot pun diminta bantuan untuk memecahkan kasus ini sebelum kereta kembali berjalan.

Di tengah situasi mencekam, Poirot mewawancarai penumpang yang terdiri dari beragam latar belakang, kewarganegaraan, profesi dan status sosial. Ada guru pengasuh wanita yang bersikap dingin, sekretaris sang korban yang bisa bicara dalam berbagai bahasa, pedagang Amerika, grand dame Rusia, juru rawat dari Swedia, diplomat Hungaria, dan beberapa karakter lainnya. Namun semakin dalam penyelidikan Poirot, semakin banyak pulalah fakta tersembunyi yang ditemukannya. Termasuk identitas korban yang ternyata merupakan kriminal dengan banyak musuh.

Orient Express adalah salah satu mahakarya Agatha Christie. Fenomenal, fantastis, dan sangat memorable, kisahnya berada di level yang sama sekali berbeda dari buku-bukunya yang lain. Mungkin yang cukup mendekati hanyalah And Then There Were None serta The Murder of Roger Ackroyd.

Poirot berada dalam salah satu kondisinya yang terbaik (tidak terlalu tua, marah-marah atau sinis, dan masih tersisa selera humornya yang khas), dan setting kisah ini terasa cocok dengan nuansa misteri secara keseluruhan. Karakter-karakternya pun dibuat secara teliti, semuanya mungkin untuk dicurigai, dan inilah yang membuat buku ini begitu menarik- tidak ada karakter tempelan!

Saya pribadi selalu menyukai kisah misteri Agatha Christie yang mengambil latar belakang alat transportasi seperti pesawat dan kapal laut. Orient Express sendiri memiliki daya tarik yang membuat kisah ini semakin memikat untuk diikuti. Sebagai info, saat ini masih ada kereta Orient Express dengan rute London ke Venice, seharga £ 2,300 saja 😀

The Movie

Murder on the Orient Express akan diangkat ke layar lebar bulan November 2017 ini, dengan diramaikan oleh nama-nama besar. Kenneth Branagh, selain ditampuk sebagai sutradara, untuk pertama kalinya akan memerankan detektif kenamaan Hercule Poirot (saya sendiri masih memiliki mixed feelings terhadap interpretasi kumis Poirot di sini), dan Johnny Depp tampil sebagai Ratchett, sang korban yang tidak menarik simpati siapapun. Apapun hasilnya, saya tetap penasaran untuk menonton film ini!

Submitted for:

Category: A book that’s becoming a movie in 2017

Kategori: Lima Buku Dari Penulis yang Sama

A Feast for Crows by George R.R. Martin

16 Thursday Feb 2017

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 2 Comments

Tags

bbi review reading 2017, english, fantasi, fiction, movie tie in, series

a-feast-for-crowsJudul: A Feast for Crows

Penulis: George R.R. Martin

Penerbit: Bantam Books (2011 Mass Market Edition)

Halaman: 1058p

Gift from: Anggun (Markituka)

Buku ke-4 dari serial ikonik Game of Thrones ini langsung melaju pesat menyambung akhir kisah buku ke-3.  Perang 5 Raja sudah berada di ujung akhir, dan Westeros pun mulai berbenah menyambut era baru. Tapi apakah semuanya damai sejahtera? Ohoho, tentu saja tidak.

Di King’s Landing, adik Joffrey Baratheon, Tommen, yang belum lagi berumur 10 tahun, kini berkuasa menggantikan kakaknya. Ibunya, Cersei, tetap menjadi pemimpin yang sesungguhnya dan mengendalikan setiap keputusa Tommen. Namun, sifat Cersei yang over ambisius sekaligus paranoid, membuat Cersei kerap mengambil keputusan-keputusan bodoh, dibantu oleh para penasihatnya yang sama-sama tidak becus. Salah satu rencananya adalah menyingkirkan Margaery Tyrell, yang baru dinikahi Tommen. Cersei yakin Margaery akan merebut kekuasaan dari tangannya.

Sementara itu di daerah Riverland, akhir perang membawa kerumitan tersendiri, karena adanya pembagian dan perpindahan kekuasaan yang harus dilakukan. Termasuk di Riverrun, di mana paman Catelyn Stark masih berusaha mempertahankan kastil keluarga Tully. Jaime Lannister ditugaskan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, ditambah beberapa masalah pindah tangan kastil lainnya seperti Harenhall yang digosipkan berhantu.

Brienne of Tarth, yang di buku sebelumnya ditugaskan oleh Jaime untuk mencari keberadaan Sansa Stark, berkeliling di daerah Riverland, namun malah bertemu dengan orang-orang yang nantinya akan berperan banyak dalam pencariannya.

Beberapa peristiwa penting lainnya:

– Di daerah Iron Islands, setelah penguasa mereka Balon Greyjoy meninggal, diadakan pemilihan untuk mencari pengganti pucuk pimpinan Seastone Chair. Apakah adik-adik Balon, Victorion dan Crow’s Eye, atau anak perempuan Balon, Asha Greyjoy, yang akan memenangi pemilihan tersebut?

-Di Vale, Sansa yang menyamar menjadi anak Littlefinger yang bernama Alayne, bersembunyi dari dunia luar, namun harus mengeluarkan keberaniannya saat musim dingin semakin memuncak dan seluruh penghuni kastil Eyrie harus turun ke bawah dan bergabung bersama penduduk Vale yang lain.

-Arya mengungsi ke Braavos untuk mencari Jaquen H’ghar, namun malah bertemu dengan sebuah sekte yang pekerjaannya adalah menghilangkan nyawa orang-orang yang ingin meninggalkan kehidupan. Arya memutuskan untuk bergabung dengan mereka tanpa tahu apa yang menantinya di depan sana.

-Samwell Tarly diperintahkan Jon Snow untuk meninggalkan The Wall dan belajar ke Citadel untuk menjadi Maester. Pelayaran yang dialami Sam sangat berat, ditambah lagi ia harus mengurus Maester Aemon yang sakit keras dan Gilly serta bayinya yang baru pertama kali naik kapal.

– Di Dorne, ada pemberontakan yang sedang direncanakan oleh Putri Arienne, anak perempuan Prince Doran, yang ingin mengangkat Putri Myrcella (yang dijodohkan dengan adik laki-laki Arienne) menjadi penguasa Iron Throne menggantikan adiknya, Tommen.

A Feast for Crows memiliki keanehan: tidak menyinggung sama sekali kisah dari sudut pandang Jon Snow, Bran, Daenerys dan juga Stannis. Ke mana mereka semua? Apa yang terjadi?

Di bagian belakang buku, saya baru menemukan jawabannya dari sang penulis. Martin mengungkapkan bahwa awalnya ia menulis keseluruhan kisah buku ke-4 termasuk dari sudut pandang karakter-karakter yang saya sebut tadi. Tapi karena akhirnya buku tersebut menjadi terlalu panjang, Martin memutuskan untuk membaginya menjadi dua bagian: A Feast for Crows dan A Dance with Dragons. Ia memfokuskan buku Feast for Crows di daerah King’s Landing dan sekitarnya, dan akan membahas daerah-daerah lain termasuk The Wall dan Daenerys yang ada di seberang lautan di buku berikutnya.

Dampaknya cukup terasa sih. Menurut saya buku ini jadi agak lebih membosankan karena fokusnya yang terlalu sempit, dan sudut pandang karakter yang tidak sevariatif biasanya. Apalagi, banyak dari karakter yang dihilangkan tersebut justru memegang kunci cerita, seperti Daenerys dan Tyrion. Jadi berasa gantung juga, terpaksa menahan rasa penasaran ini sampai di buku selanjutnya.

Ditambah lagi, beberapa sudut pandang di buku ini benar-benar membuat saya darah tinggi dan semakin benci dengan beberapa karakter. Tidak seperti buku-buku sebelumnya, di mana saya bisa jadi bersimpati dengan Jaime dan Tyrion Lannister, di sini saya tidak bisa berkata hal yang sama saat membaca kisah dari sudut pandang Cersei Lannister atau Asha Greyjoy. Buat saya, mereka tetap sebitchy, bahkan lebih bitchy dari sebelumnya.

Tema feminis juga menjadi cukup kental di buku ini, dengan hadirnya beberapa tokoh perempuan super yang ingin membuktikan dirinya lebih hebat dari laki-laki. Sayangnya, saya tidak bisa bersimpati dengan mereka. Cersei, Asha dan Arianne adalah contoh beberapa perempuan gila kuasa yang rela menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan mereka, yang hanya sekadar ingin membuktikan pengaruhnya kepada orang-orang sekitar. Simpati hanya bisa saya berikan pada Brienne of Tarth, yang di buku ini cukup mendapat porsi besar dan dibuat lebih manusiawi.

Saya jadi tidak sabar ingin membaca A Dance with Dragons yang sampai saat ini merupakan buku terakhir yang sudah diterbitkan dari serial ini. Tapi pertanyaannya: setelah Dragons, berapa lama lagi kita harus menunggu Martin menerbitkan buku selanjutnya?? Berapa lama lagi kita akan dibuat penasaran oleh sang penulis?

 

 

Before I Go To Sleep by S.J. Watson

11 Tuesday Oct 2016

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 4 Comments

Tags

english, fiction, movie tie in, mystery, psychology, secondhand books, suspense, thriller, twist ending

before-i-go-to-sleepJudul: Before I Go To sleep

Penulis: S.J. Watson

Penerbit: HarperCollins (2012, First International Mass Market)

Halaman: 368p

Beli di: Bukumoo (IDR 50k)

Salah satu genre favorit saya sepanjang masa adalah thriller-mystery. Saya (yang tidak suka genre horror tapi suka ditakut-takuti) selalu excited dengan pace yang cepat, intens, plot twist dan karakter yang tidak reliable.

Menurut premisnya, Before I Go To Sleep masuk ke dalam kategori ini.

THE PLOT:

Sejak insiden misterius yang menimpanya, Christine Lucas tidak memiliki memori jangka panjang lebih dari 24 jam. Setiap pagi, ia bangun dalam keadaan clueless tentang ruangan yang ditempatinya, umurnya, bahkan laki-laki yang berbaring di sebelahnya dan mengaku adalah suaminya, Ben.

Frustrasi ingin mengingat lebih banyak, dan merasa sangat vulnerable karena tidak berhasil, Christine suatu hari dikejutkan oleh telepon dari laki-laki yang mengaku sebagai dokternya, Dr. Nash, yang memberitahunya kalau Christine ternyata memiliki jurnal yang berisi informasi yang dikumpulkannya sedikit demi sedikit tentang fakta-fakta hidupnya, yang tujuannya adalah untuk mengembalikan memorinya.

Namun Christine terkejut saat membaca tulisannya di halaman depan: Do Not Trust Ben.

Siapa yang harus ia percayai?

THE TWIST:

Saya selalu berharap dikejutkan oleh twist dramatis (tapi tetap realistis) dari buku-buku sejenis ini. Kenikmatan membaca buku bergenre thriller mystery adalah secara bertahap dibuat tegang, lalu meledak menjadi kejutan di bagian akhir yang tidak tertebak tapi sekaligus bisa memberikan penjelasan yang memuaskan.

Sayangnya- Before I Go To Sleep belum bisa masuk ke dalam golongan ini (buat saya). Twistnya sudah tercium kuat dari pertengahan buku, tapi saya masih berharap saya salah, karena menurut saya penyelesaian tersebut tidak masuk akal dan akan terlalu dipaksakan. Namun ternyata dugaan saya benar, dan alih-alih puas karena berhasil menebak, saya justru kecewa. Ketegangan dan misteri yang terbangun cukup baik dari awal, terasa merosot dan sia-sia dengan ending yang terlalu dipaksakan.

THE VERDICT

Menurut saya, kisah Before I Go To Sleep memiliki Premis yang baik, cocok untuk penyuka thriller psikologis, dan ketegangannya juga cukup terjaga. Saya menyelesaikan buku ini dalam satu hari karena memang tidak bisa berhenti, rasa penasaran itu berhasil dibuat menumpuk (at least untuk membuktikan kalau tebakan saya salah dan ada kejutan lain menunggu di akhir buku).

Tapi sayangnya, twist di bagian ending kurang oke, menghilangkan dua bintang (dari lima bintang) yang saya sematkan pada buku ini. Konsistensi adalah kunci kesuksesan menjaring lima bintang pada buku bergenre misteri, dan buku ini, simply put, tidak bisa menjaga konsistensi tersebut dan kedodoran berat di bagian akhir.

THE MOVIE

Buku ini sudah diangkat ke layar lebar, dengan pemeran utama Nicole Kidman dan Colin Firth. Mungkin harusnya saya nonton filmnya saja, karena sepertinya Colin Firth akan mengalihkan saya dari ending yang paling tidak masuk akal sekalipun (Kingsman, cough cough) 🙂

large_before_i_go_to_sleep

 

Game of Thrones by George R.R. Martin

14 Monday Dec 2015

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 1 Comment

Tags

adventures, dramatic, dysfunctional family, english, fantasi, fiction, gore, high fantasy, movie tie in, review15, series

GoTJudul: Game of Thrones

Penulis: George R.R. Martin

Penerbit: Bantam Books Mass Market Movie Tie-in Edition (2013)

Halaman: 835p

Beli di: Periplus Soekarno Hatta (156k)

Saya belum menjadi fans serial fenomenal Game of Thrones dan tidak mengerti kehebohan yang ditimbulkan oleh serial ini. Dan saya, being a stubborn hipster as always, selalu merasa sulit menyukai sesuatu yang sudah menjadi mainstream atau lebih dulu digilai orang-orang (Sherlock, cough cough).

Jadi, saya memutuskan untuk membaca novelnya terlebih dulu sebelum menonton serialnya. Dan saya menantang diri saya untuk membaca versi bahasa Inggrisnya, sekadar untuk mendapatkan feel asli dari tulisan Bapak fantasi George R.R. Martin.

And what a ride.

Saya dibawa masuk ke realm The Seven Kingdoms dengan tokoh-tokoh dan konfliknya yang serba rumit. Berawal dari perkenalan dengan keluarga Stark, penguasa Winterfell di daerah utara, saya diajak menemui mereka satu per satu, mulai dari Ned Stark si kepala keluarga, istrinya Lady Catelyn yang anggun, serta anak-anak mereka: Robb, Sansa, Arya, Bran dan Rickon. Plus, si anak Haram alias bastard, Jon Snow, yang juga tinggal dengan keluarga itu.

Suasana mulai memanas akibat kunjungan sang Raja dari King’s Landing, Robert Baratheon, beserta rombongannya, permaisuri cantik namun kejam, Cersei Lannister, juga kedua adik Cersei, Jaime yang penuh pesona, dan Tyrion si kerdil.

Robert meminta Ned untuk menjadi tangan kanannya, karena kematian Jon Arryn yang sebelumnya menduduki posisi itu. Dan di sinilah awal mula segala konflik, perpecahan, pertempuran yang diikuti oleh perang besar antar keluarga dan kelompok di kerajaan tersebut.

Masing-masing memiliki tujuan yang sama, ingin menguasai kerajaan dan menduduki posisi puncak. Game of Thrones sangat cocok menjadi judul kisah ini, karena inti dari segala kerumitan konflik di sini adalah tujuan akhir para karakter untuk duduk di Iron Throne, atau singgasana besi yang menjadi lambang kekuasaan tertinggi.

Keluarga Lannister dengan intrik-intriknya berusaha menjatuhkan sang raja Baratheon, sementara keluarga Stark dipicu amarahnya karena salah satu anggota keluarga mereka menjadi korban keganasan keluarga Lannister. Sementara itu, keturunan terakhir penguasa sebelumnya, yaitu Daenerys Targaryens, mulai mengumpulkan kekuatannya sendiri dari seberang dunia, untuk mengklaim kembali haknya sebagai penerus tahta kerajaan yang sudah direbut paksa dari keluarganya.

Dan ternyata, kekisruhan tidak hanya terjadi di dalam kerajaan, tapi juga di luar Wall, tembok yang membatasi realm ini dengan dunia seram di luar sana. Makhluk-makhluk yang disebut The Others tampaknya muncul kembali, padahal mereka dikabarkan sudah punah dari ribuan tahun yang lalu. Pertanda apakah ini?

Seru banget. Itulah kesan saya selama membaca 835 halaman novel ini. Memang awalnya saya harus memicu memori saya supaya dapat mengingat puluhan nama karakter‎ yang kadang mirip-mirip (mengingatkan saya dengan kisah The Lord of The Rings nya Tolkien yang juga banyak penggunaan nama yang mirip-mirip) sambil berusaha membayangkan realm ciptaan Martin. Namun tidak lama waktu yang saya butuhkan untuk bisa masuk ke dunia Game of Thrones. Pace nya yang cepat dan gaya bercerita Martin yang super mengalir membuat saya lupa kalau buku yang saya baca termasuk dalam genre high fantasy yang biasanya cukup membosankan untuk saya.

Satu hal yang amat saya sukai dari buku ini ialah pergantian karakter di tiap bab. Namun, karena tetap memakai sudut pandang orang ketiga, tidak ada yang membingungkan dari pergantian karakter ini di setiap babnya. Justru, saya merasa lebih bisa berempati dan memahami mereka satu per satu, sambil melihat konflik ruwet ini dari sudut pandang mereka masing-masing.

Dan sekarang, off to go to the bookstore to look for the second book please! 🙂

 

The Lord of The Rings by J.R.R Tolkien

12 Monday Jan 2015

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ 5 Comments

Tags

adventures, classic, english, epic, fantasy, fiction, lucky 14, movie tie in, review 15

TLOTRTitle: The Lord of The Rings

Writer: JRR Tolkien

Publisher: HarperCollins Publishers, film tie-in edition (2002)

Pages: 1137p

Bought at: Dhita Books (Indonesia Book Fair 2012, IDR75k, bargain!

The Lord of The Rings (TLOTR) is probably one of the most timeless, incredible, and memorable classics that had ever been written. I have watched the three movies when they came out and I loved all of them. I knew TLOTR from the capable hands of Peter Jackson, way before I got interested in reading the original books written by Tolkien. But on the back of my mind, I always knew that I would have to read the book, one fine day.

And when I found the secondhand movie tie-in edition in a very cheap price, I took it. And kept it for a couple of years, until I dug it again for the Lucky No.14 Reading Challenge.

The book is consisted of the three titles (The Fellowship of The Ring, The Two Towers, and The Return of The King), compiled in one thick book with more than 1000 pages. It’s intimidating and I even wasn’t sure I would actually finish it. But my motto is always finish whatever food is served on your plate, so…. I tried. And it took me two weeks to actually finished the book. And I loved it, a lot.

The Fellowship of The Ring

The story begun with the life in Hobbiton, a sleepy village in the Shire. Bilbo Baggins celebrated his eleventy-one (111) birthday, and along with that, he entrusted his most valuable possession, The Ring, to Frodo, his favorite cousin.

Meanwhile, a dark power in form of the Dark Lord, Sauron, has gathered to him the Rings of Power to rule the world. He only lacked the Ruling Ring, which has been Bilbo’s possession and now fallen to the hands of Frodo. The only way to prevent Sauron to gain his full power was by destroying the only Ring he still needed. And suddenly Frodo was given a very difficult task, to take the Ring to Mount Doom, the only place where the Ring can be destroyed.

This first book of the trilogy told the beginning of Frodo’s long journey, introducing us to some of the crucial characters that will accompany and help Frodo along the way, including Samwise Gamgee (Frodo’s faithful friend), Gandalf the Grey (the most powerful wizard), and the members of the fellowship (Legolas the Elf, Gimli the Dwarf, Aragorn, Boromir, etc).

This first book also showed how difficult the journey would be, and how The Ring (and also Sauron) had all the powers to create obstacle in their journey, and even destroy their friendship. In the end, Frodo must continue his journey alone, only to be accompanied by the faithful Sam, and asked for help from Gollum (a sad creature who always thought the Ring as his Precious), who also had his own agenda.

The Two Towers

The second installment is more action packed, since Frodo and Sam had been separated from their group. The rest of the members of Fellowship were trying to tackle Sauron’s followers, and one of the most memorable scenes is the battle of Helm’s Deep, with thousands of Orcs waited for them.

Meanwhile, Frodo and Sam had to find a way to go to Mount Doom, and the journey was not easy at all. Gollum was sometimes there to show the way, but they (especially Sam) didn’t trust him at all. Here we were also shown that the main character doesn’t always have to be strong. And sometimes the sidekick is indeed the real hero.

The Return of The King

The Return of The King is the final book in this series and probably the best one. It has the right elements to create the climax of the story: from the defeat and depressing scenes where our heroes met a dead end, to some of the greatest battle scenes in fantasy books, and of course, the long awaited moment where Frodo and Sam finally reached their destination, to be confronted by the Ring itself.

The last chapter of this book is one of the most heartbreaking epilogue I’ve ever read.

But it feels so right, I can’t imagine a better ending.

Books vs Movies

I’m glad to say that I’ve watched the movie first before reading TLOTR books. When I read the books, I can imagine clearly the scenes that were captured perfectly on screen by the great Peter Jackson.

If I read the book first, I think I would be a bit disappointed since there were lots of scenes and details that been omitted in the movies. But now I’ve watched the movies first, I can tell that Peter Jackson had done justice with the famous trilogy. If he made the movies longer (The Hobbit, anyone?), it will be too much. Also, the casts of the movies are so great, I can easily imagine their faces, voices and gestures when I read the books.

Probably TLOTR is one of the rare cases when books and movies complemented each other beautifully.

Submitted for:

Category: Books vs Movies

Category: Books vs Movies

Cloud Atlas by David Mitchell

12 Friday Dec 2014

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 8 Comments

Tags

bahasa indonesia, english, fantasi, fiction, history, movie tie in, review 2014, science fiction, whats in a name 2014

cloud atlasTitle: Cloud Atlas

Writer: David Mitchell

Publisher/Edition: Sceptre Paperback Edition 2012

Pages: 529p

Bought at: Periplus Soetta (IDR 98k)

Hokay. First of all, this is not an easy book to be reviewed. And second of all, I’ve finished reading Cloud Atlas a few months ago, and kept postponing to review it, so my memory is a bit hazy now. Please forgive the inadequacy of this review!

Cloud Atlas told six different stories with multiple point of views in multiple forms of writing, multiple settings, and multiple time frames.

1) A diary of an American notary who was stranded in one of Pacific islands in 18th century, waiting for a ship that will take him back home, together with other stranded people. Adam Ewing, the notary, wrote the journal and told stories about an endangered culture of Pacific islands, his adventures crossing the ocean, and his friendship with an English doctor, Dr. Henry Goose.

2) A collection of letters from a musical prodigy, Robert Frobisher, to his bestfriend Sixsmith, in 1930s. Robert was a struggling musician, ready to take any necessary step to enhance his career. His journey ended temporarily at Chateau Zedelghem, Belgium, to become an apprentice of the legendary (and sick) musician, Vyvyan Ayrs. In this mansion, Robert was involved in the conflicts of the family, including having affairs with various members of the household.

3) A chronological story of Luisa Rey, an American journalist living in the 70s who tried to uncover a big story, involving a giant company that will launch a nuclear reactor- that is actually dangerous and can create chaos in the world. One of Luisa’s sources was Rufus Sixsmith (see no.2 above), and their lives were totally in danger.

4) In the more recent period, Timothy Cavendish lived in England as an editor. A huge financial problem involving the mafia forced him to runaway, and somehow he ended up (involuntarily) in a nursing home at the countryside. Timothy tried to escape and found his freedom, but things were not as easy as he thought.

5) In the new millenium- sometime in the future of Korea, humans has successfully created clones that can help them doing works. A recorded interview with one of the clones named Sonmi-451 told a story about the life of the clones and the historical event when they tried to free themselves from becoming the slaves of humans. Sonmi believed in a paradise called Hawaii.

6) In post apocalyptic era, in a land that used to be Hawaii, the world is full of war, and at the edge of civilization. People are killing each other and the strongest tribe holds the power. Zachary, a boy who thinks he was a coward, tries to amend his mistakes in the past and becomes a hero for his people.

These six complicated plots are intertwining with each other, and after Zachary’s story ends, we were brought back to listen Sonmi’s interview, then continued with Timothy Cavendish story, all the way back and ended by Adam Ewing’s journal. A neat, over the top, ambitious way to tell a story!

David Mitchell is a genius, this is a fact that I will support wholeheartedly. I have read his book before, The Thousand Autumns of Jacob de Zoet, and although the story is very different, but the rich, wonderful words and plots are still the same.

Cloud Atlas told a story about civilization, human relations, the past and future of our world and how every phase of history is actually connected with each other. How every person’s story could become another person’s memory, or even could help to define other people’s futures.

The message of this book is very deep, a bit pretentious in some part, but what mesmerized me so much is the way the stories were told, the richness of the settings and characters and the vast range of issues covered by Mitchell. This is a crazy journey- I haven’t seen the movie yet but people said the movie portrayed the book with justice 🙂 Let’s see.

Submitted for:

"A Type or Element of Weather" category

“A Type or Element of Weather” category

The Name of The Rose by Umberto Eco

31 Friday Oct 2014

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 6 Comments

Tags

bargain book!, BBI, book about books, english, europe, fiction, history, movie tie in, religious, review 2014

Name of the RoseJudul: The Name of The Rose

Penulis: Umberto Eco

Penerbit/Edisi: Harcourt Books (1st Harvest ed., 1994)

Halaman: 536p

Beli di: Better World Books (USD 3,98 – bargain price!)

Saat itu tahun 1327,masa-masa suram untuk kaum Katolik, karena banyaknya perselisihan yang terjadi antar Ordo, dengan Paus dan Kerajaan di Italia. Korupsi dan perang moral kerap terjadi, para pejabat saling tuduh menuduh satu sama lain, merasa dirinya yang paling benar, dan sibuk melindungi kepentingan masing-masing.

Salah satu yang terkena imbas paling besar adalah Ordo Franciscan, yang karena aliran kepercayaannya tentang makna kemiskinan bertentangan dengan Paus, mendapat tuduhan sebagai ordo yang menganut aliran sesat.

Brother William of Baskerville, mantan penyelidik yang terkenal, ditugaskan untuk mengkaji masalah ini lebih dalam, sekaligus mengatur pertemuan antar pihak-pihak yang bersengketa. Pertemuan tersebut berlangsung di sebuah abbey (seminari) di pedalaman Italia.

William tiba di abbey tersebut, didampingi oleh asistennya, Adso, pendeta muda dari Jerman. Namun yang menunggu mereka di sana ternyata benar-benar di luar perkiraan.

Tujuh pendeta terbunuh berturut-turut selama mereka berada di sana, memaksa William untuk mengeluarkan seluruh kemampuan penyelidiknya untuk memecahkan kasus tersebut- tanpa memperkeruh suasana yang sudah runyam. Apakah pembunuhan ini berhubungan dengan perselisihan antar Ordo yang sedang berlangsung? Atau hanya kebetulan semata, yang dimanfaatkan seseorang demi kepentingan pribadinya?

Sesuai dengan tema posting bareng BBI bulan ini, saya memilih buku yang diterbitkan pertama kali di tahun kelahiran saya (ketauan deeeh umurnya :p). Dan menurut list yang saya temukan di Goodreads, kebetulan buku The Name of The Rose adalah salah satu buku yang paling populer yang terbit di tahun 1980.

Membaca review orang-orang lain, saya mengambil kesimpulan kalau buku ini menuai dua pendapat: jenius, atau menyebalkan 😀 Saya sendiri berada di tengah-tengah.

Beberapa hal yang saya sangat suka dari buku ini:

1. Karakter William (yang sedikit mengingatkan saya dengan Sherlock Holmes) dengan logika, metode deduksi serta kecerdikannya yang luar biasa, namun tetap humble dan tidak arogan seperti Sherlock 😀 yang juga saya suka adalah kontemplasi William, yang mewakili kaum religius namun tidak menutup diri terhadap sains dan kemungkinan-kemungkinan lain di kehidupan.

2. Adso, sang narator. Kenaifannya menjadikan cerita ini tidak sekaku yang saya duga. Narasinya detail, dan meski diselingi banyak fakta sejarah serta informasi yang kadang terasa overwhelming, namun mengandung unsur humor yang membuat saya banyak tersenyum di antara kerutan dahi.

3. Setting– Eco (ini pertama kali saya membaca buku Eco) benar-benar piawai menciptakan setting yang sangat mudah untuk dibayangkan. Suasana abbey yang muram, misterius dan dipenuhi aura gothic, membawa saya seolah benar-benar berada di sana. Saya juga suka cara Eco membagi buku ini ke dalam sub bab yang disesuaikan dengan waktu yang dianut oleh para pendeta di seminari: matins artinya ibadah jam 2.30 pagi, Lauds adalah saat fajar menjelang, Vespers adalah saat matahari terbenam, dan seterusnya. Meski awalnya agak membingungkan, namun pembagian ini membuat saya akhirnya bisa merasakan lebih nyata ritme kehidupan para pendeta di seminari, dan menghargai kesederhanaan pola hidup mereka.

Satu lagi yang kreatif dari Eco adalah cara ia membuat sub-judul dari tiap bab sehingga terdengar menarik sekaligus memiliki unsur humor yang kadang sarkastik.
Misalnya:

“In which, though the chapter is short, old Alinardo says very interesting things about the labyrinth and about the way to enter it”

Atau ini:
“In which Adso, distraught, confesses to William and meditates on the function of woman in the plan of creation, but the he discovers the corpse of a man”

4. Books!- The Name of The Rose sebenarnya bisa dikategorikan sebagai buku tentang buku, meski dibalut dengan beragam kisah sejarah, isu religius dan politik, serta misteri. Salah satu tempat penyelidikan William dan Adso adalah di perpustakaan abbey yang tersembunyi, yang dirancang menyerupai labirin, dan menyembunyikan buku misterius yang diduga ada kaitannya dengan pembunuhan yang terjadi. Tapi memang agak disayangkan karena topik buku ini agak tenggelam oleh banyaknya isu yang ingin diangkat oleh Eco.

Sedangkan beberapa hal yang saya kurang suka dari buku ini:

1. Not enjoyable. Meski plotnya cerdas, kisahnya sebenarnya menarik dengan setting yang unik, saya tidak bisa bilang kalau saya menikmati buku ini. Empat bintang yang saya berikan lebih untuk menyatakan kekaguman saya atas kecerdasan dan persistensi Eco dalam menulis buku ini, tapi buku ini jenis buku yang saya tidak merasa ingin membaca ulang di kemudian hari.

2.Fakta sejarah terlalu padat. Iya, memang Eco sendiri mengakui kalau unsur misteri buku ini sebenarnya hanya sekadar “jebakan betmen”. Kenapa? Karena sesungguhnya buku ini berisi hal-hal padat seperti kisah sejarah umat Katolik sampai ke filosofi ketuhanan dan makna Alkitab. Berat deh, pokoknya. Dan segala jenis fakta dirangkum dengan sangat padat oleh Eco, sehingga kadang rasanya kita bukan sedang membaca novel fiksi 😀

3. Kalimat terlalu panjang. Ini masih bersangkutan dengan poin no.2. Akibat keasyikkan Eco merangkai kata yang seolah tak ada habisnya, kadang saya sampai harus mengulang lagi membaca suatu kalimat karena sudah lupa atau tidak mengerti apa sebenarnya maksud Eco dalam kalimat tersebut. Intinya, sabar-sabarlah membaca buku ini. Di tengah hujan kata dan kalimat yang super panjang, ada juga kok memorable quote yang masih bisa dinikmati 🙂

Name of The Rose sudah diadaptasi menjadi film pada tahun 1986, dengan Sean Connery sebagai William, dan Christian Slater (!!!!) sebagai Adso. I should look for the movie!

Aaahhh Christian Slater!! Very 80s :) Source

Aaahhh Christian Slater!! Very 80s 🙂 Source

Submitted for:

Posbar Tema Buku Tahun Lahir bulan Oktober 2014

Posbar Tema Buku Tahun Lahir bulan Oktober 2014

 

Category: Older Than You

Category: Older Than You

From the bookshelf

Categories

Looking for Something?

Enter your email address to follow Books to Share and receive notifications of new posts by email.

Join 1,036 other subscribers

Currently Reading

I’m a Proud Member! #BBI 1301004

Wishful Wednesday Meme

Fill your Wednesdays with wishful thinking =)

Popsugar Reading Challenge 2018

bookworms

  • aleetha
  • althesia
  • alvina
  • ana
  • annisa
  • bzee
  • dewi
  • dion
  • fanda
  • Ferina
  • helvry
  • inne
  • Kobo
  • maya
  • mei
  • melmarian
  • mia
  • ndari
  • nophie
  • oky
  • peri hutan
  • ren
  • Reygreena
  • sel sel kelabu
  • sinta
  • tanzil
  • tezar
  • yuska

shop til you drop

  • abe books
  • Amazon
  • better world books
  • book depository
  • BukaBuku
  • Buku Dedo
  • bukukita
  • vixxio

Top Posts & Pages

  • Red, White & Royal Blue by Casey McQuiston
    Red, White & Royal Blue by Casey McQuiston
  • Dongeng-Dongeng Grimm Bersaudara
    Dongeng-Dongeng Grimm Bersaudara
  • The Secret History
    The Secret History
  • Heartless by Marissa Meyer
    Heartless by Marissa Meyer
  • Matilda
    Matilda

Recent Comments

Fathan Albajili on Puddin’ by Julie Mu…
Puddin’ by Jul… on Dumplin’ by Julie M…
jesica on Abarat 2: Days of Magic, Night…
jesica on Abarat 2: Days of Magic, Night…
When the Stars Go Da… on The Paris Wife

Create a free website or blog at WordPress.com.

Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
  • Follow Following
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Join 1,036 other followers
    • Already have a WordPress.com account? Log in now.
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Customize
    • Follow Following
    • Sign up
    • Log in
    • Report this content
    • View site in Reader
    • Manage subscriptions
    • Collapse this bar
 

Loading Comments...