• About this blog
  • Clearance Sale!
  • Newbery Project
  • Popsugar Reading Challenge 2023
  • Previous Challenges
    • BBI Read and Review Challenge 2017
    • Challenges 2014
    • Challenges 2015
    • Lucky No.14 Reading Challenge
    • Lucky No.15 Reading Challenge
    • POPSUGAR Reading Challenge 2017
    • Popsugar Reading Challenge 2018
    • Popsugar Reading Challenge 2020
    • Popsugar Reading Challenge 2021
    • Popsugar Reading Challenge 2022
    • What’s in a Name 2018
    • Twenty-Ten Challenge
    • Challenges 2012
    • Challenges 2013
  • Round Ups
  • The Librarian

~ some books to share from my little library

Tag Archives: Gramedia

The Memory Police by Yoko Ogawa

21 Friday May 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

asia, dystopian, fantasy, fiction, Gramedia, japanese, literature, mystery/thriller, popsugar RC 2021, terjemahan

Judul: The Memory Police (Polisi Kenangan)

Penulis: Yoko Ogawa

Penerjemah: Iingliana

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2020)

Beli di: Gramedia.com (IDR 93k)

Apa jadinya bila satu demi satu benda-benda di sekitar kita mulai menghilang, bersama dengan kenangan kita akan mereka? Bagaimana rasanya bangun di suatu pagi dan menyadari bahwa mulai hari itu sudah tidak ada lagi bunga mawar, atau burung merpati, atau kapal feri dan buku novel? Yang tersisa hanyalah kehampaan, rasa kehilangan akan suatu memori yang bahkan kita tidak ingat lagi tentang apa.

Kisah sendu, gloomy, dan menyedihkan ini terjadi di suatu pulau tak bernama, yang saat ini dikuasai oleh rezim yang sangat opresif (mungkin sejenis junta militer). Secara berkala, rezim ini mulai menghilangkan benda-benda dari hidup dan ingatan setiap orang, termasuk seorang novelis muda yang tinggal sendirian di rumah peninggalan orang tuanya.

Namun, ternyata ada orang-orang tertentu yang tetap memiliki ingatan sempurna, tak tersentuh oleh tekanan rezim, namun nyawa mereka berada dalam ancaman. Si novelis narator kita berusaha melindungi editornya yang termasuk ke dalam golongan orang yang tak bisa lupa. Dibantu oleh temannya, si pria tua mantan pekerja kapal, sang novelis menyembunyikan editornya di ruang rahasia, meski itu berarti ia juga membahayakan nyawanya sendiri.

The Memory Police adalah buku yang amat unik. Kisahnya sendiri menurut saya agak terlalu vague- dari mulai setting tempat dan karakter yang tidak bernama, sampai ketidakjelasan latar belakang rezim dan apa tujuannya menghilangkan ingatan orang-orang. Saya merasa gemas sesekali karena ingin mengetahui lebih banyak tentang latar belakang kisah ini, yang sebenarnya akan sangat menarik bila digali lebih dalam. Tapi sepertinya fokus Yoko Ogawa memang lebih kepada prosa yang mengalir, yang disusun sedemikian rupa sehingga kita bisa benar-benar merasuk ke dalam kisah mencekam ini.

Pemilihan diksi yang mendeskripsikan masing-masing benda dan ingatan yang hilang memang menjadi salah satu kekuatan utama buku ini, yang untungnya bisa diterjemahkan dengan sangat baik oleh sang penerjemah. Selain itu, ada alur paralel yang menceritakan tentang buku yang sedang ditulis oleh si novelis, yang juga memiliki nada yang sama suramnya, dan kita bisa melihat kesulitan si novelis menulis bukunya saat satu demi satu ingatan perlahan hilang dari dirinya.

The Memory Police (yang merupakan simbol rezim opresif) sepertinya memang buku yang enak dinikmati sebagai ide, mengajak kita bermain-main dalam imajinasi tentang suatu saat di mana manusia tidak lagi memiliki kontrol atas hidup dan ingatannya, dan tanpa ingatan apalah artinya kita, hanya sosok-sosok yang tidak memiliki tujuan hidup.

A thought provoking, albeit a bit vague story.

Rating: 3/5

Recommended if you want to try: Japanese lit, unusual plot, beautiful prose, gloomy read

Submitted for:

Category: A book about forgetting

Long Way Down by Jason Reynolds

01 Thursday Apr 2021

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ Leave a comment

Tags

african american, black history month, black lives matter, Gramedia, guns, social issues, terjemahan, verse, young adult

Judul: Long Way Down

Penulis: Jason Reynolds

Penerjemah: Mery Riansyah

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2018)

Halaman: 319p

Beli di: @HobbyBuku (IDR 60k)

Buku dengan format verse (puisi?syair?) bukanlah genre favorit saya. Tapi Long Way Down merupakan satu dari sedikit buku yang powerful dan memang pas ditulis dengan gaya verse, karena temanya yang amat kuat dan intens.

Will hidup di sebuah kota tak bernama di Amerika Serikat, yang kental dengan nuansa kekerasan, kriminal, dan senjata. Banyak teman dan kerabatnya yang meninggal akibat tertembak, baik itu karena perkelahian antar geng, atau sebagai korban tak bersalah yang berada di tempat dan waktu yang salah.

Suatu hari, Will menyaksikan kakaknya, Shawn, tewas ditembak di jalanan depan apartemen mereka. Dunianya serasa hancur, dan Will bertekad untuk membalas dendam pada orang yang menembak Shawn, sesuai dengan peraturan tak tertulis di lingkungan mereka:

  1. Menangis: Jangan.
  2. Mengadul: Jangan.
  3. Membalas dendam: Lakukan.

Namun membalas dendam bisa menimbulkan masalah baru: peluru yang meleset, menembak orang yang salah. Dan kau bisa jadi korban berikutnya.

Perjalanan Will menuruni apartemennya dengan lift selama 60 detik ditangkap melalui momen-momen intens penuh kontemplasi dan refleksi, dengan bintang tamu orang-orang dari masa lalu Will yang berusaha mengubah sudut pandangnya tentang membalas dendam. Namun apakah Will berhasil dipengaruhi oleh mereka?

Long Way Down adalah novel yang singkat, padat, dan sangat efektif. Baris-baris puisinya begitu mencekam, dan menggigit, dan setiap kali Will turun ke lantai yang berbeda, akan ada sebuah kejutan baru yang menantinya. Detik-detik yang berharga digambarkan melalui kalimat-kalimat pendek yang mendesak, yang membuat kita kerap kali ikut masuk ke dalam dilema Will. Balas dendam tapi beresiko ia terbunuh, atau merelakan Shawn tewas tanpa pertanggungjawaban.

Menurut saya, versi terjemahan buku ini cukup baik, sanggup menggambarkan intensitas dilema Will dengan pilihan kata yang puitis namun tetap efektif. Saya penasaran juga ingin membaca versi Bahasa Inggrisnya, sih, apalagi saya memang belum pernah membaca buku Jason Reynolds sebelumnya.

Buku ini juga menggambarkan secara gamblang kondisi masyarakat khususnya kulit hitam di Amerika, yang sarat akan kekerasan antar geng, penembakan yang berujung kematian, dan pembalasan dendam yang seperti membuat lingkaran setan. Miris, sedih, dan menyentuh, Reynolds membuka mata saya tentang betapa sulitnya kehidupan penduduk kulit hitam di area urban, dan betapa masifnya efek gun control yang kerap menjadi perdebatan sengit di negara tersebut.

Rating: 4/5

Recommended if you like: verse novel, Black YA literature, strong & intense plot, thought provoking reads

Spooktober Read (2): The Turn of the Screw by Henry James

07 Monday Dec 2020

Posted by astrid.lim in Uncategorized

≈ 1 Comment

Tags

bahasa indonesia, british, classics, ghost story, Gramedia, horror, spooktober, terjemahan

Title: The Turn of The Screw (Misteri Bly Manor)

Writer: Henry James

Translator: Lulu Wijaya

Publisher: Gramedia Pustaka Utama (2020)

Pages: 170p

Bought at: Gramedia.com (IDR 27k, bargain!)

Genre: classics, horror, gothic, ghost story

The second book that I’ve read for Spooktober is The Turn of the Screw, a classics horror novel that has inspired many movies and TV shows, including the recent one in Netflix, that loosely based on this book. The story revolved around a new governess who had accepted a job in Bly Manor, taking care of two children, Miles and Flora. The kids were orphans, and their bachelor uncle didn’t want to have anything to do with them, so governess was the answer.

Bly Manor was a beautiful house, a bit remote but still had some of its glory from the past. But, there’s darkness there too, lurking in the unused rooms, empty windows and ghost from the past. But the ghosts are not the metaphor – they were there, befriending the children.

When the governess found out about this, of course she was shock. Especially when she knew that the ghosts were her predecessors, former governess and employee of the house and had passed away for some time. She’s very suspicious of them and what they wanted from the children. Surely they were not some friendly ghosts who just wanted to entertain the kids?

With the very gothic atmosphere and scary premises, this book had potential to be a really solid horror book. But turned out, I didn’t feel the horror at all (and I’m a scaredy cat!!). I think because this book was written in a very old fashioned way, a perfect stereotype of classics, the scary/horror/ghostly vibes were lost to me. The sentences were long, with very flowery language, and the translation was not helpful – a bit stiff and quite all over the place. So instead of getting scared by the ghosts, I felt a bit tired reading the same sentence over and over again, just to make sense of everything. There were too many moral contemplations and the governess kept on thinking about the implications of the ghosts, instead of the ghosts themselves.

I think one thing that I like about this book is the description of Bly Manor. I can imagine clearly the gloominess of the place, and how it became a poor place for the children to live, especially because their lives already been gloomy.

However, this book is not my favorite Spooktober. In a way, I was a bit relieved because it’s not as scary as I thought it would be, but on the other hand, I was a bit bored, and expected to be scared anyway XD

I recommend The Turn of the Screw if you like:

  • classics
  • gothic houses
  • eerie children
  • ghost story, but not too scary
  • long moral contemplation ๐Ÿ˜€
This looks scary, ya?
Bly Manor

Three Act Tragedy by Agatha Christie

16 Wednesday Sep 2020

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

agatha christie, british, classic, fiction, Gramedia, murder mystery, mystery, poirot, popsugar summer RC 2020, rereading, series, terjemahan

Judul: Three Act Tragedy

Penulis: Agatha Christie

Penerjemah: Mareta

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2014, cetakan kelima)

Halaman: 288p

Beli di: @HobbyBuku (bagian dari bundle Agatha Christie)

Poirot ingin pensiun! Tapi sekali lagi, kasus pembunuhan mengikutinya ke manapun ia pergi, sehingga rencana pensiun harus ditunda lagi dan lagi ๐Ÿ™‚ Meski terdengar familiar, namun premis seperti ini tidak pernah menjadi basi di tengah tangan dingin Agatha Christie. Dan tentu saja sebagai pencinta Poirot, kita tidak mau sepak terjangnya berakhir, dan rencana pensiun yang batal selalu disambut baik ๐Ÿ™‚

Kali ini, dalam sebuah acara pesta koktail di kediaman Charles Cartwright, aktor terkenal, seorang hamba Tuhan yang baik hati, tidak mempunyai musuh dan disukai semua orang, menjadi korban peracunan yang kejam. Poirot, yang juga hadir di acara tersebut, dibingungkan oleh bagaimana cara racun tersebut disusupkan, karena semua tamu menenggak minuman yang sama, dan gelas-gelas pun diedarkan secara random.

Belum lagi kasus ini terpecahkan, pembunuhan kembali terjadi, kali ini korbannya adalah dokter spesialis saraf terkenal, Sir Bartholomew Strange. Metode yang digunakan sama, dan daftar tamu yang hadir di pesta makan malam saat terjadi pembunuhan juga mirip dengan di kejadian pertama.

Menurut saya, Three Act Tragedy bukanlah kisah terbaik Poirot. Agak mediocre, dengan beberapa kebetulan yang agak dipaksakan di sana-sini. Namun ada dua hal yang membuat saya merasa buku ini masih layak untuk dinikmati.

Yang pertama adalah kehadiran Mr. Satterthwaite. Agak jarang sang pengamat kehidupan tampil di buku yang sama dengan Poirot, dan kombinasi kedua karakter yang cukup bertolak belakang ini lumayan menarik untuk diikuti. Poirot yang sangat keasing-asingan, dengan Mr. Satterthwaite yang merupakan gentleman Inggris sejati, seringkali melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda. Namun keduanya tampak cukup klop di sini, meski itu berarti jatah Poirot memang jadi agak berkurang, dan kisah ini lebih didominasi oleh Mr. Satterthwaite.

Hal kedua yang menurut saya cukup menarik dalam buku ini adalah motif pembunuhannya. Memang agak terlalu fantastis, tapi cukup sesuai dengan tone keseluruhan buku ini yang cukup dramatis. Sayang, saya tidak bisa menjelaskan lebih dari ini kalau tidak mau dibilang spoiler! XD

Oiya, saya membaca buku ini sudah lebih dari satu kali, dan keuntungan rereading buku-buku Madam Christie adalah kita jadi diberi kesempatan untuk mengamati detail dengan lebih tajam, mengikuti metode berpikir Poirot, dan mencoba mencari-cari loopholes (yang biasanya sangat jarang terjadi!). Kalau ada penulis yang karyanya tidak akan pernah membuat saya bosan untuk membaca ulang, Agatha Christie adalah salah satunya.

Anyway, a refreshing read from The Queen of Crime and Papa Poirot ๐Ÿ™‚

Submitted for:

Category: A book with a summer drink or cocktail on the cover

A Caribbean Mystery by Agatha Christie

21 Tuesday Jul 2020

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

agatha christie, british, classic, cozy mystery, fiction, Gramedia, mystery, popsugar summer RC 2020, series, terjemahan, whodunnit

Judul: A Caribbean Mystery (Misteri Karibia)

Penulis: Agatha Christie

Penerjemah: Sudarto

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2014, cetakan keenam)

Halaman: 320p

Beli di: @HobbyBuku (bagian dari bundel Agatha Christie)

A Caribbean Mystery adalah kisah Miss Marple yang tidak seperti biasanya. Kali ini Miss Marple (dengan biaya dari keponakannya, Raymond) berlibur ke Pulau St Honore di daerah Hindia Barat, dan tinggal di sebuah resort yang terdiri dari pasangan serta keluarga yang sedang berlibur.

Biasanya, bukua Agatha Christie dengan setting yang eksotik seperti ini lebih sering diperuntukkan bagi Hercule Poirot – dengan kegemarannya berjalan-jalan dan menikmati hidup, yang selalu diselingi dengan memecahkan berbagai kasus. Namun kali ini, Christie seperti ingin memberikan porsi bagi Miss Marple untuk keluar dari zona nyamannya di desa St. Mary Mead.

Miss Marple sendiri awalnya terasa agak kagok berada di tempat yang sangat asing baginya. Namun, setelah sukses membuat perbandingan dan persamaan antara para tamu resort dengan penduduk St. Mary Mead, Miss Marple mulai bisa menikmati suasana di sekelilingnya, terutama ketika ia menyadari kalau manusia di mana saja memiliki sifat-sifat yang sama.

Dan meski berada jauh dari rumah, Miss Marple tetap alert saat terjadi beberapa kematian tak terduga di resort tersebut. Dibantu oleh Mr. Rafiel, jutawan kaya raya yang merupakan tamu tetap di resoirt tersebut, Miss Marple berusaha menguak misteri pembunuhan yang melingkupi liburan mereka – berbekal pengetahuannya yang luar biasa tentang karakter dan sifat manusia. Dan memang benar- manusia di mana-mana memang sama saja, hanya bungkusnya saja yang berbeda.

Misteri Karibia memiliki beberapa elemen yang sudah tidak asing lagi bagi para pembaca Christie: karakter-karakter beraneka ragam dengan drama masing-masing (perselingkuhan, cinta segi tiga, keserakahan, dendam, dan sejenisnya), ditambah dengan motif yang berakar di masa lalu – kali ini, diawali dengan kisah Majjor Palgrave yang mengaku pernah kenal dengan seorang pembunuh- dan tak lama setelah pengakuan itu, ia sendiri pun meninggal tiba-tiba.

Berkat insting tajam Miss Marple, untunglah misteri berhasil dipecahkan. Yang menarik, kali ini partner Miss Marple adalah jutawan tua yang lumayan misogynist, Mr. Rafiel, yang awalnya menyebalkan tapi lama-lama mengundang simpati. Oya, nantinya nama Mr. Rafiel juga masih muncul di salah satu buku Miss Marple, Nemesis.

Beberapa bagian buku ini agak sedikit dipaksakan, terutama pembunuhan di bagian akhir, serta motif yang agak kurang kuat dari si pembunuh. Tapi suasana resort tepi pantai dengan beragam tamunya menjadi salah satu kekuatan buku ini, yang membuatnya tidak terlalu membosankan untuk diikuti, meski ada beberapa bagian yang bisa ditebak dengan mudah.

Komplain terbesar saya adalah terjemahan buku ini, yang merupakan salah satu yang terburuk dari buku-buku Agatha Christie terbitan Gramedia (GPU). Namun setelah saya konfirmasi ke pihak GPU, ternyata mereka sudah memperbaiki terjemahan buku ini (dan buku lainnya) di edisi mereka yang terbaru. Sebenarnya sih tetap disayangkan, karena edisi yang saya baca ini, yang merupakan bagian dari bundel Agatha Christie, sudah merupakan edisi keenam. Harusnya mereka sudah merivisi terjemahannya sejak edisi sebelum-sebelumnya, mengingat seringnya GPU mencetak ulang buku-buku Christie.

Masa sih saya harus beli lagi edisi cetakan terbaru gara-gara terjemahan yang berbeda? XD

Submitted for:

Category: A book set at the resort or hotel

Appointment with Death by Agatha Christie

17 Wednesday Jun 2020

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

agatha christie, bahasa indonesia, british, classic, fiction, Gramedia, mystery/thriller, popsugar RC 2020, series, terjemahan

Judul: Appointment with Death (Perjanjian dengan Maut)

Penulis: Agatha Christie

Penerjemah: Indri K. Hidayat

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2013)

Halaman: 272p

Beli di: @HobbyBuku (bagian dari bundel Agatha Christie)

“Kau mengerti, kan, bahwa dia mesti dibunuh?”

Mungkin dari semua buku-buku karya Agatha Christie, buku ini memiliki salah satu kalimat pembuka yang paling sensasional, menjanjikan drama juicy dan kasus yang pelik.

Meski bukan merupakan karyanya yang terbaik, Appointment with Death tetap memiliki beberapa unsur yang membuatnya menjadi buku yang cukup berkesan.

Unsur pertama adalah keluarga Boynton, mungkin merupakan salah satu keluarga yang paling terkenal dari semua keluarga ciptaan Christie. Keluarga Boynton berasal dari Amerika Serikat, sedang melakukan perjalanan liburan ke Timur Tengah. Namun mereka bukan keluarga biasa, karena sang kepala keluarga, Mrs. Boynton, memiliki sifat kejam, berkuasa, dan mengekang anak-anaknya sehingga tidak bisa lepas darinya, baik secara mental maupun finansial.

Saat mereka berada di Petra, Mrs. Boynton ditemukan meninggal dunia di depan guanya, ditusuk dengan suntikan digitalis yang membuat jantungnya berhenti bekerja. Yang langsung dicurigai tentu saja adalah anggota keluarganya: Lennox, anak tertua yang selalu tampak pasrah, Nadine istri yang lembut namun memiliki karakter kuat dan sudah tidak tahan berada dalam cengkeraman ibu mertuanya, kakak beradik Raymond dan Carol yang bertekad ingin melepaskan diri dari ibu mereka, serta Ginny, anak paling kecil yang sepertinya menderita halusinasi akibat tekanan ibunya.

Namun selain keluarga Boynton, ada beberapa tamu di perkemahan yang mungkin memiliki motivasi tersembunyi untuk membunuh Mrs. Boynton, termasuk Sarah King, dokter muda yang jatuh cinta dengan Raymond, atau Jefferson Cope yang merupakan teman lama keluarga tersebut.

Untunglah ada Hercule Poirot, dengan sepatu kulitnya yang amat tidak cocok dengan setting kota Petra yang eksotik, siap menyelidiki kasus tersebut. Poirot seolah kembali berada dalam situasi rumit yang sudah pernah ia jumpai sebelumnya: korban yang kematiannya diinginkan semua orang, yang kematiannya lebih banyak membawa kebaikan daripada keburukan. Namun apakah hal tersebut menjadi justifikasi yang cukup untuk tidak mengungkap siapa pembunuh yang sesungguhnya? Kerumitan makin bertambah ketika banyak alibi yang tidak akurat, serta keinginan setiap orang yang terlibat untuk melindungi orang yang mereka anggap bersalah. (Hint: Orient Express!!)

Appointment with Death lebih merupakan suatu studi karakter yang menarik, karena Christie benar-benar menciptakan suatu keluarga yang menarik, memorable dan unik – dan Christie adalah ahlinya menciptakan karakter keluarga dysfunctional! Kisah misterinya sendiri menurut saya masih terbilang biasa, twistnya agak terlalu sensasional meski masih bisa diterima, namun bagian epilog yang menceritakan keluarga ini beberapa tahun kemudian terasa cukup menyenangkan.

Satu lagi, setting Petra adalah salah satu setting terbaik yang dipakai Christie, dan disesuaikan dengan tone keseluruhan kisah yang cukup gelap. Merinding rasanya membayangkan Mrs. Boynton yang bertubuh besar duduk sendirian di depan guanya, ditemani bayang-bayang petang, dan ternyata – sudah tidak bernyawa!

Submitted for:

Kategori: A book with a great first line

Death on the Nile by Agatha Christie

04 Monday May 2020

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

agatha christie, bahasa indonesia, british, classics, Gramedia, mystery/thriller, poirot, popsugar RC 2020, series, terjemahan

Judul: Death on the Nile (Pembunuhan di Sungai Nil)

Penulis: Agatha Christie

Penerjemah: Mareta

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2014, cetakan keenam)

Halaman: 390p

Beli di: @HobbyBuku (bagian dari bundel Agatha Christie)

Meski saya sudah bisa dibilang khatam dengan sebagian besar buku karya Agatha Christie (terutama yang menampilkan Hercule Poirot), saking seringnya saya membaca ulang buku-buku tersebut, namun tetap saja ada beberapa hal baru yang saya temukan, atau alami, setiap kali membaca ulang.

Tak terkecuali kali ini, saat saya memilih untuk membaca ulang salah satu karya paling terkenal dari Christie, yang rencananya adaptasi filmnya juga akan beredar akhir tahun ini (semoga saja tidak diundur lagi!).

Kisahnya sangat khas Christie. Linnet Ridgeway, gadis cantik, kaya raya, pewaris tahta, dan cerdas dalam berbisnis, seolah sudah memiliki segalanya. Namun tetap saja, saat ia dikenalkan dengan tunangan sahabatnya sendiri, Jacqueline de Bellefort, ia bertekad untuk bisa memiliki pria tersebut juga. Sang pria, Simon Doyle, pada akhirnya berhasil jatuh ke pelukannya.

Mereka pun berbulan madu ke Mesir, namun yang membuat Linnet jengkel, Jackie selalu ada ke manapun mereka pergi, membayangi mereka seakan ingin terus mengingatkan rasa bersalah Linnet dan Simon yang telah mengkhianatinya. Lama-lama Linnet merasa terancam, terlebih ketika Jackie juga mendadak muncul di pelayaran menyusuri Sungai Nil yang merupakan rencana rahasia Linnet dan Simon.

Dan benarlah – suatu malam, terjadi pertengkaran besar antara Jackie dan Simon, dan Linnet ditemukan mati ditembak di kamarnya. Meski kecurigaan langsung tertuju pada Jackie, namun alibi Jackie yang sangat kuat langsung mematahkan kecurigaan tersebut. Pertanyaannya: siapa lagi yang menginginkan kematian Linnet?

Untunglah ada Hercule Poirot di pelayaran tersebut. Dengan gayanya yang khas, Poirot berhasil menguak perkara pelik ini, membongkar topeng setiap penumpang kapal yang ternyata banyak menyembunyikan maksud asli mereka ikut pelayaran tersebut. Dan tak sedikit orang yang ternyata memiliki motif membunuh Linnet!

Death on the Nile menurut saya merupakan salah satu buku Christie yang paling efektif dan original. Memang benar, identitas setiap penumpang yang tidak diduga-duga seringkali menimbulkan ketidakpuasan (Christie sering memberikan twist kejutan yang terkesan agak dipaksakan), namun di sini hal tersebut seolah memiliki penjelasan demi penjelasan yang memuaskan.

Drama kisah cinta segitiga, pengkhianatan, dendam pribadi – semua disuguhkan Dame Agatha dengan dramatis namun tidak berlebihan. Kehadiran Poirot di sini pun terasa pas – porsinya tidak terlalu sedikit, namun juga tidak terlalu mendominasi sehingga kita masih memiliki kesempatan mengenal karakter-karakter lainnya di atas kapal.

Oh – dan kehadiran Colonel Race di sini juga cukup menyenangkan dan memberi nuansa berbeda dari kasus Poirot lainnya.

Pertama kalinya saya membaca Death on the Nile, jujur saja, saya tidak menyukai buku ini. Saya tidak suka karakter-karakternya, juga endingnya yang amat melodramatis. Namun saat membaca ulang, harus diakui, Christie seolah memiliki semua jawaban yang bisa menutupi lubang-lubang dalam cerita. Saya lebih menilai buku ini secara objektif dari efektivitasnya sebagai sebuah kisah pembunuhan, ketimbang rasa suka-tidak suka yang lebih subjektif. Dan memang, harus diakui kalau buku ini adalah salah satu karya terbaik Christie ๐Ÿ™‚

The movie

Death on the Nile sudah beberapa kali diadaptasi ke layare lebar, terutama karena kisahnya yang dramatis serta settingnya yang eksotis (pelayaran di Sungai Nil!!). Mungkin yang bisa mengalahkan keunikan settingnya hanyalah Murder on the Orient Express, yang juga sama-sama sudah sering diangkat ke layar lebar.

Kali ini, Death on the Nile merupakan bagian dari kisah Poirot yang digawangi oleh Kenneth Branagh sebagai sutradara sekaligus tokoh Hercule Poirot, yang sebelumnya sudah sukses mengadaptasi kisah Orient Express.

Beberapa aktor dan aktris yang menurut saya akan menarik diamati di film nanti adalah Gal Gadot sebagai Linnet Ridgeway (cocok!), Letitia Wright sebagai Rosalie Otterbourne, anak penulis novel romans, serta Armie Hammer sebagai Simon Doyle.

Seperti biasa, banyak karakter yang diganti namanya, bahkan ada karakter yang dihilangkan atau malah ditampilkan padahal tidak ada di buku. Hal ini juga dilakukan Branagh di Orient Express. Saya belum tahu apakah penambahan dan pengurangan karakter ini akan berpengaruh banyak pada plot di film. Tapi yang jelas, film ini termasuk yang tidak akan saya lewatkan!

Submitted for:

Kategori: A book from a series with more than 20 books

 

The Secret Adversary by Agatha Christie

06 Friday Mar 2020

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 2 Comments

Tags

agatha christie, bahasa indonesia, british, classic, Gramedia, mystery, popsugar RC 2020, series, suspense, terjemahan, world war

Judul: The Secret Adversary (Musuh dalam Selimut)

Penulis: Agatha Christie

Penerjemah: Mareta

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2012)

Halaman: 376p

Beli di: @HobbyBuku (bagian dari bundel Agatha Christie)

Tommy dan Tuppence bukanlah tokoh-tokoh favorit saya dari antara karakter ciptaan Agatha Christie, dan kisah petualangan mereka juga tidak terlalu menarik hati saya. Mungkin karena cerita mereka lebih berat ke isu mata-mata dan pengkhianatan dibandingkan plot pembunuhan klasik ala Christie.

Tapi, karena saya sudah membaca (ulang) hampir semua buku Christie, dan kisah pasangan Tommy dan Tuppence merupakan sedikit dari yang jarang (bahkan belum pernah) saya sentuh, maka tibalah saatnya menjajal buku mereka dan mengenal pasangan ini lebih jauh.

The Secret Adversary adalah buku mereka yang pertama. Tommy dan Tuppence belum menikah di sini, masih berusia muda dan sedang bingung menentukan rencana mereka setelah Perang Dunia I usai. Tanpa sengaja, mereka terlibat dalam suatu peristiwa misterius yang merupakan sisa misteri masa perang.

Saat Perang Dunia I berlangsung, kapal Lusitania yang sedang menuju Inggris ditorpedo musuh, padahal ada penumpang yang membawa dokumen penting yang sangat berarti untuk Inggris. Sang penumpang pun menitipkan dokumennya pada gadis Amerika bernama Jane Finn. Namun setelah proses penyelamatan kapal usai, Jane Finn menghilang tanpa jejak.

Lima tahun setelah kejadian tersebut, Tommy dan Tuppence akhirnya terlibat dalam pencarian Jane Finn yang misterius serta dokumen penting yang hilang. Gawatnya, beberapa pihak yang ingin kembali merusak perdamaian juga mengincar dokumen tersebut. Akhirnya, kedua petualang muda (amatir) ini terpaksa menggunakan segala akal mereka untuk bersaing dengan komplotan berpengalaman yang terdiri dari para penjahat dengan kepentingan mereka masing-masing.

Kabarnya, komplotan penjahat ini dipimpin oleh seseorang dengan julukan Mr. Brown (yang tidak diketahui identitas aslinya), yang kelihatannya selalu satu langkah di depan para lawannya termasuk Tommy dan Tuppence. Apakah mereka berhasil membongkar kedok Mr Brown dan memenangkan pertandingan ini?

Meski bukan jenis cerita favorit saya (give me any classic Christie whodunnit with locked room or something), ternyata kisah petualangan Tommy dan Tuppence cukup enjoyable. Ada beberapa red herring yang menipu, ditambah lagi double twist di bagian akhir yang cukup mengejutkan (meski lumayan tertebak), yang menunjukkan kepiawaian Chrstie mengolah kisah yang berada di luar comfort zonenya.

Topik espionase dan pengkhianatan merupakan topik yang cukup populer di masa perang dan setelahnya. Christie menulis kisah ini di tahun 1922, setelah perang usai namun kondisi Inggris belum terlalu stabil. Kisahnya sangat relevan dengan periode buku ini ditulis, dan Tommy serta Tuppence mewakili anak-anak muda yang hidupnya serba tidak pasti setelah perang.

Saya suka interaksi antara Tommy dan Tuppence, yang berasal dari latar belakang cukup berbeda namun ternyata sangat cocok satu sama lain. Dan kisah ini memang mengawali hubungan pribadi maupun profesional mereka berdua, kondisi yang cukup unik mengingat periode buku ini ditulis, dan membuktikan bahwa Christie mendukungย  emansipasi perempuan di zamannya dengan caranya sendiri.

Tommy dan Tuppence merupakan serial yang timelinenya mengikuti waktu sebenarnya saat buku mereka ditulis. Usia mereka bertambah tua dengan cukup akurat sesuai dengan terbitnya buku-buku mereka, dan perkembangan hubungan mereka juga digambarkan berjalan seiring dengan petulangan-petualangan mereka, tidak seperti serial Poirot atau Miss Marple.

Submitted for:

Kategori: A book set in the 1920s

 

The Strange Case of Dr Jekyll & Mr Hyde by Robert Louis Stevenson

22 Wednesday Jan 2020

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 4 Comments

Tags

bargain book!, british, classic, fiction, gothic, Gramedia, popsugar RC 2020, terjemahan

Judul: The Strange Case of Dr Jekyll & Mr Hyde

Penulis: Robert Louis Stevenson

Penerjemah: Julanda Tantani

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2011)

Halaman: 128p

Beli di: Gramedia Sale (IDR 15k)

Rasa-rasanya saya sudah menonton cukup banyak film adaptasi novel ini, baik yang mengacu dengan cukup akurat pada kisah aslinya, maupun yang sudah disadur menjadi film komedi atau kontemporer. Namun saya memang belum pernah membaca novel aslinya, dan bahkan sudah lupa kalau memiliki buku ini (alasan klasik penimbun buku).

Kisah Dr Jekyll dan Mr Hyde sudah amat melegenda sehingga tanpa membaca bukunya pun sepertinya kebanyakan orang sudah bisa menceritakan plotnya dengan cukup tepat. Tapi ternyata ada kesan tersendiri yang saya peroleh saat membaca langsung karya Robert Louis Stevenson ini.

Yang pertama tentu saja kesan gothic yang amat kental. Cerita ini berlangsung tahun 1800-an di kota London yang berkabut. Dr. Jekyll yang menutup diri dari dunia luar akibat obsesinya terhadap eksperimen rahasianya, tinggal di sebuah rumah besar yang dilengkapi oleh laboratorium kuno yang menjadi tempat kerjanya. Bagaimana ia mengurung diri dan menjadi korban dari eksperimennya sendiri, digambarkan dengan cukup detail oleh Stevenson, termasuk adegan memorable malam mencekam yang mengakhiri kisah ini. Penantian, kegelisahan dan keputusasaan di tengah malam gelap dan rumah yang suram, benar-benar memberikan suasana yang terasa nyata.

Selain itu, seperti kebanyakan buku klasik dari era yang sama, kisah Dr Jekyll dan Mr Hyde menyentuh tema yang amat digandrungi oleh penulis pada masa itu: moralitas, pilihan antara kebaikan dan kejahatan, serta batas-batas tak kasat mata antara keduanya.

Dr Jekyll bergumul dengan filosofi tersebut, bagaimana bisa seorang manusia memiliki sifat baik dan jahat sekaligus, dan apakah mungkin kedua sifat itu sebenarnya bisa dipisahkan dan masing-masing membentuk pribadi yang berbeda. Bagaimana jadinya bila seorang manusia hanya terdiri dari sifat jahat saja? Apakah esensi jahat tersebut bisa membentuk entitas pribadi baru yang sama sekali terpisah dari pribadi manusia sebelumnya?

Pemikiran itulah yang membawa Dr Jekyll pada eksperimen yang akan menghancurkan hidupnya, dan memunculkan sosok Mr Hyde yang mengerikan. Yang lebih menarik adalah gambaran Dr Jekyll akan godaannya untuk kembali lagi dan lagi pada sosok Mr Hyde bahkan setelah ia bertobat dan berubah menjadi Dr Jekyll. Karena memang, berbuat jahat adalah godaan yang tak pernah hilang dan akan terlalu mudah kembali lagi pada diri kita- terutama saat kita dihadapkan pada pilihan yang dilematis.

Meski buku ini termasuk singkat, tapi isinya cukup padat. Gaya bahasa Stevenson dapat diterjemahkan dengan cukup baik oleh penerjemah buku ini, satu hal yang cukup sulit ditemui pada terjemahan buku-buku klasik. Syukurlah, GPU termasuk cukup konsisten menerbitkan buku-buku klasik dengan kualitas terjemahan yang baik.

Submitted for:

Kategori: The first book you touch on a shelf with your eyes closed

The Gunslinger by Stephen King

30 Tuesday Oct 2018

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

bahasa indonesia, fantasy, fiction, Gramedia, horror, movie tie in, popsugar RC 2018, science fiction, series, terjemahan

Judul: The Gunslinger (Sang Gunslinger), The Dark Tower #1

Penulis: Stephen King

Penerjemah: Femmy Syahrani

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2016)

Halaman: 304p

Beli di: HobbyBuku (IDR 91k, disc 20%)

The Gunslinger merupakan buku pertama dari serial The Dark Tower, yang adalah salah satu masterpiece karya Stephen King. Di sini kita diperkenalkan kepada Roland Deschain, Gunslinger (penyandang pistol???) terakhir dari Gilead. Dunianya amat sangat sunyi, dan tujuan hidupnya cuma satu: memburu si lelaki berbaju hitam, iblis yang mampu membangkitkan orang mati dan memorakporandakan sisa dunia yang sudah sekarat ini. Apa yang terjadi sebelum dunia menjadi seperti ini, dikisahkan dengan amat perlahan melalui kilas balik memori si Gunslinger.

Namun dalam perjalanannya, Roland bertemu dengan beberapa karakter yang akan mengubah kehidupannya, meski tekadnya masih tetap sama: mengejar si lelaki berbaju hitam, dan mencapai destinasi terakhir, Menara Gelap, yang masih menjadi misteri hingga buku pertama ini selesai.

Menikmati Gunslinger haruslah dengan kehati-hatian, tidak perlu buru-buru apalagi berharap dengan adegan chaos dan twist yang terus menerus. Unsur ketegangannya tetap terasa, dan kadang hadir melalui kejutan penuh adegan gory yang tidak disangka-sangka. Bagaimanapun, Stephen King tetaplah rajanya kisah fiksi horor fantasi yang tidak tersaingi. Hanya saja dalam buku ini, terlihat sekali kemampuannya mengolah unsur tegang tadi dalam kisah yang sunyi dan lambat, bahkan kadang terkesan monoton. B

Bahasa yang digunakan juga banyak yang merupakan metafora yang kadang sulit dibedakan dari bagian yang ditulis dengan kalimat non metafora, saking absurdnya setting yang dipakai. Saya sendiri awalnya sangsi akan bisa menikmati The Gunslinger. Apalagi karena memang saya belum familiar sama sekali dengan serial Dark Tower, yang digadang-gadang sebagai karya terbesar King sepanjang kariernya.

Tapi ternyata, tanpa ekspektasi yang berlebih, saya malah bisa lumayan menikmati kisah Roland yang sunyi dan mencekam. Setting Gilead dan dunia aneh yang Roland tempati, awalnya memang bikin depresi karena kekelamannya dan nuansa tanpa harapan yang menguasai keseluruhan cerita. Namun belakangan, setelah mengenal Roland lebih dalam (meski sosoknya masih menyimpan banyak sekali misteri), saya mau tidak mau jadi bersimpati dengannya dan menyemangati tujuan pengejarannya (meski, sekali lagi, banyak misteri yang menyelubungi misi tersebut). Beberapa karakter yang ia temui di sepanjang perjalanannya, baik yang hanya singkat maupun yang cukup lama mendampinginya, juga membawa warna tersendiri yang membuat saya bertanya-tanya apakah mereka akan mempunyai peran lebih lanjut di seri berikutnya.

Bagaimanapun, The Gunslinger berhasil membuat saya tergelitik untuk menguak kisah Dark Tower lebih jauh, dan voila, buku kedua (yang juga sudah diterjemahkan oleh GPU) berhasil saya genggam. Pertanyaannya tinggal: kapan saya akan melanjutkan kisah petualangan Roland ya? โ˜บ

The Movie

The Gunslinger diangkat ke layar lebar tahun 2017 lalu, dengan Idris Elba sebagai pemeran Roland, dan Matthew McConaughey sebagai si Lelaki Berbaju Hitam. Saya sendiri belum menonton film besutan Nicolaj Arcel ini, tapi berdasarkan beberapa review yang saya baca, sepertinya film ini kurang mendapatkan sambutan yang baik. Beberapa kritik mengatakan kalau film ini terlalu segmented, tidak bisa dimengerti oleh penonton yang belum membaca serial Dark Tower. Namun ada juga kritik yang mengatakan kalau film ini juga tidak memuaskan dari sudut pandang fans Stephen King dan Dark Tower.

Saya sendiri belum berminat menonton filmnya, meski cukup penasaran juga dengan sosok Idris Elba sebagai si Gunslinger ๐Ÿ™‚

Submitted for:

Category: A book set on a different planet

 

← Older posts

From the bookshelf

Categories

Looking for Something?

Enter your email address to follow Books to Share and receive notifications of new posts by email.

Join 1,036 other subscribers

Currently Reading

I’m a Proud Member! #BBI 1301004

Wishful Wednesday Meme

Fill your Wednesdays with wishful thinking =)

Popsugar Reading Challenge 2018

bookworms

  • aleetha
  • althesia
  • alvina
  • ana
  • annisa
  • bzee
  • dewi
  • dion
  • fanda
  • Ferina
  • helvry
  • inne
  • Kobo
  • maya
  • mei
  • melmarian
  • mia
  • ndari
  • nophie
  • oky
  • peri hutan
  • ren
  • Reygreena
  • sel sel kelabu
  • sinta
  • tanzil
  • tezar
  • yuska

shop til you drop

  • abe books
  • Amazon
  • better world books
  • book depository
  • BukaBuku
  • Buku Dedo
  • bukukita
  • vixxio

Top Posts & Pages

  • Red, White & Royal Blue by Casey McQuiston
    Red, White & Royal Blue by Casey McQuiston
  • The Secret History
    The Secret History
  • Klara and the Sun by Kazuo Ishiguro
    Klara and the Sun by Kazuo Ishiguro
  • The Monogram Murders by Sophie Hannah
    The Monogram Murders by Sophie Hannah
  • Puddin' by Julie Murphy
    Puddin' by Julie Murphy

Recent Comments

Puddin’ by Jul… on Dumplin’ by Julie M…
jesica on Abarat 2: Days of Magic, Night…
jesica on Abarat 2: Days of Magic, Night…
When the Stars Go Da… on The Paris Wife
Hapudin Bin Saheh on Insomniac City: New York, Oliv…

Create a free website or blog at WordPress.com.

Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
  • Follow Following
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Join 1,036 other followers
    • Already have a WordPress.com account? Log in now.
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Customize
    • Follow Following
    • Sign up
    • Log in
    • Report this content
    • View site in Reader
    • Manage subscriptions
    • Collapse this bar
 

Loading Comments...