• About this blog
  • Clearance Sale!
  • Newbery Project
  • Popsugar Reading Challenge 2023
  • Previous Challenges
    • BBI Read and Review Challenge 2017
    • Challenges 2014
    • Challenges 2015
    • Lucky No.14 Reading Challenge
    • Lucky No.15 Reading Challenge
    • POPSUGAR Reading Challenge 2017
    • Popsugar Reading Challenge 2018
    • Popsugar Reading Challenge 2020
    • Popsugar Reading Challenge 2021
    • Popsugar Reading Challenge 2022
    • What’s in a Name 2018
    • Twenty-Ten Challenge
    • Challenges 2012
    • Challenges 2013
  • Round Ups
  • The Librarian

~ some books to share from my little library

Tag Archives: literature

Real Life by Brandon Taylor

18 Tuesday Jan 2022

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

african american, america, campus life, contemporary, e-book, english, fiction, literature, man booker prize, popsugar RC 2022, race

Judul: Real Life

Penulis: Brandon Taylor

Penerbit: Riverhead Books (2020, Kindle edition)

Halaman: 335p

Beli di: Amazon.com (USD 2.99, bargain!)

Buku ini sepertinya menjadi buku wajib bagi siapapun yang sedang berada di tengah pergumulan hidup, khususnya mahasiswa yang sedang berjuang meraih gelar PhD.

Wallace adalah seorang pemuda gay berkulit hitam yang berasal dari Alabama. Masa lalu yang keras membuat Wallace bertekad untuk pergi jauh dari rumahnya, dan setelah berjuang sana-sini, Wallace berhasil mendapatkan fellowship untuk program PhD di salah satu universitas di area Midwest.

Namun, Wallace ternyata tidak hanya mendapatkan tantangan dari penelitian sains yang rumit, melainkan juga dari intrik dan politik kampus dan lab yang rumit. Berhadapan dengan orang-orang rasis, baik dalam kapasitas profesional di lab (termasuk advisornya yang tidak pernah merasa rasis), maupun di lingkungan pertemanan. Yang lebih membuat Wallace sedih adalah tidak ada seorang pun teman yang bisa ia andalkan untuk mendukungnya. Mereka selalu diam dan membiarkan Wallace menghadapi perlakuan casual racism tersebut, atau berpura-pura bahwa hal itu benar-benar terjadi.

Di tengah kegalauannya, Wallace kerap menimbang pilihan yang ia miliki, dan betapa menyedihkannya saat ia sadar, pilihannya tidak banyak, dan sama suramnya. Ia tidak bahagia di lingkungan akademis yang amat sulit untuk orang kulit berwarna, namun ia juga tidak mampu membayangkan harus kembali ke “dunia nyata”, setelah sekian tahun berkutat dengan eksperimen di lab, dan mengandalkan uang beasiswa untuk memenuhi biaya hidupnya.

Real Life adalah buku yang penuh isu menarik, amat relevan dengan kondisi di Amerika saat ini, terutama di lingkungan akademis. Casual racism yang terjadi, yang tampak innocent, ternyata bisa bertumpuk menjadi beban yang mempengaruhi kesehatan mental seseorang. Victim blaming juga banyak terjadi, terutama pada kaum minoritas yang dianggap tidak memiliki suara.

Namun, gaya penulisan Brandon Taylor kerap kali membuat saya agak kurang bisa menikmati buku yang masuk ke nominasi short list Booker Prize tahun 2020 ini. Kadang terlalu detail dalam menggambarkan atmosfir, namun seringkali mengulang detail tertentu (misalnya suara kicauan burung, udara panas saat summer, bau air danau), yang membuat saya bosan setengah mati.

Karakter Wallace pun digambarkan agak lemah, membuat saya jadi kurang semangat untuk mendukungnya. Apalagi beberapa keputusannya memang membuat kesal dan patut dipertanyakan. Mungkin saya memang kurang bisa berempati dengannya, sehingga tidak mengerti mengapa ia diam saja saat dituduh sebagai seorang mysoginist oleh rekan labnya yang memiliki masalah kejiwaan, alih-alih melawan dan membuktikan integritasnya. Mungkin faktor masa lalunya berkaitan erat dengan cara Wallace menghadapi masalah, namun sayangnya Brandon Taylor tidak mampu membuat saya bisa menghubungkan tragedi masa lalu Wallace dengan kondisinya saat ini, karena terlalu sibuk menuliskan detail-detail atmosfer dan metafora lingkungan yang membuat pembaca kehilangan fokus.

Bagaimanapun, Real Life tetap merupakan buku penting, Own Voice yang patut mendapat perhatian. Mudah-mudahan buku Taylor selanjutnya lebih mampu memikat saya.

Rating: 3/5

Recommended if you want to read about: academic life, Black experience, Own Voice, characters with scientific background, niche atmosphere

Submitted for:

A book with the name of a board game in the title (LIFE)

Unsettled Ground by Claire Fuller

01 Friday Oct 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction, Uncategorized

≈ Leave a comment

Tags

british, contemporary, dysfunctional family, english, fiction, literature, twins, women prize

Judul: Unsettled Ground

Penulis: Claire Fuller

Penerbit: Fig Tree (2021)

Halaman: 289p

Beli di: @transitsanta (IDR 300k)

First of all – the cover of this book is so exquisite!! Bener-bener pas dengan tone nya yang suram, full of abandonment feeling dan being in a rotten life.

Kisahnya adalah tentang kakak beradik kembar, Jeanie dan Julius, yang hidup di sebuah desa bersama ibu mereka. Suatu pagi, mereka menemukan ibu mereka meninggal dunia, dan tiba-tiba saja Julius dan Jeanie ditinggalkan berdua, dan harus menghadapi dunia yang sebelumnya tidak pernah mereka lakukan sendiri.

Jangan membayangkan kalau Julius dan Jeanie adalah dua anak kecil tak berdaya. Sebaliknya, mereka adalah dua orang dewasa paruh baya, yang tidak memiliki cacat tubuh apapun, namun sejak masih muda, selalu berada dalam lindungan ketat ibu mereka. Jeanie dan Julius tidak diberikan bekal pendidikan, keahlian khusus baik soft skills maupun hard skills, yang bisa membuat mereka menjadi orang-orang mandiri. Jeanie selalu merasa ia lambat dalam belajar, dan jantungnya pun tak sekuat orang lain, sementara Julius amat pemalu, dan hanya bekerja sesekali saja menjadi buruh kasar bila keluarga mereka memerlukan uang.

Meninggalnya sang ibu memaksa Jeanie dan Julius untuk keluar dari zona nyaman mereka, sekaligus bersinergi untuk bertahan hidup. Namun, masalah demi masalah menghampiri mereka. Mulai dari diusir landlord dari rumah yang seumur hidup mereka tinggali, tidak punya uang untuk mengubur ibu mereka, mencari pekerjaan padahal sebelumnya tidak pernah bekerja, dan bahkan, jatuh cinta di tengah situasi yang serba tidak pasti ini, mengancam ikatan persaudaraan yang selama ini menjadi dasar kehidupan mereka.

Unsettled Ground adalah buku yang tidak panjang, hening, namun sangat menghantui, karena kisahnya yang seolah terjadi di dunia lain, sebenarnya amat dekat dengan keseharian kita. Julius dan Jeanie adalah wakil dari kaum marginal yang kadang terselip di celah-celah peradaban. Mereka tidak tinggal di lokasi terpencil, dan penduduk desa sebenarnya mengetahui kondisi kehidupan mereka. Tapi berapa banyak yang mau peduli dan rela membantu tanpa pamrih? Justru kebanyakan malah membully, atau membantu tapi dengan mengasihani mereka. Mereka lupa, Jeanie dan Julius juga manusia, yang tidak butuh charity, tapi humanisme.

Ini adalah pertama kalinya saya membaca buku karya Claire Fuller, and I’m hooked. Memang kisahnya agak lambat, dan kita harus bersabar membacanya. Tapi penggambaran karakter serta setting yang vivid membuat saya serasa berada bersama dengan Julius dan Jeanie, berempati dengan mereka, sekaligus amaze karena masih ada (dan banyak!) orang seperti mereka di dunia sekitar kita.

Unsettled Ground mengajarkan kita untuk menggali empati dalam diri masing-masing, tanpa nada yang menggurui.

Rating: 4/5

Recommended if you like: British lit, siblings and twins interaction, haunting prose, thought provoking issues

Klara and the Sun by Kazuo Ishiguro

08 Tuesday Jun 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

asia, british, english, fantasy, fiction, literature, nobel, science fiction

Judul: Klara and the Sun

Penulis: Kazuo Ishiguro

Penerbit: Alfred A. Knopf (2021)

Halaman: 303p

Beli di: @post_santa (IDR 270k)

Argh… this is definitely going to be one of my favorite 2021 reads! Sejujurnya saya baru pernah membaca satu buku Kazuo Ishiguro sebelumnya, Never Let Me Go yang lumayan mengintimidasi karena temanya yang berat dan gaya bahasanya yang mengalun lambat. Sejak itu, saya belum tertarik untuk membaca karya Ishiguro lainnya, apalagi embel-embel penerima Nobel semakin membuatnya tampak intimidatif.

Tapi membaca review banyak orang, yang menyatakan kalau Klara and the Sun adalah buku yang hangat, dan pasti akan membuat kita jatuh cinta dengan tokoh utamanya, membuat saya jadi penasaran juga. Karena itu saya memberanikan diri untuk berkenalan dengan Klara dan tried to enjoy this book.

Klara adalah sesosok Artificial Friend (AF) di sebuah kota tak bernama, suatu hari di masa depan. Dari balik jendela toko, sambil menanti seorang anak yang akan membawanya pulang, Klara mengamati dunia di sekitarnya. Orang-orang yang berlalu lalang, interaksi yang terjadi, dan emosi yang ditunjukkan oleh para manusia. Lebih dari segalanya, Klara ingin berusaha mengerti tentang manusia, apa yang mereka rasakan dan impikan. Meski teman-teman dan manajer tokonya kerap mengingatkan Klara supaya jangan berharap terlalu banyak dari manusia.

Suatu hari, Josie, anak perempuan yang sudah beberapa kali Klara lihat, akhirnya membawanya pulang. Klara pun menjalankan tugasnya sebagai teman Josie dengan bahagia. Namun anak perempuan di masa tersebut tidak bisa menjalani hidup yang “normal”. Josie berjuang untuk mendapat kehidupan lebih baik, “elevated” to the next level, meski itu berarti ia harus rela disesuaikan secara genetik, sehingga tidak akan kalah dengan para robot. Namun konsekuensinya, kesehatan Josie seringkali memburuk, dan membuatnya terkapar di tempat tidur berhari-hari.

Klara, yang amat percaya dengan khasiat sinar matahari (karena sumber energinya memang dari solar alias matahari), bertekad ingin meminta tolong pada sang matahari untuk menyembuhkan Josie. Dan perjalanan Klara mencari matahari serta usahanya untuk membuat Josie sehat kembali, adalah salah satu kisah persahabatan paling sincere yang pernah saya baca. Tertohok juga rasanya, mengingat Klara adalah sosok Artificial Friend yang sebenarnya tidak memiliki hati dan perasaan seperti manusia, namun ternyata mampu melakukan tindakan cinta yang tidak mengharapkan balasan pada sahabat terdekatnya.

Beberapa kritik menyatakan kalau Klara and the Sun sebenarnya kurang sesuai dengan level Kazuo Ishiguro, apalagi dengan statusnya sebagai penerima Nobel. Tapi menurut saya, justru Ishiguro berhasil mengukuhkan reputasinya sebagai penulis yang konsisten bermain-main dengan isu masa depan, artificial intelligence, rekayasa genetik, bahkan debat mengenai moralitas manusia vs robot, namun dengan narasi yang membumi, dan bahkan lebih approachable dibandingkan dengan buku-buku sebelumnya.

Klara adalah narator yang luar biasa relatable, meski sosoknya yang kaku dan sangat robotik sebenarnya sulit untuk kita merasa relate, tapi Ishiguro dengan piawai justru mengajak kita menyelami dunia Klara, pikirannya dan keraguannya akan segala hal berbau manusia, sehingga kita jadi bisa melihat dari sudut pandang lain sebagai pengamat, tentang makna hidup sebagai manusia, dan mengapa kita selalu membuat segalanya menjadi rumit.

Klara and the Sun adalah buku yang jauh dari kesan intimidatif, selain karena narasinya yang mudah diikuti, isu futuristiknya pun masih terasa relate dengan kehidupan masa kini, dan bahkan – dengan orang-orang seperti Elon Musk dan Jeff Bezos di sekitar kita – tidak mustahil akan benar-benar terjadi di masa depan yang tak terlampau jauh. Satu hal yang sedikit saya sayangkan adalah ketidakjelasan dunia masa depan yang menjadi setting buku ini. Sedikit worldbuilding atau penjelasan saya rasa akan lebih bisa membantu kita membayangkan setting yang digunakan. Namun, vagueness in setting ini memang menjadi salah satu ciri khas Ishiguro sehingga protes ini menjadi tidak terlalu relevan XD

Setelah menamatkan kisah Klara, saya sempat mengikuti sebuah event dari British Library yang diselenggarakan dalam rangka World Book Night, dengan narasumber Kazuo Ishiguro dan host Kate Mosse, penulis asal Inggris. Diskusi ini sangat menarik, delightful, dan informatif, baik yang sudah membaca buku Klara maupun yang belum, karena Ishiguro menjabarkan proses kreatif dan perjalanan idenya tanpa menyentuh spoiler apapun. Dan di sini, saya juga bisa melihat sosok Ishiguro yang amat humble, dan kadang malah gantian bertanya pada Kate Mosse mengenai hal-hal yang masih membingungkannya sebagai seorang penulis. Benar-benar inspiratif!

Video percakapan ini bisa diakses di sini.

Rating: 4.5/5

Recommended if you like: lovable but unusual narrator, ideas about the future, genetic and artificial intelligence, down to earth narrative, beautiful and flowy language

The Memory Police by Yoko Ogawa

21 Friday May 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

asia, dystopian, fantasy, fiction, Gramedia, japanese, literature, mystery/thriller, popsugar RC 2021, terjemahan

Judul: The Memory Police (Polisi Kenangan)

Penulis: Yoko Ogawa

Penerjemah: Iingliana

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2020)

Beli di: Gramedia.com (IDR 93k)

Apa jadinya bila satu demi satu benda-benda di sekitar kita mulai menghilang, bersama dengan kenangan kita akan mereka? Bagaimana rasanya bangun di suatu pagi dan menyadari bahwa mulai hari itu sudah tidak ada lagi bunga mawar, atau burung merpati, atau kapal feri dan buku novel? Yang tersisa hanyalah kehampaan, rasa kehilangan akan suatu memori yang bahkan kita tidak ingat lagi tentang apa.

Kisah sendu, gloomy, dan menyedihkan ini terjadi di suatu pulau tak bernama, yang saat ini dikuasai oleh rezim yang sangat opresif (mungkin sejenis junta militer). Secara berkala, rezim ini mulai menghilangkan benda-benda dari hidup dan ingatan setiap orang, termasuk seorang novelis muda yang tinggal sendirian di rumah peninggalan orang tuanya.

Namun, ternyata ada orang-orang tertentu yang tetap memiliki ingatan sempurna, tak tersentuh oleh tekanan rezim, namun nyawa mereka berada dalam ancaman. Si novelis narator kita berusaha melindungi editornya yang termasuk ke dalam golongan orang yang tak bisa lupa. Dibantu oleh temannya, si pria tua mantan pekerja kapal, sang novelis menyembunyikan editornya di ruang rahasia, meski itu berarti ia juga membahayakan nyawanya sendiri.

The Memory Police adalah buku yang amat unik. Kisahnya sendiri menurut saya agak terlalu vague- dari mulai setting tempat dan karakter yang tidak bernama, sampai ketidakjelasan latar belakang rezim dan apa tujuannya menghilangkan ingatan orang-orang. Saya merasa gemas sesekali karena ingin mengetahui lebih banyak tentang latar belakang kisah ini, yang sebenarnya akan sangat menarik bila digali lebih dalam. Tapi sepertinya fokus Yoko Ogawa memang lebih kepada prosa yang mengalir, yang disusun sedemikian rupa sehingga kita bisa benar-benar merasuk ke dalam kisah mencekam ini.

Pemilihan diksi yang mendeskripsikan masing-masing benda dan ingatan yang hilang memang menjadi salah satu kekuatan utama buku ini, yang untungnya bisa diterjemahkan dengan sangat baik oleh sang penerjemah. Selain itu, ada alur paralel yang menceritakan tentang buku yang sedang ditulis oleh si novelis, yang juga memiliki nada yang sama suramnya, dan kita bisa melihat kesulitan si novelis menulis bukunya saat satu demi satu ingatan perlahan hilang dari dirinya.

The Memory Police (yang merupakan simbol rezim opresif) sepertinya memang buku yang enak dinikmati sebagai ide, mengajak kita bermain-main dalam imajinasi tentang suatu saat di mana manusia tidak lagi memiliki kontrol atas hidup dan ingatannya, dan tanpa ingatan apalah artinya kita, hanya sosok-sosok yang tidak memiliki tujuan hidup.

A thought provoking, albeit a bit vague story.

Rating: 3/5

Recommended if you want to try: Japanese lit, unusual plot, beautiful prose, gloomy read

Submitted for:

Category: A book about forgetting

Transcendent Kingdom by Yaa Gyasi

09 Tuesday Mar 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

african american, america, award, culture, dysfunctional family, immigrant, literature, mental health, race, science

Judul: Transcendent Kingdom

Penulis: Yaa Gyasi

Penerbit: Alfred A. Knopf (2020)

Halaman: 264p

Beli di: @Post_Santa (IDR 265k)

Gifty adalah seorang anak imigran dari Ghana yang sedang menyelesaikan studi PhD nya di bidang neuroscience. Fokus risetnya adalah tentang bagaimana otak tikus bekerja, dan apa hubungan antara reward-seeking behaviour dengan syaraf yang menyebabkan depresi dan adiksi. Terdengar ribet, tapi sebenarnya riset ini sangat berhubungan erat dengan kehidupan pribadi Gifty. Kakak laki-lakinya, Nana, meninggal akibat OD, gara-gara kecanduan opioid setelah cedera yang dialaminya. Padahal Nana adalah calon atlet basket yang masa depannya tampak begitu cemerlang. Sementara itu, ibu Gifty menderita depresi parah setelah ditinggal oleh anak laki-lakinya, dan bahkan memiliki kecenderungan suicidal.

Gifty yang berotak cemerlang bertekad akan menemukan jawaban scientific akan hal-hal yang dialami keluarganya, supaya orang lain terhindar dari tragedi yang sama. Saat penelitiannya hampir selesai, Gifty menerima kabar kalau ibunya lagi-lagi mengalami depresi, dan ia akhirnya meminta agar ibunya yang tinggal di Alabama sementara pindah ke apartemennya di California.

Yaa Gyasi did it again. Transcendent Kingdom memang tidak sepowerful Homegoing yang lebih kental unsur historical dramanya, tapi buku ini tetap meninggalkan kesan mendalam buat saya. Leave it to Gyasi to write any kind of topic and make it a beautiful read. Di Transcendent Kingdom, Gyasi lebih fokus pada isu imigran (orang tua Gifty adalah imigran dari Ghana yang menetap di Alabama) dengan segala tantangannya, dari mulai mencari pekerjaan, menghadapi isu rasisme, hingga usaha keras yang harus dilakukan untuk membuktikan kalau anak-anak imigran pun bisa sukses.

Dan di sinilah kita disuguhi salah satu permasalahan kompleks namun sangat marak terjadi, termasuk di keluarga imigran: adiksi opioid, yang awalnya biasanya hanya diresepkan sebagai painkillers, namun karena mudah diakses, dengan cepat bisa menyebabkan kecanduan.

Gyasi banyak sekali membahas isu rumit dan kompleks di buku ini. Selain isu kecanduan opioid, juga ada isu mental health dan stigma depresi yang masih dipegang oleh budaya para imigran, termasuk keluarga Gifty. Dan tentu saja, sajian utama Transcendent Kingdom adalah penelitian Gifty sendiri, yang begitu kompleks namun terkait erat dengan permasalahan hidupnya.

Kalau dilihat sepintas, memang buku ini seolah ingin membahas terlalu banyak isu kompleks yang terancam akan membuat pusing pembacanya. Namun, sekali lagi saya ingin menegaskan pendapat saya, kalau Gyasi adalah penulis yang amat andal. Topik-topik tadi bisa dirangkum dengan begitu hati-hati, mengalir, dengan pemaparan karakter yang detail tapi tidak membosankan, dan membawa kita masuk ke dalam kehidupan Gifty dengan begitu mudah. Hingga buku ini berakhir, saya seolah sudah melakukan penelitian bersama-sama Gifty di labnya di Stanford XD

Can’t wait to see what Yaa Gyasi brings on next.

Rating: 4/5

Recommended if you like: immigrant story, science related topic, haunting prose, beautiful writing, realistic fiction

Colorless Tsukuru Tazaki and His Years of Pilgrimage by Haruki Murakami

16 Tuesday Oct 2018

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

asia, coming of age, culture, english, fiction, japan, japanese, literature, popsugar RC 2018

Judul: Colorless Tsukuru Tazaki and His Years of Pilgrimage

Penulis: Haruki Murakami

Penerbit: Vintage (2014)

Halaman: 298p

Beli di: The Book Depository (USD 9,25)

Tsukuru Tazaki mempunyai empat orang sahabat di sekolah. Kebetulan, nama keempat sahabatnya sama-sama mengandung nama warna. Temannya yang laki-laki bernama Akamatsu (atau pinus merah), dan Oumi (atau laut biru). Sementara yang perempuan bernama Shirane (akar putih) dan Kurono (lapangan hitam).

Hanya Tazaki yang tidak memiliki elemen warna pada namanya.

Suatu hari, saat mereka sudah kuliah dan Tazaki pindah ke Tokyo, terjadi peristiwa yang mengejutkannya. Teman-temannya tiba-tiba memutuskan hubungan dengannya, dan mendadak tidak mau bertemu dengannya lagi tanpa alasan yang jelas.

Sejak saat itu, Tsukuru menjalani hari-harinya dengan datar, mengapung dan mengambang tanpa bisa menjalin hubungan yang bermakna dengan siapapun. Hingga akhirnya ia bertemu dengan Sara, yang berkeras agar Tsukuru mengkonfrontasi teman-temannya dari masa lalu dan mencari tahu apa yang terjadi bertahun-tahun yang lalu.

Colorless Tsukuru, bagi banyak fans Haruki Murakami, bukanlah hasil karya terbaik dari sang maestro. Tapi buat saya yang bisa dibilang bukan fans garis keras, buku ini mudah untuk diikuti dan cukup memiliki aura ‘kesunyian’ khas Murakami yang kental.

Saya tidak bisa tidak bersimpati dengan Tsukuru yang malang, yang sakit hatinya menimbulkan luka yang membekas bertahun-tahun, yang menjadi alasan utamanya tidak bisa percaya lagi dengan orang lain, dan tidak berani menjalin hubungan mendalam dengan siapapun, termasuk untuk jatuh cinta. Kesepian dan kehidupan mengapung tak bermakna dinilai Tsukuru lebih bisa tertahankan dibandingkan kemungkinan disakiti lagi hatinya.

Buku ini seolah menyuarakan isi hati para introvert- yang dengan susah payah mempercayakan hati mereka yang rapuh, untuk kemudian dihempaskan begitu saja sehingga menjadi pengalaman yang traumatis.

Saya juga suka dengan karakter Sara, yang begitu berbeda dari Tsukuru, namun tetap berusaha memahaminya.

Dan meski akhirnya Tsukuru tahu apa yang menjadi alasan teman-temannya memutuskan hubungan dengannya bertahun-tahun lalu, itu tidaklah terlalu penting lagi. Yang lebih penting apakah Tsukuru masih mau memanfaatkan sisa hidupnya untuk membuka hati kembali?

Setting Tokyo masih menjadi kekuatan utama kisah Murakami ini. Hiruk pikuk kota yang sangat kontras dengan isi apartemen para penghuninya yang begitu sunyi, mampu digambarkan Murakami dengan begitu gamblang. Saya jadi bisa ikut gelisah bersama Tsukuru, merasakan hatinya yang hampa namun jadi frustrasi sendiri karena tidak bisa berbuat apa-apa baginya.

Tokyo (selain New York) mungkin menjadi salah satu tempat paling baik, paling menakutkan, dan paling menggugah, untuk kisah-kisah mengenai pencarian jati diri dan pertemuan titik-titik penting dalam kehidupan. Dan kisah Tsukuru berhasil mengukuhkan hal tersebut.

Submitted for:

Category: A book set in a country that fascinates you

Laut Bercerita by Leila S. Chudori

10 Monday Sep 2018

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 2 Comments

Tags

bahasa indonesia, borrowed, fiction, historical fiction, indonesia, indonesia asli, literature, politics, popsugar RC 2018, tragedy

Judul: Laut Bercerita

Penulis: Leila S. Chudori

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG, cetakan ketiga, Januari 2018)

Halaman: 379p

Pinjam dari: Althesia

Kisah ini dituturkan oleh Biru Laut, mahasiswa aktivis yang kuliah di Yogya, yang pada tahun 1998 hilang diculik oknum tak dikenal dan selama berbulan-bulan disiksa, diinterogasi, dipukuli, disetrum dan ditindas, dipaksa untuk menjawab pertanyaan aparat mengenai gerakan aktivis yang ingin menggulingkan pemerintahan saat itu.

Laut mengajak kita untuk berkilas balik menelusuri kehidupannya. Awal perkenalannya dengan teman-teman yang nantinya akan berjuang bersamanya. Keluarganya yang saling mencintai, yang seringkali harus ia korbankan demi hasratnya memperjuangkan Indonesia yang lebih demokratis. Pertemuannya dengan cinta pertamanya, Anjani. Kegemarannya akan makanan dan obsesinya menyempurnakan resep warisan keluarga, mulai dari tengkleng hingga kuah Indomie istimewa yang menjadi ciri khasnya.

Laut adalah bagian dari sejarah Indonesia. Lewat penuturannya, kita diajak untuk menyelami masa-masa kelam penuh ancaman dan suasana mencekam selama diktator Orde Baru berkuasa. Tanpa mahasiswa seperti Laut dan teman-temannya, kenikmatan hidup bebas berdemokrasi saat ini tak akan pernah kita rasakan.

Secara pribadi, saya sendiri jauh lebih menyukai buku Laut Bercerita dibandingkan buku Leila sebelumnya yang juga sedikit menyinggung tentang perjuangan reformasi, Pulang. Laut Bercerita memiliki ramuan yang pas antara karakter-karakter yang digambarkan cukup dalam dan tidak terkesan klise, konflik yang tidak bertele-tele dan tentu saja, ending yang kepingin bikin berteriak-teriak saking emosionalnya. Kisah Laut sukses membuat air mata saya mengalir, perasaan tercabik-cabik dan hati yang remuk seolah saya sendiri berada di sana, ikut berjuang bersama para sahabat tersebut.

Tidak seperti dalam Pulang, Leila cukup konsisten menjaga tempo cerita dan karakter-karakternya sehingga tetap memikat hingga akhir. Meski ia berganti narator beberapa kali, namun semua babnya masih enak untuk diikuti. Ditambah lagi, tidak ada aura romans yang terlalu kental, atau cinta segitiga dan sejenisnya di sini. Semuanya diceritakan seperlunya saja, dan fokus kisah tentang perjuangan reformasi, serta persahabatan di antara para aktivis, cukup terjaga baik.

Buku ini saya rekomendasikan untuk segenap masyarakat Indonesia yang kerap lupa, yang seringkali bercanda tentang enaknya zaman Soeharto dan impian untuk kembali ke Orde Baru, untuk anak-anak muda yang bahkan tidak bisa membayangkan kengerian yang dialami oleh Laut dan teman-temannya, karena kengerian terbesar mereka mungkin hanyalah kehilangan wifi gratisan. Buku ini saya rekomendasikan untuk mereka yang masih butuh pengingat tentang pahlawan-pahlawan tanpa nama, yang bahkan hingga hari ini masih tidak diketahui keberadaannya. Buku ini saya rekomendasikan untuk yang masih ingin berjuang menyelesaikan pekerjaan rumah menumpuk yang masih dimiliki Indonesia. Buku ini saya rekomendasikan untuk siapapun yang masih mengaku mencintai Indonesia dan ingin yang terbaik bagi negara ini.

#menolaklupa

Dalam catatan penulis, Leila menyebutkan salah satu inspirasinya dalam menulis buku ini adalah the real reformation heroes, para mahasiswa dan aktivis yang berjuang hingga Indonesia bisa menikmati kebebasan demokrasi seperti saat ini. Dan di antara mereka, hingga kini masih ada 13 aktivis yang hilang (selain juga 9 korban penculikan yang berhasil kembali). Ada juga korban yang akhirnya ditemukan sudah dalam keadaan tidak bernyawa.

Siapa yang bertanggung jawab terhadap kasus-kasus penculikan ini? Bagaimana nasib ke-13 aktivis tersebut? Ini adalah PR besar pemerintah Indonesia, yang sayangnya hingga kini mashi mentok dan belum berhasil menemukan titik terang (alias belum memproses secara hukum para pelaku dan otak kejahatan ini). Bayangkan apa rasanya menjadi keluarga para aktivis korban penculikan ini, yang hingga kini bahkan tidak tahu nasib orang-orang yang mereka sayangi, bahkan memakamkan dengan layak pun mereka tidak bisa.

It’s a dark history of Indonesia. And please, do not ever forget.

Submitted for:

popsugarRC2018button

Category: A book by a local author

 

 

Things Fall Apart by Chinua Achebe

21 Tuesday Nov 2017

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 1 Comment

Tags

africa, bbi review reading 2017, classic, culture, english, fiction, literature, popsugar RC 2017

Judul: Things Fall Apart

Penulis: Chinua Achebe

Penerbit: Penguin Books (Pocket  Penguin Classic 2010)

Halaman: 197p

Beli di: The Book Depository (IDR 88,944)

 

Blurb:

Okonkwo adalah pejuang paling hebat di seluruh Afrika Barat. Keberanian dan kekuatannya sudah terkenal ke mana-mana, dan ia dinobatkan sebagai salah satu pemimpin di sukunya.

Okonkwo bertekad tidak akan menjadi seperti ayahnya, pecundang gagal yang selalu menunjukkan kelemahannya. Karena itu, kekerasan menjadi pilihan Okonkwo dalam mengatasi segala masalah, mulai dari mendisiplinkan anak-anaknya, menyelesaikan konflik antar desa, hingga melawan pengaruh asing yang memasuki desanya dan mengancam tradisi yang sudah dijaga ratusan tahun lamanya.

Thoughts:

Sepertinya ini adalah pengalaman saya membaca buku penulis Afrika yang bercerita mengenai kehidupan suku tradisional di benuanya. Sebagian besar isi buku ini diceritakan dalam bentuk narasi yang menjelaskan tentang tradisi, adat istiadat dan kehidupan sehari-hari suku Okonkwo. Memang kesan awalnya agak membosankan seperti ensiklopedia, tapi karena banyak pengetahuan baru yang saya dapat, lama kelamaan kisah Okonkwo menjadi menarik juga.

Beberapa terlihat sangat menakjubkan, seperti ritual menukar sandera, menyelesaikan konflik antar suku, bahkan tradisi menyambut kedewasaan anak laki-laki. Saya menyadari kalau tidak banyak yang saya ketahui tentang suku pedalaman benua Afrika, selain informasi sepotong-sepotong yang saya peroleh dari menonton dokumenter di NatGeo channel.

Konflik mulai hadir di tengah kisah yang awalnya terasa cukup datar, ketika desa Okonkwo harus menghadapi ancaman berupa para misionaris yang merambah ke suku-suku pedalaman Afrika Barat. Kepercayaan animisme yang selama ini mereka jalani mendapat tantangan dari konsep monoteistik kristianisme yang benar-benar baru bagi mereka.

Yang menarik bagi saya adalah kisah tentang kehidupan misionaris itu sendiri, yang diceritakan dari sudut pandang para penduduk asli, sementara selama ini saya lebih banyak dicekoki sudut pandang para misionaris sebagai yang memberitakan Injil. Apa yang dianggap baik oleh Gereja, ternyata mendapat sudut pandang berbeda, lebih seperti kolonialisme, bagi para suku terasing ini. Sedikit mengingatkan saya dengan berita baru-baru ini di mana Suku Anak Dalam di Jambi dipaksa untuk menganut agama dan meninggalkan kepercayaan mereka.

Satu hal yang cukup mengganjal bagi saya adalah kisah yang terlampau singkat, terasa terlalu diburu-buru terutama konflik di bagian akhir buku. Namun ternyata Chinua Achebe masih meneruskan kelanjutan kisah ini di buku selanjutnya: Things Fall Apart: No Longer at Ease (1960) , Arrow of God (1964), serta A Man of the People (1966), semuanya berkisah tentang suku tradisional dan pergumulannya menghadapi para pendatang (atau penjajah!).

Chinua Achebe:

Chinua Achebe lahir di Nigeria tahun 1930, dan menerbitkan novel pertamanya, Things Fall Apart, tahun 1958. Hingga kini, novel tersebut telah terjual lebih dari 20 juta kopi di seluruh dunia, dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 50 bahasa.

Ditahun-tahun selanjutnya, Achebe tetap produktif menulis dan menerbitkan novel, namun di tahun 1990an kecelakaan mobil membuatnya lumpuh dan ia memutuskan untuk pindah ke Amerika Serikat, mengajar di Bard College sert Brown University.

Chinua Achebe meninggal dunia tanggal 21 Maret 2013 di Boston dalam usia 82 tahun.

Submitted for:

Category: A book by an author from a country you’ve never visited

Kategori Ten Point: Buku Pengarang Lima Benua (Afrika)

 

 

 

 

March by Geraldine Brooks

24 Thursday Aug 2017

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 1 Comment

Tags

america, bbi review reading 2017, english, fiction, historical fiction, literature, popsugar RC 2017, pulitzer prize, retelling, slavery

Judul: March

Penulis: Geraldine Brooks

Penerbit: Penguin Books (2006)

Halaman: 280p

Gift from: DCM Brian McFeeters 🙂

Little Women adalah salah satu buku klasik yang tidak pernah bosan saya baca ulang maupun tonton kembali versi filmnya. Jo March merupakan salah satu karakter perempuan favorit saya sepanjang masa.

Karena itulah saya tertarik membaca March, kisah tentang Mr.March, ayah keluarga March yang digambarkan pergi jauh ke medan perang dalam buku Little Women. Sosok ayah yang ‘hilang’ dari kisah Louisa May Alcott yang sangat kental nuansa feminin tersebut, kini direka ulang oleh penulis berbakat Geraldine Brooks.

Kita diajak mengikuti perjalanan hidup Mr.March, mulai dari masa mudanya saat ia bekerja keras mengumpulkan uang sebagai pedagang keliling yang berkelana ke rumah-rumah orang kaya di daerah selatan, hingga berjumpa dengan seorang budak perempuan yang akan mengubah keseluruhan pandangan hidupnya.

Kisah pertemuannya dengan Mrs. March yang cerdas dan idealis juga diangkat dengan detail di sini, dan bagaimana perjuangan mereka membangun keluarga di tengah pergolakan Perang Saudara yang semakin memanas. Jalan hidup Mr. March akhirnya menempatkannya sebagai sosok pendeta yang memutuskan untuk ikut berjuang di medan perang. Dan mulailah lika-liku adegan perang yang kejam dan nyaris merenggut nyawa Mr. March, serta membuka satu rahasia kelam yang tidak disinggung sama sekali dalam buku Little Women.

March seolah menjelma sebagai kisah yang amat berlawanan dengan Little Women. Jika dalam Little Women kita disuguhi oleh nuansa hangat yang feminin, kisah keluarga dan coming of age story anak-anak perempuan keluarga March, di sini justru kehangatan itu tidak terasa sama sekali. March adalah buku yang kelam, dingin, maskulin, dengan beberapa adegan cukup gory dari suasana perang dan juga sisa-sisa perbudakan yang masih mewarnai Amerika di bagian selatan.

Yang juga menarik adalah interpretasi Geraldine Brooks terhadap sosok Mr. March itu sendiri. Louisa May Alcott pernah mengungkap bahwa sosok Mr. March memang terinspirasi dari karakter ayahnya. Dan fakta inilah yang dikupas habis oleh Brooks, termasuk membuat Mr. March memiliki pandangan yang sama dengan Mr. Alcott terhadap perbudakan, Perang Saudara, dan bahkan mengangkat hubungan pertemanannya dengan penulis di era tersebut seperti Ralph Waldo Emerson dan Henry David Thoreau. Menarik juga menangkap sekilas hubungan antar penulis yang nantinya akan menjadi sosok-sosok bersejarah dunia literatur Amerika.

March termasuk buku yang cukup padat, meski tidak tergolong panjang namun berisi berbagai topik yang kadang cukup sulit dan berat. Tak heran buku ini berhasil menggondol penghargaan Pulitzer di tahun 2006. Hanya saja saya cukup heran, mengapa Hollywood belum melirik kisah ini untuk diangkat ke layar lebar ya?

Submitted for:

Category: A book with a month or day of the week in the title

Kategori: Award Winning Books

 

The Underground Railroad by Colson Whitehead

21 Tuesday Feb 2017

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 5 Comments

Tags

america, award, bargain book!, bbi review reading 2017, english, fiction, historical fiction, literature, popsugar RC 2017

underground-railroadJudul: The Underground Railroad

Penulis: Colson Whitehead

Penerbit: Fleet (hardback edition, 2016)

Halaman: 306p

Beli: The Book Depository (IDR 154k, bargain price!)

Ini adalah kisah sejarah tentang sebuah negara besar yang memulai kedigdayaannya melalui suatu periode kelam bernama perbudakan.

Amerika di pertengahan abad ke-19 merupakan tempat yang amat keras, tidak cukup para pendatang dari Eropa ini mengusir penduduk asli suku Indian, mereka pun menculik dan membawa para penduduk Afrika dari benuanya, untuk dipekerjakan secara paksa di perkebunan-perkebuna luas milik orang kulit putih, yang terutama terletak di daerah selatan Amerika Serikat.

Cora sudah tinggal di perkebunan kapas milik Randall di Georgia sejak ia dilahirkan. Itulah rumahnya, tempat kelahirannya, dan nerakanya. Nenek Cora diculik dari desanya di Afrika, memulai sejarah kelam keluarga mereka. Ia meninggal di tengah perkebunan kapas. Sementara Mabel, Ibu Cora adalah satu-satunya budak yang berhasil kabur dari perkebunan Randall dan tidak pernah tertangkap. Ia meninggalkan Cora di nerakanya, satu hal yang tidak pernah bisa Cora mengerti dan maafkan.

Suatu hari, Caesar, budak pendatang dari Virginia, mengajak Cora untuk kabur dari perkebunan Randall, karena ia mendapat informasi tentang adanya The Underground Railroad, jalur kereta bawah tanah yang merupakan kerja sama orang kulit hitam dan orang kulit putih yang anti perbudakan, untuk membawa para budak ke daerah utara yang bebas.

Dimulailah petualangan Cora menelusuri Amerika yang tidak pernah ia kenal sebelumnya. Sementara itu seorang penangkap budak terkenal bernama Ridgeway dan disewa oleh Randall, terus memburu Cora dan mengejarnya sampai ke ujung negeri. Ia seolah terobsesi dengan Cora karena dulu ia gagal menangkap Mabel, dan menjadikan kegagalan tersebut sebagai persoalan yang paling pribadi.

The Undeground Railroad adalah buku yang harus diresapi dan dikunyah perlahan-lahan. Setiap kata dan kalimatnya ditulis dengan penuh makna, menunjukkan secara detail perlakuan yang diterima oleh para budak di Amerika. Dari mulai hukuman yang luar biasa kejam, pelecehan dan penyerangan baik dari kaum kulit putih maupun sesama budak kulit hitam yang lebih kuat, hingga masa depan suram penuh belenggu, di mana konsep kebebasan hanyalah sebatas mimpi.

Saya terus dan terus berharap akan akhir yang bahagia untuk Cora, di tengah rasa takut, kejaran, serbuan dan ancaman yang selalu mengikutinya. Meski Cora hanyalah satu orang dari ribuan budak yang mengalami nasib sama, namun rasanya cukup melegakan bila nasib baik bisa menghampirinya, setidaknya menguarkan harapan akan kehidupan suram yang dialami para budak.

The Underground Railroad berhasil menunjukkan dengan tepat makna dari white supremacy, atau kekuasaan kulit putih, yang akhir-akhir ini tampak mencuat kembali ke permukaan Amerika, terutama pasca pemilu presiden di sana. Perbudakan memang mengubah wajah negara Amerika Serikat secara keseluruhan, dan akan tetap menjadi bagian dari sejarah kelam negara adikuasa tersebut. Perbudakan mengawali diskriminasi dan rasisme di Amerika, isu penting yang masih relevan dengan masa sekarang ini,

Tidak bisa dihindari, bila sesekali kita dipaksa mengunjungi dan mengingat sejarah gelap itu. Dan tak bisa dipungkiri, Colson Whitehead berhasil memperlihatkan versi sejarah tersebut pada kita dengan amat baik. Meski saran saya, untuk yang merasa memiliki hati yang terlalu lemah lembut dan tidak tegaan, lebih baik hindari saja buku ini 🙂 Miriiiis….

The Underground Railroad: Facts

Ternyata, The Underground Railroad memang benar-benar ada dan menjadi bagian sejarah perbudakan di Amerika Serikat, bahkan menjadi salah satu pemicu terjadinya Perang Saudara di masa Presiden Lincoln.

Underground Railroad dibuat sekitar tahun 1780, dan berakhir penggunaannya di tahun 1862, bersamaan dengan dimulainya Civil War. Ada sekitar 6,000 budak yang diselamatkan menggunakan jalur Underground Railroad.

Istilah Underground Railroad sendiri mulai digunakan sekitar awal tahun 1830-an. Rumah yang digunakan sebagai tempat perhentian kereta ini disebut sebagai “stations” atau “depots”, sedangkan pengurusnya dinamakan “stationmasters”. “Conductors” bertugas untuk mengemudikan kereta dari stasiun ke stasiun, sedangkan “stockholders” berkontribusi dalam bentuk uang atau barang. Budak yang berhasil bebas biasanya menetap di daerah Utara, dan dicarikan pekerjaan serta tempat tinggal yang layak. Banyak dari mereka yang akhirnya mengungsi ke Kanada.

Perjalanan dengan Underground Railroad dipenuhi oleh bahaya. Para budak harus melarikan diri dari pemilik mereka, biasanya di tengah malam. Dari sana, mereka mengikuti bintang yang menunjukkan arah Utara pada mereka.

Banyak nama-nama terkenal dalam sejarah yang terlibat dalam Underground Railroad. Salah satunya adalah Harriet Tubman, sosok yang juga memegang peranan penting dalam peristiwa Civil War.

Sumber: http://www.historynet.com/underground-railroad

Submitted for:

Category: A Book by a Person of Color

Category: A Book by a Person of Color

 

Kategori: Award Winning Books

Kategori: Award Winning Books (Goodreads Choice Historical Fiction, 2016; National Book Award, 2016)

← Older posts

From the bookshelf

Categories

Looking for Something?

Enter your email address to follow Books to Share and receive notifications of new posts by email.

Join 1,036 other subscribers

Currently Reading

I’m a Proud Member! #BBI 1301004

Wishful Wednesday Meme

Fill your Wednesdays with wishful thinking =)

Popsugar Reading Challenge 2018

bookworms

  • aleetha
  • althesia
  • alvina
  • ana
  • annisa
  • bzee
  • dewi
  • dion
  • fanda
  • Ferina
  • helvry
  • inne
  • Kobo
  • maya
  • mei
  • melmarian
  • mia
  • ndari
  • nophie
  • oky
  • peri hutan
  • ren
  • Reygreena
  • sel sel kelabu
  • sinta
  • tanzil
  • tezar
  • yuska

shop til you drop

  • abe books
  • Amazon
  • better world books
  • book depository
  • BukaBuku
  • Buku Dedo
  • bukukita
  • vixxio

Top Posts & Pages

  • Spooktober Read (2): The Turn of the Screw by Henry James
    Spooktober Read (2): The Turn of the Screw by Henry James
  • The Rainmaker by John Grisham
    The Rainmaker by John Grisham
  • The Secret History
    The Secret History
  • A Dance with Dragons by George R.R. Martin
    A Dance with Dragons by George R.R. Martin
  • Red, White & Royal Blue by Casey McQuiston
    Red, White & Royal Blue by Casey McQuiston

Recent Comments

Puddin’ by Jul… on Dumplin’ by Julie M…
jesica on Abarat 2: Days of Magic, Night…
jesica on Abarat 2: Days of Magic, Night…
When the Stars Go Da… on The Paris Wife
Hapudin Bin Saheh on Insomniac City: New York, Oliv…

Create a free website or blog at WordPress.com.

Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
  • Follow Following
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Join 1,036 other followers
    • Already have a WordPress.com account? Log in now.
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Customize
    • Follow Following
    • Sign up
    • Log in
    • Report this content
    • View site in Reader
    • Manage subscriptions
    • Collapse this bar
 

Loading Comments...