• About this blog
  • Clearance Sale!
  • Newbery Project
  • Popsugar Reading Challenge 2023
  • Previous Challenges
    • BBI Read and Review Challenge 2017
    • Challenges 2014
    • Challenges 2015
    • Lucky No.14 Reading Challenge
    • Lucky No.15 Reading Challenge
    • POPSUGAR Reading Challenge 2017
    • Popsugar Reading Challenge 2018
    • Popsugar Reading Challenge 2020
    • Popsugar Reading Challenge 2021
    • Popsugar Reading Challenge 2022
    • What’s in a Name 2018
    • Twenty-Ten Challenge
    • Challenges 2012
    • Challenges 2013
  • Round Ups
  • The Librarian

~ some books to share from my little library

Tag Archives: borrowed

Nine Perfect Strangers by Liane Moriarty

03 Tuesday Mar 2020

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 2 Comments

Tags

australia, borrowed, contemporary, english, fiction, mystery/thriller, popsugar RC 2020, women

Judul: Nine Perfect Strangers

Penulis: Liane Moriarty

Penerbit: Flatiron Books (2019 International Edition)

Halaman: 519p

Borrowed from: Ferina

Sembilan orang dengan masalahnya masing-masing mendaftarkan diri untuk mengikuti program wellness di sebuah resort di pinggiran kota Sydney.

Ada Frances, penulis novel romans yang baru mengalami kejadian traumatis ditipu orang, ada juga Ben dan Jessica, pasangan suami istri muda yang berharap bisa memperbaiki hubungan mereka lewat retreat ini. Sementara keluarga Marconi yang mengalami kedukaan berpikir retreat ini dapat membantu mereka mengalami masa-masa sulit.

Namun pusat dari retreat ini adalah Masha, pemilik mansion mewah sekaligus direktur program yang terlihat sempurna luar dalam. Masha bertekad akan menyembuhkan dan mengubah kehidupan setiap peserta retreat lewat programnya yang fenomenal. Tapi selain acara yoga, meditasi, digital detox dan diet makanan sehat, Masha juga ingin mencoba metode baru yang belum pernah ia praktekkan.

Para peserta mulai merasa ada keanehan demi keanehan dalam program yang mereka jalani- tapi apakah hidup mereka terancam atau ini hanya bagian dari sisi eksentrik Masha saja?

Liane Moriarty seperti biasa menulis dengan effortless, menciptakan karakter-karakter quirky dan plot penuh kejutan. Dengan berpindah-pindah narator lewat bab-bab yang pendek, Moriarty dengan lihai membuat buku ini sebagai page turner yang selalu menimbulkan rasa penasaran.

Bila dibandingkan dengan beberapa buku sebelummya seperti The Husband’s Secret dan Big Little Lies, buku ini memang masih di bawah standar Moriarty. Banyak plot yang agak dipaksakan sehingga terasa kurang meyakinkan, ditambah lagi kadang arah ceritanya tidak tahu mau dibawa ke mana.

Namun Moriarty tetaplah seorang penulis andal (mungkin mirip dengan Dan Brown) yang meski kadang off, tetap karyanya terasa mengasyikkan untuk disimak, dan wrap up di bagian ending nya juga terasa memuaskan. At least buku ini saya rekomendasikan untuk pembaca yang sedang mencari bacaan ringan, cepat dan tidak terlalu penuh pesan moral XD

Submitted for:

Kategori: A book with a three-word title

 

Turtles All The Way Down by John Green

13 Thursday Dec 2018

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ Leave a comment

Tags

borrowed, contemporary, english, fiction, mental health, popsugar RC 2018, realistic, sicklit, young adult

Judul: Turtles All The Way Down

Writer: John Green

Publisher: Dutton Books (2017)

Pages: 286p

Borrowed from: Essy

Di usianya yang 16 tahun, Aza memikirkan banyak sekali hal. Termasuk bakteri yang ada di dalam dirinya, kecemasannya akan terkena infeksi berbahaya akibat lupa mengganti band aid, kepanikannya saat menyadari kalau hidupnya tidak bisa ia kontrol sepenuhnya- ia bisa saja mati tiba-tiba dan melakukan hal-hal yang tidak ia inginkan dan akan membahayakan hidupnya.

Pemikiran yang berbelit-belit ini menyiksa hidup Aza, namun tidak ada yang bisa ia lakukan, kecuali mengikuti sesi terapi bersama psikiaternya. Untunglah Aza memiliki ibu dan sahabat yang suportif.

Hidup Aza bertambah ruwet saat kotanya dihebohkan dengan kasus hilangnya jutawan terkenal Russell Pickett, yang diduga kabur saat hendak ditahan polisi karena kasus korupsi besar. Polisi menawarkan reward yang cukup lumayan bagi siapapun yang memiliki petunjuk tentang keberadaan Pickett, dan tentu saja Daisy, sahabat karib Aza, tidak mau kehilangan kesempatan ini. Apalagi karena Aza memang mengenal anak Pickett, Davis, yang sempat ikut summer camp yang sama dengannya beberapa kali.

Namun di balik kehidupan Davis yang kaya raya, banyak hal yang baru Aza ketahui tentang dirinya. Dan kedekatan mereka yang awalnya terjadi karena kasus hilangnya ayah Davis, lama kelamaan berkembang menjadi persahabatan yang membawa warna baru di dunia Aza.

Saya tidak bisa dibilang fans berat John Green. Green bukanlah autobuy author yang buku-bukunya selalu saya beli dan baca segera setelah terbit. Saya menyukai Will Grayson, Will Grayson, tapi cukup kecewa dengan The Fault in Our Stars yang overhyped.

Jadi saya memang tidak terlalu punya ekspektasi apa-apa saat membaca Turtles All The Way Down, yang saya tahu hanyalah buku ini mengangkat isu mental health di kalangan young adult, dan memiliki rating serta review yang cukup bagus.

Satu hal yang saya seringkali tidak tahan dari buku- buku John Green adalah karakter-karakternya yang bisa dibilang amat pretensius, dengan dialog-dialog yang terlalu lebay untuk umurnya dan keseriusan memandang hidup yang berlebihan. Mungkin karena saya sudah melewati usia itu dan jadi kurang sabar menghadapi dialog-dialog yang pretensius tersebut.

Untunglah kisah Aza tidak termasuk dalam kategori itu. Sure, masih banyak dialog heboh seperti pengetahuan luar biasa Davis tentang tata surya atau kegemarannya membuat puisi dan mengutip buku-buku sastra. Tapi ini masih mendingan dibandingkan para tokoh dalam buku The Fault in Our Stars XD

Dan Aza cukup bisa membuat kita bersimpati, saya menghargai usaha Green yang cukup sukses untuk membawa kita menjelajahi pikiran Aza yang rumit, suram dan menakutkan, dan membuat kita lebih bisa mengerti apa yang dirasakan oleh orang-orang yang memiliki OCD. Isu mental health menjadi satu topik utama di sini, yang berhasil diangkat Green tanpa kesan menggurui melalui karakter Aza yang approachable meski kadang mengesalkan.

Saya juga suka dengan Daisy, sahabat Aza yang untungnya digambarkan tidak hanya sekadar sebagai sidekick tapi memilkki porsi yang cukup besar dan penting untuk perkembangan karakter Aza.

Overall, a great experience, membuat saya cukup berharap masih bisa menikmati buku-buku John Green lainnya.

Submitted for:

Category: A book about mental health

Laut Bercerita by Leila S. Chudori

10 Monday Sep 2018

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 2 Comments

Tags

bahasa indonesia, borrowed, fiction, historical fiction, indonesia, indonesia asli, literature, politics, popsugar RC 2018, tragedy

Judul: Laut Bercerita

Penulis: Leila S. Chudori

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG, cetakan ketiga, Januari 2018)

Halaman: 379p

Pinjam dari: Althesia

Kisah ini dituturkan oleh Biru Laut, mahasiswa aktivis yang kuliah di Yogya, yang pada tahun 1998 hilang diculik oknum tak dikenal dan selama berbulan-bulan disiksa, diinterogasi, dipukuli, disetrum dan ditindas, dipaksa untuk menjawab pertanyaan aparat mengenai gerakan aktivis yang ingin menggulingkan pemerintahan saat itu.

Laut mengajak kita untuk berkilas balik menelusuri kehidupannya. Awal perkenalannya dengan teman-teman yang nantinya akan berjuang bersamanya. Keluarganya yang saling mencintai, yang seringkali harus ia korbankan demi hasratnya memperjuangkan Indonesia yang lebih demokratis. Pertemuannya dengan cinta pertamanya, Anjani. Kegemarannya akan makanan dan obsesinya menyempurnakan resep warisan keluarga, mulai dari tengkleng hingga kuah Indomie istimewa yang menjadi ciri khasnya.

Laut adalah bagian dari sejarah Indonesia. Lewat penuturannya, kita diajak untuk menyelami masa-masa kelam penuh ancaman dan suasana mencekam selama diktator Orde Baru berkuasa. Tanpa mahasiswa seperti Laut dan teman-temannya, kenikmatan hidup bebas berdemokrasi saat ini tak akan pernah kita rasakan.

Secara pribadi, saya sendiri jauh lebih menyukai buku Laut Bercerita dibandingkan buku Leila sebelumnya yang juga sedikit menyinggung tentang perjuangan reformasi, Pulang. Laut Bercerita memiliki ramuan yang pas antara karakter-karakter yang digambarkan cukup dalam dan tidak terkesan klise, konflik yang tidak bertele-tele dan tentu saja, ending yang kepingin bikin berteriak-teriak saking emosionalnya. Kisah Laut sukses membuat air mata saya mengalir, perasaan tercabik-cabik dan hati yang remuk seolah saya sendiri berada di sana, ikut berjuang bersama para sahabat tersebut.

Tidak seperti dalam Pulang, Leila cukup konsisten menjaga tempo cerita dan karakter-karakternya sehingga tetap memikat hingga akhir. Meski ia berganti narator beberapa kali, namun semua babnya masih enak untuk diikuti. Ditambah lagi, tidak ada aura romans yang terlalu kental, atau cinta segitiga dan sejenisnya di sini. Semuanya diceritakan seperlunya saja, dan fokus kisah tentang perjuangan reformasi, serta persahabatan di antara para aktivis, cukup terjaga baik.

Buku ini saya rekomendasikan untuk segenap masyarakat Indonesia yang kerap lupa, yang seringkali bercanda tentang enaknya zaman Soeharto dan impian untuk kembali ke Orde Baru, untuk anak-anak muda yang bahkan tidak bisa membayangkan kengerian yang dialami oleh Laut dan teman-temannya, karena kengerian terbesar mereka mungkin hanyalah kehilangan wifi gratisan. Buku ini saya rekomendasikan untuk mereka yang masih butuh pengingat tentang pahlawan-pahlawan tanpa nama, yang bahkan hingga hari ini masih tidak diketahui keberadaannya. Buku ini saya rekomendasikan untuk yang masih ingin berjuang menyelesaikan pekerjaan rumah menumpuk yang masih dimiliki Indonesia. Buku ini saya rekomendasikan untuk siapapun yang masih mengaku mencintai Indonesia dan ingin yang terbaik bagi negara ini.

#menolaklupa

Dalam catatan penulis, Leila menyebutkan salah satu inspirasinya dalam menulis buku ini adalah the real reformation heroes, para mahasiswa dan aktivis yang berjuang hingga Indonesia bisa menikmati kebebasan demokrasi seperti saat ini. Dan di antara mereka, hingga kini masih ada 13 aktivis yang hilang (selain juga 9 korban penculikan yang berhasil kembali). Ada juga korban yang akhirnya ditemukan sudah dalam keadaan tidak bernyawa.

Siapa yang bertanggung jawab terhadap kasus-kasus penculikan ini? Bagaimana nasib ke-13 aktivis tersebut? Ini adalah PR besar pemerintah Indonesia, yang sayangnya hingga kini mashi mentok dan belum berhasil menemukan titik terang (alias belum memproses secara hukum para pelaku dan otak kejahatan ini). Bayangkan apa rasanya menjadi keluarga para aktivis korban penculikan ini, yang hingga kini bahkan tidak tahu nasib orang-orang yang mereka sayangi, bahkan memakamkan dengan layak pun mereka tidak bisa.

It’s a dark history of Indonesia. And please, do not ever forget.

Submitted for:

popsugarRC2018button

Category: A book by a local author

 

 

The Hate U Give by Angie Thomas

06 Thursday Sep 2018

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ 1 Comment

Tags

african american, america, borrowed, fiction, Gramedia, popsugar RC 2018, race, racism, terjemahan, thought provoking, young adult

Judul: The Hate U Give (Benci yang Kautanam)

Penulis: Angie Thomas

Penerjemah: Barokah Ruziati

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2018)

Halaman: 488p

Borrowed from: Ferina

The Hate U Give Little Infants Fucks Everybody. THUG LIFE.  (Tupac Shakur)

Tupac adalah kebenaran. Itulah yang dipercayai oleh Khalil, dan ia sampaikan pada Starr Carter, sahabatnya dari kecil. Khalil dan Starr tumbuh besar di lingkungan  yang keras di Garden Heights, tempat penduduknya mayoritas berkulit hitam dengan tingkat kemiskinan dan kriminalitas tinggi, dan para gang saling menembak.

Suatu malam, Starr menjadi saksi ketika Khalil ditembak oleh seorang polisi kulit putih saat mereka pulang dari suatu pesta. Padahal Khalil tidak bersenjata. Kejadian ini membuat heboh dan memicu gerakan pro dan kontra, yang bahkan berkembang menjadi kerusuhan.

Berita-berita simpang siur, mulai dari yang menyebut Khalil pengedar narkoba hingga kriminal berbahaya, membuat peristiwa ini semakin menarik perhatian. Hanya Starr-lah yang bisa menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi namun ia terlalu takut untuk mengungkapkannya- bukan saja karena apa yang ia sampaikan bisa menghancurkan lingkungannya, tapi bahkan membuatnya terbunuh.

Starr sendiri beruntung karena orang tuanya menyekolahkannya di sekolah bagus yang terletak di luar Garden Heights, namun keadaan ini juga menimbulkan tantangan lain, di mana Starr harus bisa memisahkan antara kehidupannya di rumah dan di sekolah yang berbeda 180 derajat, termasuk menyembunyikan perannya sebagai saksi kasus Khalil dari teman-teman dan pacarnya di sekolah.

The Hate U Give (THUG) adalah salah satu buku Young Adult fenomenal yang terus dibicarakan di mana-mana sejak terbit setahun yang lalu. Temanya sangat relevan (rasisme, diskriminasi, kekerasan oleh polisi), dan memang ditujukan sebagai pengingat banyaknya tragedi serupa Khalil yang dialami oleh orang kulit berwarna di Amerika Serikat.

Starr adalah sosok yang amat mudah terhubung dengan pembaca- caranya bercerita membuat kita langsung merasa berperan sebagai sahabatnya. Di beberapa bagian (terutama yang berhubungan dengan plot kisah cintanya), memang Starr kadang agak menjengkelkan, tapi lagi-lagi ini mungkin karena opini pribadi saya terhadap kisah romans ala YA 😀

Yang pasti, kekuatan utama cerita ini adalah narasi Starr, yang disampaikan dengan amat baik oleh Angie Thomas, terutama pergumulannya dalam menemukan keseimbangan identitasnya di lingkungan rumah dan sekolah yang amat berbeda.

Jarang ada kisah YA yang mampu menyampaikan tema yang amat relevan (dan real) dengan kuat tanpa terkesan pretensius, dan THUG sukses membawakannya dengan  menyelami kehidupan Starr di Garden Heights. Tak heran buku ini menerima berbagai penghargaan yang sangat layak didapatkan oleh penulisnya.

THUG: The Movie

Saking fenomenalnya, baru setahun setelah dirilis, THUG sudah langsung dibeli haknya untuk diadaptasi menjadi film layar lebar. Rencananya, film ini akan dirilis bulan Oktober 2019 dengan sederet bintang kulit hitam, seperti Amandla Stenberg, Algee Smith, Lamar Johnson, serta Common, dan disutradarai oleh George Tillman Jr. Can’t wait!

Submitted for:

Category: A past Goodreads Choice Awards winner

 

Origin by Dan Brown

06 Wednesday Jun 2018

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 1 Comment

Tags

borrowed, english, europe, fiction, mystery/thriller, religion, series

Judul: Origin

Penulis: Dan Brown

Penerbit: Doubleday Hardcover First Edition (2017)

Halaman: 461p

Borrowed from: Essy

Dan Brown.. I have a love-hate relationship with this author. Saya fans berat Dan Brown sejak membaca Da Vinci Code, dan resmi menjadikan Angels and Demons sebagai salah satu buku thriller paling favorit sepanjang masa.

Tapi setelah itu, formula mirip yang digunakan Brown membuat karya-karyanya terasa stagnan, predictable, dan tidak menawarkan sesuatu yang baru. Karakter jagoannya, Robert Langdon, makin lama makin melempem.

Tapi seperti layaknya cinta pertama yang tak terlupakan, setiap kali Brown menerbitkan buku baru, ya saya pasti akan antusias juga membacanya, hehe..

Origin bermain-main dengan ide ‘dari manakah kehidupan berasal, dan bagaimana nasib manusia di masa depan?’

Pemikir masa depan (futurist) sekaligus milyarder terkenal Edmond Kirsch mengaku sudah menemukan bukti-bukti yang bisa menjawab pertanyaan abadi tersebut. Ia merancang acara peluncuran yang akan menghebohkan dunia di Museum Guggenheim Bilbao, Spanyol, dan Robert Langdon, mantan profesornya, diundang juga untuk hadir.

Namun sebelum Kirsch mengungkapkan penemuannya yang disebut-sebut akan mengguncangkan iman dan mengancam eksistensi agama, terjadi tragedi yang menyebabkan Kirsch terbunuh. Kini terserah Langdon untuk meneruskan niat Kirsch  meluncurkan video yang berisi pengungkapan penemuannya. Namun tentu saja ada pihak-pihak yang tidak ingin video tersebut diluncurkan, dan ini berarti Langdon harus berkejar-kejaran dengan para pihak misterius (yang juga haus darah) tersebut.

Dibantu oleh Ambra Vidal, direktur museum cantik yang juga teman Kirsch, serta asisten Kirsch yang jenius, Winston, Langdon berkejaran dengan waktu, berusaha mencari password untuk mengakses video Kirsch sekaligus memutarnya untuk dunia, tanpa ikut terbunuh juga.

Barcelona kini menjadi setting utama kisah petualangan Langdon, dan untungnya Dan Brown berhasil menyatukan beberapa lokasi terkenal di kota tersebut ke dalam ketegangan dalam buku ini. Saya sendiri punya perasaan khusus terhadap Barcelona yang membuat saya bisa lebih menikmati Origin dibandingkan beberapa buku sebelumnya. Misteri dan pengungkapannya sebenarnya tidak sekontroversial beberapa kisah Brown terdahulu, sementara culpritnya sendiri agak sudah bisa tertebak sejak di pertengahan cerita.

Langdon seperti biasa masih sering melakukan blunder yang membuat gemas, sementara Ambra Vidal kurang seru sebagai partner Langdon di sini. Scene stealernya malah Winston, si asisten misterius yang saya bayangkan mirip dengan Jarvis nya Tony Stark.

Beberapa bagian plot agak terasa dipanjang-panjangkan, sementara tool klise ‘pembunuh bayaran yang memiliki trauma masa lalu’ serta ‘sekte gereja Katolik misterius’ terasa terlalu mirip dengan formula Dan Brown sebelumnya.

Kalau mau dibuat rumusnya, mungkin kisah Dan Brown bisa digambarkan seperti ini:

Langdon + partner perempuan cantik + isu kontroversial (preferably yang menyangkut agama)+ setting kota indah = kisah petualangan thriller + pembunuh bayaran dengan masa lalu tragis + sekte/cult/kelompok misterius.

Tinggal ganti-ganti saja sedikit elemen-elemen tersebut dan voila, terciptalah buku terbaru serial Langdon. Tidak buruk sih (masih lebih baik dibandingkan Inferno atau Lost Symbol), tapi untuk sekelas Dan Brown ya terasa agak malas juga.

Di Origin, yang agak saya sayangkan adalah kurangnya unsur “pemecahan kode” yang merupakan keahlian Langdon sebagai ahli simbologi terkenal. Memang sih, masih ada isu pemecahan misteri password Kirsch, tapi Dan Brown kurang memaksimalkan bagian ini sehingga unsur puzzle atau misteri kode nya terasa tanggung.

Saya masih menyimpan harapan suatu hari nanti Brown akan menulis kisah thriller non Langdon, dengan formula segar yang membuat saya teringat mengapa saya amat menyukai penulis yang satu ini bertahun-tahun yang lalu.

We’ll see apakah harapan itu akan terkabul.

 

A Boy Called Christmas by Matt Haig

04 Monday Dec 2017

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ 1 Comment

Tags

borrowed, christmas, christmas read, english, fairy tales, fantasy, fiction, holiday

Judul: A Boy Called Christmas

Penulis: Matt Haig

Penerbit: Knopf (2015, first US edition)

Halaman: 234p

Pinjam dari: Essy

Hello December! Bulan penuh penantian, suasana liburan dan perayaan akhir tahun yang menyenangkan. Dan apa lagi yang lebih seru selain membaca buku-buku bertema Natal di bulan yang ceria ini?

Bacaan Natal tahun ini diawali dengan buku hasil meminjam dari Essy, my fellow Christmas book fan 😊

A Boy Called Christmas bercerita tentang kehidupan Santa Claus, atau Saint Nicholas, atau Father Christmas, saat ia masih kanak-kanak dan asal mulanya ia terpanggil menjadi sosok yang legendaris tersebut.

Nikolas adalah anak laki-laki yang hidup dalam kemiskinan di suatu desa kecil di Finlandia. Ayahnya, Joel, adalah seorang penebang kayu, sedangkan ibunya sudah meninggal ketika ia masih kecil. Harta paling berharga Nikolas adalah kereta luncur buatan ayahnya, boneka lobak hadiah dari sang ibu, serta Miika, tikus kecil yang menjadi teman baiknya.

Suatu kejadian memaksa Joel pergi jauh, dan Nikolas -setelah ditinggal berbulan-bulan- bertekad ingin menyusul ayahnya, menuju dataran utara yang jauh dan dingin, menuju desa tempat tinggal para kurcaci, Elfhelm.

Nikolas mengalami berbagai tantangan dalam perjalanan tersebut, namun akhirnya berhasil tiba di Elfhelm. Di desa ini ia bertemu berbagai karakter kurcaci, pixie dan troll, serta reindeer yang nantinya akan menjadi bagian penting dari kehidupannya.

Namun Nikolas juga harus siap menerima kenyataan bahwa ayahnya ternyata tidak seperti yang ia kenal selama ini. Dan ia harus mengambil keputusan besar yang akan mengubah hidupnya selamanya.

Kesederhanaan kisah Nikolas menjadi daya tarik utama buku ini, mudah diikuti dan terasa familiar karena Matt Haig memberi penjelasan yang lucu tentang setiap kebiasaan dan tradisi Santa Claus: mulai dari asal-usul reindeer, topi merah hingga cerobong asap. Semuanya mudah untuk diterima dan dimengerti.

Saya juga suka gaya penulisan Haig yang penuh humor, kadang sarkastik tapi tidak kasar- serta usahanya untuk membuat Nikolas tidak mendapatkan segalanya dengan mudah, satu hal yang jarang ditemui di buku anak-anak yang biasanya terlalu mempermudah perjuangan si tokoh utama.

Kisah yang hangat dan menyenangkan inj merupakan pilihan bacaan tepat untuk kicking off the holiday season!

Notes:

Matt Haig juga menuliskan dua kisah lain yang masih merupakan bagian dari kisah Father Christmas: The Girl Who Saved Christmas dan Father Christmas and Me. Sepertinya masih sama charmingnya dengan kisah Nikolas yang pertama 🙂

Submitted for:

bbireadreviewchallenge

Kategori Children Literature

The Last Anniversary by Liane Moriarty

11 Wednesday Oct 2017

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 1 Comment

Tags

australia, bbi review reading 2017, borrowed, drama, english, family, fiction, mystery, puzzle, romance, women

Judul: The Last Anniversary

Penulis: Liane Moriarty

Penerbit: Penguin Books (2005)

Halaman: 402p

Borrowed from: Ferina

Liane Moriarty. Nama yang akhir-akhir ini semakin populer berkat novel-novelnya yang juicy, yang beberapa malah sudah diangkat ke laya kaca. Tidak banyak penulis asal Australia yang berhasil menembus popularitas global dan Moriarty masih menjadi salah satunya.

The Last Anniversary tetap menggunakan ramuan jagoannya: rahasia keluarga, karakter-karakter yang quirky, konflik dan intrik rumah tangga serta pertemanan yang tak seindah kelihatannya.

Kisah berputar di sekitar pulau Scribbly Gum yang berlokasi di dekat kota Sydney. Pulau milik keluarga Doughty tersebut menjadi terkenal sejak era Depresi, saat Rose dan Connie Doughty, kakak beradik yang tinggal di sana, menemukan seorang bayi yang ditelantarkan oleh orang tuanya, Mr. dan Mrs. Munro yang sempat tinggal di pulau tersebut. Bayi itu kemudian dikenal sebagai Munro Baby. Dan sejak saat itu, hingga puluhan tahun kemudian, ‘Munro Baby Mystery’ membawa Scribbly Gum menjadi salah satu tempat wisata yang paling diminati di area Sydney, terutama acara tahunan mereka yang memperingati anniversary Baby Munro, selalu padat oleh pengunjung. Enigma, si bayi Munro, juga sudah berkeluarga dan memiliki anak-anak dan cucu yang sebagian ikut tinggal di pulau tersebut.

Namun tahun ini segalanya terasa berbeda. Connie, yang merupakan otak bisnis Scribbly Gum, meninggal dunia, dan mewariskan rumahnya pada Sophie Honeywell, mantan pacar salah satu cucu Enigma, Thomas, dan tentu saja keputusan Connie untuk mewariskan rumahnya pada orang luar yang bukan anggota keluarga, menimbulkan pro dan kontra.

Sophie sendiri amat terkejut dengan hal luar biasa ini. Sejak putus dengan Thomas, fokus hidupnya adalah mencari pasangan hidup yang bisa diajak berkeluarga, dan entah kenapa, Scribbly Gum sepertinya menjanjikan awal yang baru -termasuk dalam area romans- pada hidup Sophie.

Namun ternyata, ada rahasia-rahasia masa lalu keluarga Scribbly Gum yang Sophie mau tak mau terjebak di dalamnya. Dan semuanya meledak di malam Anniversary Sribbly Gum yang penuh drama!

Kekuatan utama Lianne Moriarty adalah meramu intrik-intrik rahasia ke dalam plot yang juicy dan membuat penasaran. Terkadang ramuan ini benar-benar sukses membuat pembaca menebak-nebak, seperti yang saya lakukan saat membaca The Husband’s Secret. Tapi dalam The Last Anniversary, saya merasa plotnya masih agak lemah. Rahasia yang ditutup-tutupi entah kenapa mudah tertebak sejak bagian pertengahan buku, dan pengungkapannya pun terasa amat flat. Semacam menimbulkan komentar “Nggak penting ah—” setelah rahasia tersebut terungkap.

Untunglah banyak karakter di buku ini yang cukup menarik sehingga agak mengobati kekecewaan terhadap keseluruhan plotnya. Grace yang bergumul dengan postnatal depression, dan Veronica yang selalu marah-marah, adalah beberapa karakter yang justru bisa menjadi favorit saya. Sementara karakter Sophie dan keluarganya agak terlalu membosankan menurut saya, dibuat komikal tapi tidak meyakinkan. Untungnya Moriarty tidak bermain-main terlalu detail dengan topik pencarian pasangan hidup Sophie sehingga saya masih bisa sabar mengikuti kisah ini.

Saya membaca di suatu tempat kalau The Last Anniversary adalah salah satu buku yang ditulis Moriarty di awal kariernya. Mungkin itu juga salah satu alasan plot lemah dan beberapa ganjalan lain, yang merupakan hasil eksperimen awal si penulis. Saya sendiri masih tetap tertarik untuk melanjutkan membaca karya Moriarty lainnya terutama yang ditulis belakangan ini.

Submitted for:

Kategori Ten Point: Buku Penulis Lima Benua (Australia)

 

The Picture of Dorian Gray by Oscar Wilde

17 Monday Oct 2016

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 2 Comments

Tags

borrowed, british, classic, dramatic, english, fiction, gothic

dorian-grayJudul: The Picture of Dorian Gray

Penulis: Oscar Wilde

Penerbit: Penguin Books (1994, first published 1891)

Halaman: 256p

Borrowed from Fanda

Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kalinya saya membaca (dan mereview) buku klasik. ‎Buku klasik memang tricky, kadang ceritanya bagus tapi bahasa Inggrisnya njelimet. Membaca terjemahan, kadang susah dapat feelnya, karena keterbatasan penggunaan bahasa yang berbeda. Ada juga yang pesan-pesannya bagus, tapi narasinya membosankan. Makanya saya agak pemilih untuk urusan buku klasik.

Kebetulan buku yang saya baca kali ini, The Picture of Dorian Gray, sudah saya pinjam dari Mbak Fanda lebih dari satu tahun yang lalu (sungkem mohon maaf). Jadi memang sepertinya sudah harus dibaca dan dikembalikan 😀

Saya mendengar banyak puja puji tentang novel Oscar Wilde yang disebut-sebut sebagai karyanya yang paling fenomenal ini. Apakah verdictnya sesuai ekspektasi?

Dorian Gray adalah seorang laki-laki muda yang baru saja mendapatkan warisan dari keluarganya. Kaya raya, masuk dalam golongan upper class, ditambah dengan wajahnya yang luar biasa ganteng dan pembawaannya yang polos menyenangkan, menjadikan Dorian sebagai favorit semua orang.

Tak terkecuali Basil Hallward, pelukis jenius yang tak kuasa melawan pesona Dorian, dan menjadikan Dorian sebagai model lukisannya yang terbaru, bahkan mengidolakannya dengan berlebihan. Suatu hari, saat Dorian sedang berpose untuk Basil di studio lukis, ia diperkenalkan dengan Lord Henry, teman Basil yang berasal dari golongan bangsawan. Lord Henry adalah seorang pria nyentrik yang gemar mengamati kehidupan, menganalisis kepribadian orang-orang sekitarnya dan menikmati drama-drama yang terjadi di sekelilingnya.

Lord Henry menganggap Dorian Gray, dengan segala kenaifannya, sebagai studi kasus yang menarik. Ia mulai mempengaruhi Dorian lewat pandangan-pandangan sinisnya tentang kehidupan, kemewahan yang dibawa oleh masa muda, serta betapa beruntungnya orang-orang yang tidak akan menjadi tua.

Pandangan tersebut sangat membekas pada diri Dorian, sehingga saat lukisan dirinya selesai, ia memanjaatkan permohonan agar ia bisa selalu semuda dan sepolos sosok dalam lukisan itu, sementara lukisannya sendirilah yang akan bertambah tua dan jelek.

Tak disangka, permohonan Dorian terkabul, dan hari demi hari, tahun demi tahun, lukisan tersebut semakin menampakkan jiwanya yang menggelap, sementara Dorian sendiri tetap tampil muda dan polos, meski tak terhitung lagi sudah berapa kali ia menyakiti orang-orang dan menyebabkan berbagai skandal dan tragedi di sekelilingnya. Semakin ia melihat potret dirinya yang mengerikan, semakin bersemangat Dorian untuk menjadi jahat, kejam dan mengerikan, seolah menjual jiwanya pada dunia gelap untuk memperoleh wajah dan penampilan yang selalu cemerlang.

Oscar Wilde adalah salah satu pionir penulis klasik abad ke-19 yang berani mengkritik moralitas kaum borjuis Inggris, yang dinilainya penuh dengan kemunafikan. Penampilan luarlah yang dinilai, sementara sifat-sifat baik seseorang seolah tidak ada artinya. Wilde dengan berani mengangkat tema yang cukup sensitif di jamannya ini melalui metafora pergumulan Dorian Gray melawan kegelapan hatinya, yang diwakili oleh lukisan karya Basil.

Beberapa simbol dan motif yang digunakan dalam buku ini (lukisan vs cermin, seni sebagai alat pemengaruh-baik melalui buku maupun lukisan), cukup jelas terlihat dan tidak disampaikan dengan terlalu rumit seperti banyak buku klasik lainnya, membuat saya bisa terhubung dengan lebih mudah pada cerita Dorian Gray.

Ada beberapa bagian, terutama yang mengangkat kontemplasi Dorian Gray terhadap pergumulan internalnya, juga pengamatan Lord Henry dan curahan hati Basil Hallward, agak terlalu panjang sehingga lumayan membosankan. Tapi bagian-bagian lainnya, terutama dialog Dorian dan Lord Henry yang dibuat witty, cukup bisa mengundang tawa. Saya sendiri jadi lumayan penasaran dengan edisi terjemahan bahasa Indonesianya yang menurut beberapa review dinilai cukup baik. Karena tidak mudah lho, menerjemahkan kisah klasik seperti Dorian Gray yang cukup kental simbolismenya.

Satu lagi yang cukup menarik bagi saya adalah tema homoseksual yang disampaikan Wilde dengan cukup subtle. Kekaguman Basil terhadap Dorian yang sudah seperti rasa cinta, serta hubungan Lord Henry dan Dorian yang lebih dari sekadar sahabat- semuanya merupakan pandangan Wilde, yang juga seorang gay, terhadap kepalsuan gaya hidup kaum borjuis Inggris saat itu, yang menyembunyikan semua hal yang belum diterima oleh masyarakat umum. Studi yang cukup menarik sebenarnya bila digali lebih dalam.

 

Happy Birthday, Oscar!

Ternyata, saya menyelesaikan buku ini tepat di hari ulang tahun Oscar Wilde, yaitu tanggal 16 Oktober. Oscar dilahirkan tahun 1854 di Dublin, Irlandia, dan pindah ke Inggris saat kuliah di Oxford di pertengahan 1870-an. Oscar menulis banyak puisi, sonet dan play, tapi karyanya yang paling terkenal adalah novel The Picture of Dorian Gray.

Di tengah puncak kariernya, Oscar tersandung skandal saat kedapatan berhubungan dengan anak Marquees Queensberry, Douglas Queensberry. Oscar dituduh melakukan perbuat asusila dan tindakan kriminal sodomi, yang akhirnya berlanjut ke beberapa pengadilan, disusul pula oleh kasus lain sejenis. Tragedi ini berakhir dengan Oscar yang dipenjara selama dua tahun atas tuduhan tersebut.

Banyak kontroversi mengenai apakah sebenarnya Oscar Wilde adalah seorang homoseksual, karena ia juga menikah dan memiliki anak-anak (yang akhirnya tercerai dari dirinya setelah Wilde dipenjara). Yang jelas, hukum di Inggris saat itu membuat Wilde harus mengalami kejadian pahit yang nantinya akan terus membekas di dirinya, bahkan mempengaruhi kesehatannya selama di penjara dan setelah keluar dari penjara, hingga meninggal di pengasingan pada tahun 1900. What a life.

[Reading With Yofel] The Day The Crayons Quit by Drew Daywalt

11 Friday Mar 2016

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ 5 Comments

Tags

borrowed, children, english, illustration, picture book, reading with yofel, yofel

crayons quitTitle: The Day The Crayons Quit

Writer: Drew Daywalt

Illustrator: Oliver Jeffers

Publisher: Philomel Books

Pages: 36p

Borrowed from: Dian

This is one of the most hilarious, entertaining books Yofel and I have ever read. The story is pretty simple actually, about a box of crayons who wrote letters of complaint to their owner, a boy named Duncan.

Yellow and Orange kept on fighting because each of them thought it’s the better color for the sun. White was angry because it felt unused, there’s not much different whether it’s in the box or not. Meanwhile, Pink was sad since Duncan used it less and less (girl color? C’mon!), and Blue is overused (it’s Duncan’s favorite color!) – it’s very short and stubby.

Yofel’s favorite, though, is Peach crayon. Duncan tore its wrapper so now Peach had to be naked and can’t even get out of the box XD

The storyline is very original, easy to digest and could relate well with the kids. The language used by each crayon is also effortlessly funny, using words like “We need to talk” or “I am BEIGE and I am PROUD” or “Give me a break”. I love reading this story out loud to Yofel because the wordings are very cute and easy to expressed in different voice or tone.

This type of book can be read over and over again without the kids being bored, and the illustrations help too – they complement the story of the crayons really well. I also love the ending, because it’s quite creative and can address the issues raised by the crayons in a cute way.

Here are some of the illustrations from the book:

Poor Peach!

Poor Peach!

Pink monster sounds really cool! :D

Pink monster sounds really cool! 😀

And Yofel enjoyed it too 🙂

yofel crayon

Thank you Dian who has lent us the book! 🙂 We’ve thought on buying one for Yofel as well 🙂

[Reading With Yofel] Angry Birds Playground: Animals

19 Friday Feb 2016

Posted by astrid.lim in non fiction

≈ 6 Comments

Tags

angry birds, animals, borrowed, children, education, library, non fiction, reading with yofel, yofel, young readers

angry birds animalsTitle: Angry Birds Playground: Animals

Editor: Jill Esbaum

Publisher: National Geographic Society (2012)

Pages: 127p

Borrowed at: Library, SDK Penabur 11 Jakarta

Recommended for: Kids 5-10 years old

Since Yofel now has library hour at his school, he brought home a book every week. Our reading together moments are one of my favorite times to spend with him. And since he started to bring back more interesting books each week, I decided to record our reading experience and make a simple review for every book we read together, based on Yofel’s impression and opinion about the book.

Yofel loves to borrow books about animals (dinosaurs in particular), but sometimes he also brought back picture books or storybooks.

For this first edition, we’ve read Angry Birds Playground : Animals, published by The National Geographic Kids. I love this series because it combines funny comical dialogues of the famous game characters from Angry Birds, with knowledge and educational descriptions especially on science topics.

Yofel loves the parts of Angry Birds dialogues so much- he laughed out loud at each joke even though some of them needs translations 🙂

This book told a story about the Pigs (the Birds’s eternal enemies) who stole the eggs of the Angry Birds, and hid them somewhere on Earth. The Angry Birds were panicked and decided impulsively to roam the Earth to find their eggs. There are five habitats that they visited: rain forrest in South America, dessert in North America, Pacific Ocean, Grassland in Tasmania and Tanzania, and Polar both in Arctic and Antarctica. In each habitat, the birds asking questions to the animals about the whereabouts of their eggs. And in this way, the readers were taken to get to know the animals, from Gila Monsters (Yofel’s favorite!) in the dessert, to the Anaconda in Amazon and Leatherback Turtle at the ocean.

The descriptions are funny and light, too, so it won’t be boring for the kids. There are some selected interesting facts to complete the descriptions, and the Angry Birds characters, through their witty dialogues, also added some cute information.

Overall, Yofel loves this book so much and he asked me to read it again one more time from cover to cover XD

← Older posts

From the bookshelf

Categories

Looking for Something?

Enter your email address to follow Books to Share and receive notifications of new posts by email.

Join 1,036 other subscribers

Currently Reading

I’m a Proud Member! #BBI 1301004

Wishful Wednesday Meme

Fill your Wednesdays with wishful thinking =)

Popsugar Reading Challenge 2018

bookworms

  • aleetha
  • althesia
  • alvina
  • ana
  • annisa
  • bzee
  • dewi
  • dion
  • fanda
  • Ferina
  • helvry
  • inne
  • Kobo
  • maya
  • mei
  • melmarian
  • mia
  • ndari
  • nophie
  • oky
  • peri hutan
  • ren
  • Reygreena
  • sel sel kelabu
  • sinta
  • tanzil
  • tezar
  • yuska

shop til you drop

  • abe books
  • Amazon
  • better world books
  • book depository
  • BukaBuku
  • Buku Dedo
  • bukukita
  • vixxio

Top Posts & Pages

  • Red, White & Royal Blue by Casey McQuiston
    Red, White & Royal Blue by Casey McQuiston
  • The Secret History
    The Secret History
  • Klara and the Sun by Kazuo Ishiguro
    Klara and the Sun by Kazuo Ishiguro
  • The Monogram Murders by Sophie Hannah
    The Monogram Murders by Sophie Hannah
  • Puddin' by Julie Murphy
    Puddin' by Julie Murphy

Recent Comments

Puddin’ by Jul… on Dumplin’ by Julie M…
jesica on Abarat 2: Days of Magic, Night…
jesica on Abarat 2: Days of Magic, Night…
When the Stars Go Da… on The Paris Wife
Hapudin Bin Saheh on Insomniac City: New York, Oliv…

Blog at WordPress.com.

Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
  • Follow Following
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Join 1,036 other followers
    • Already have a WordPress.com account? Log in now.
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Customize
    • Follow Following
    • Sign up
    • Log in
    • Report this content
    • View site in Reader
    • Manage subscriptions
    • Collapse this bar
 

Loading Comments...