• About this blog
  • Clearance Sale!
  • Newbery Project
  • Popsugar Reading Challenge 2023
  • Previous Challenges
    • BBI Read and Review Challenge 2017
    • Challenges 2014
    • Challenges 2015
    • Lucky No.14 Reading Challenge
    • Lucky No.15 Reading Challenge
    • POPSUGAR Reading Challenge 2017
    • Popsugar Reading Challenge 2018
    • Popsugar Reading Challenge 2020
    • Popsugar Reading Challenge 2021
    • Popsugar Reading Challenge 2022
    • What’s in a Name 2018
    • Twenty-Ten Challenge
    • Challenges 2012
    • Challenges 2013
  • Round Ups
  • The Librarian

~ some books to share from my little library

Tag Archives: world war

The Paris Library by Janet Skeslien Charles

28 Friday Jan 2022

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

bargain book!, book about books, e-book, english, europe, fiction, historical fiction, library, paris, popsugar RC 2022, world war

Judul: The Paris Library

Penulis: Janet Skeslien Charles

Penerbit: Two Roads (Kindle edition, 2021)

Halaman: 358p

Beli di: Amazon.com (USD 2.99, bargain!)

Odile Souchet bermimpi bisa bekerja di American Library di kota Paris, dan akhirnya, di tahun 1939, impiannya tercapai. Dikelilingi oleh buku-buku, kutu buku, rekan kerja yang serba unik, dan bahkan seorang polisi muda yang mencuri hatinya, hidup Odile tampak sempurna. Namun, sedikit yang ia tahu, kehidupannya akan berubah total, setelah Perang Dunia II mulai dan Jerman menguasai Prancis. Perpustakaan kesayangannya, bersama orang-orang yang dikasihinya, juga ikut terancam.

American Library di Paris

Fast forward ke tahun 1983, di kota kecil di Montana, seorang remaja perempuan kesepian bernama Lily, penasaran dengan sosok tetangganya yang hidup menyendiri. Odile, tetangganya tersebut, memiliki masa lalu misterius dan tak seorang pun tahu kisah sesungguhnya mengapa ia pindah dari Paris ke Montana. Lily bertekad mencari tahu, namun ia justru menemukan pribadi yang menyenangkan, yang membuatnya jatuh cinta pada buku, kota Paris dan bahasa Prancis.

The Paris Library memikat saya karena deskripsinya yang hidup tentang kota Paris di tahun 1930-40an, menjelang Perang Dunia II. Saya langsung merasa relate dengan Odile si kutu buku, yang cita-citanya bekerja di American Library, perpustakaan berbahasa Inggris terbesar di Paris saat itu. Karena penulis buku ini terinspirasi kisah nyata di mana perpustakaan ini berperan besar menyuplai buku-buku saat Prancis diduduki oleh Belanda, banyak karakter di Paris Library yang memang merupakan tokoh nyata, atau terinspirasi dari sejarah, sehingga membuat kisah ini semakin terasa hidup.

American Library di Paris, saat ini

Tapi, bagian kisah Montana, yang ditampilkan berselang-seling dengan kisah Odile di Paris, awalnya cukup terasa mengganggu. Menurut saya, sudut pandang Montana ini kurang pas dengan plot Perang Dunia, dan terasa seperti plot yang terpisah dari keseluruhan buku, terutama karena tone nya yang cukup berbeda. Lily untungnya adalah karakter yang mudah mengundang simpati, dan kisahnya tumbuh besar di kota kecil Montana, sambil mendengarkan kisah tentang Paris dan belajar Bahasa Prancis dengan Odile, lumayan menarik untuk diikuti. Namun transisi sampai saya merasa bisa relate dengan Lily dan menghubungkannya dengan kisah masa lalu Odile agak sulit buat saya.

Selain itu, rahasia masa lalu Odile yang membuatnya meninggalkan Paris dan perpustakaan yang dicintainya, bahkan memutus hubungan dengan orang-orang yang ia kasihi, agak terlalu dipaksakan menurut saya, dan tidak sesuai dengan karakter Odile sendiri.

Namun bagaimanapun, The Paris Library tetap merupakan historical fiction yang memikat, ditulis dengan baik, dan mengangkat kisah peran perpustakaan selama Perang Dunia, yang selama ini cukup jarang ditemui di buku sejenis. Oiya, Sylvia Beach dan Shakspeare and Co sempat disebut-sebut juga lho!

Rating: 3.5/5

Recommended if you like: historic Paris, World War II from different angle, book about books, library!, dual timeline

Submitted for:

A book that features two languages

The Amazing Adventures of Kavalier and Clay by Michael Chabon

02 Tuesday Nov 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

arts, bargain book!, english, family, fiction, historical fiction, modern classics, new york, popsugar RC 2021, secondhand books, world war

Judul: The Amazing Adventures of Kavalier and Clay

Penulis: Michael Chabon

Penerbit: Picador USA (2000)

Halaman: 639p

Beli di: The Last Bookstore, Los Angeles (USD 6, bargain!)

Joe Kavalier, seniman muda berbakat, keturunan Yahudi dan berasal dari Praha. Sejak kecil, Joe tertarik pada dunia magic, dan bahkan sempat dilatih oleh salah satu escape artist legendaris di Praha. Ketika Perang Dunia II mulai memanas di Praha, Joe diutus keluarganya untuk melarikan diri ke Amerika. Di New York, Joe bertemu dengan Sammy Clay, sepupunya yang tinggal di Brooklyn dan bercita-cita untuk merintis bisnis komik. Sam jago membuat konsep, tapi tidak bisa menghasilkan gambar yang artistik. Berdua, mereka pun berjuang untuk menggapai cita-cita yang tampak mustahil: menjadi komikus terkenal.

Dan di hari yang bersejarah, Sam dan Joe, dibantu oleh beberapa seniman New York, membuahkan the Escapist, tokoh superhero yang kemudian disusul dengan karakter lain seperti the Monitor dan Luna Moth, yang terinspirasi dari Rosa Saks, perempuan cantik yang memikat hati Joe.

Kisah dua anak Yahudi di tengah berkobarnya Perang Dunia II, yang berjuang di luar medan perang namun tidak kalah sengitnya berusaha mengenyahkan stereotyping yang kerap melekat pada orang Yahudi dan kaum pekerja seperti mereka, serta berusaha memperjuangkan hak mereka di tengah kesadisan dunia bisnis New York yang dipenuhi oleh orang-orang serakah. Ditambah lagi, Joe dan Sam memiliki baggage masing-masing. Joe dengan perasaan bersalahnya akibat ia berhasil lolos dari Praha, sementara ia tidak tahu nasib yang menimpa keluarganya. Sementara Sam bergumul dengan identitas orientasi seksualnya, di mana menjadi gay masih dipandang hina, dan belum bisa diterima secara terbuka.

Saya cukup menikmati buku yang digadang-gadang sebagai salah satu modern classics ini. Premisnya menarik, terutama yang menyangkut sejarah buku dan seni komik di Amerika, sebelum dan setelah Perang Dunia II, dan bagaimana komik turut berpengaruh dalam membentuk opini publik, misalnya tentang Hitler dan Nazi. Saya suka setting kota New York (of course!) yang terasa sangat hidup di sini, serta proses kelahiran the Escapist yang legendaris, yang berkaitan erat dengan pengalaman Joe melarikan diri dari Praha saat Hitler berkuasa.

Namun, sejujurnya saya merasa buku ini agak terlalu panjang. Beberapa bagian terasa bertele-tele dan membosankan, dan saya tidak begitu suka bagian terakhir buku ini, terutama saat kisah terlalu fokus pada Joe dan romansanya. Saya lebih suka dengan karakter Sammy karena digambarkan lebih real dan otentik, dan pergumulannya mencari identitas terasa lebih relatable dibandingkan kisah Joe, namun sayangnya tidak diberikan porsi yang sama banyaknya.

Chabon adalah penulis yang baik, dan meski ini adalah pengalaman pertama saya membaca karyanya, saya langsung merasakan auranya yang khas, terutama saat ia menulis tentang buku komik dan sejarahnya. Hanya saja, menurut saya Chabon kurang adil dalam membagi porsi kedua sepupu (yang padahal sama-sama ada di judul buku), dan saya kurang terkesan dengan kisah cinta Rosa dan Joe.

Anyway- a solid historical book, although not very remarkable.

Rating: 3.5/5

Recommended if you wan to read about: comic book history, different side of World War II, amazing NYC setting, cousins dynamic, magical escapism

Submitted for:

Category: A book from your TBR list you meant to read last year but didn’t

How We Disappeared by Jing-Jing Lee

23 Wednesday Jun 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

asia, culture, english, fiction, popsugar RC 2021, singapore, southeast asia, women, women prize, world war

Judul: How We Disappeared

Penulis: Jing-Jing Lee

Penerbit: OneWorld Book (2020 paperback edition)

Halaman: 341p

Beli di: @therebutforthebooks (IDR 200k)

Singapore, 1942: Tentara Jepang merangsek masuk, menguasai negara kecil yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Inggris. Rakyat Singapura panik, dan satu demi satu mengalami penderitaan di bawah penjajahan Belanda. Tak terkecuali Wang-Di, anak perempuan yang diculik tentara Jepang dan dibawa ke bangunan yang ternyata merupakan brothel bagi tentara Jepang.

Singapore, 2000: Wang-Di hidup dalam kesepian, suaminya baru meninggal dunia dan ia masih menyimpan rahasianya selama perang tahun 1942. Keinginannya untuk membagi beban hidup terasa terlambat setelah suaminya meninggal dan ia hidup sebatang kara. Namun, kemunculan seorang anak laki-laki bernama Kevin, akan mengubah hidup Wang-Di.

Membaca buku ini membutuhkan hati yang kuat. Miris, kesal, marah, sedih, sakit, adalah berbagai perasaan yang muncul ketika saya membaca kisah Wang-Di, terutama saat ia dipaksa menjadi “comfort woman”, istilah pemerkosaan yang dilegalkan, selama Perang Dunia II berlangsung dan Singapura dijajah oleh Jepang. Terlebih, setelah perang usai, Wang-Di kembali ke keluarganya, namun semua orang mengira ia hidup bersenang-senang sebagai wanita simpanan tentara Jepang dan mengkhianati negaranya sendiri.

Buat saya, kisah tentang Singapura semasa Perang Dunia II termasuk jarang ditemui, dan membaca How We Disappeared membuka mata saya tentang penderitaan yang dialami oleh negara-negara di Asia Tenggara selama penjajahan Jepang. Sekelumit kisah Wang-Di hanya mewakili sedikit dari penderitaan yang terjadi, namun sudah mampu mengaduk emosi saya sampai rasanya mual sendiri membaca adegan yang lumayan detail di sini. Selain tema kekerasan seksual di masa penjajahan, buku ini juga menyinggung tentang trauma yang dialami Wang-Di, dan stigma masyarakat Asia, khususnya di era 1940-an, yang masih menganggap tabu pembicaraan tentang mental health dan kekerasan seksual.

Sayangnya, bagian kisah tentang Kevin, menurut saya agak terlalu dipanjang-panjangkan. Awalnya cukup membuat penasaran, apa hubungan Kevin dengan Wang-Di, dan kita diajak menyusuri lika-liku masa lalu keluarga Kevin hingga akhirnya bermuara di Wang-Di. Tapi karena agak terlalu lambat plotnya, dan banyak memotong kisah masa lalu Wang-Di, lama-lama jadi kurang sabar juga membaca bagian ini.

Meski tidak perfect, menurut saya buku ini tetap merupakan buku yang sangat recommended, terutama untuk yang mau tahu lebih banyak tentang sejarah Singapura, dan penggambaran settingnya memang sangat mendetail, baik Singapura di era 1940-an maupun di era modern 2000-an. Dan betul, Singapura lebih dari sekadar Orchard Road 🙂

Rating: 3.5/5

Recommended if you like: Southeast Asian reads, historical fiction, World War II, beautiful writing, a glimpse of life in Singapore

Submitted for:

A book set somewhere you’d like to visit in 2021

A Long Petal of the Sea by Isabel Allende

19 Wednesday May 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

ebook, historical fiction, immigrant, politics, popsugar RC 2021, south america, war, world war

Judul: A Long Petal of the Sea

Penulis: Isabel Allende

Penerbit: Ballantine Books (Kindle edition, 2020)

Halaman: 336p

Beli di: Amazon.com (USD 2.99- bargain!)

Di akhir tahun 1930an, Spanyol dilanda Perang Saudara saat General Franco mengambil alih kekuasaan negara tersebut. Gaya kepemimpinannya yang fasis amat sesuai dengan kondisi dunia saat itu, yang didominasi Hitler dan Nazi yang siap memorakporandakan kehidupan jutaan orang.

Warga Spanyol, terutama yang bertentangan dengan Franco, banyak yang mengungsi ke Prancis, melalui jalur perbatasan yang sulit di tengah musim dingin yang menggigit. Salah satunya adalah Roser, yang sedang hamil tua, dan berjanji akan bertemu dengan kakak iparnya, Victor Dalmau, sambil menunggu kekasihnya, adik Victor, yang berjuang di medan perang.

Victor sendiri berprofesi sebagai dokter, merawat korban perang saudara di tengah kondisi yang makin berbahaya. Setelah berhasil bertemu Roser di Prancis, mereka memutuskan untuk ikut rombongan pengungsi ke Chile, dalam program yang digagas oleh penyair sekaligus aktivis Pablo Neruda. Saat itu, Chile memang sedang mencari banyak pengungsi untuk mengisi negara mereka, terutama yang memiliki keahlian khusus seperti science, arts, dan culture.

Meski awalnya Victor dan Roser menganggap kepindahan mereka ke Chile sebagai rencana temporer, lama kelamaan mereka malah menganggap Chile sebagai rumah mereka, meski keinginan untuk kembali ke Spanyol tetap tersimpan di dalam hati mereka. Dan melalui perjalanan kehidupan Victor dan Roser, kita diajak mencerna apa arti “rumah” yang sesungguhnya.

Sebelum membaca buku ini, saya tidak terlalu mudeng dengan sejarah negara Chile, dan saya bahkan belum pernah membaca karya Pablo Neruda sama sekali. Melalui A Long Petal of the Sea (sebutan untuk negara Chile yang terletak memanjang di ujung benua Amerika Selatan), Isabel Allende mengajak kita untuk menyusuri sejarah negara Chile, terutama hubungannya dengan Perang Saudara Spanyol dan para pengungsi yang nantinya akan ikut membentuk negara tersebut.

Dibandingkan dengan beberapa karya Allende sebelumnya, A Long Petal memang terasa agak lebih monoton. Tidak ada magical realisme di sini, dan gaya berceritanya pun lebih linear, lebih banyak telling daripada showing. Tapi menurut saya, Allende tetap menunjukkan tajinya, menghipnotis kita dengan alunan kalimat yang flowy dan membuat buku 300an halaman ini tidak terasa (terlalu) panjang, meski ada beberapa bagian yang agak slow.

Untuk pencinta Neruda, buku ini juga membahas sekelumit perannya di kancah politik Chile, yang kembali bergejolak setelah Perang Dunia II. It’s a great introduction to those who are not familiar with him, too.

Overall, tetap recommended, terutama yang sudah kangen dengan karya Isabel Allende.

Rating: 4/5

Recommended if you want to read about: Chile history, Spanish Civil War, migrations and refugees, great historical fiction with South American setting

Submitted for:

Category: A book set in multiple countries

The Shadow King by Maaza Mengiste

03 Monday May 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 2 Comments

Tags

africa, award, ethiopia, historical fiction, man booker prize, war, women, world war

Judul: The Shadow King

Penulis: Maaza Mengiste

Penerbit: Canongate Books (2020)

Halaman: 428p

Beli di: @__lesens (IDR 235k)

Tahun 1935, Ethiopia berada di ambang peperangan, setelah sebelumnya berhasil mengalahkan Italia di tahun 1896. Kali ini, Italia di bawah kepemimpinan fasis Mussolini, ingin membalas dendam dan menggapai impian mereka yang belum tercapai, yaitu menguasai Ethiopia. Didukung oleh situasi dunia yang sedang bersiap-siap menghadapi Perang Dunia II, plus menguatnya kekuatan fasis di belahan bumi barat, Italia yakin kali ini mereka akan memenangkan perang tersebut.

Hirut adalah seorang yatim piatu yang dipekerjakan di rumah salah satu tentara kepercayaan Emperor Haile Selassie, yang bernama Kidane. Hirut dan pekerja perempuan lainnya diharapkan untuk ikut membantu persiapan perang, termasuk mendampingi pasukan sebagai perawat dan menyiapkan makanan. Namun Aster, istri Kidane, menginginkan lebih daripada itu. Kesedihannya yang mendalam akibat kematian anak laki-lakinya menyebabkan Aster berubah menjadi seorang perempuan yang getir, keras, dan tangguh. Ia ingin membentuk pasukannya sendiri, yang terdiri dari para perempuan kuat Ethiopia yang ia yakin sanggup menyamai bahkan melebihi kecerdikan pasukan tentara Emperor.

Meski Hirut dibenci Aster karena kedekatannya dengan Kidane, namun ia belajar banyak dari istri majikannya ini selama peperangan berlangsung. Bahkan Hirut ikut berperan penting dalam merancang strategi Shadow King, alias Raja Bayangan, yang menjadi legenda peperangan gerilya Etiophia. Pada akhirnya, Ethiopia memang bukan merupakan tandingan Italia yang super kejam. Tapi, sokongan moral dari The Shadow King mengambil tempat tersendiri di hati rakyat Etiophia, bahkan ceritanya diturunkan ke generasi-generasi selanjutnya.

The Shadow King adalah salah satu buku yang berhasil mengungkapkan fakta sejarah yang saya tidak tahu sebelumnya. Sedikit yang selama ini saya tahu tentang Ethiopia, dan Maaza Mengiste sukses mengedukasi saya tentang negara asalnya ini. Dan beberapa sudut pandang yang dipakai buku ini, mulai dari Hirut, sang Emperor sendiri, hingga tentara Italia, menambahkan detail-detail yang menarik di sepanjang buku.

Hanya saja, jujur saya tidak bisa menikmati sepenuhnya buku ini. Ada dua alasan utama mengapa buku ini belum bisa mendapatkan rating sempurna dari saya. Yang pertama, saya berharap buku ini lebih banyak mengambil sudut pandang Hirut, terutama karena dari yang saya baca di bagian Acknowlegment, sosok Hirut serta latar belakang sejarah Shadow King terinspirasi dari kisah keluarga Mengiste sendiri, terutama dari nenek buyutnya, Getey. Dan menurut saya kisah ini memang sangat menarik, namun sayangnya di bagian tengah hingga akhir buku, kita malah lebih banyak disuguhi oleh sudut pandang tentara Italia yang diwakili oleh Ettore sang fotografer. Memang kisah Etorre cukup penting juga dan berkaitan erat dengan masa depan Hirut, tapi saya jadi kehilangan suara Hirut dan sayangnya tidak merasa terkoneksi sepenuhnya dengan tokoh perempuan tersebut.

Alasan kedua, yang lebih mendominasi buat saya, adalah gaya penulisan Maaza Mengiste. Mengiste adalah seorang scholar dan professor Creative Writing, bahkan pernah menerima beasiswa Fulbright (WHOOP!). Dan memang, gaya menulisnya amat berkesan “nyastra” sekali, penuh dengan matefora dan penggambaran detail yang luar biasa puitis. Awalnya, saya senang-senang saja membaca kalimat demi kalimat yang penuh keindahan ini. Namun lama kelamaan, rasanya lelah juga, apalagi Mengiste amat senang menggambarkan detail setting seperti sudut jatuhnya cahaya matahari, perbedaan suara burung yang satu dengan burung yang lain, dan sebagainya, yang tujuannya mungkin untuk menampilkan setting yang amat nyata, namun karena banyak pengulangan di sini, saya jadi bosan juga membacanya. Satu lagi, Mengesti adalah penggemar “tanpa tanda kutip”, sehingga tidak ada dialog yang diapit tanda kutip di buku ini, satu tren yang saya kurang suka karena seringkali menciptakan kebingungan.

Overall, The Shadow King adalah buku yang amat penting, menyajikan sekelumit kisah sejarah yang jarang diangkat ke permukaan, Secara kualitas pun buku ini amat baik, tak heran dinominasikan dan mendapat penghargaan di mana-mana, termasuk short list Man Booker Prize 2020. Tapi memang buku ini, menurut saya, bukanlah tipe buku yang bisa dinikmati 🙂

Rating: 3/5

Recommended if you want to read about: African history, Ethiopia, women fighters, high quality literature, creative writing at its best

Dead Wake: The Last Crossing of the Lusitania by Erik Larson

07 Thursday Jan 2021

Posted by astrid.lim in Uncategorized

≈ Leave a comment

Tags

british, europe, history, non fiction, popsugar RC 2021, secondhand books, world war

Judul: Dead Wake: The Last Crossing of the Lusitania

Penulis: Erik Larson

Penerbit: Broadway Books (2015)

Halaman: 452p

Beli di: Betterworldbooks.com (USD 9.98)

Erik Larson delivered again! Kalau ada penulis yang membuat saya bisa terpukau dengan buku sejarah, Larson lah orangnya. Kali ini, topik yang diangkat adalah tentang Lusitania, kapal besar yang mengangkut penumpang dari New York ke Liverpool, dan tenggelam karena ditorpedo oleh Jerman saat Perang Dunia I. Ini merupakan salah satu tragedi paling terkenal di dunia maritim, terutama karena terjadi pada kapal swasta yang seharusnya kebal dari ancaman perang.

Saya sendiri kurang tahu tentang peristiwa ini, dan tidak terlalu tertarik untuk mencari tahu lebih jauh. Tidak seperti Titanic yang kental dengan nuansa romantis (terutama setelah diangkat ke layar lebar oleh Hollywood), tragedia Lusitania -karena terjadi di masa perang- dianggap seperti collateral damage saja sehingga kurang menarik untuk diulik.

Tapi Erik Larson berpikiran lain – ia berhasil mengangkat peristiwa yang tadinya hanya dianggap sepintas lalu sebagai bagian Perang Dunia I – ke dalam sebuah naratif yang memikat. Seperti biasa, buku ini merupakan hasil penelitian panjang Larson dari berbagai sumber, termasuk buku harian, surat-surat dan dokumen lainnya.

Yang menarik, Larson bisa menggabungkan kisah masing-masing penumpang Lusitania – dari mulai persiapan mereka berangkat hingga tragedi menimpa mereka di atas kapal- dengan momen-momen di mana ketegangan antara Inggris dan Jerman semakin memuncak.

Ada dua hal besar yang membuat buku ini begitu menarik, dan Erik Larson dengan lihai bisa menjalin kedua isu utama ini ke dalam naratif yang mudah dibaca dan diikuti.

Yang pertama adalah Lusitania itu sendiri – sejarahnya, karakteristiknya, para penumpangnya, serta kapten yang menggawangi pelayaran tersebut, Captain Turner. Semuanya akan menjadi elemen-elemen penting yang mempengaruhi peristiwa tenggelamnya Lusitania secara tragis. Karena kapal swasta seharusnya aman dari serangan musuh dan menjadi wilayah netral di Perang Dunia I, tidak ada seorang pun yang merasa terancam secara serius, meski saat pelayaran ini berlangsung di bulan Mei 1915, Jerman sedang giat-giatnya menyebar kapal selam perang mereka di perairan Eropa dan menembaki kapal-kapal musuh.

Isu kedua yang tak kalah penting adalah ketegangan di antara Jerman dan Inggris, karena pertengahan tahun 1915 merupakan saat-saat stagnan di medan peperangan darat, dan lautan menjadi salah satu kunci untuk bisa memenangkan perang tersebut. Inggris sangat ingin Amerika Serikat bergabung dan beraliansi dengan mereka di Perang Dunia I, namun Presiden Woodrow Wilson tetap teguh ingin memegang netralitas Amerika. Sementara itu, tergoda untuk memenangkan perang sebelum Amerika ikut mendukung Inggris, Jerman pun mulai melancarkan serangan-serangan tajam di lautan, dan bahkan mulai menargetkan kapal-kapal non perang serta kapal dari negara netral.

Sementara itu, Presiden Wilson sendiri sedang mengalami banyak masalah pribadi, istrinya baru meninggal dan tak lama kemudian ia menjalin hubungan dengan seorang perempuan yang masih ragu untuk menjadi pendamping hidupnya. Konteks ini perlu diketahui karena cukup berpengaruh pada perasaan dan kondisi Wilson saat awal Perang Dunia I.

Yang paling membuat gemas adalah melihat cara Inggris menghadapi hari-hari menjelang penyerangan Lusitania. Badan intelijennya sudah menangkap tanda-tanda submarine U-20 yang berkeliaran di perairan sekitar Liverpool, tapi mereka tidak memperingatkan Lusitania dan masih menganggap ancaman penyerangan tersebut tidak serius.

Berita tenggelamnya Lusitania

Larson adalah penulis non fiksi dengan hati seorang novelis. Ia bisa menyajikan narasi yang memikat tapi tetap netral, tidak berat sebelah, dan mengungkap bukti-bukti keteledoran semua pihak. Tidak serta merta ia memihak Inggris atau menyalahkan Jerman, tapi menjelaskan semua fakta dengan apa adanya. Banyak faktor yang menyebabkan Lusitania ditorpedo pada bulan Mei 1915, dan banyak korban yang sebenarnya tidak perlu jatuh di hari itu, termasuk yang tertimpa perahu penyelamat atau kru yang terjebak di ruang bahan bakar.

Detail-detail yang begitu vivid seringkali membuat saya lupa kalau saya sedang membaca buku sejarah alih-alih novel fiksi. Dan itulah kepiawaian Erik Larson yang sulit ditandingi oleh penulis lain. Bahkan topik yang tidak terkenal, tidak terpikirkan, dan tidak terlihat menarik, bisa disulap menjadi buku yang engaging dan memikat. And I’m super happy because there are some of his books that I haven’t read 🙂

Rating: 4/5

Recommended if you want to read about: World War I, maritime tragedies, history book with a sense of fiction novel, detailed but engaging narratives.

Submitted for:

Category: A book with a black-and-white cover

City of Girls by Elizabeth Gilbert

08 Tuesday Sep 2020

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

america, historical fiction, new york, popsugar summer RC 2020, world war

Judul: City of Girls

Penulis: Elizabeth Gilbert

Penerbit: Bloomsbury Publishing (2019)

Halaman: 480p

Beli di: Periplus.com (IDR 135k)

City of Girls adalah jenis buku yang harus dinikmati pelan-pelan, dengan santai, tanpa terlalu banyak ekspektasi. Kalau dilihat secara keseluruhan, sebenarnya buku ini agak sedikit absurd. Diawali dengan sebuah surat yang ditujukan kepada Vivian Morris dari seorang wanita bernama Angela, yang meminta Vivian menjelaskan tentang hubungannya dengan ayah Angela.

Alih-alih memulai dengan menjawab pertanyaan Angela, Vivian malah membuat balasan surat yang amat panjang, mundur jauh ke belakang, tahun 1940 saat ia berusia 19 tahun dan pertama kalinya tinggal di New York City bersama Aunt Peg yang memiliki gedung teater kecil Lily Playhouse.

Vivian pun mengenal seluk beluk kehidupan dunia teater lewat teman-teman barunya, para penari dan aktris yang selalu terlihat glamor, dan ia bersahabat dengan salah satu bintang teater Lily Playhouse yang bernama Celia. Melalui Celia, Vivian blusukan di kota New York, keluar masuk club dan bertemu beragam orang dari berbagai latar belakang, termasuk kaum pria yang akan membentuk pandangannya tentang seksualitas.

Suatu insiden membuat Vivian harus pergi dari New York dan pulang ke rumahnya, namun Perang Dunia II membawanya kembali ke New York dan berkontribusi lewat pengalamannya di dunia teater.

City of Girls adalah buku yang panjang. Kadang saya suka lupa asal mula cerita buku ini, yang sebenarnya berpuncak pada sosok ayah Angela – siapakah dia? (Dan ternyata kemunculannya cukup singkat sehingga tidak terlalu signifikan dengan keseluruhan kisah hidup Vivian). Saya lebih fokus pada perjalanan hidup Vivian, yang digambarkan dengan cukup detail dan melalui periode yang panjang.

Meski sosok Vivian kadang agak membosankan, karakter-karakter di sekelilingnya digambarkan dengan lebih menarik, terutama Aunt Peg dan Celia. Dan sepertinya menciptakan karakter-karakter yang memorable adalah salah satu kekuatan utama Elizabeth Gilbert, meski kadang kisah keseluruhannya terasa agak bertele-tele. Selain itu, yang membuat saya menikmati buku ini adalah settting kota New York di tahun 1940-an, terutama kehidupan dunia teaternya. Setting buku ini terasa amat hidup, membuat saya dengan mudah bisa membayangkan sosok gedung Lily Playhouse yang kuno namun amat dicintai para penghuninya.

Submitted for:

Category: A book with release date in June, July, or August of any year

 

The Secret Adversary by Agatha Christie

06 Friday Mar 2020

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 2 Comments

Tags

agatha christie, bahasa indonesia, british, classic, Gramedia, mystery, popsugar RC 2020, series, suspense, terjemahan, world war

Judul: The Secret Adversary (Musuh dalam Selimut)

Penulis: Agatha Christie

Penerjemah: Mareta

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2012)

Halaman: 376p

Beli di: @HobbyBuku (bagian dari bundel Agatha Christie)

Tommy dan Tuppence bukanlah tokoh-tokoh favorit saya dari antara karakter ciptaan Agatha Christie, dan kisah petualangan mereka juga tidak terlalu menarik hati saya. Mungkin karena cerita mereka lebih berat ke isu mata-mata dan pengkhianatan dibandingkan plot pembunuhan klasik ala Christie.

Tapi, karena saya sudah membaca (ulang) hampir semua buku Christie, dan kisah pasangan Tommy dan Tuppence merupakan sedikit dari yang jarang (bahkan belum pernah) saya sentuh, maka tibalah saatnya menjajal buku mereka dan mengenal pasangan ini lebih jauh.

The Secret Adversary adalah buku mereka yang pertama. Tommy dan Tuppence belum menikah di sini, masih berusia muda dan sedang bingung menentukan rencana mereka setelah Perang Dunia I usai. Tanpa sengaja, mereka terlibat dalam suatu peristiwa misterius yang merupakan sisa misteri masa perang.

Saat Perang Dunia I berlangsung, kapal Lusitania yang sedang menuju Inggris ditorpedo musuh, padahal ada penumpang yang membawa dokumen penting yang sangat berarti untuk Inggris. Sang penumpang pun menitipkan dokumennya pada gadis Amerika bernama Jane Finn. Namun setelah proses penyelamatan kapal usai, Jane Finn menghilang tanpa jejak.

Lima tahun setelah kejadian tersebut, Tommy dan Tuppence akhirnya terlibat dalam pencarian Jane Finn yang misterius serta dokumen penting yang hilang. Gawatnya, beberapa pihak yang ingin kembali merusak perdamaian juga mengincar dokumen tersebut. Akhirnya, kedua petualang muda (amatir) ini terpaksa menggunakan segala akal mereka untuk bersaing dengan komplotan berpengalaman yang terdiri dari para penjahat dengan kepentingan mereka masing-masing.

Kabarnya, komplotan penjahat ini dipimpin oleh seseorang dengan julukan Mr. Brown (yang tidak diketahui identitas aslinya), yang kelihatannya selalu satu langkah di depan para lawannya termasuk Tommy dan Tuppence. Apakah mereka berhasil membongkar kedok Mr Brown dan memenangkan pertandingan ini?

Meski bukan jenis cerita favorit saya (give me any classic Christie whodunnit with locked room or something), ternyata kisah petualangan Tommy dan Tuppence cukup enjoyable. Ada beberapa red herring yang menipu, ditambah lagi double twist di bagian akhir yang cukup mengejutkan (meski lumayan tertebak), yang menunjukkan kepiawaian Chrstie mengolah kisah yang berada di luar comfort zonenya.

Topik espionase dan pengkhianatan merupakan topik yang cukup populer di masa perang dan setelahnya. Christie menulis kisah ini di tahun 1922, setelah perang usai namun kondisi Inggris belum terlalu stabil. Kisahnya sangat relevan dengan periode buku ini ditulis, dan Tommy serta Tuppence mewakili anak-anak muda yang hidupnya serba tidak pasti setelah perang.

Saya suka interaksi antara Tommy dan Tuppence, yang berasal dari latar belakang cukup berbeda namun ternyata sangat cocok satu sama lain. Dan kisah ini memang mengawali hubungan pribadi maupun profesional mereka berdua, kondisi yang cukup unik mengingat periode buku ini ditulis, dan membuktikan bahwa Christie mendukung  emansipasi perempuan di zamannya dengan caranya sendiri.

Tommy dan Tuppence merupakan serial yang timelinenya mengikuti waktu sebenarnya saat buku mereka ditulis. Usia mereka bertambah tua dengan cukup akurat sesuai dengan terbitnya buku-buku mereka, dan perkembangan hubungan mereka juga digambarkan berjalan seiring dengan petulangan-petualangan mereka, tidak seperti serial Poirot atau Miss Marple.

Submitted for:

Kategori: A book set in the 1920s

 

The Alice Network by Kate Quinn

18 Tuesday Feb 2020

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 2 Comments

Tags

english, fiction, historical fiction, popsugar RC 2020, women, world war

Judul: The Alice Network

Penulis: Kate Quinn

Penerbit: HarperCollins (2017)

Halaman: 503p

Beli di: Kinokuniya Grand Indonesia (IDR 290k, disc 50%)

Buku ini mengambil dua timeline berbeda dari dua perang terbesar yang pernah dialami dunia modern.

1947: usai Perang Dunia II, Charlie St. Clair, gadis Amerika yang sedang bermasalah karena hamil di luar nikah, bertekad ingin menemukan sepupunya yang hilang di Prancis setelah perang berakhir. Rose terakhir berkomunikasi saat Prancis dikuasai Nazi, tapi setelah itu ia lenyap ditelan kerumitan pasca perang.

Dalam pencariannya, Charlie terdampar di London dan bertemu dengan Eve Gardiner, yang memiliki masa lalu misterius dan terlibat di kedua perang dunia dalam kapasitas sebagai mata-mata andal.

1915: Eve masih merupakan mata-mata pemula yang tergabung dalam Alice Network, tapi tugas pertamanya langsung membawanya ke Prancis untuk mendapatkan informasi penting para petinggi Jerman yang sering makan di sebuah restoran tempatnya bekerja. Namun pemilik restoran itu lebih berbahaya dari yang Eve duga dan akan menghantui hidupnya selamanya.

Partnership tidak biasa antara dua perempuan kuat namun amat berbeda ini menjadi sajian utama The Alice Network. Dengan ditemani oleh Finn, supir asal Skotlandia yang berperangai kasar, mereka menyusuri Inggris dan Prancis untuk mencari Rose yang disinyalir sempat bersinggungan dengan hantu masa lalu Eve.

Kate Quinn amat piawai membangun dua plot dengan dua karakter utama dan timeline yang berbeda, dan menyatukannya dengan gemilang di bagian akhir. Tidak seperti beberapa penulis historical fiction yang sering kecolongan fokus di salah satu plot atau karakter dan mengabaikan yang lain, Quinn terlihat amat fokus di kedua plot yang ia kembangkan, dan memberi perhatian yang seimbang pada kedua karakter utamanya.

Saya bisa masuk dengan mudah ke karakter Charlie yang amat likable, dan meskipun sempat agak sulit untuk menyukai Eve, lama kelamaan bisa memahami kegetiran hidup dan alasan di baliknya.

Yang sempat agak membingungkan mungkin adalah kedua perang yang kadang terasa agak mirip satu sama lain, terutama krena beberapa tokoh di buku ini terlibat dalam kedua peristiwa tersebut. Dan kalau dipikir-pikir memang amat sangat sial sekali orang-orang yang hidup dan mengalami dua perang terbesar sepanjang sejarah tersebut. Tak heran Eve berubah menjadi semakin getir dan depresif.

Satu hal yang saya suka juga dari penuturan Quinn adalah deskripsi tempat dan atmosfer yang amat detail tapi tidak membosankan. Dari mulai Inggris hingga Prancis, kita seolah dibawa menyusuri sejarah kelam yang pernah dialami kedua negara ini dalam waktu yang cukup singkat.

Ini adalah pengalaman pertama saya membaca buku karya Kate Quinn, tapi saya bisa menyejajarkannya dengan penulis setipe seperti Kristin Hannah dan Kate Morton yang piawai mengolah sejarah ke dalam buku bernuansa suspense, dengan karakter yang memorable dan ending yang bittersweet.

Submitted for:

Kategori: A book set in a city that has hosted the Olympics (London)

The Book Thief by Markus Zusak

15 Wednesday Nov 2017

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ 5 Comments

Tags

bbi review reading 2017, english, fiction, historical fiction, popsugar RC 2017, rereading, world war, young adult

Judul: The Book Thief

Penulis: Markus Zusak

Penerbit: Transworld Publishers (2007)

Halaman: 554p

Beli di: Times News Link Changi Airport (SGD 18.50)

Here Is a Small Fact 

You are going to die.

 

Narator buku ini adalah Death, atau Kematian, yang bercerita tentang sulitnya memiliki pekerjaan seperti dirinya, terutama di masa sulit seperti Perang Dunia II. Death menelusuri kancah peperangan untuk menjemput nyawa ribuan orang yang tewas, baik karena bom, kelaparan, udara dingin, atau peluru.

Meski ia tidak boleh peduli dengan orang-orang yang dijumpainya, namun ada satu anak perempuan yang tidak bisa ia lupakan, terutama karena ia kerap menjumpai anak ini saat akan mengambil nyawa orang-orang di sekitarnya, dan anak perempuan ini selalu sedang memungut atau mencuri atau memegang buku. Karena itulah Death menyebutnya sebagai Book Thief.

Liesel, si pencuri buku, tinggal di sebuah kota kecil di Jerman bersama orang tua angkatnya, karena perang menyebabkan orang tua kandungnya tidak bisa tinggal bersamanya. Awalnya Liesel merasa sangat menderita tinggal dengan ibu angkat yang suka marah-marah, ayah angkat yang misterius dan anak tetangga yang menyebalkan. Namun di tengah suasana perang mencekam serta kerasnya hidup dalam kemiskinan, Liesel akhirnya malah menemukan keluarga baru dan kasih sayang di tempat tinggalnya tersebut.

Liesel mengalami kesulitan dalam membaca namun ayah angkatnya dengan sabar mengajarinya. Buku pertama yang ia miliki tidak sengaja ia curi dari seorang penggali kubur. Sejak saat itu, Liesel seolah memiliki rasa gatal untuk terus mencuri dan membaca buku. Dan ia kerap kali menemukan tempat serta waktu yang tepat untuk mencuri buku, bahkan di tengah suasana Jerman yang melarang adanya buku-buku yang tidak disetujui oleh Nazi.

Kehidupan Liesel menjadi lebih rumit saat rumah mereka kedatangan tamu misterius, seorang Yahudi yang berada dalam pelarian dan memiliki hubungan dengan masa lalu ayah angkat Liesel. Keadaan memaksa keluarga ini untuk menyembunyikan si pelarian, bahkan bila itu berarti mereka harus mempertaruhkan keselamatan mereka sendiri. Persahabatan unik pun terbentuk antara Liesel dan pria Yahudi tersebut, meski bahaya terus mengintai mereka.

Rereading Experience

Terakhir kali saya membaca The Book Thief adalah hampir 10 tahun yang lalu, namun buku ini begitu membekas di ingatan saya dan selalu saya masukkan ke daftar buku terbaik versi saya. Karena itu saat Popsugar Reading Challenge memasukkan kategori Book with Non Human Narrator, saya memutuskan untuk membaca ulang buku ini untuk melihat apakah kesan saya tidak berubah.

Ternyata, saya masih memiliki pendapat yang sama tentang buku ini, bahkan mungkin malah sedikit lebih kuat dari sebelumnya. Rentang 10 tahun bukanlah waktu yang sebentar dan saya sudah membaca cukup banyak buku lain dalam periode tersebut. Namun saya harus mengakui, sedikit sekali yang bisa menyamai keindahan, kekuatan, dan keabadian The Book Thief.

Markus Zusak secara effortless bisa menghadirkan karakter-karakter yang kuat, plot yang sederhana namun memukau, quote yang memorable, serta ending yang amat sangat menyentuh dan tidak terlupakan. Book Thief adalah jenis buku yang begitu kita menamatkannya, ingin kita rekomendasikan ke semua orang supaya kita bisa segera membahasnya.

This is a true masterpiece, a classic in the making, and I will never get bored rereading it.

Markus Zusak, where are you?

Pertanyaan besarnya adalah: ke mana Markus Zusak sekarang? Dan kapan buku berikutnya akan terbit?

Ternyata, Zusak mulai menulis buku berikutnya tidak lama setelah Book Thief terbit. Tapi mungkin memang mustahil untuk menulis buku bila kamu sudah pernah menulis sesuatu yang sempurna seperti Book Thief. Butuh usaha keras dan ekspektasi yang realistis untuk bisa menghasilkan karya berikut tanpa membandingkan dengan Book Thief, starting afresh. Mengingatkan saya dengan JK Rowling pasca Harry Potter selesai.

Rencananya buku berjudul Bridge of Clay itu akan diterbitkan tahun 2011. Tapi ternyata penulisannya terus mundur dan mundur, hingga versi terakhir Goodreads saat ini, expecting publicationnya menjadi tahun 2021 😀 Itupun ternyata sudah mengalami perubahan berkali-kali, membuat para fans yang menanti buku ini terus merasa kecewa.

Zusak sendiri sepertinya santai saja. Ia kadang-kadang mengupdate perkembangan Bridge of Clay di tumblr nya.

Submitted for:

Category: A book from a nonhuman perspective

Kategori: Historical Fiction

 

 

← Older posts

From the bookshelf

Categories

Looking for Something?

Enter your email address to follow Books to Share and receive notifications of new posts by email.

Join 1,036 other subscribers

Currently Reading

I’m a Proud Member! #BBI 1301004

Wishful Wednesday Meme

Fill your Wednesdays with wishful thinking =)

Popsugar Reading Challenge 2018

bookworms

  • aleetha
  • althesia
  • alvina
  • ana
  • annisa
  • bzee
  • dewi
  • dion
  • fanda
  • Ferina
  • helvry
  • inne
  • Kobo
  • maya
  • mei
  • melmarian
  • mia
  • ndari
  • nophie
  • oky
  • peri hutan
  • ren
  • Reygreena
  • sel sel kelabu
  • sinta
  • tanzil
  • tezar
  • yuska

shop til you drop

  • abe books
  • Amazon
  • better world books
  • book depository
  • BukaBuku
  • Buku Dedo
  • bukukita
  • vixxio

Top Posts & Pages

  • Spooktober Read (2): The Turn of the Screw by Henry James
    Spooktober Read (2): The Turn of the Screw by Henry James
  • The Rainmaker by John Grisham
    The Rainmaker by John Grisham
  • The Secret History
    The Secret History
  • A Dance with Dragons by George R.R. Martin
    A Dance with Dragons by George R.R. Martin
  • Red, White & Royal Blue by Casey McQuiston
    Red, White & Royal Blue by Casey McQuiston

Recent Comments

Puddin’ by Jul… on Dumplin’ by Julie M…
jesica on Abarat 2: Days of Magic, Night…
jesica on Abarat 2: Days of Magic, Night…
When the Stars Go Da… on The Paris Wife
Hapudin Bin Saheh on Insomniac City: New York, Oliv…

Create a free website or blog at WordPress.com.

Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
  • Follow Following
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Join 1,036 other followers
    • Already have a WordPress.com account? Log in now.
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Customize
    • Follow Following
    • Sign up
    • Log in
    • Report this content
    • View site in Reader
    • Manage subscriptions
    • Collapse this bar
 

Loading Comments...