• About this blog
  • Clearance Sale!
  • Newbery Project
  • Popsugar Reading Challenge 2022
  • Previous Challenges
    • BBI Read and Review Challenge 2017
    • Challenges 2014
    • Challenges 2015
    • Lucky No.14 Reading Challenge
    • Lucky No.15 Reading Challenge
    • POPSUGAR Reading Challenge 2017
    • Popsugar Reading Challenge 2018
    • Popsugar Reading Challenge 2020
    • Popsugar Reading Challenge 2021
    • What’s in a Name 2018
    • Twenty-Ten Challenge
    • Challenges 2012
    • Challenges 2013
  • Round Ups
  • The Librarian

~ some books to share from my little library

Tag Archives: black lives matter

Hell of a Book by Jason Mott

13 Monday Jun 2022

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

african american, black history month, black lives matter, contemporary, english, fiction, popsugar RC 2022, race, social issues

Judul: Hell of a Book

Penulis: Jason Mott

Penerbit: Dutton (2021)

Halaman: 323p

Beli di: Periplus BBFH (200k)

Seorang penulis kulit hitam (yang namanya tidak pernah disebut sepanjang buku), sedang melakukan tur keliling Amerika dalam rangka promosi bukunya yang terbaru. Namun di sela-sela turnya yang padat, sang novelis kerap dikunjungi oleh seorang anak laki-laki yang dia sebut The Kid, yang tampak amat familiar namun ia tidak ingat pernah bertemu anak itu di mana. Apakah The Kid benar-benar karakter yang nyata, atau hanya rekaan imajinasinya belaka? Sementara itu, suasana di Amerika juga kian memanas, karena banyaknya kasus kekerasan oleh polisi terhadap orang kulit hitam, yang bahkan sudah mengakibatkan kematian.

Lepas dari si novelis, kita diajak untuk bertemu dengan Soot, seorang anak kulit hitam yang tidak jelas asal-usulnya, hidup di daerah rural Amerika, dan memiliki masa kecil yang keras. Apa hubungan Soot dengan The Kid atau si novelis, menjadi tanda tanya besar yang berusaha dijawab melalui buku ini.

A Hell of a Book adalah salah satu buku dengan storytelling paling unik yang pernah saya baca – vague, dengan batas yang amat longgar antara fiksi dan realita. Karakter utamanya, meski tak bernama, namun terasa amat relatable, dan kita bisa merasakan strugglenya di masa lalu, masa kini, dan masa depan, serta hubungannya dengan racial wokeness di Amerika. Bagaimana ia menghadapi ketakutan dan kebingungannya sebagai orang kulit hitam yang sukses (namun seringkali merasa tercerabut dari akarnya sendiri), menjadi tema utama novel ini, diselingi oleh banyak adegan maju-mundur dengan karakter yang terlihat fiksional namun amat familiar.

Menurut saya, ini adalah buku yang masuk ke kategori “showing” dan bukan “telling”, memberikan ruang pada pembaca untuk menginterpretasikan sendiri makna kisah dan konflik yang dialami oleh karakter-karakternya. Plusnya adalah, tidak ada kesan judging dan preaching sedikitpun dari buku ini, meski temanya sendiri termasuk yang berat dan sensitif. Namun minusnya, terkadang saya jadi bingung sendiri, sebenarnya mau dibawa ke mana cerita buku ini, dan vagueness nya banyak menimbulkan kesan ambigu yang membuat saya ingin bertanya banyak hal pada Jason Mott XD

A great book to be discussed in a book club or with other readers, for sure.

Rating: 4/5

Recommended if you like: unusual storytelling, books with free interpretations, important issues without sounding preachy

Submitted for:

Category:  A book with two POVs

Concrete Rose by Angie Thomas

26 Monday Jul 2021

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ Leave a comment

Tags

african american, america, black lives matter, english, fiction, young adult

Judul: Concrete Rose

Penulis: Angie Thomas

Penerbit: Balzer + Bray (2021)

Halaman: 368p

Beli di: Periplus BBFH (IDR 151k)

Untuk seorang penulis, pasti rasanya cukup sulit menerbitkan buku baru yang mumpuni jika buku sebelumnya begitu fenomenal, digadang-gadang sebagai best book di berbagai list, mendapatkan beragam penghargaan, dan diangkat ke layar lebar dengan hasil yang tak kalah menakjubkan.

Namun, Angie Thomas sepertinya santai saja, dan menelurkan buku yang tidak kalah luar biasa, Concrete Rose, yang merupakan prekuel buku fenomenalnya, The Hate U Give.

Concrete Rose bercerita tentang Maverick Carter, ayah Starr, yang merupakan tokoh utama di buku THUG, ketika masih duduk di bangku SMA, dan sebelum dunianya jungkir balik ketika ia menjadi seorang ayah. Maverick tinggal di Garden Heights, ketika pertempuran antar geng berlangsung sengit, terutama memperebutkan lokasi berjual beli obat terlarang. Meski ibunya tidak ingin Maverick masuk ke dalam geng, karena ayahnya sudah mendekam di penjara, Maverick tidak memiliki pilihan lain. King Lords, geng tempatnya bergabung, yang juga merupakan komunitas ayahnya, adalah satu-satunya yang bisa melindunginya dari bahaya kehidupan jalanan, yang penuh aksi baku hantam hingga tembak menembak.

Hidup Maverick berubah total saat ia mendapat kabar kalau anak laki-laki Iesha, yang awalnya disangka adalah anak King (sahabat Maverick), ternyata 100% anak Maverick, hasil hubungan kilatnya dengan Iesha. Padahal, saat ini Maverick sedang menjalin hubungan serius dengan Lisa, anak perempuan dari kalangan lebih “atas” yang keluarganya tidak setuju dengan Maverick.

Rumit banget kan?

Tapi, Concrete Rose bisa menjawab lumayan banyak pertanyaan yang timbul saat membaca kerumitan keluarga Carter, yang penuh dengan anggota keluarga half siblings, step sisters, etc etc. Dan menurut saya, meski gaya bahasa ala jalanan di Concrete Rose lebih sulit untuk diikuti dibandingkan gaya bahasa THUG, namun Concrete Rose memiliki jalan cerita yang sangat menyegarkan. Mengikuti sudut pandang Maverick, cowok jalanan 17 tahun yang bahkan tidak tahu apa yang akan ia lakukan di masa depan, namun dihadapkan pada kenyataan bahwa ia harus bertanggung jawab terhadap seorang anak yang baru lahir, yang ibunya pun menghilang entah ke mana.

Di buku ini, kita juga diajak untuk melihat transformasi Maverick yang mengubahnya menjadi ayah yang diidolakan anak-anaknya seperti yang kita baca di buku THUG. Dan transformasi ini, dengan segala up and down nya, digambarkan dengan sangat real, sangat relatable, dan sangat memikat, sehingga kita mau tidak mau rooting for Maverick dengan segala permasalahannya.

Angie Thomas berhasil membuat saya semakin penasaran dengan para penghuni Garden Heights, dan berharap suatu hari nanti ia akan melanjutkan sekuel maupun pre-prekuel dan apapun yang berhubungan dengan Garden Heights,

Rating: 4/5

Recommended if you like: THUG, and want to read more about: Black lives in the 90s, BLM movement, street gangs reality, lots of slang XD

Long Way Down by Jason Reynolds

01 Thursday Apr 2021

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ Leave a comment

Tags

african american, black history month, black lives matter, Gramedia, guns, social issues, terjemahan, verse, young adult

Judul: Long Way Down

Penulis: Jason Reynolds

Penerjemah: Mery Riansyah

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2018)

Halaman: 319p

Beli di: @HobbyBuku (IDR 60k)

Buku dengan format verse (puisi?syair?) bukanlah genre favorit saya. Tapi Long Way Down merupakan satu dari sedikit buku yang powerful dan memang pas ditulis dengan gaya verse, karena temanya yang amat kuat dan intens.

Will hidup di sebuah kota tak bernama di Amerika Serikat, yang kental dengan nuansa kekerasan, kriminal, dan senjata. Banyak teman dan kerabatnya yang meninggal akibat tertembak, baik itu karena perkelahian antar geng, atau sebagai korban tak bersalah yang berada di tempat dan waktu yang salah.

Suatu hari, Will menyaksikan kakaknya, Shawn, tewas ditembak di jalanan depan apartemen mereka. Dunianya serasa hancur, dan Will bertekad untuk membalas dendam pada orang yang menembak Shawn, sesuai dengan peraturan tak tertulis di lingkungan mereka:

  1. Menangis: Jangan.
  2. Mengadul: Jangan.
  3. Membalas dendam: Lakukan.

Namun membalas dendam bisa menimbulkan masalah baru: peluru yang meleset, menembak orang yang salah. Dan kau bisa jadi korban berikutnya.

Perjalanan Will menuruni apartemennya dengan lift selama 60 detik ditangkap melalui momen-momen intens penuh kontemplasi dan refleksi, dengan bintang tamu orang-orang dari masa lalu Will yang berusaha mengubah sudut pandangnya tentang membalas dendam. Namun apakah Will berhasil dipengaruhi oleh mereka?

Long Way Down adalah novel yang singkat, padat, dan sangat efektif. Baris-baris puisinya begitu mencekam, dan menggigit, dan setiap kali Will turun ke lantai yang berbeda, akan ada sebuah kejutan baru yang menantinya. Detik-detik yang berharga digambarkan melalui kalimat-kalimat pendek yang mendesak, yang membuat kita kerap kali ikut masuk ke dalam dilema Will. Balas dendam tapi beresiko ia terbunuh, atau merelakan Shawn tewas tanpa pertanggungjawaban.

Menurut saya, versi terjemahan buku ini cukup baik, sanggup menggambarkan intensitas dilema Will dengan pilihan kata yang puitis namun tetap efektif. Saya penasaran juga ingin membaca versi Bahasa Inggrisnya, sih, apalagi saya memang belum pernah membaca buku Jason Reynolds sebelumnya.

Buku ini juga menggambarkan secara gamblang kondisi masyarakat khususnya kulit hitam di Amerika, yang sarat akan kekerasan antar geng, penembakan yang berujung kematian, dan pembalasan dendam yang seperti membuat lingkaran setan. Miris, sedih, dan menyentuh, Reynolds membuka mata saya tentang betapa sulitnya kehidupan penduduk kulit hitam di area urban, dan betapa masifnya efek gun control yang kerap menjadi perdebatan sengit di negara tersebut.

Rating: 4/5

Recommended if you like: verse novel, Black YA literature, strong & intense plot, thought provoking reads

White Fragility by Robin DiAngelo

01 Monday Mar 2021

Posted by astrid.lim in Uncategorized

≈ Leave a comment

Tags

african american, america, black history month, black lives matter, history, non fiction, popsugar RC 2021, social issues

Judul: White Fragility: Why It’s So Hard for White People to Talk About Racism

Penulis: Robin DiAngelo

Penerbit: Penguin Random House (2018)

Halaman: 168p

Beli di: Periplus (IDR 126k)

Robin DiAngelo adalah seorang perempuan kulit putih Amerika yang berprofesi sebagai konsultan dan pembicara yang banyak membahas tentang racial diversity and inclusion, terutama di berbagai institusi di Amerika Serikat. Sejak awal buku ini, DiAngelo sudah mengklaim bahwa sudut pandangnya adalah sudut pandang seorang kulit putih Amerika, berdasarkan pengalaman dan keahliannya selama menekuninya profesinya saat ini, yang meskipun banyak menyangkut racial diversity, tetap tak lepas dari bias.

Buku ini membahas bahwa betatapun baiknya seseorang, betapapun tinggi moral yang dijunjung, setiap orang kulit putih tidak akan bisa lepas dari rasisme. Setiap orang kulit putih adalah rasis, bukan karena ia jahat, tetapi karena rasisme sudah sangat erat menyatu dalam kehidupannya (terutama di dalam konteks Amerika Serikat), atau dengan kata lain, rasisme sudah menjadi sistemik.

Tentu saja pernyataan kontroversial ini tidak diterima oleh orang-orang kulit putih, terutama mereka yang menganggap diri liberal, progresif, toleran, dan peduli dengan isu racial diversity maupun social justice. Dan sikap defensif serta denial inilah yang dikupas tuntas oleh DiAngelo, lewat bahasa yang mudah dimengerti, to the point, dan apa adanya. Karena ia adalah mantan dosen, saya suka penuturannya yang runut.

DiAngelo menjelaskan secara cukup detail tentang konstruksi sosial rasisme di Amerika Serikat, termasuk sejarah yang berawal dari perbudakan, diskriminasi orang kulit hitam, era Jim Crow, dan seterusnya. Setiap orang kulit putih mewarisi sistem ini turun temurun, yang secara tidak disadari sudah merasuk ke dalam alam bawah sadar mereka dan menyebabkan bias. Hal ini nantinya bisa terlihat dari casual racism, komentar yang tidak disengaja tapi ternyata mengandung unsur rasisme, asumsi yang diberikan pada orang kulit hitam, yang terlihat innocent padahal ternyata berakar dari rasisme tadi. White supremacy (baik di Amerika maupun di dunia) adalah nyata, dan hal mendasar inilah yang pertama-tama ingin disampaikan oleh DiAngelo.

DiAngelo juga menyinggung tentang sulitnya orang kulit putih Amerika menerima kenyataan tentang systemic racism ini, terutama karena mereka tidak ingin dianggap sebagai orang jahat, karena merasa tidak pernah membeda-bedakan teman dari rasnya, atau karena merasa sudah melakukan banyak hal baik terutama menyangkut social justice. Tapi apakah itu cukup? Ternyata tidak, karena justru tanpa mengakui adanya masalah mendasar bahwa setiap orang kulit putih merupakan bagian dari masalah rasisme di Amerika (dan dunia), masalah ini akan selalu ada dan tidak akan ada pemecahannya.

Satu hal menarik yang juga saya tangkap dari buku ini adalah konsep White Fragility itu sendiri. Saat ada gerakan seperti Black Lives Matter (BLM) yang sempat heboh beberapa tahun belakangan ini, orang-orang kulit putih (yang sudah biasa berada di zona nyaman dan aman) menjadi merasa “terancam”, seolah kedudukannya sebagai mayoritas akan digeser oleh orang-orang kulit hitam, satu hal yang sebenarnya sangat tidak mungkin. Saking sudah lamanya orang kulit putih berada dalam status mayoritas yang menikmati segala jenis privilege sejak dilahirkan ke dunia, perjuangan sekecil apapun dari kaum minoritas (terutama kulit hitam) dianggap sebagai sesuatu yang mengancam dan akhirnya menimbulkan polemik. Padahal, tuntutan BLM adalah racial equality dan inclusion. Bahwa mereka berhak mendapatkan hal-hal mendasar yang sudah dirasakan oleh kulit putih secara cuma-cuma.

Dan mau tidak mau, saya jadi membandingkan hal ini dengan kaum mayoritas di negara kita tercinta. Bahwa white fragility, meski di sini mungkin berubah namanya, memang ada di mana-mana. Kaum mayoritas dengan segala privilegenya akan merasa terancam jika ada wakil minoritas yang akan mengubah keadaan, dan mengancam kenyamanan tatanan dunia mereka. Satu hal yang patut kita renungkan bersama, dan menurut saya, akan sangat menarik jika ada penulis yang berani mengupas isu ini seperti DiAngelo berani mengupas terang-terangan perihal white fragility di Amerika.

We’ll see 🙂

Rating: 4,5/5

Recommended if you want to learn more about: racism, social justice, racial equity in America, black history, Black Lives Matter

Submitted for:

Category: A book found on a Black Lives Matter reading list

From the bookshelf

Categories

Looking for Something?

Enter your email address to follow Books to Share and receive notifications of new posts by email.

Join 1,037 other followers

Currently Reading

I’m a Proud Member! #BBI 1301004

Wishful Wednesday Meme

Fill your Wednesdays with wishful thinking =)

Popsugar Reading Challenge 2018

bookworms

  • aleetha
  • althesia
  • alvina
  • ana
  • annisa
  • bzee
  • dewi
  • dion
  • fanda
  • Ferina
  • helvry
  • inne
  • Kobo
  • maya
  • mei
  • melmarian
  • mia
  • ndari
  • nophie
  • oky
  • peri hutan
  • ren
  • Reygreena
  • sel sel kelabu
  • sinta
  • tanzil
  • tezar
  • yuska

shop til you drop

  • abe books
  • Amazon
  • better world books
  • book depository
  • BukaBuku
  • Buku Dedo
  • bukukita
  • vixxio

Top Posts & Pages

  • The Secret History
    The Secret History
  • ghostgirl
    ghostgirl
  • Daddy Long-Legs
    Daddy Long-Legs
  • A Tribute to Hercule Poirot
    A Tribute to Hercule Poirot
  • Lima Sekawan - The Series
    Lima Sekawan - The Series

Recent Comments

When the Stars Go Da… on The Paris Wife
Hapudin Bin Saheh on Insomniac City: New York, Oliv…
The Case of the Pecu… on The Case of the Left-Handed La…
astrid.lim on Lorong Waktu by Edward Pa…
nina on Lorong Waktu by Edward Pa…

Create a free website or blog at WordPress.com.

Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
  • Follow Following
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Join 1,037 other followers
    • Already have a WordPress.com account? Log in now.
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Customize
    • Follow Following
    • Sign up
    • Log in
    • Report this content
    • View site in Reader
    • Manage subscriptions
    • Collapse this bar
 

Loading Comments...