Puddin’ adalah kelanjutan buku Dumplin’ yang sudah sempat diadaptasi menjadi film Netflix. Di buku kedua ini, kisah masih berkisar seputar persahabatan cewek-cewek di kota Clover City di Texas. Bila sebelumnya Willowdean yang menjadi karakter utama, kali ini Millie (yang menjadi runner up Clover City pageant di buku pertama) yang menjadi salah satu naratornya. Namun, kisahnya juga diselingi oleh sudut pandang Callie, yang sempat nongol di buku Dumplin’ sebagai salah satu karakter antagonis.
Millie, yang sibuk merencanakan karier, sambil mencari cara untuk meyakinkan ibunya kalau ia tidak perlu ikut program diet lagi, dipertemukan dengan Callie, cewek populer yang tiba-tiba mendapat masalah besar dan dikeluarkan dari grup dance sekolah. Keduanya menjalin pertemanan yang tidak mereka duga sebelumnya, dan sedikit demi sedikit belajar memahami dan menghargai perbedaan di antara mereka.
Saya malah merasa lebih menyukai Puddin’ daripada Dumplin’. Keduanya masih mengangkat isu body positivity dan membawa suara kuat dari fat lead. Tapi Millie jauh lebih likable dibandingkan dengan Willowdean, dan permasalahan hidupnya pun lebih relatable. Selain itu, empati yang ia tunjukkan pada Callie juga membantu saya untuk bisa lebih mudah menyukai Callie, dan banter antar mereka pun terasa effortless dan menyenangkan untuk diikuti.
Julie Murphy termasuk penulis konsisten yang selalu menjadi representatif perempuan gemuk yang menormalisasi body positivity dan gerakan self love. Dan suara hari Millie tersampaikan jelas di sini, membuat saya lebih bisa memahami isu-isu yang ia hadapi sebagai remaja perempuan dengan berat badan berlebih. Diet bukanlah jawaban dari segalanya, dan ada sosok yang jauh lebih menarik dibanding facade penampilan yang kerap dinilai orang sebagai kesan pertama.
Rating: 4/5
Recommended if you like: unusual YA protagonist, romance with fat lead, relatable heroine
Seorang penulis kulit hitam (yang namanya tidak pernah disebut sepanjang buku), sedang melakukan tur keliling Amerika dalam rangka promosi bukunya yang terbaru. Namun di sela-sela turnya yang padat, sang novelis kerap dikunjungi oleh seorang anak laki-laki yang dia sebut The Kid, yang tampak amat familiar namun ia tidak ingat pernah bertemu anak itu di mana. Apakah The Kid benar-benar karakter yang nyata, atau hanya rekaan imajinasinya belaka? Sementara itu, suasana di Amerika juga kian memanas, karena banyaknya kasus kekerasan oleh polisi terhadap orang kulit hitam, yang bahkan sudah mengakibatkan kematian.
Lepas dari si novelis, kita diajak untuk bertemu dengan Soot, seorang anak kulit hitam yang tidak jelas asal-usulnya, hidup di daerah rural Amerika, dan memiliki masa kecil yang keras. Apa hubungan Soot dengan The Kid atau si novelis, menjadi tanda tanya besar yang berusaha dijawab melalui buku ini.
A Hell of a Book adalah salah satu buku dengan storytelling paling unik yang pernah saya baca – vague, dengan batas yang amat longgar antara fiksi dan realita. Karakter utamanya, meski tak bernama, namun terasa amat relatable, dan kita bisa merasakan strugglenya di masa lalu, masa kini, dan masa depan, serta hubungannya dengan racial wokeness di Amerika. Bagaimana ia menghadapi ketakutan dan kebingungannya sebagai orang kulit hitam yang sukses (namun seringkali merasa tercerabut dari akarnya sendiri), menjadi tema utama novel ini, diselingi oleh banyak adegan maju-mundur dengan karakter yang terlihat fiksional namun amat familiar.
Menurut saya, ini adalah buku yang masuk ke kategori “showing” dan bukan “telling”, memberikan ruang pada pembaca untuk menginterpretasikan sendiri makna kisah dan konflik yang dialami oleh karakter-karakternya. Plusnya adalah, tidak ada kesan judging dan preaching sedikitpun dari buku ini, meski temanya sendiri termasuk yang berat dan sensitif. Namun minusnya, terkadang saya jadi bingung sendiri, sebenarnya mau dibawa ke mana cerita buku ini, dan vagueness nya banyak menimbulkan kesan ambigu yang membuat saya ingin bertanya banyak hal pada Jason Mott XD
A great book to be discussed in a book club or with other readers, for sure.
Rating: 4/5
Recommended if you like: unusual storytelling, books with free interpretations, important issues without sounding preachy
Buku ini sepertinya menjadi buku wajib bagi siapapun yang sedang berada di tengah pergumulan hidup, khususnya mahasiswa yang sedang berjuang meraih gelar PhD.
Wallace adalah seorang pemuda gay berkulit hitam yang berasal dari Alabama. Masa lalu yang keras membuat Wallace bertekad untuk pergi jauh dari rumahnya, dan setelah berjuang sana-sini, Wallace berhasil mendapatkan fellowship untuk program PhD di salah satu universitas di area Midwest.
Namun, Wallace ternyata tidak hanya mendapatkan tantangan dari penelitian sains yang rumit, melainkan juga dari intrik dan politik kampus dan lab yang rumit. Berhadapan dengan orang-orang rasis, baik dalam kapasitas profesional di lab (termasuk advisornya yang tidak pernah merasa rasis), maupun di lingkungan pertemanan. Yang lebih membuat Wallace sedih adalah tidak ada seorang pun teman yang bisa ia andalkan untuk mendukungnya. Mereka selalu diam dan membiarkan Wallace menghadapi perlakuan casual racism tersebut, atau berpura-pura bahwa hal itu benar-benar terjadi.
Di tengah kegalauannya, Wallace kerap menimbang pilihan yang ia miliki, dan betapa menyedihkannya saat ia sadar, pilihannya tidak banyak, dan sama suramnya. Ia tidak bahagia di lingkungan akademis yang amat sulit untuk orang kulit berwarna, namun ia juga tidak mampu membayangkan harus kembali ke “dunia nyata”, setelah sekian tahun berkutat dengan eksperimen di lab, dan mengandalkan uang beasiswa untuk memenuhi biaya hidupnya.
Real Life adalah buku yang penuh isu menarik, amat relevan dengan kondisi di Amerika saat ini, terutama di lingkungan akademis. Casual racism yang terjadi, yang tampak innocent, ternyata bisa bertumpuk menjadi beban yang mempengaruhi kesehatan mental seseorang. Victim blaming juga banyak terjadi, terutama pada kaum minoritas yang dianggap tidak memiliki suara.
Namun, gaya penulisan Brandon Taylor kerap kali membuat saya agak kurang bisa menikmati buku yang masuk ke nominasi short list Booker Prize tahun 2020 ini. Kadang terlalu detail dalam menggambarkan atmosfir, namun seringkali mengulang detail tertentu (misalnya suara kicauan burung, udara panas saat summer, bau air danau), yang membuat saya bosan setengah mati.
Karakter Wallace pun digambarkan agak lemah, membuat saya jadi kurang semangat untuk mendukungnya. Apalagi beberapa keputusannya memang membuat kesal dan patut dipertanyakan. Mungkin saya memang kurang bisa berempati dengannya, sehingga tidak mengerti mengapa ia diam saja saat dituduh sebagai seorang mysoginist oleh rekan labnya yang memiliki masalah kejiwaan, alih-alih melawan dan membuktikan integritasnya. Mungkin faktor masa lalunya berkaitan erat dengan cara Wallace menghadapi masalah, namun sayangnya Brandon Taylor tidak mampu membuat saya bisa menghubungkan tragedi masa lalu Wallace dengan kondisinya saat ini, karena terlalu sibuk menuliskan detail-detail atmosfer dan metafora lingkungan yang membuat pembaca kehilangan fokus.
Bagaimanapun, Real Life tetap merupakan buku penting, Own Voice yang patut mendapat perhatian. Mudah-mudahan buku Taylor selanjutnya lebih mampu memikat saya.
Rating: 3/5
Recommended if you want to read about: academic life, Black experience, Own Voice, characters with scientific background, niche atmosphere
First of all – the cover of this book is so exquisite!! Bener-bener pas dengan tone nya yang suram, full of abandonment feeling dan being in a rotten life.
Kisahnya adalah tentang kakak beradik kembar, Jeanie dan Julius, yang hidup di sebuah desa bersama ibu mereka. Suatu pagi, mereka menemukan ibu mereka meninggal dunia, dan tiba-tiba saja Julius dan Jeanie ditinggalkan berdua, dan harus menghadapi dunia yang sebelumnya tidak pernah mereka lakukan sendiri.
Jangan membayangkan kalau Julius dan Jeanie adalah dua anak kecil tak berdaya. Sebaliknya, mereka adalah dua orang dewasa paruh baya, yang tidak memiliki cacat tubuh apapun, namun sejak masih muda, selalu berada dalam lindungan ketat ibu mereka. Jeanie dan Julius tidak diberikan bekal pendidikan, keahlian khusus baik soft skills maupun hard skills, yang bisa membuat mereka menjadi orang-orang mandiri. Jeanie selalu merasa ia lambat dalam belajar, dan jantungnya pun tak sekuat orang lain, sementara Julius amat pemalu, dan hanya bekerja sesekali saja menjadi buruh kasar bila keluarga mereka memerlukan uang.
Meninggalnya sang ibu memaksa Jeanie dan Julius untuk keluar dari zona nyaman mereka, sekaligus bersinergi untuk bertahan hidup. Namun, masalah demi masalah menghampiri mereka. Mulai dari diusir landlord dari rumah yang seumur hidup mereka tinggali, tidak punya uang untuk mengubur ibu mereka, mencari pekerjaan padahal sebelumnya tidak pernah bekerja, dan bahkan, jatuh cinta di tengah situasi yang serba tidak pasti ini, mengancam ikatan persaudaraan yang selama ini menjadi dasar kehidupan mereka.
Unsettled Ground adalah buku yang tidak panjang, hening, namun sangat menghantui, karena kisahnya yang seolah terjadi di dunia lain, sebenarnya amat dekat dengan keseharian kita. Julius dan Jeanie adalah wakil dari kaum marginal yang kadang terselip di celah-celah peradaban. Mereka tidak tinggal di lokasi terpencil, dan penduduk desa sebenarnya mengetahui kondisi kehidupan mereka. Tapi berapa banyak yang mau peduli dan rela membantu tanpa pamrih? Justru kebanyakan malah membully, atau membantu tapi dengan mengasihani mereka. Mereka lupa, Jeanie dan Julius juga manusia, yang tidak butuh charity, tapi humanisme.
Ini adalah pertama kalinya saya membaca buku karya Claire Fuller, and I’m hooked. Memang kisahnya agak lambat, dan kita harus bersabar membacanya. Tapi penggambaran karakter serta setting yang vivid membuat saya serasa berada bersama dengan Julius dan Jeanie, berempati dengan mereka, sekaligus amaze karena masih ada (dan banyak!) orang seperti mereka di dunia sekitar kita.
Unsettled Ground mengajarkan kita untuk menggali empati dalam diri masing-masing, tanpa nada yang menggurui.
Rating: 4/5
Recommended if you like: British lit, siblings and twins interaction, haunting prose, thought provoking issues
Buku ini adalah salah satu buku yang saya baca karena direkomendasikan berdasarkan buku-buku yang saya suka, salah satunya The Westing Game. Digadang-gadang sebagai versi dewasa dari kisah teka-teki seru ala Westing Game, Tuesday Mooney Talks to Ghosts tampak sesuai dengan jenis buku yang saya sukai.
Sinopsis:
Tuesday Mooney, si introvert yang lebih sering menyendiri, bekerja sebagai researcher di bagian fundraising sebuah rumah sakit di Boston. Di suatu acara fundraising, Tuesday bertemu dengan Vincent Pryce, miliarder nyentrik yang terkenal dengan keunikannya. Namun, di acara itu juga Pryce meninggal dunia secara mendadak, dan meninggalkan perburuan harta karun seru dengan hadiah warisan kekayaannya yang menggiurkan.
Tuesday ikut berburu petunjuk demi petunjuk, dan membentuk kelompok dengan sahabat gaynya, seorang anak tetangga yang cerdas, dan pewaris muda Boston yang misterius. Kegemaran Vincent Pryce akan segala hal berbau Edgar Alan Poe membuat mereka jadi ikut menyusuri kisah hidup dan rahasia sang pujangga yang terkubur di kota Boston.
Ekspektasi:
Keseruan teka-teki bertema literatur, seluk beluk kota Boston, team work yang dipenuhi oleh karakter quirky, dan twist tak terduga di bagian akhir buku.
Kenyataan:
Ada beberapa petunjuk dan teka-teki yang lumayan seru dan mengasah otak, tapi kebanyakan buku ini justru berkutat di isu refleksi terhadap para karakternya, dan bagaimana perburuan ini mengubah hidup dan cara pandang mereka. Pelajaran yang diberikan oleh Vincent Pryce ternyata bukan hanya sekadar adu kecerdasan otak dan memecahkan petunjuk, tetapi justru berpikir lebih dalam tentang makna hidup dan identitas diri masing-masing.
Bukan buku yang buruk sih, hanya saja Tuesday Mooney, tidak seperti judulnya yang menggugah rasa ingin tahu, atau covernya yang intriguing, tidak bisa dikategorikan ke dalam buku sejenis The Westing Game, dan saya agak merasa tertipu karenanya. Buku ini penuh dengan kontemplasi tentang tujuan hidup, yang meski tidak terlalu preachy, kadang membuat saya tidak sabar karena saya hanya ingin action dan misteri.
Tuesday Mooney, sebagai karakter utama yang juga muncul di judul buku, kurang bisa menarik simpati saya. Karakternya yang “tidak biasa” (nggak suka bergaya/dandan, introvert, tertutup, punya trauma masa lalu), jadi terkesan basic justru karena terlalu ditekankan “ketidakbiasaannya”. Buat saya, alangkah lebih menariknya kalau Tuesday hanyalah seorang cewek biasa, yang justru menjadi luar biasa melalui perburuan ini.
Intinya, buku ini masih menyimpan lumayan banyak keseruan, tapi keseriusannya membuatnya menjadi agak pretensius, terutama karena saya dijanjikan misteri menarik alih-alih buku penuh kontemplasi dan refleksi hidup XD
Rating: 3/5
Recommended if you want to read about: treasure hunts, Boston, quirky characters, clues and mysteries, a bit of absurd plot.
Saya jatuh cinta berat dengan Riley Sager saat membaca Home Before Dark tahun lalu, dan langsung berniat membaca semua bukunya yang lain. Final Girls, meski tidak sefenomenal Home, tetap memiliki keseruannya sendiri.
Final girls merujuk pada sebutan untuk beberapa perempuan yang menjadi korban kejahatan pembunuhan massal, namun berhasil menjadi satu-satunya penyintas. Quincy adalah salah satu dari final girls yang berhasil selamat dari pembunuhan massal yang terjadi saat ia dan teman-temannya berlibur di sebuah kabin. Quincy memblok memorinya akan apa yang terjadi di malam naas itu, dan ia tergantung sepenuhnya dengan Xanax untuk bisa melanjutkan hidupnya.
Kini Quincy tinggal di New York, bersama pacarnya Jeff, dan mendedikasikan hidupnya untuk website bakingnya. Satu-satunya yang masih menghubungkannya dengan tragedi masa lalunya adalah Coop, polisi yang menyelamatkan hidupnya dan menjadi tempat curhat Quincy saat mengalami hari yang buruk.
Ketenangan hidup Quincy terusik saat salah satu Final Girls lain, Lisa, ditemukan meninggal dunia secara misterius, dan Sam, Final Girl yang selama ini menghilang, tiba-tiba muncul di depan apartemen Quincy. Quincy pun terpaksa mengingat kembali peristiwa mengerikan yang terjadi bertahun-tahun lalu, terutama karena ia sadar nyawanya pun terancam bahaya.
Final Girls adalah salah satu buku thriller pertama yang ditulis oleh Riley Sager, dan memang, tone serta gaya menulisnya belum se-mature buku-buku setelahnya, terutama Home Before Dark. Tapi Final Girls tetap seru untuk dinikmati dan memiliki elemen-elemen yang penting untuk buku thriller sejenis. Karakter yang misterius, narator yang unreliable, setting yang spooky, berbagai twist dan turn yang agak bisa sedikit tertebak tapi masih tetap mengejutkan. Sager sendiri mengaku sangat menyukai film dan kisah pembunuhan/slasher yang marak di tahun 90an seperti Scream dan I Know What You Did Last Summer, dan nuansa slasher tersebut terasa cukup jelas di buku ini.
Now I will just read whatever Sager writes, and fortunately, there are still quite many of them because he is such a productive writer 🙂
Rating: 3.5/5
Recommend if you like: suspense, unreliable narrator, 90s slasher movie vibes, twisted ending
Representasi tokoh bookworm dalam sebuah cerita adalah hal yang penting. Tidak ada yang lebih menyenangkan selain membaca buku dengan karakter utama seorang booknerd, sama seperti kita, sang pembaca. Dan Nina Hill, awalnya, terasa sangat relatable.
Nina mencintai buku dan tidak bisa hidup tanpa buku. Ia tinggal di sebuah suburb asri dan menyenangkan di pinggir kota Los Angeles, yang terkenal dengan komunitas para pencinta seni dan budaya.
Nina bekerja di sebuah toko buku, dan meski awalnya ia hanya menganggap pekerjaannya sebagai batu loncatan, lama kelamaan ia malah merasa sangat betah dan mencintai pekerjaannya. Ibu Nina adalah seorang fotografer terkenal yang sibuk melanglang buana, dan ia tidak mengenal ayahnya – yang memang out of the picture sejak ia lahir.
Karena memiliki anxiety yang lumayan akut, Nina selalu mencari jalan yang aman dalam hidupnya: tinggal dan bekerja di lingkungan yang familiar, dan sebisa mungkin menghindari konflik sehingga lebih baik tidak usah terlibat dalam hubungan percintaan yang serius.
Nina amat senang merancang hari-harinya dan selalu memiliki agenda untuk setiap kegiatannya, karena ia amat membenci hal-hal yang tidak terduga. Namun, suatu hari dunianya serasa jungkir balik saat ia menerima kabar kalau ia memiliki keluarga yang tidak pernah ia kenal sebelumnya dari pihak ayahnya. Ditambah lagi, saat yang bersamaan, ada seorang cowok yang masuk dalam hidupnya.
Nina Hill adalah kita, para pembaca yang mengaku introvert, nerd, geeks, yang menyukai trivia dan buku, dan bisa diajak mengobrol tentang berbagai hal dalam kehidupan, tapi langsung membeku saat harus menghadapi orang banyak yang tidak dikenal.
Nina menjanjikan kisah yang sangat relatable – dan itulah harapan saya saat membaca buku ini. Hanya saja, ternyata kenyataannya tidak sesempurna itu. Nina memang (tampak luar) terlihat seperti sahabat kita semua. Tapi lama kelamaan, saya agak jengah dengan kebiasaannya menjudge orang (terutama yang tidak suka membaca buku), yang merasa paling benar, dan bahkan cara dia memperlakukan orang-orang di sekelilingnya. Saya juga tidak bisa relate dengan kisah cinta serba instan yang sepertinya amat di luar karakter Nina sendiri, dan lumayan banyak menghabiskan bab-bab buku ini.
Tapi yang paling mengganggu saya sepertinya adalah generalisasi yang seringkali dibahas dalam buku ini, baik melalui karakter bookworm dan nerd (oh, all booklovers love cats!), karakter yang tidak suka membaca, dan terutama – karakter-karakter yang menjadi keluarga Nina. Seringkali Nina berasumsi karena mereka menyukai hal yang sama, maka tak heran mereka memiliki hubungan darah. “Oh, you like trivia? Me too! No wonder we’re family”. This is soooo…far from real life. Kadangkala, justru anggota keluarga terdekat kita adalah orang-orang dengan sifat dan kesukaan yang sama sekali berbeda dari kita. Inilah yang menyebabkan saya tidak bisa relate dengan kisah Nina, terutama yang berhubungan dengan keluarga barunya.
Saya juga merasa buku ini terlalu lama dan bertele-tele membahas hubungan Nina dengan Tom, si cowok idaman yang sebenarnya tidak jelas juga ujung pangkalnya bisa menarik perhatian Nina, kecuali dari sisi fisik XD
As a concept, I like this book. Tapi eksekusinya sepertinya kurang cocok untuk selera saya. Gaya menulis yang terlalu sarkastik dan berbau joke kekinian juga membuat saya tidak hanya embarrased for Nina, but also for myself, haha.. Anyway, a cute little book, but don’t expect too much from it.
Rating: 3/5
Recommended if you like: cute little romance, sometimes relatable but inconsisten characters, bookish setting, bookshop story, trivia stuff
Membaca buku bestseller atau yang sudah menang berbagai penghargaan memang agak sulit, karena kita biasanya sudah terpengaruh bias yang ada. Kita jadi agak memaksakan diri untuk menyukai buku tersebut, meski mungkin dalam hati kita bertanya-tanya mengapa semua orang begitu memuja buku ini, sementara kita tidak merasakan hal yang sama? What is wrong with me? Terutama, kalau buku yang dimaksud mengupas hal-hal penting dan memang memiliki pesan yang relevan.
Itulah sekelumit yang saya rasakan saat membaca Such a Fun Age, buku yang sudah membuat saya penasaran sejak terpilih jadi salah satu bacaan Reese’s Book Club, dan menggondol berbagai jenis penghargaan. Premisnya sangat menarik: Emira Tucker, perempuan kulit hitam berusia pertengahan 20-an, tinggal di Philadelphia dan bekerja paruh waktu sebagai baby sitter keluarga Alix Chamberlain yang berkulit putih. Suatu malam, saat keluarga tersebut mendadak mengalami kejadian tak terduga, Emira diminta untuk sejenak membawa keluar Briar, anak perempuan Alix, ke supermarket dekat rumah mereka, Tapi karena sudah hampir tengah malam, dan Emira -yang baru pulang dari pesta- memakai baju yang tidak seperti babysitter, kehadiran mereka mulai mengundang kasak-kusuk, dan memuncak ketika seorang ibu kulit putih memanggil security untuk memastikan Emira tidak menculik Briar.
Things are escalating quickly setelah kejadian itu – Emira yang panik jadi bersikap defensif, dan ada seorang laki-laki (yang sedang belanja) sibuk merekam kejadian tersebut dengan kameranya. Sementara itu, sang security dan si ibu yang curiga menginterogasi Emira tanpa sebab yang jelas (well, sebabnya jelas bagi mereka – Emira yang berkulit hitam bersama dengan Briar, anak perempuan kulit putih dari keluarga kaya – mengundang kecurigaan besar).
Setelah adegan yang emosional dan sarat akan makna ini, saya bersiap untuk menghadapi perjalanan panjang bersama Emira untuk mencari makna racial equality. Dan memang, berbagai isu terkait rasisme di dunia modern Amerika Serikat banyak dibahas dalam buku ini. Casual racism, prejudice, white fragility, racial fetishism, adalah beberapa hal yang sehari-hari dialami oleh Black people di sana, dan sudah dianggap sebagai makanan sehari-hari. Bagaimana Alix yang bermaksud baik (namun dengan motivasi yang patut dipertanyakan) ingin menolong Emira, namun tanpa benar-benar memahami dari mana Emira berasal dan apa yang dialaminya sehari-hari.
Ada juga Kelley Copeland, cowok kulit putih yang tertarik dengan Emira, namun ternyata masa lalunya menyimpan rahasia yang tidak disangka-sangka.
Buku ini ingin menggambarkan bahwa rasisme bisa terjadi bahkan dari hal paling kecil sekalipun, dari setitik joke tak berdosa atau lirikan spontan yang mengandung prejudice dari alam bawah sadar. Rasisme sudah menyatu dengan diri kita, dan terutama orang-orang kulit hitam (di Amerika) yang selalu menjadi korbannya. Saya mengerti pesan yang ingin disampaikan buku ini, dan menurut saya sangat relevan dengan kenyataan yang ada di Amerika, terutama saat dan setelah masa pemerintahan Donald Trump.
Tapi, menurut saya, buku ini ditulis dengan agak berantakan – banyak sekali momen-momen awkward dan selingan tak penting yang muncul di antara isu-isu penting yang dibahas. Entah karena memang seperti itu gaya menulis Kiley Reid (ini adalah novel debut nya, jadi tidak ada buku lain yang bisa dijadikan perbandingan), atau karena ia ingin kita benar-benar masuk ke dalam dunia Emira sehingga mengedepankan beberapa detail yang terasa kurang perlu? Entahlah, tapi saya merasa agak lelah membaca buku ini, karena gaya penulisannya menurut saya kurang sesuai dengan isu yang ingin disampaikan.
Satu hal lain adalah tidak adanya karakter yang bisa membuat saya simpati. Bahkan Emira pun, dengan segala permasalahannya, membuat saya sebal, karena ia sebenarnya memiliki potensi untuk membuat perubahan dalam hidupnya (teman-temannya yang PoC semuanya memiliki karier dan kehidupan yang lebih memuaskan), tapi memang karakternya tidak ingin berkembang, membuat saya menjadi gemas setengah mati. Dan ending buku ini benar-benar membuat saya memutar bola mata XD
Anyway, ini bukan pertama kalinya saya merasa pandangan saya berbeda dengan pandangan mayoritas pembaca buku. Saya mengalami kesan serupa saat membaca Little Fires Everywhere, dan saya bahkan sempat membahas hal ini dengan detail saat mereview buku Me Before You. It’s ok to feel different, it’s ok to not like what everyone else likes. You don’t need validation for your opinions and feelings of a book 🙂
Rating: 2.5/5
I’d still recommend this book if you’re looking for books about: social issues, racism in America, debut novel with different topic, complicated take on casual racism, Reese’s Book Club pick
Queenie bukanlah karakter yang mudah disukai. Itu kesan pertama saya saat membaca buku ini. Sebagai karakter utama sekaligus narator yang juga menjadi judul buku ini, kita diajak melihat kehidupan Queenie secara detail. Namun kadang susah sekali bersimpati padanya, terutama karena keputusan-keputusan buruk yang diambilnya, yang membuat hidupnya tak terkontrol.
Tapi untuk bisa memahami Queenie, kita harus memahami situasinya terlebih dahulu. Dan inilah menurut saya yang menjadi kekuatan utama buku ini. Kita diajak menelusuri latar belakang kehidupan Queenie yang membentuknya menjadi pribadi yang sulit percaya dengan orang lain, selalu berpikiran negatif, self destruct, dan selalu mengambil keputusan yang buruk.
Queenie adalah keturunan imigran dari Jamaica yang bermukim di London. Meski sudah lahir di Inggris, Queenie tetap tidak pernah merasa “belong”, dan selalu mengalami diskriminasi, baik yang terang-terangan ataupun tersembunyi. Banyak orang yang masih menganggapnya warga kelas dua, tidak layak mendapat perlakuan yang sama dengan orang-orang kulit putih, dan bahkan di tempat kerjanya pun Queenie sering dimasukkan kategori “pemenuh kuota”, tanpa dianggap serius oleh bosnya.
Hidup Queenie semakin tak terkendali setelah ia berpisah dengan pacarnya, Tom, dan meyadari kalau ia tidak bisa menghadapi kesendirian. Ia banyak terlibat dengan cowok-cowok hasil bertemu di dating apps, dari mulai yang tidak jelas sampai yang abusive. Queenie seperti membenarkan pendapat semua orang yang menganggap ia tidak layak mendapatkan kebahagiaan, sehingga ia perlahan-lahan menghancurkan hidupnya sendiri.
Buku ini memiliki banyak tema yang ingin diangkat, dari mulai diskriminasi, casual racism, Black Lives Matter, abusive relationship dan sexual harassment, hingga mental health dan bagaimana budaya konvensional masih memandang aneh terapi. Beberapa bagian buku ini terasa cukup real, membuat saya bertanya-tanya apakah memang dialami sendiri oleh sang penulis, tapi ada beberapa bagian yang terasa agak dipaksakan dan hanya menjadi sempalan belaka, misalnya saat Queenie tiba-tiba menjadi woke dan ikut serta marching Black Lives Matter, tapi tidak jelas juga apa siginifikansinya terhadap keseluruhan cerita.
Saya suka beberapa karakter di buku ini, terutama Darcy, teman Queenie yang super naive, serta Diana, sepupu Queenie yang amat gen-Z. Yang juga saya suka adalah penggambaran kehidupan POC di London, yang meski sedikit mirip kondisinya dengan di Amerika, tapi lebih jarang diekspos dan dibahas lebih lanjut. Casual racism lebih banyak terjadi, di mana orang-orang masih denial tentang isu rasisme di negara tersebut.
Sepertinya Queenie sedikit banyak merupakan penggambaran hidup Candice Carty-Williams, setidaknya dari sisi profesi, latar belakang budaya dan usia – jadi saya rasa memang banyak kisah yang diambil dari kejadian nyata yang dialami langsung oleh Carty-Williams. Namun kadang beberapa isu yang dipaksakan tadi agak membuat buku ini kehilangan fokus, dan banyaknya keputusan buruk yang diambil oleh Queenie membuat kita makin sulit relate dengannya, karena – when will enough be enough? Banyak adegan cringey yang membuat saya ingin menskip beberapa halaman saking sebalnya dengan Queenie.
Tapi bagaimanapun, this is a good book, written pretty well even though a bit all over the place, dan yang pasti, memberikan sudut pandang yang cukup segar tentang isu rasisme dan immigrant live di Inggris.
Rating: 3.5/5
Recommended if you want to read about: racism in London, modern relationship, own voice story, British dry humor, disaster dating stories, insight Black culture.
Mae Yu: pengusaha perempuan yang ambisius, latar belakang keluarga membuatnya sangat ingin membuktikan dirinya bisa sukses. Ia mempertaruhkan kariernya ketika menggolkan ide Golden Oaks pada bosnya. Industri fertilitas yang menjadi tempat para perempuan muda (kebanyakan imigran) menjadi surrogate bagi wanita kaya raya yang ingin memiliki anak tapi tidak bisa (atau tidak mau) hamil. Dan ketika seorang klien VVIP ingin mempunyai bayi melalui fasilitas Golden Oaks, Mae merasa inilah kesempatan yang sudah ia tunggu-tunggu.
Jane: perempuan muda imigran dari Filipina, berusaha mencari kehidupan yang lebih baik di Amerika. Keputusan demi keputusan yang tidak bijaksana kerap kali membelokkan hidupnya ke arah yang tidak ia inginkan. Bayi mungil perempuan, perceraian dengan suaminya, serta kebutuhan ekonomi yang mendesak, membuat Jane harus mengambil keputusan yang akan mengubah hidupnya selamanya. Apakah Golden Oaks merupakan jawaban atas mimpi-mimpinya selama ini?
Aunt Ate: wanita imigran asal Filipina, kerabat Jane satu-satunya di Amerika yang masih peduli padanya. Ate cukup sukses meniti karier sebagai Nanny sekaligus makelar yang memasok para imigran bekerja di keluarga-keluarga kaya dan elite di New York. Namun sampai kapan ia bertahan, dan apakah mungkin suatu hari ia bisa pulang ke Filipina untuk berkumpul dengan anak-anaknya?
Reagan: gadis muda Amerika dari keluarga privilege yang masih mencari arti hidupnya. Ia ingin melakukan sesuatu yang bisa menolong orang lain, bahkan mengubah dunia. Dan ketika ia memutuskan untuk menerima tawaran Golden Oaks, ia tidak membayangkan pengalaman yang akan ia peroleh.
The Plot:
The Farm merupakan buku unik yang menggabungkan beberapa isu penting ke dalam plotnya, Isu imigran dan American dreams dikupas di sini, terutama bagi para imigran perempuan yang berasal dari Filipina. Mungkin karena penulisnya, Joanne Ramos, masuk ke kategori tersebut.
Yang juga unik adalah ide tentang pusat fertilitas dan surrogate mothers. Banyak alasan mengapa orang memilih untuk memiliki anak lewat metode surrogate. Namun yang dibahas di The Farm adalah pilihan yang dimiliki oleh orang-orang kaya (dengan aset mereka yang tak terbatas) serta bagaimana keinginan-keinginan mereka bisa tercapai dengan memanfaatkan siapapun, terutama orang-orang yang tidak seberuntung mereka baik dari segi ekonomi maupun pendidikan.
Kebanyakan perempuan muda yang bekerja di Golden Oaks sebagai surrogate mother adalah kaum imigran yang tidak memiliki pilihan lain dalam hidupnya. Mereka hanya ingin pekerjaan dengan bayaran besar yang bisa memperbaiki bahkan mengubah kehidupan keluarga mereka. Namun bagi orang-orang kaya yang menyewa jasa mereka (serta bagi pengusaha seperi Mae), mereka hanyalah semacam sapi perahan yang habis manis sepah dibuang.
My thoughts:
The Farm merupakan jenis buku yang memiliki premis menarik, tapi entah mengapa eksekusinya terasa berantakan dan kurang nendang. Ada kesan ingin menjadikan buku ini semacam thriller, apalagi pengalaman Jane dan teman-temannya di Golden Oaks, dengan aturan ketat dan klien misterius, seolah menjanjikan adanya plot konspirasi rahasia, kegiatan ilegal dan ending yang mengejutkan. Tapi entah mengapa, Ramos seolah enggan membawa The Farm ke arah sana, dan hanya menggantungkan plot tersebut setengah hati.
Yang ada, The Farm jadi terasa setengah matang. Thriller bukan, science fiction juga bukan. Kisah imigrannya memang menarik, dan banyak sisi moral dan etika bisnis yang dibahas di sini. Tapi yang mengejutkan, endingnya menurut saya kok malah tidak memihak pada kaum imigran ya… Apakah ini cara Ramos membuat cerita yang lebih realistis? Atau justru satire dan ingin menyindir sistem di Amerika yang saat ini sangat tidak berpihak pada imigran?
Entahlah. Yang pasti, buku ini menurut saya kurang kena dengan harapan saya. Tapi mungkin juga karena ini memang novel debut Ramos, yang sebelumnya berprofesi di bidang ekonomi dan finansial.