Penulis: Jojo Moyes
Penerbit: Penguin Books (2012)
Halaman: 503p
Pinjam dari: Mia
Salah satu perasaan paling menyedihkan adalah ketika kita membaca sebuah buku yang dipuja-puji orang banyak dan berharap akan ikut memuja-mujinya juga, lalu mendapati kenyataan kalau kita tidak menyukainya. Memang benar selera itu berbeda-beda, tapi tetap saja ada perasaan tidak rela dan tidak berdaya saat kita sadar sudah menjadi minoritas.
Apa ada yang salah dengan selera kita? Dan tidaklah heran kalau kita jadi sedikit terobsesi, berusaha menggali lagi apa yang terlewatkan, mencari-cari apa yang disukai orang dan tak terlihat oleh kita- dan pada akhirnya setelah putus asa, mulai mencari “teman senasib”- atau orang yang kebetulan memiliki selera yang sama dengan kita, untuk kemudian “menjustifikasi” anomali selera baca kita.
Hal inilah yang terjadi padaku setelah membaca Me Before You. Hampir semua review memuji buku ini, bintangnya di Goodreads juga sangat tinggi. Jadi tidak salah kalau ekspektasiku saat membaca buku ini memang sedikit berlebihan. Dan mungkin, ini juga yang menyebabkan kekecewaanku jadi sedikit lebih dalam.
Premis buku ini sebenarnya menarik: kisah romance ala Nicholas Sparks, dengan karakter utama perempuan (yang sedikit loser dan tidak memiliki rencana hidup yang jelas), diterima bekerja sebagai pendamping seorang laki-laki kaya raya yang menderita quadriplegic (kelumpuhan) akibat ditabrak sepeda motor.
Tidak perlu seorang jenius untuk menebak ke arah mana kisah ini akan berlangsung. Ditambah kenyataan kalau Lou Clark (sang karakter utama) tidak memiliki hubungan yang harmonis dengan pacarnya (yang lebih menyukai olahraga lari dibanding pacarnya sendiri- and I didn’t blame him for this!). Oh, dan meski ada embel-embel quadriplegic, karakter Will Traynor juga sebenarnya tipikal banget, cowok ganteng kaya-raya yang dulunya memiliki hidup sempurna dan sekarang merasa depresi karena kelumpuhannya. Sikapnya yang awalnya sangat bermusuhan tentu saja lama-lama melembut menghadapi Lou si gadis desa biasa yang tidak punya kelebihan apa-apa 🙂
Konflik muncul saat Will memutuskan ingin mengakhiri hidupnya secara legal (melalui fasilitas euthanasia di Swiss) dan Lou diharapkan oleh keluarga Will untuk dapat mencegah hal ini. Berhasil atau tidaknya usaha Lou, buatku tidak terlalu penting lagi, karena aku sudah kehilangan minat mengikuti kisah ini.
Salah satu hal terpenting bagiku saat membaca buku semacam ini adalah bagaimana aku bisa relate dengan karakter-karakternya. And, sadly to say, I can’t sympathized with Lou that much. Oke, dia punya trauma masa lalu (yang sebenarnya juga terjadi karena kebodohannya), dan dia minder berat karena punya adik perempuan yang jenius- but, c’mon, grow up a little would you Lou? Masa di usia 26 tahun, dia masih rebutan baju dengan adiknya dan ribut menentukan siapa yang menempati kamar lebih besar? Meh.
Oh, dan kayaknya banyak juga kok orang yang punya kakak atau adik yang lebih sempurna, tapi hal itu tidak menjadi justifikasi mereka untuk bertindak tolol dan kekanak-kanakan. Lebih parah lagi, Moyes juga kurang konsisten menggambarkan karakter Lou. Setelah digambarkan sebagai cewek yang go with the flow, tidak punya rencana masa depan, belakangan Lou malah digambarkan berbeda. Simak sedikit kutipannya:
“For the first time in my life I tried not to think about the future. I tried just to be, to simply let the evening’s sensations travel through me” (p418)
Lah bukannya dari awal juga dia sudah tidak pernah memikirkan masa depan? Gimana sih? Kok malah dibilang “for the first time in my life…”
Aku juga tidak bisa bersimpati pada Will- simply said, despite everything he’d been through, permintaannya agar orang tuanya setuju ia melakukan euthanasia agak terlalu berlebihan dan egois buatku. Tapi memang konflik inilah yang ingin diangkat Moyes dan setidaknya dalam hal ini ia cukup berhasil menimbulkan polemik.
Ada beberapa bagian percakapan yang lumayan menghibur sebenarnya, dan di beberapa bagian, karakter Lou cukup bisa memancing tawa. So this book is not really bad at all. Tapi juga tidak bisa membuatku bilang “Wow”.
Jadi apakah moodku memang tidak cocok saat membaca buku ini (mood berperan penting banget terutama saat membaca buku romance yang memang bukan merupakan genre favoritku), atau harapanku yang terlalu tinggi, atau ini sekadar not my cup of tea? I don’t really know. But this book reminds me that every person is different, we have different minds and perspectives and everyone is entitled to have their own opinions. And that, my friend, is the beauty of reading 🙂
althesia said:
wiiihhhh…pertama kali baca review dengan perspective yang beda tentang buku ini, so aku jadi pengen cepet-cepet baca juga, tapi sayang belum nyampe juga dari yes24 *semoga bakal nyampe*
jadi deg-degan nih..aku bakal suka apa gak ya..soalnya sama denganmu mba..romance is not my cup of tea juga sih, jadi seringnya agak kesulitan menikmati genre yang satu ini
astrid.lim said:
hehehe nanti aku baca reviewmu yaaa…siapa tau kamu suka lis 🙂 tapi moodnya harus disetel dulu jadi romantis ya ;p
miamembaca said:
Hahaha, yap, kadang gitu juga, jadi ragu yang lain kasih bintang 5, sini ngasih 2. Aku yang salah apa gimana yak ;))
The beauty of readin it is 😉
Memang berantem baju dan kamar itu nggak banget deh, Trid! ;p
astrid.lim said:
muahaha makasih miaaa udah meminjamiku 🙂
Aleetha said:
waaah ini buku yang direkomendasi ma sulis. Tetep balik ke selera masing-masing lagi.
Dan bukan pertama kali ya nemu book hype macam ini. Tapi setidaknya jadi tahu gimana isi bukunya.
astrid.lim said:
Betul, hehe selera orang emang beda2 ya, jd nggak ada buku yg generally disukain semua orang 😀 tapi cobain aja al, siapa tau kamu suka..
Lulu said:
aku juga gak bisa bilang novel ini “wow”. Banyak yang nangis waktu baca novel ini, aku nggak, hehe… Tapi aku tetep suka, bukan karena romance-nya, tapi lebih karena dapat pengetahuan soal beberapa hal, seperti quadriplegic dan fasilitas eutanasia di Swiss. sampai-sampai waktu selesai baca aku masih penasaran dan googling soal hal-hal itu.
Yap, masalah selera memang beda-beda. 🙂
astrid.lim said:
betul Lu, topiknya sebenernya menarik banget, terutama tentang orang2 yang eutanasia…aku masih kasih 3 bintang kok buat buku ini 🙂 karena isinya yang gak biasa…cuman agak ilfil sama romancenya aja hahaha
helvry said:
waah gitu yaah..sepertinya buku ini rame banget dibahas 😀
kalau gitu cari judul me beside you lah, hihihi
astrid.lim said:
hoahahaha me beside you? ciyeeeeee ;p
Lina said:
mau comment tp berhati-hati ga injak ranjau spoi. Jadi baca ripiu kak Astrid cuma yg section ‘pengakuan’ nanti kalau udah baca bukunya baru saya baca review penuh 😀 walau yg bagian comment udah bikin sy menduga kemana arah ceritanya.
Iya kak Astrid, saat kita jadi yg minoritas, pasti pengen cari yg lain untuk ‘pembenaran’.
Jadi inget Divergent, byk yg bilang bagus, tapi menurut saya (IMO doank) agak overrated.
Rencana ini buku, mau saya baca untuk November (november temaku semuanya sicklit mulai dari MBY, TFIOS, Wonder, TWM, moga2 gak bosan 😐 )
penasaran, nanti saya masuk ke kategori mayor atau minor 😛
astrid.lim said:
hihii iya aku berusaha ngga ada spoiler tapi maap kalo masih sedikit kelepasan ;p divergent aku padahal baruuu mau baca lin 🙂 let me know ya kalo udah baca me before you 🙂
Lina said:
sudah selesai bacanya. Iya sih, karakternya kurang asyik dan bikin kurang enjoyable bacanya.
My Review: http://lady-storytelling.blogspot.com/2013/11/book-review-me-before-you-sebelum.html
astrid.lim said:
hihihi meluncuuuuuur
Ren said:
Gapapa Mbak Astrid.. aku sering banget jadi minoritas (kayak review Mahogany Hillsku, wakakakak), sama selera bacaku yang aneh pisan 😛
Aku sampe sekarang juga ga baca – baca ini “Me Before You”, aku termasuk yang alergi sama buku yang banyak dibicarakan orang, soalnya suka kejadian ekspektasi tinggi sih, huhuhu :’)
Kayaknya aku pinjem aja deh, hehehe
astrid.lim said:
hahaha bener ren, jadi minoritas itu bikin stress tapi namanya juga selera ya 🙂 iya, aku juga jarang baca yg lagi dipuja puji org, biasanya nunggu hype nya mereda dulu biar rada netral 🙂
Miss ZP said:
Huah, overrated book, ya?
Aku termasuk yang baca buku karena penilaian orang atau karena rame dibicarain juga, jadi inget sama Pintu Harmonika yang entah kenapa mengecewakan aku padahal ditulis penulis kesayangan. Mungkin karena emang udah ekspetasi tinggi duluan ya, bener 🙂
Aku masih belum baca buku ini, jadi penasaran pengen cepetan baca, tapi.. *lirik timbunan*
Dia ketebelan sih, hehhe..
Thanks for sharing kak, iya, jadi minoritas itu gak enak dan bikin bingung sendiri, tapi kan tetep, tiap buku punya pembacanya sendiri 🙂
astrid.lim said:
aku juga pingin pintu harmonika tapi jadi agak ragu chei hahaha…memang ekspektasi nggak bole terlalu tinggi kali yaaa 🙂
lustandcoffee said:
Nggak semua buku rating tinggi dan dirave pembaca masuk selera kita sih. Kadang buku dari genre yang kita suka aja banyak yang kurang ngena pas dibaca sih.
Ngakak bagian quote “for the first time in my life…”
astrid.lim said:
bener yus, kadang masih suka ngerasa bingung kalau rating kebanyakan ga sesuai dengan selera kita 😀
dianmayy said:
Saya juga sama kayak kak Astrid. Berkali-kali saya ikut berbagai giveaway di media apapun yang menghadiahi novel ini hanya untuk ikut merasakan euforia orang-orang di Twitter dan Goodread yang bilang kalo bukunya keren.
Tapi setelah baca review kak Astrid, saya jadi ragu.
Eh?
Mungkin saya gak akan beli. Pinjem saja dulu.
Kalo suka, nanti baru dibeli. 🙂
astrid.lim said:
hehehe memang selera orang beda2 ya, nggak ada yang bener dan salah 🙂
Peri Hutan said:
hihihi baru baca review mbak astrid, kalau bicara soal selera udah nggak bisa diganggu gugat, hukumnya harga mati 😀 karena kita nggak bisa memaksakan orang lain untuk suka :))
astrid.lim said:
hihi bener lis…dan kayaknya emang tergantung mood juga sih. mungkin pas aku baca moodnya beneran lagi gak cocok 😀
Pingback: Brace Your Self to Say It! | Me: Book-admirer
Pingback: Opini Bareng Ekspektasi: Hello Hype! | books to share
Pingback: Such a Fun Age by Kiley Reid |