• About this blog
  • Clearance Sale!
  • Newbery Project
  • Popsugar Reading Challenge 2023
  • Previous Challenges
    • BBI Read and Review Challenge 2017
    • Challenges 2014
    • Challenges 2015
    • Lucky No.14 Reading Challenge
    • Lucky No.15 Reading Challenge
    • POPSUGAR Reading Challenge 2017
    • Popsugar Reading Challenge 2018
    • Popsugar Reading Challenge 2020
    • Popsugar Reading Challenge 2021
    • Popsugar Reading Challenge 2022
    • What’s in a Name 2018
    • Twenty-Ten Challenge
    • Challenges 2012
    • Challenges 2013
  • Round Ups
  • The Librarian

~ some books to share from my little library

Tag Archives: dramatic

China Rich Girlfriend (Kekasih Kaya Raya) by Kevin Kwan

20 Friday Oct 2017

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 3 Comments

Tags

asia, bahasa indonesia, bbi review reading 2017, chicklit, culture, dramatic, Gramedia, series, terjemahan

Judul: China Rich Girlfriend (Kekasih Kaya Raya)

Penulis: Kevin Kwan

Penerjemah: Cindy Kristanto

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2017)

Halaman: 456p

Beli di: Bukukita.com (IDR 83,300)

Melanjutkan buku pertamanya, Crazy Rich Asians, Kevin Kwan langsung tancap gas di sekuel berjudul China Rich Girlfriend ini.

Rachel Chu dan Nick Young, pasangan yang menghadapi kegilaan keluarga kaya raya Singapura di buku sebelumnya, kini sedang mempersiapkan pernikahan mereka meski ditentang oleh keluarga Nick yang masih menentang hubungan mereka akibat status sosial Rachel yang dianggap tidak sederajat.

Namun jangan sangka setelah pernikahan mereka, drama akan mereda begitu saja. Rachel tiba-tiba mendapatkan informasi tentang identitas ayah kandungnya yang misterius, yang -surprise,surprise- ternyata adalah salah satu orang terkaya di China.

Maka Rachel (dan Nick) terseret ke dalam kehidupan gemerlap para orang kaya China, yang amat berbeda dengan keluarga Nick yang merupakan orang kaya lama bahkan bisa dibilang keluarga aristokrat yang amat menjaga privasi mereka. Orang-orang kaya di Shanghai sebaliknya, adalah orang-orang kaya baru yang hidup jor-joran, gemar akan publisitas dan tak segan menghamburkan uang untuk barang bermerek atau liburan mewah, yang kadang meski mahal tapi sebenarnya tidak berkelas.

Rachel berusaha untuk mengenal ayahnya lebih jauh namun ternyata banyak intrik keluarga maupun politik yang harus ia hadapi, terutama dari istri ayahnya yang merasa terancam dengan kehadiran Rachel.

Munculnya tokoh-tokoh baru, terutama Colette Bing, si sosialita Shanghai yang follower sosial medianya mencapai jutaan, menambah keseruan buku ini.

Sementara itu, Kwan tidak melupakan tokoh-tokoh yang ia perkenalkan pada kita di buku pertama. Ada sosok Astrid Leong, sepupu Nick yang di buku sebelumnya diceritakan bermasalah dengan suaminya yang selalu merasa minder karena tidak berasal dari keluarga kaya. Namun suatu keberuntungan mengubah nasib Michael dan kini ia merupakan salah satu pengusaha sukses di Singapura. Tapi itu bukan berarti masalah Astrid akan berakhir..

Buku kedua ini masih tetap seru, juicy dan penuh intrik yang membuat penasaran seperti di buku pertama. Kwan masih tetap piawai meramu plot yang luar biasa serta karakter-karakter heboh yang menghasilkan kisah penuh kejutan yang memorable.

Namun menurut pendapat saya, kualitasnya juga jadi agak seperti sinetron yang over dramatis. Terlalu banyak kebetulan dan kejadian fantastis yang dipaksakan hanya supaya muncul twist dan kejutan yang tak diduga. Yang sebetulnya sih tidak apa-apa mengingat genre buku ini memang masuk ke area chicklit yang ringan dan dinamis- tapi kadang saya merasa beberapa subplotnya terlalu berlebihan.

Syukurlah Kwan bisa mempertahankan karakter-karakter utamanya sehingga tidak terlalu keluar dari jalur dan masih dapat disukai dengan cukup mudah. Bagaimanapun, Kwan tetap berhasil membuat saya penasaran untuk melanjutkan drama orang-orang kaya Asia ini ke buku selanjutnya!

Whats next?

Buku terakhir dari trilogi ini sudah diluncurkan bulan Mei lalu, namun versi terjemahan terbitan Gramedia belum keluar. Saya sendiri karena sudah telanjur membaca serial ini dalam versi terjemahan, menahan diri untuk tidak membeli buku ke-3 dan memilih menunggu terjemahannya saja. Menurut saya, versi terjemahan Bahasa Indonesianya dieksekusi dengan cukup baik, dan berhasil tetap mempertahankan gaya bahasa Singlish dan istilah-istilah dialek China yang khas.

Submitted for:

Kategori : Asian Literature

The Picture of Dorian Gray by Oscar Wilde

17 Monday Oct 2016

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 2 Comments

Tags

borrowed, british, classic, dramatic, english, fiction, gothic

dorian-grayJudul: The Picture of Dorian Gray

Penulis: Oscar Wilde

Penerbit: Penguin Books (1994, first published 1891)

Halaman: 256p

Borrowed from Fanda

Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kalinya saya membaca (dan mereview) buku klasik. ‎Buku klasik memang tricky, kadang ceritanya bagus tapi bahasa Inggrisnya njelimet. Membaca terjemahan, kadang susah dapat feelnya, karena keterbatasan penggunaan bahasa yang berbeda. Ada juga yang pesan-pesannya bagus, tapi narasinya membosankan. Makanya saya agak pemilih untuk urusan buku klasik.

Kebetulan buku yang saya baca kali ini, The Picture of Dorian Gray, sudah saya pinjam dari Mbak Fanda lebih dari satu tahun yang lalu (sungkem mohon maaf). Jadi memang sepertinya sudah harus dibaca dan dikembalikan 😀

Saya mendengar banyak puja puji tentang novel Oscar Wilde yang disebut-sebut sebagai karyanya yang paling fenomenal ini. Apakah verdictnya sesuai ekspektasi?

Dorian Gray adalah seorang laki-laki muda yang baru saja mendapatkan warisan dari keluarganya. Kaya raya, masuk dalam golongan upper class, ditambah dengan wajahnya yang luar biasa ganteng dan pembawaannya yang polos menyenangkan, menjadikan Dorian sebagai favorit semua orang.

Tak terkecuali Basil Hallward, pelukis jenius yang tak kuasa melawan pesona Dorian, dan menjadikan Dorian sebagai model lukisannya yang terbaru, bahkan mengidolakannya dengan berlebihan. Suatu hari, saat Dorian sedang berpose untuk Basil di studio lukis, ia diperkenalkan dengan Lord Henry, teman Basil yang berasal dari golongan bangsawan. Lord Henry adalah seorang pria nyentrik yang gemar mengamati kehidupan, menganalisis kepribadian orang-orang sekitarnya dan menikmati drama-drama yang terjadi di sekelilingnya.

Lord Henry menganggap Dorian Gray, dengan segala kenaifannya, sebagai studi kasus yang menarik. Ia mulai mempengaruhi Dorian lewat pandangan-pandangan sinisnya tentang kehidupan, kemewahan yang dibawa oleh masa muda, serta betapa beruntungnya orang-orang yang tidak akan menjadi tua.

Pandangan tersebut sangat membekas pada diri Dorian, sehingga saat lukisan dirinya selesai, ia memanjaatkan permohonan agar ia bisa selalu semuda dan sepolos sosok dalam lukisan itu, sementara lukisannya sendirilah yang akan bertambah tua dan jelek.

Tak disangka, permohonan Dorian terkabul, dan hari demi hari, tahun demi tahun, lukisan tersebut semakin menampakkan jiwanya yang menggelap, sementara Dorian sendiri tetap tampil muda dan polos, meski tak terhitung lagi sudah berapa kali ia menyakiti orang-orang dan menyebabkan berbagai skandal dan tragedi di sekelilingnya. Semakin ia melihat potret dirinya yang mengerikan, semakin bersemangat Dorian untuk menjadi jahat, kejam dan mengerikan, seolah menjual jiwanya pada dunia gelap untuk memperoleh wajah dan penampilan yang selalu cemerlang.

Oscar Wilde adalah salah satu pionir penulis klasik abad ke-19 yang berani mengkritik moralitas kaum borjuis Inggris, yang dinilainya penuh dengan kemunafikan. Penampilan luarlah yang dinilai, sementara sifat-sifat baik seseorang seolah tidak ada artinya. Wilde dengan berani mengangkat tema yang cukup sensitif di jamannya ini melalui metafora pergumulan Dorian Gray melawan kegelapan hatinya, yang diwakili oleh lukisan karya Basil.

Beberapa simbol dan motif yang digunakan dalam buku ini (lukisan vs cermin, seni sebagai alat pemengaruh-baik melalui buku maupun lukisan), cukup jelas terlihat dan tidak disampaikan dengan terlalu rumit seperti banyak buku klasik lainnya, membuat saya bisa terhubung dengan lebih mudah pada cerita Dorian Gray.

Ada beberapa bagian, terutama yang mengangkat kontemplasi Dorian Gray terhadap pergumulan internalnya, juga pengamatan Lord Henry dan curahan hati Basil Hallward, agak terlalu panjang sehingga lumayan membosankan. Tapi bagian-bagian lainnya, terutama dialog Dorian dan Lord Henry yang dibuat witty, cukup bisa mengundang tawa. Saya sendiri jadi lumayan penasaran dengan edisi terjemahan bahasa Indonesianya yang menurut beberapa review dinilai cukup baik. Karena tidak mudah lho, menerjemahkan kisah klasik seperti Dorian Gray yang cukup kental simbolismenya.

Satu lagi yang cukup menarik bagi saya adalah tema homoseksual yang disampaikan Wilde dengan cukup subtle. Kekaguman Basil terhadap Dorian yang sudah seperti rasa cinta, serta hubungan Lord Henry dan Dorian yang lebih dari sekadar sahabat- semuanya merupakan pandangan Wilde, yang juga seorang gay, terhadap kepalsuan gaya hidup kaum borjuis Inggris saat itu, yang menyembunyikan semua hal yang belum diterima oleh masyarakat umum. Studi yang cukup menarik sebenarnya bila digali lebih dalam.

 

Happy Birthday, Oscar!

Ternyata, saya menyelesaikan buku ini tepat di hari ulang tahun Oscar Wilde, yaitu tanggal 16 Oktober. Oscar dilahirkan tahun 1854 di Dublin, Irlandia, dan pindah ke Inggris saat kuliah di Oxford di pertengahan 1870-an. Oscar menulis banyak puisi, sonet dan play, tapi karyanya yang paling terkenal adalah novel The Picture of Dorian Gray.

Di tengah puncak kariernya, Oscar tersandung skandal saat kedapatan berhubungan dengan anak Marquees Queensberry, Douglas Queensberry. Oscar dituduh melakukan perbuat asusila dan tindakan kriminal sodomi, yang akhirnya berlanjut ke beberapa pengadilan, disusul pula oleh kasus lain sejenis. Tragedi ini berakhir dengan Oscar yang dipenjara selama dua tahun atas tuduhan tersebut.

Banyak kontroversi mengenai apakah sebenarnya Oscar Wilde adalah seorang homoseksual, karena ia juga menikah dan memiliki anak-anak (yang akhirnya tercerai dari dirinya setelah Wilde dipenjara). Yang jelas, hukum di Inggris saat itu membuat Wilde harus mengalami kejadian pahit yang nantinya akan terus membekas di dirinya, bahkan mempengaruhi kesehatannya selama di penjara dan setelah keluar dari penjara, hingga meninggal di pengasingan pada tahun 1900. What a life.

The Girls by Emma Cline

22 Thursday Sep 2016

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 6 Comments

Tags

america, bahasa indonesia, dramatic, Gramedia, historical fiction, psychology, terjemahan

the-girls1Judul: The Girls (Gadis-Gadis Misterius)

Penulis: Emma Cline

Penerjemah: Maria Lubis

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2016)

Halaman: 360p

Beli di: Hobby Buku (IDR 75k, disc 25%)

Evie Boyd adalah seorang remaja perempuan biasa yang tinggal di kota kecil di California Utara pada tahun 1969. Keluarganya memang agak berantakan: ayah dan ibunya bercerai, sang ayah tinggal dengan selingkuhannya dan sang ibu terus mengabaikan Evie karena terlalu sibuk menata hidupnya usai perceraian tersebut.

Evie bukanlah anak gaul, ia hanya punya satu teman dekat, Connie, yang menurutnya agak membosankan. Evie ingin sesuatu yang baru, orang-orang menarik yang bisa menjadikan hidupnya lebih penting dan berarti.

Suatu hari di sebuah taman, Evie bertemu dengan sekelompok gadis berpakaian aneh, lusuh namun penuh misteri. Beberapa orang berbisik-bisik tentang gadis-gadis ini, yang disebut -sebut sebagai bagian dari kelompok aliran sesat. Salah satu dari gadis itu menarik perhatian Evie, memikatnya hingga akhirnya ikut terjerat ke dalam komunitas tersebut.

Dalam kelompok itu, Evie bertemu dengan banyak gadis dan pemuda yang serba bebas, tidak terikat aturan dan norma kehidupan pada umumnya. Mereka tinggal bersama-sama di suatu rumah pertanian kumuh, mencuri makanan dari tempat sampah dan hidup dengan barang seadanya. Namun semuanya dipersatukan oleh ikatan yang sama: pemujaan luar biasa terhadap pemimpin mereka, seorang laki-laki karismatik bernama Russell.

Namun seiring waktu yang dihabiskan Evie dengan pengikut Russell, ia mulai melihat keanehan demi keanehan: obsesi Russell yang berlebihan untuk menelurkan album rekaman dan menjadi musisi terkenal, tindakan-tindakan para pengikutnya yang mulai bisa dikategorikan sebagai tindakan kriminal, serta kekhawatiran Evie terhadap Suzanne, gadis yang memikatnya ke dalam kelompok ini namun yang juga memiliki rahasia terbesar.

Suatu kejadian mengerikan terjadi yang membuat Evie mempertanyakan kembali keputusannya bergabung dalam kelompok Russell, sekaligus yang akan mengubah hidupnya untuk selamanya.

Jujur saja, premis buku ini begitu menarik sampai-sampai saya tidak sabar untuk menunggu buku ini terbit- dan memutuskan untuk membaca terjemahannya yang memang keluar tidak lama setelah versi bahasa Inggrisnya terbit. Sepertinya GPU cukup jeli untuk langsung mengambil hak terjemahan buku yang memang menjadi bestseller di mana-mana tersebut (dan covernya cakep banget!).

Sudah menjadi rahasia umum kalau buku ini terinspirasi dari kisah tentang cult atau kelompok aliran sesat yang terkenal di akhir tahun 60an di California, yang dipimpin oleh Charles Manson, bahkan sosok Russell dan konflik yang dihadapi juga benar-benar terjadi dalam kelompok Manson Family dulu. Namun, alih-alih bercerita detail tentang kejadian dan tragedi yang dialami kelompok ini, The Girls lebih banyak berkisah tentang pergumulan batin Evie dalam memutuskan statusnya di kelompok tersebut, terutama hubungannya dengan Suzanne.

Saya agak kecewa juga sih, karena saya berharap plot yang lebih juicy, komplit dengan konflik internal, drama antar anggota kelompok, dan ketegangan yang meledak menjadi kasus tragis yang akan menghancurkan kelompok ini. Insider stories, lah. Tapi ternyata, Evie lebih berperan sebagai orang luar di pinggiran yang sibuk berkontemplasi tentang hidupnya sendiri.

Plot buku ini ditulis dengan alur maju-mundur, saat Evie berusia belasan tahun dan saat ia sudah beranjak tua, dengan bayang-bayang keterlibatannya dalam kelompok Russell terus menghantui hidupnya. Sepi, sendiri dan terasing, adalah kesan saya terhadap sosok Evie di bagian masa kini, mengingatkan saya dengan tone depresif karakter-karakter Haruki Murakami atau Kazuo Ishiguro. Sedangkan di masa lalu, Evie hanyalah anak remaja labil yang butuh perhatian.

Pendalaman psikologis adalah elemen utama buku ini, dan dituangkan dengan cukup baik oleh Emma Cline. Namun, untuk yang mengharapkan lebih banyak action (seperti saya), siap-siap untuk sedikit kecewa, ya 🙂

 

The Thing About Jellyfish by Ali Benjamin

09 Friday Sep 2016

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ 2 Comments

Tags

children, dramatic, english, fiction, friendship, middle grade, tragedy

the thing about jellyfishJudul: The Thing about Jellyfish

Penulis: Ali Benjamin

Penerbit: Macmillan Children’s Books (2015)

Halaman: 343p

Beli di: Books and Beyond (108k)

Fakta: ada sekitar 150 juta sengatan ubur-ubur yang terjadi setiap tahunnya. Ini berarti satu sengatan untuk setiap 46 orang di dunia, atau empat sampai lima sengatan setiap detiknya. Dan sebagian besar dari sengatan tersebut sangat mematikan.

 

Inilah hal-hal yang dipelajari oleh Suzy saat ia memutuskan untuk membuat penelitian dengan topik ubur-ubur untuk tugas sekolahnya.

Dan semakin banyak Suzy mempelajari tentang ubur-ubur, semakin yakinlah ia kalau sahabatnya, Franny, meninggal karena sengatan makhluk air tersebut. Habis, apa lagi penjelasannya? Franny adalah perenang andal yang sudah berenang sejak masih anak-anak, namun ia meninggal karena tenggelam di laut saat berlibur di Maryland.

Suzy bertekad ingin membuktikan hipotesisnya ini, bahkan berencana untuk mengontak para ahli ubur-ubur demi mendukung dugaannya. Namun penelitiannya ini membawa Suzy semakin jauh dari keluarganya, karena ia berhenti bicara sejak Franny meninggal.

Buku ini -seperti A Monster Calls– mengambil tema kedukaan, atau grieving, dan bagaimana beratnya perjuangan untuk menerima kepergian orang terkasih kita, terutama bila kita berpisah tidak dalam keadaan yang baik-baik saja.

Suzy adalah narator yang pas: mengundang simpati tanpa berkesan pathetic, apa adanya dan mudah dipahami. Saya menikmati format buku ini yang ditulis menyerupai laporan penelitian ilmiah, dengan metafora ubur-ubur yang terasa amat sesuai dengan pencarian Suzy terhadap kebenaran dan cara-caranya untuk menerima kenyataan menyedihkan yang ia hadapi.

Yang juga saya suka dari buku ini adalah peran keluarga yang dibuat sangat menonjol- satu hal yang kadang terlupakan dalam buku-buku young adult atau middle grade. Ibu dan ayah Suzy yang sudah berpisah, dan bagaimana kenyataan ini ikut memperkuat kekecewaan Suzy terhadap dunia dan keputusannya berhenti bicara, juga sedikit sempalan tentang hubungan Suzy dengan kakak laki-lakinya. Terutama, saya sangat suka dengan adegan akhir saat Suzy menelepon ayahnya. Very touching!

The Thing about Jellyfish adalah buku yang sederhana, namun amat memorable. Seperti buku bagus pada umumnya: tidak berlebihan, namun diramu dengan keren. Buku wajib untuk anak-anak usia middle grade, dan setiap pencinta kisah-kisah indah 🙂

The Nightingale by Kristin Hannah

12 Friday Aug 2016

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 3 Comments

Tags

bargain book!, dramatic, english, europe, fiction, historical fiction, history, world war

nightingaleJudul: The Nightingale

Penulis: Kristin Hannah

Penerbit: Pan Books (2015)

Halaman: 440p

Beli di: Big Bad Wolf (IDR 60k, bargain price!)

Vianne dan Isabelle adalah kakak beradik yang telah mengalami masa-masa suram sejak mereka masih kecil. Ibu mereka meninggal karena sakit, dan Ayah mereka -yang sejak pulang dari Perang Dunia I sudah depresi- mengirim mereka tinggal di desa kecil bersama seorang kerabat (yang tidak suka anak kecil).

Vianne menikah muda dengan Antoine namun terus mengalami keguguran sehingga dalam kesedihannya, ia mengabaikan Isabelle, yang akhirnya disekolahkan di sekolah berasrama dan menjadi anak bandel yang kurang perhatian.

Dalam perbedaan mereka, ikatan persaudaraan tetap ada, meski ditutupi oleh berbagai tragedi dan masalah keluarga. Namun, Perang Dunia II yang melanda Prancis lah yang akhirnya kembali membawa mereka bersama lagi.

Antoine dikirim ke medan perang dan Isabelle yang tadinya tinggal di Paris disuruh oleh ayah mereka berangkat ke desa Vianne untuk membantu kakaknya tersebut. Namun, Isabelle yang berjiwa pemberontak yakin, ia bisa melakukan sesuatu dalam perang ini daripada sekadar tunduk ketakutan dengan para Nazi yang berkeliaran di desa mereka. Pertemuan dengan seorang laki-laki misterius membawa Isabelle mengenal kaum Resistance atau pemberontak, yaitu sekelompok pejuang yang bergerilya melawan pendudukan Nazi di Prancis. Dari sinilah Isabelle mendapat julukan The Nightingale.

Vianne sendiri, bersama anaknya Sophie, berusaha bertahan hidup dalam tekanan Nazi di desa mereka, bahkan seorang tentara Jerman memaksa untuk menumpang di rumah mereka, sehingga setiap hari rasanya seperti neraka. Ditambah lagi, sahabat baik Vianne adalah perempuan Yahudi yang nyawanya terancam seiring kegilaan Hitler membantai kaum tersebut di seluruh Eropa.

Dan dalam peranglah, hubungan persaudaraan Vienne dan Isabelle diuji, dan mereka menyadari kalau ternyata mereka tidak terlalu berbeda.

The Nightingale adalah buku Kristin Hannah pertama yang pernah saya baca dan saya cukup menikmatinya. Penuturannya sangat enak diikuti, dengan porsi yang cukup seimbang antara unsur drama keluarga, action dan adegan mencekam, fakta-fakta sejarah dan kengerian perang, serta sedikit romance yang masih bisa dimaklumi tanpa berkesan cheesy.

Saya sendiri sangat suka dengan karakter Vianne dan Sophie- meski porsi mereka agak lebih sedikit dibandingkan porsi sang Nightingale, Isabelle, yang menjadi pahlawan perang Prancis akibat tindakan heroiknya di kelompok Resistance. Vianne memberikan kesejukan dalam buku yang cukup membuat depresi ini, dan hubungannya dengan tentara Nazi yang bermukim di rumahnya menyajikan konflik lain yang menunjukkan kompleksitas perang dan pengaruhnya terhadap setiap orang yang terlibat.

Ending di buku ini membuat sesak napas dan sangat menghantui. Tragis namun pas. Menyedihkan namun perlu. Dan sesuai dengan tone keseluruhan isi buku ini.

Saya bahagia karena setelah melihat list buku karya Kristin Hannah, masih sangat banyak judul yang bisa saya eksplor 🙂

The Book Club by Mary Alice Monroe

15 Tuesday Mar 2016

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

america, bahasa indonesia, book about books, dramatic, family, romance, terjemahan, violet books, women

book clubJudul: The Book Club

Penulis: Mary Alice Monroe

Penerjemah: Deasy Ekawati

Penerbit: VioletBooks (2014)

Halaman: 453p

Beli di: Hobby Buku (IDR 72k Disc 20%)

Saya kadang agak malas membaca tentang drama perempuan alias women lit, kecuali yang benar-benar highly recommended. The Book Club, sebetulnya, bukan masuk kategori yang terlalu direkomendasikan. Tapi saya cukup tertarik karena premisnya yang mengangkat kisah persahabatan lima perempuan yang tergabung di sebuah klub membaca. It seems like my kind of book!

Kisah diawali dari Eve yang harus menerima kenyataan pahit saat suaminya meninggal dunia dengan mendadak. Eve, yang sudah terbiasa hidup nyaman sebagai ibu rumah tangga yang cukup berada, tiba-tiba seolah dijerumuskan ke dalam dunia baru yang keras. Dunia yang memaksanya untuk bekerja dan tidak mengandalkan suami untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.

Sementara itu Annie, anggota klub buku yang paling liberal dan sukses sebagai pengacara perceraian, mendadak mendapat ilham kuat untuk segera memiliki anak- setelah menikah selama lima tahun dan sebelumnya tak pernah berniat memiliki keturunan. Ia berusaha dengan segala cara untuk membuktikan pada suaminya -dan juga seisi dunia- bahwa tidak ada yang mustahil baginya. Bahkan juga hamil di usia yang sudah di atas 40 tahun.

Doris adalah anggota klub membaca yang paling kaya raya- suami sukses, rumah besar warisan orang tua, anak-anak yang sempurna – seolah tak ada yang mengganggu pikirannya. Tapi ternyata di dalam hati, Doris menyimpan kekosongan, apalagi saat ia sadar suami dan anak-anaknya semakin menjauh dari hidupnya.

Sebenarnya, itulah inti kisah buku ini. Entah kenapa Monroe harus menambah dua karakter lagi yang seolah hanya tempelan belaka, karena kisah mereka seolah dipaksakan masuk ke dalam buku ini, padahal tidak ada porsi yang cukup untuk membahasnya. Mungkin sekadar ingin menambahkan unsur diversity? Karena Midge digambarkan sebagai seorang seniman yang hidup sendiri dan struggling dengan orientasi seksualnya, sedangkan Gabriella adalah wanita keturunan Hispanic yang suaminya baru saja di PHK.

Lucunya, justru sosok Midge dan Gabriella lah yang paling menarik perhatian saya, dan saya sangat menyayangkan keputusan Monroe untuk menganaktirikan mereka dan hanya fokus pada ketiga wanita kulit putih yang masalahnya merupakan stereotype ala film seri Desperate Housewives.

Saya tidak bisa bersimpati pada Eve dan Annie terutama, yang menurut saya hanyalah wanita-wanita kelas atas yang gemar mengasihani diri sendiri dan tidak bersyukur atas privilege yang sudah mereka terima bertahun-tahun. Masalah mereka, bila dibandingkan dengan masalah Midge dan Gabriella, adalah masalah tipikal perempuan Amerika yang sebenarnya bisa disajikan dengan lebih menarik dengan penggambaran yang lebih memikat dan tidak terlalu predictable.

Namun yang membuat saya paling kecewa adalah judul buku ini: The Book Club. Memang, setiap bab diawali dengan quote dari sebuah buku, biasanya buku yang sedang dibaca oleh Klub Buku dalam bulan tersebut. Namun beberapa di antaranya agak dipaksakan dan seperti (lagi-lagi) hanya tempelan belaka. Saya cukup suka dengan pembahasan Madame Bovary di salah satu bab (yang membuat saya lumayan penasaran ingin membaca buku tersebut), tapi selebihnya pembahasan tentang buku-buku ini seperti menghilang ke latar belakang. Padahal saya berharap penulis bisa menjalin topik tentang buku dengan permasalahan para wanita ini ke dalam suatu kisah yang lebih mengasyikkan.

Overall The Book Club adalah buku yang cukup decent, mungkin bisa dijadikan alternatif di saat senggang, atau saat kita membutuhkan selingan bacaan yang cukup ringan. Namun selain itu, rasanya biasa saja, malah agak cenderung hambar.

The Book of Speculation by Erika Swyler

09 Tuesday Feb 2016

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

book about books, circus, dramatic, dysfunctional family, english, fiction, tragedy

book of speculationJudul: The Book of Speculation

Penulis: Erika Swyler

Penerbit: Corvus (2015)

Halaman: 339p

Beli di: Kinokuniya Ngee Ann City (SGD 29.95)

Simon Watson hidup sendirian di rumah keluarganya di Long Island Sound. Rumah tersebut sudah menjadi milik keluarga selama bergenerasi-generasi, dan menyimpan banyak kisah tragedi yang kerap menghantui mereka. Terletak di tepi tebing yang menjorok ke laut, rumah itu sebenarnya sudah sangat berbahaya dan tidak layak ditempati, apalagi banyak bagian di dalam dan luarnya yang sudah bobrok dan perlu perbaikan segera, namun Simon terlalu bangkrut untuk bisa melakukan apapun. Pekerjaannya sebagai pustakawan memang tidak memberikan pemasukan yang cukup untuk itu.

Suatu hari di bulan Juni, Simon menerima sebuah buku misterius dari pedagang buku antik yang tak dikenal. Pedagang itu mengirim buku tersebut pada Simon karena membaca nama Verona Bonn -yang merupakan nenek Simon dari pihak ibunya- di dalam buku. Buku misterius tersebut berkisah tentang sepasang kekasih yang hidup di tengah sirkus keliling lebih dari dua abad yang lalu, dan bagaimana tragedi menimpa mereka, yang akhirnya diturunkan ke generasi berikutnya termasuk nenek dan ibu Simon.

Dari buku aneh itu juga Simon mengetahui fakta mengerikan tentang keluarganya, terutama yang menimpa kaum perempuan: banyak dari mereka yang meninggal karena tenggelam di tanggal 24 Juli. Termasuk ibunya sendiri!

Kekalutan Simon membuatnya bertekad untuk menyelamatkan adik perempuan satu-satunya, Enola, yang bekerja di sebuah karnaval, dan memastikan ia tidak akan mengalami kisah tragis yang sama. Apakah Simon bisa memutuskan kutukan turun-temurun ini?

The Book of Speculation adalah jenis buku juicy yang pastinya akan menarik perhatian setiap pencinta buku- temanya tentang buku antik, tragedi keluarga dan kutukan turun-temurun, serta profesi aneh yang digeluti para karakternya (pembaca kartu tarot, ikan duyung dalam sirkus, penyelam andal) tampak terlalu menarik untuk dilewatkan. Dan harapan saya memang cukup tinggi saat mulai membaca buku ini. Apalagi settingnya juga seru: rumah tua bobrok di pinggir tebing kota tepi pantai yang bisa runtuh sewaktu-waktu.

Yang juga tidak biasa adalah karakter utama kisah ini, Simon Watson, yang sekaligus menjadi narator. Biasanya cerita fiksi sejarah dengan tema keluarga seringkali didominasi oleh suara perempuan, namun Erika Swyler mendobrak tradisi ini dan mengganti naratornya dengan sosok laki-laki, meski sentral cerita tetap berkisah pada tokoh-tokoh perempuan di dalamnya.

Saya cukup suka tema yang disajikan buku ini, meski terus terang unsur supranaturalnya terlalu fantastis buat saya. Ramalan tarot dan kutukan turun-temurun bukan sesuatu yang saya percayai 100 persen, karenanya menurut saya kisah ini lebih seperti fantasi dibandingkan kisah sejarah ‎keluarga. Saya juga -seperti biasa- lebih menyukai plot kisah masa lalu nenek moyang Simon- yang mengawali segala kutukan ini- dibandingkan kisah Simon dan Enola di masa kini.

Dan sejujurnya saya berharap lebih pada Book of Speculation, sebutan untuk buku antik yang menjadi pusat segala cerita di sini. Saya berharap Simon menghabiskan waktu lebih banyak dengan buku ini, dibandingkan mengurus kisah cintanya dengan anak tetangga yang agak menyedihkan. Di beberapa bagian, bahkan saya ingin Simon tidak usah muncul dulu, karena saya lebih tertarik dengan kisah misterius si buku kuno, yang sampai akhir agak tidak jelas ujung pangkalnya.

The Book of Speculation ingin menggabungkan banyak sekali unsur: sejarah keluarga, kisah sirkus dan tarot, kutukan dan dendam, misteri, drama adik kakak dan percintaan. Namun seperti biasa, buku yang ingin bercerita terlalu banyak kadang malah membuat pembacanya kenyang sebelum waktunya, dan itulah yang saya rasakan saat membaca buku ini. Seru sih, tapi seringkali hal-hal yang saya harap akan dijawab oleh penulisnya, malah dikesampingkan untuk plot atau misteri baru yang dimaksud supaya membuat kisah lebih seru lagi.

Saya tetap merekomendasikan buku ini -terutama untuk pembaca yang haus akan unsur magis- tapi lebih baik dinikmati saja tanpa pretensi, tanpa harapan apa-apa selain ikut duduk dengan Simon meratapi rumahnya yang hampir runtuh.

The Sense of an Ending by Julian Barnes

05 Friday Feb 2016

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

british, dramatic, english, fiction, man booker prize, modern classics, symbolism, twist ending

sense of an endingTitle: The Sense of an Ending

Writer: Julian Barnes

Publisher: Vintage Books (First International Edition, 2011)

Pages: 163p

Bought at: Second Story Bookstore, Washington DC (USD 7)

This is the kind of book that you’d like to read in one sitting, just to find out what’s going on and where it takes you; but at the end of the day, after you finish the last page and close the book, you just don’t know what to think‎ of it.

The narrator of this story is Tony Webster, living in England and currently in his 60s. He told us the story of his life, and how one simple act could result in a catastrophe that changed his life forever.

Tony had three close friends during his high school days: Colin, Alex, and the smartest of them all, Adrian. After finishing high school, they drifted apart even though still been in touch with each other. Tony went to a college in Bristol and met with Veronica, who became his first serious girlfriend.

But a chain of events made Tony realized that he and Veronica were not meant to be together, and they broke up in a relatively hostile circumstances.

Tony tried to forget Veronica, and at the same time, cut off his ties with his old friends. He lived his life separately from them and even went to America for a while.

But his past kept on haunting him, especially when a tragedy occurred and Tony needed to visit his past one more time; even meeting with Veronica again to clear things up. But his contemplation and investigation brought back all the sad memories, pain, and the guilt from the past. One thing for sure: you would never know what your actions would cause, and that became a painful lesson for Tony.

It’s hard to review this book without giving out too many of its plot and even some spoilers. Because this book was narrated from beginning to end with some puzzles and vague moments that weren’t clear even until the end of the book. Julian Barnes has left so many holes to be filled in by the readers, and even some space for interpretation.

This book needs so many discussions and talks, and you can easily become addicted to it. I chatted with Opat after reading this book because I know that she had read it. And we can’t even come up with the same conclusion! 😀

I also do some googling and searching and found some useful posts that tried to explain the meaning behind all the symbolism inside this vague story with its unreliable narrator. But funny enough, the comments of these posts made me think of other solutions and meanings as well. So it’s a never ending circle!

I recommend this book for readers who love symbolism, vague story, interpreting things, and also for those who’d love to try reading a Man Booker Prize book. Because as controversial as this book is, it is enjoyable to read and can be done in one sitting.

 

Game of Thrones by George R.R. Martin

14 Monday Dec 2015

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 1 Comment

Tags

adventures, dramatic, dysfunctional family, english, fantasi, fiction, gore, high fantasy, movie tie in, review15, series

GoTJudul: Game of Thrones

Penulis: George R.R. Martin

Penerbit: Bantam Books Mass Market Movie Tie-in Edition (2013)

Halaman: 835p

Beli di: Periplus Soekarno Hatta (156k)

Saya belum menjadi fans serial fenomenal Game of Thrones dan tidak mengerti kehebohan yang ditimbulkan oleh serial ini. Dan saya, being a stubborn hipster as always, selalu merasa sulit menyukai sesuatu yang sudah menjadi mainstream atau lebih dulu digilai orang-orang (Sherlock, cough cough).

Jadi, saya memutuskan untuk membaca novelnya terlebih dulu sebelum menonton serialnya. Dan saya menantang diri saya untuk membaca versi bahasa Inggrisnya, sekadar untuk mendapatkan feel asli dari tulisan Bapak fantasi George R.R. Martin.

And what a ride.

Saya dibawa masuk ke realm The Seven Kingdoms dengan tokoh-tokoh dan konfliknya yang serba rumit. Berawal dari perkenalan dengan keluarga Stark, penguasa Winterfell di daerah utara, saya diajak menemui mereka satu per satu, mulai dari Ned Stark si kepala keluarga, istrinya Lady Catelyn yang anggun, serta anak-anak mereka: Robb, Sansa, Arya, Bran dan Rickon. Plus, si anak Haram alias bastard, Jon Snow, yang juga tinggal dengan keluarga itu.

Suasana mulai memanas akibat kunjungan sang Raja dari King’s Landing, Robert Baratheon, beserta rombongannya, permaisuri cantik namun kejam, Cersei Lannister, juga kedua adik Cersei, Jaime yang penuh pesona, dan Tyrion si kerdil.

Robert meminta Ned untuk menjadi tangan kanannya, karena kematian Jon Arryn yang sebelumnya menduduki posisi itu. Dan di sinilah awal mula segala konflik, perpecahan, pertempuran yang diikuti oleh perang besar antar keluarga dan kelompok di kerajaan tersebut.

Masing-masing memiliki tujuan yang sama, ingin menguasai kerajaan dan menduduki posisi puncak. Game of Thrones sangat cocok menjadi judul kisah ini, karena inti dari segala kerumitan konflik di sini adalah tujuan akhir para karakter untuk duduk di Iron Throne, atau singgasana besi yang menjadi lambang kekuasaan tertinggi.

Keluarga Lannister dengan intrik-intriknya berusaha menjatuhkan sang raja Baratheon, sementara keluarga Stark dipicu amarahnya karena salah satu anggota keluarga mereka menjadi korban keganasan keluarga Lannister. Sementara itu, keturunan terakhir penguasa sebelumnya, yaitu Daenerys Targaryens, mulai mengumpulkan kekuatannya sendiri dari seberang dunia, untuk mengklaim kembali haknya sebagai penerus tahta kerajaan yang sudah direbut paksa dari keluarganya.

Dan ternyata, kekisruhan tidak hanya terjadi di dalam kerajaan, tapi juga di luar Wall, tembok yang membatasi realm ini dengan dunia seram di luar sana. Makhluk-makhluk yang disebut The Others tampaknya muncul kembali, padahal mereka dikabarkan sudah punah dari ribuan tahun yang lalu. Pertanda apakah ini?

Seru banget. Itulah kesan saya selama membaca 835 halaman novel ini. Memang awalnya saya harus memicu memori saya supaya dapat mengingat puluhan nama karakter‎ yang kadang mirip-mirip (mengingatkan saya dengan kisah The Lord of The Rings nya Tolkien yang juga banyak penggunaan nama yang mirip-mirip) sambil berusaha membayangkan realm ciptaan Martin. Namun tidak lama waktu yang saya butuhkan untuk bisa masuk ke dunia Game of Thrones. Pace nya yang cepat dan gaya bercerita Martin yang super mengalir membuat saya lupa kalau buku yang saya baca termasuk dalam genre high fantasy yang biasanya cukup membosankan untuk saya.

Satu hal yang amat saya sukai dari buku ini ialah pergantian karakter di tiap bab. Namun, karena tetap memakai sudut pandang orang ketiga, tidak ada yang membingungkan dari pergantian karakter ini di setiap babnya. Justru, saya merasa lebih bisa berempati dan memahami mereka satu per satu, sambil melihat konflik ruwet ini dari sudut pandang mereka masing-masing.

Dan sekarang, off to go to the bookstore to look for the second book please! 🙂

 

The Vacationers by Emma Straub

13 Monday Jul 2015

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

dramatic, dysfunctional family, english, fiction, holiday, summer, travel, vacation

vacationers 2Judul: The Vacationers

Penulis: Emma Straub

Penerbit: Picador (2014)

Halaman: 292p

Beli di: Kinokuniya Nge Ann City (SGD 18.95) — thanks to my Dad!

Ini seharusnya menjadi liburan keluarga yang epic. Dua minggu di sebuah vila mewah di pulau terpencil, sinar matahari musim panas, kuliner dan budaya Eropa.. Sempurna.

Namun, itu semua hanya tampak luarnya saja. Dari dalam, keluarga Post memiliki banyak masalah (seperti keluarga lainnya) yang akhirnya memuncak dalam liburan di Majorca tersebut.

Jim dan Franny sedang berada di ujung krisis pernikahan mereka – terutama sejak rahasia affair Jim dengan perempuan yang lebih muda terbongkar dan mengakibatkannya kehilangan pekerjaan (dan sepertinya,akan kehilangan keluarganya juga).

Anak perempuan mereka, Silvia, sama sekali tidak bahagia- ia tidak sabar untuk segera memulai kuliah, lepas dari keluarganya yang khas keluarga snob Manhattan, dan ia benci dengan kedua orang tuanya yang seolah ingin menyembunyikan masalah mereka dan menganggapnya anak kecil. Sebuah summer fling dengan cowok Spanyol benar-benar satu hal yang ia butuhkan di liburan ini.

Bobby, anak laki-laki Jim dan Franny, juga datang bersama Carmen, pacarnya yang bekerja sebagai instruktur fitness dan sangat addicted dengan sports. Tentu, Franny menganggap Carmen jauh di bawah level keluarga mereka- tapi ia tidak tahu ada masalah yang lebih mengkhawatirkan dari sekadar status sosial Carmen.

Liburan keluarga Post juga dihadiri oleh Charles, sahabat karib Franny (yang disayanginya lebih dari keluarganya sendiri) dan pasangannya, Lawrence. Mereka sedang menunggu suatu keputusan yang akan mengubah hidup mereka – namun liburan dengan keluarga Post malah membuat hubungan mereka terancam berakhir.

Saya membaca buku ini ketika liburan ke Pulau Ora di Maluku beberapa bulan lalu, karena sepertinya buku ini adalah buku yang cocok untuk dibawa berlibur: pantai, tema musim panas, intrik keluarga- semuanya sesuai dengan bacaan juicy musim liburan. Tapi ternyata- buku ini adalah jenis buku yang terlihat ceria, namun akhirnya malah membuat depresi.

Karakter-karakternya tidak ada yang bisa disukai (kecuali mungkin Carmen, karakter paling jujur di buku ini menurut saya- so what kalau dia terobsesi dengan olah raga dan makanan sehat?) – semuanya tipikal orang kaya yang hipokrit, yang sudah terlalu lama menikmati hidup mewah sehingga lupa bagaimana mereka bisa sampai ke sana, dan semuanya adalah orang-orang yang judgmental. Susah bersimpati dengan mereka, dan akhirnya saya malah berharap semua masalah yang ada tidak perlu diselesaikan, biarkan saja membuat mereka menderita.

Untuk saya, sulit menyukai sebuah buku kalau karakternya membuat saya ingin melempar buku ini ke laut. Ending kisah ini pun tidak membawa pencerahan yang diharapkan, karakternya tidak berkembang dan menjadi lebih dewasa setelah liburan 2 minggu yang seharusnya mengubah hidup mereka – hanya kulit mereka saja yang lebih gosong karena kebanyakan berjemur.

Satu-satunya penyelamat buku ini adalah setting yang memang dibuat sangat vivid, sangat detail, oleh Emma Straub. Laut yang jernih, tebing tinggi, vila mewah, kota kecil penuh warna dan budaya Spanyol yang menggairahkan dengan kulinernya yang bikin lapar- itu saja yang membuat buku ini layak tampil sebagai buku liburan musim panas.

the real vacationer!!

the real vacationer!!

← Older posts

From the bookshelf

Categories

Looking for Something?

Enter your email address to follow Books to Share and receive notifications of new posts by email.

Join 1,036 other subscribers

Currently Reading

I’m a Proud Member! #BBI 1301004

Wishful Wednesday Meme

Fill your Wednesdays with wishful thinking =)

Popsugar Reading Challenge 2018

bookworms

  • aleetha
  • althesia
  • alvina
  • ana
  • annisa
  • bzee
  • dewi
  • dion
  • fanda
  • Ferina
  • helvry
  • inne
  • Kobo
  • maya
  • mei
  • melmarian
  • mia
  • ndari
  • nophie
  • oky
  • peri hutan
  • ren
  • Reygreena
  • sel sel kelabu
  • sinta
  • tanzil
  • tezar
  • yuska

shop til you drop

  • abe books
  • Amazon
  • better world books
  • book depository
  • BukaBuku
  • Buku Dedo
  • bukukita
  • vixxio

Top Posts & Pages

  • Spooktober Read (2): The Turn of the Screw by Henry James
    Spooktober Read (2): The Turn of the Screw by Henry James
  • The Rainmaker by John Grisham
    The Rainmaker by John Grisham
  • The Secret History
    The Secret History
  • A Dance with Dragons by George R.R. Martin
    A Dance with Dragons by George R.R. Martin
  • Red, White & Royal Blue by Casey McQuiston
    Red, White & Royal Blue by Casey McQuiston

Recent Comments

Puddin’ by Jul… on Dumplin’ by Julie M…
jesica on Abarat 2: Days of Magic, Night…
jesica on Abarat 2: Days of Magic, Night…
When the Stars Go Da… on The Paris Wife
Hapudin Bin Saheh on Insomniac City: New York, Oliv…

Blog at WordPress.com.

Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
  • Follow Following
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Join 1,036 other followers
    • Already have a WordPress.com account? Log in now.
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Customize
    • Follow Following
    • Sign up
    • Log in
    • Report this content
    • View site in Reader
    • Manage subscriptions
    • Collapse this bar
 

Loading Comments...