• About this blog
  • Clearance Sale!
  • Newbery Project
  • Popsugar Reading Challenge 2022
  • Previous Challenges
    • BBI Read and Review Challenge 2017
    • Challenges 2014
    • Challenges 2015
    • Lucky No.14 Reading Challenge
    • Lucky No.15 Reading Challenge
    • POPSUGAR Reading Challenge 2017
    • Popsugar Reading Challenge 2018
    • Popsugar Reading Challenge 2020
    • Popsugar Reading Challenge 2021
    • What’s in a Name 2018
    • Twenty-Ten Challenge
    • Challenges 2012
    • Challenges 2013
  • Round Ups
  • The Librarian

~ some books to share from my little library

Tag Archives: man booker prize

Real Life by Brandon Taylor

18 Tuesday Jan 2022

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

african american, america, campus life, contemporary, e-book, english, fiction, literature, man booker prize, popsugar RC 2022, race

Judul: Real Life

Penulis: Brandon Taylor

Penerbit: Riverhead Books (2020, Kindle edition)

Halaman: 335p

Beli di: Amazon.com (USD 2.99, bargain!)

Buku ini sepertinya menjadi buku wajib bagi siapapun yang sedang berada di tengah pergumulan hidup, khususnya mahasiswa yang sedang berjuang meraih gelar PhD.

Wallace adalah seorang pemuda gay berkulit hitam yang berasal dari Alabama. Masa lalu yang keras membuat Wallace bertekad untuk pergi jauh dari rumahnya, dan setelah berjuang sana-sini, Wallace berhasil mendapatkan fellowship untuk program PhD di salah satu universitas di area Midwest.

Namun, Wallace ternyata tidak hanya mendapatkan tantangan dari penelitian sains yang rumit, melainkan juga dari intrik dan politik kampus dan lab yang rumit. Berhadapan dengan orang-orang rasis, baik dalam kapasitas profesional di lab (termasuk advisornya yang tidak pernah merasa rasis), maupun di lingkungan pertemanan. Yang lebih membuat Wallace sedih adalah tidak ada seorang pun teman yang bisa ia andalkan untuk mendukungnya. Mereka selalu diam dan membiarkan Wallace menghadapi perlakuan casual racism tersebut, atau berpura-pura bahwa hal itu benar-benar terjadi.

Di tengah kegalauannya, Wallace kerap menimbang pilihan yang ia miliki, dan betapa menyedihkannya saat ia sadar, pilihannya tidak banyak, dan sama suramnya. Ia tidak bahagia di lingkungan akademis yang amat sulit untuk orang kulit berwarna, namun ia juga tidak mampu membayangkan harus kembali ke “dunia nyata”, setelah sekian tahun berkutat dengan eksperimen di lab, dan mengandalkan uang beasiswa untuk memenuhi biaya hidupnya.

Real Life adalah buku yang penuh isu menarik, amat relevan dengan kondisi di Amerika saat ini, terutama di lingkungan akademis. Casual racism yang terjadi, yang tampak innocent, ternyata bisa bertumpuk menjadi beban yang mempengaruhi kesehatan mental seseorang. Victim blaming juga banyak terjadi, terutama pada kaum minoritas yang dianggap tidak memiliki suara.

Namun, gaya penulisan Brandon Taylor kerap kali membuat saya agak kurang bisa menikmati buku yang masuk ke nominasi short list Booker Prize tahun 2020 ini. Kadang terlalu detail dalam menggambarkan atmosfir, namun seringkali mengulang detail tertentu (misalnya suara kicauan burung, udara panas saat summer, bau air danau), yang membuat saya bosan setengah mati.

Karakter Wallace pun digambarkan agak lemah, membuat saya jadi kurang semangat untuk mendukungnya. Apalagi beberapa keputusannya memang membuat kesal dan patut dipertanyakan. Mungkin saya memang kurang bisa berempati dengannya, sehingga tidak mengerti mengapa ia diam saja saat dituduh sebagai seorang mysoginist oleh rekan labnya yang memiliki masalah kejiwaan, alih-alih melawan dan membuktikan integritasnya. Mungkin faktor masa lalunya berkaitan erat dengan cara Wallace menghadapi masalah, namun sayangnya Brandon Taylor tidak mampu membuat saya bisa menghubungkan tragedi masa lalu Wallace dengan kondisinya saat ini, karena terlalu sibuk menuliskan detail-detail atmosfer dan metafora lingkungan yang membuat pembaca kehilangan fokus.

Bagaimanapun, Real Life tetap merupakan buku penting, Own Voice yang patut mendapat perhatian. Mudah-mudahan buku Taylor selanjutnya lebih mampu memikat saya.

Rating: 3/5

Recommended if you want to read about: academic life, Black experience, Own Voice, characters with scientific background, niche atmosphere

Submitted for:

A book with the name of a board game in the title (LIFE)

The Shadow King by Maaza Mengiste

03 Monday May 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 2 Comments

Tags

africa, award, ethiopia, historical fiction, man booker prize, war, women, world war

Judul: The Shadow King

Penulis: Maaza Mengiste

Penerbit: Canongate Books (2020)

Halaman: 428p

Beli di: @__lesens (IDR 235k)

Tahun 1935, Ethiopia berada di ambang peperangan, setelah sebelumnya berhasil mengalahkan Italia di tahun 1896. Kali ini, Italia di bawah kepemimpinan fasis Mussolini, ingin membalas dendam dan menggapai impian mereka yang belum tercapai, yaitu menguasai Ethiopia. Didukung oleh situasi dunia yang sedang bersiap-siap menghadapi Perang Dunia II, plus menguatnya kekuatan fasis di belahan bumi barat, Italia yakin kali ini mereka akan memenangkan perang tersebut.

Hirut adalah seorang yatim piatu yang dipekerjakan di rumah salah satu tentara kepercayaan Emperor Haile Selassie, yang bernama Kidane. Hirut dan pekerja perempuan lainnya diharapkan untuk ikut membantu persiapan perang, termasuk mendampingi pasukan sebagai perawat dan menyiapkan makanan. Namun Aster, istri Kidane, menginginkan lebih daripada itu. Kesedihannya yang mendalam akibat kematian anak laki-lakinya menyebabkan Aster berubah menjadi seorang perempuan yang getir, keras, dan tangguh. Ia ingin membentuk pasukannya sendiri, yang terdiri dari para perempuan kuat Ethiopia yang ia yakin sanggup menyamai bahkan melebihi kecerdikan pasukan tentara Emperor.

Meski Hirut dibenci Aster karena kedekatannya dengan Kidane, namun ia belajar banyak dari istri majikannya ini selama peperangan berlangsung. Bahkan Hirut ikut berperan penting dalam merancang strategi Shadow King, alias Raja Bayangan, yang menjadi legenda peperangan gerilya Etiophia. Pada akhirnya, Ethiopia memang bukan merupakan tandingan Italia yang super kejam. Tapi, sokongan moral dari The Shadow King mengambil tempat tersendiri di hati rakyat Etiophia, bahkan ceritanya diturunkan ke generasi-generasi selanjutnya.

The Shadow King adalah salah satu buku yang berhasil mengungkapkan fakta sejarah yang saya tidak tahu sebelumnya. Sedikit yang selama ini saya tahu tentang Ethiopia, dan Maaza Mengiste sukses mengedukasi saya tentang negara asalnya ini. Dan beberapa sudut pandang yang dipakai buku ini, mulai dari Hirut, sang Emperor sendiri, hingga tentara Italia, menambahkan detail-detail yang menarik di sepanjang buku.

Hanya saja, jujur saya tidak bisa menikmati sepenuhnya buku ini. Ada dua alasan utama mengapa buku ini belum bisa mendapatkan rating sempurna dari saya. Yang pertama, saya berharap buku ini lebih banyak mengambil sudut pandang Hirut, terutama karena dari yang saya baca di bagian Acknowlegment, sosok Hirut serta latar belakang sejarah Shadow King terinspirasi dari kisah keluarga Mengiste sendiri, terutama dari nenek buyutnya, Getey. Dan menurut saya kisah ini memang sangat menarik, namun sayangnya di bagian tengah hingga akhir buku, kita malah lebih banyak disuguhi oleh sudut pandang tentara Italia yang diwakili oleh Ettore sang fotografer. Memang kisah Etorre cukup penting juga dan berkaitan erat dengan masa depan Hirut, tapi saya jadi kehilangan suara Hirut dan sayangnya tidak merasa terkoneksi sepenuhnya dengan tokoh perempuan tersebut.

Alasan kedua, yang lebih mendominasi buat saya, adalah gaya penulisan Maaza Mengiste. Mengiste adalah seorang scholar dan professor Creative Writing, bahkan pernah menerima beasiswa Fulbright (WHOOP!). Dan memang, gaya menulisnya amat berkesan “nyastra” sekali, penuh dengan matefora dan penggambaran detail yang luar biasa puitis. Awalnya, saya senang-senang saja membaca kalimat demi kalimat yang penuh keindahan ini. Namun lama kelamaan, rasanya lelah juga, apalagi Mengiste amat senang menggambarkan detail setting seperti sudut jatuhnya cahaya matahari, perbedaan suara burung yang satu dengan burung yang lain, dan sebagainya, yang tujuannya mungkin untuk menampilkan setting yang amat nyata, namun karena banyak pengulangan di sini, saya jadi bosan juga membacanya. Satu lagi, Mengesti adalah penggemar “tanpa tanda kutip”, sehingga tidak ada dialog yang diapit tanda kutip di buku ini, satu tren yang saya kurang suka karena seringkali menciptakan kebingungan.

Overall, The Shadow King adalah buku yang amat penting, menyajikan sekelumit kisah sejarah yang jarang diangkat ke permukaan, Secara kualitas pun buku ini amat baik, tak heran dinominasikan dan mendapat penghargaan di mana-mana, termasuk short list Man Booker Prize 2020. Tapi memang buku ini, menurut saya, bukanlah tipe buku yang bisa dinikmati 🙂

Rating: 3/5

Recommended if you want to read about: African history, Ethiopia, women fighters, high quality literature, creative writing at its best

The Bookshop by Penelope Fitzgerald

19 Monday Apr 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

book about books, british, historical fiction, man booker prize, popsugar RC 2021, secondhand books

Judul: The Bookshop

Penulis: Penelope Fitzgerald

Penerbit: Second Mariner Books (2015, first published in 1978)

Halaman: 156p

Beli di: @Therebutforthebooks (IDR 140k)

Buku yang berkisah tentang buku dan toko buku biasanya menjadi favorit para pencinta buku, karena temanya sangat relatable dengan booklovers. Dan biasanya, books about books memiliki kisah yang hangat, seringkali dengan bumbu romans atau cerita yang kental dengan nuansa persahabatan.

Tapi ternyata, The Bookshop tidak termasuk dalam kategori di atas. Bukan berarti buku ini jelek, sih, hanya saja, memang tidak seperti ekspektasi buku-buku tentang books yang selama ini sering saya baca.

Yang pertama, kisahnya sama sekali tidak hangat. Alih-alih bercerita tentang kecintaan karakter-karakternya pada buku, The Bookshop justru berkisah tentang sebuah kota kecil di Inggris, Hardborough, yang penduduknya justru tidak mau kota mereka memiliki toko buku. Segala cara dilakukan untuk mencegah Florence Green sukses membangun toko bukunya. Digawangi oleh Mrs. Gamart, yang bercita-cita membangun pusat seni dan kebudayaan di gedung tempat Florence membuka toko buku, kesulitan demi kesulitan dialami oleh Florence. Dari mulai pengunjung yang cuma sedikit, profit yang sulit didapat, hingga terancam kehilangan gedungnya.

Hal kedua yang membuat buku ini beda dari kebanyakan bookish books lain adalah minimnya pembahasan tentang buku itu sendiri. Jangan terlalu berharap buku ini banyak menyinggung judul-judul buku yang kita kenal, karena kebanyakan buku yang dicari oleh penduduk Hardborough adalah buku sejarah alot, petunjuk teknis manual, dan buku membosankan lainnya. Satu-satunya buku literatur yang dibahas agak banyak adalah Lolita, saat Florence berkontemplasi akan menjual judul tersebut di tokonya setelah mendengar review yang bagus dari beberapa sumber. Tapi selain itu, diskusi tentang buku amat jarang terjadi di sini, bahkan Florence sendiri pun bukan seorang kutu buku, dan membuka toko buku bukan dengan alasan karena ia adalah seorang pencinta buku.

The Bookshop adalah buku yang kering dan dingin. Dilengkapi juga oleh setting Hardborough yang terletak di tepi laut yang berangin, dengan kondisi cuaca yang selalu buruk dan lokasi yang terpencil, membuat buku ini semakin gloomy. Untungnya di tengah kesenduan itu, terselip sedikit momen-momen yang menghangatkan hati, termasuk persahabatan tak terduga antara Florence dan asisten tokonya, Christine, yang masih muda namun memiliki semangat luar biasa. Juga pertemanan platonik Florence dengan aristokrat kota kecil mereka, Mr. Brundish yang misterius.

Setelah membaca kata pengantar dari David Nicholls, saya jadi lebih bisa menghargai gaya penulisan Penelope Fitzgerald, yang sangat underrated dibandingkan dengan penulis Inggris lain seangkatannya. Gaya sederhana, dengan karakter-karakter yang dibuat tidak menonjol, terkesan mengalah, dan sama sekali tidak seperti heroine pada umumnya, membuat buku-buku Fitzgerald memiliki aura yang khas. Saya sendiri baru pertama kali membaca buku Penelope Fitzgerald, sehingga tidak memiliki pembanding lain, dan awalnya agak sulit menikmati dan masuk ke dalam ceritanya. Namun lama kelamaan, saya bisa merasa terhubung juga dengan penghuni kota kecil Hardborough yang memang kehidupannya serba hard itu. Fitzgerald merupakan penulis yang efektif, meski banyak memakai metafora dan simbolisme, baik dari karakter maupun settingnya, namun semuanya dilakukan dengan suatu maksud tertentu yang memang memiliki tujuan tersendiri.

Oh, satu lagi: buku ini memiliki salah satu ending paling menyedihkan dan membuat frustrasi, yang ternyata merupakan ciri khas buku-buku Penelope Fitzgerald. So – if you don’t like sad endings, just stay away from this book 😀

Rating: 3/5

Recommended if you want to read about: gloomy bookshop, dubious characters, British self deprecating humor, unsatisfying ending.

Submitted for:

Category: A book from your TBR list you associate with a favorite person, place, or thing

Lelaki Harimau by Eka Kurniawan

14 Thursday Apr 2016

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 4 Comments

Tags

fiction, indonesia asli, literature, magical realism, man booker prize, suspense/thriller

lelaki harimauJudul: Lelaki Harimau

Penulis: Eka Kurniawan

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2016, cetakan keempat)

Halaman: 191p

Beli di: Gramedia Mal Taman Anggrek (IDR 50k)

Ini pertama kalinya saya membaca buku Eka Kurniawan, dan jujur saja, alasan saya membaca Lelaki Harimau adalah karena buku ini masuk ke Longlist Man Booker International Prize 2016, salah satu penghargaan paling bergengsi di dunia sastra.

Lelaki Harimau berkisah tentang peristiwa yang menggemparkan sebuah desa kecil tempat Margio tinggal. Margio adalah pemuda penangkap babi yang terkenal pendiam dan baik-baik saja. Karenanya, seisi desa terkejut saat Margio terperosok dalam suatu insiden pembunuhan berdarah- di mana ia menggigit korbannya sampai mati, seolah seekor harimau tengah merasukinya.

Dari peristiwa naas tersebut, Eka Kurniawan membawa kita kembali menelusuri kehidupan Margio, mulai dari pertemuan kedua orang tuanya, kakeknya yang misterius, kehidupan keluarganya yang penuh kekerasan, sampai kisah hubungan romantisnya dengan anak perempuan tetangganya. Sekilas, tak ada yang aneh dari kehidupan Margio, yang meski banyak diwarnai penderitaan, tapi sebenarnya jamak ditemui pada kehidupan masyarakat desa tersebut.

Namun, perlahan-lahan kita diajak mengetahui lebih dalam, apa yang memicu Margio hingga melakukan tindakan membunuh tersebut. Apakah benar ada harimau di dalam dirinya?

Buku ini mungkin tidak tepat bila disebut sebagai buku thriller atau misteri, karena toh memang sejak dari kalimat pembuka pun kita sudah tahu pelaku dan korban pembunuhannya. Tapi cara Eka Kurniawan membawa kita pelan-pelan menelusuri alasan di balik itulah yang membuat buku ini jadi begitu penuh suspense dan membuat penasaran.

Banyak juga pendapat yang mengatakan kalau Lelaki Harimau terlalu overrated, tapi kali ini saya tidak setuju dengan mereka. Saya begitu menikmati plot yang padat, karakter yang tidak tersia-sia, diksi yang dimainkan layaknya simfoni, dan tentu saja, kepiawaian Eka dalam meramu kronologis kisah sehingga pembaca merasa klimaksnya terbangun perlahan-lahan, sampai meledak singkat di halaman terakhir buku. A perfect bookgasm, if I may say 🙂

Saya juga suka dengan detail yang amat kaya, baik dari penokohan maupun setting tempat, sehingga meski Eka tidak menuturkan secara jelas tentang nama lokasi maupun setting waktu dalam cerita ini, saya tidak merasa kesulitan untuk membayangkannya dan ikut larut dalam kisah Margio.

Terima kasih Eka Kurniawan, yang sudah membuka kembali mata saya terhadap kekayaan literatur Indonesia 🙂

 

The Sense of an Ending by Julian Barnes

05 Friday Feb 2016

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

british, dramatic, english, fiction, man booker prize, modern classics, symbolism, twist ending

sense of an endingTitle: The Sense of an Ending

Writer: Julian Barnes

Publisher: Vintage Books (First International Edition, 2011)

Pages: 163p

Bought at: Second Story Bookstore, Washington DC (USD 7)

This is the kind of book that you’d like to read in one sitting, just to find out what’s going on and where it takes you; but at the end of the day, after you finish the last page and close the book, you just don’t know what to think‎ of it.

The narrator of this story is Tony Webster, living in England and currently in his 60s. He told us the story of his life, and how one simple act could result in a catastrophe that changed his life forever.

Tony had three close friends during his high school days: Colin, Alex, and the smartest of them all, Adrian. After finishing high school, they drifted apart even though still been in touch with each other. Tony went to a college in Bristol and met with Veronica, who became his first serious girlfriend.

But a chain of events made Tony realized that he and Veronica were not meant to be together, and they broke up in a relatively hostile circumstances.

Tony tried to forget Veronica, and at the same time, cut off his ties with his old friends. He lived his life separately from them and even went to America for a while.

But his past kept on haunting him, especially when a tragedy occurred and Tony needed to visit his past one more time; even meeting with Veronica again to clear things up. But his contemplation and investigation brought back all the sad memories, pain, and the guilt from the past. One thing for sure: you would never know what your actions would cause, and that became a painful lesson for Tony.

It’s hard to review this book without giving out too many of its plot and even some spoilers. Because this book was narrated from beginning to end with some puzzles and vague moments that weren’t clear even until the end of the book. Julian Barnes has left so many holes to be filled in by the readers, and even some space for interpretation.

This book needs so many discussions and talks, and you can easily become addicted to it. I chatted with Opat after reading this book because I know that she had read it. And we can’t even come up with the same conclusion! 😀

I also do some googling and searching and found some useful posts that tried to explain the meaning behind all the symbolism inside this vague story with its unreliable narrator. But funny enough, the comments of these posts made me think of other solutions and meanings as well. So it’s a never ending circle!

I recommend this book for readers who love symbolism, vague story, interpreting things, and also for those who’d love to try reading a Man Booker Prize book. Because as controversial as this book is, it is enjoyable to read and can be done in one sitting.

 

Amsterdam

30 Wednesday Oct 2013

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 20 Comments

Tags

bargain book!, BBI, british, dramatic, english, fiction, man booker prize, tragedy

amsterdamJudul: Amsterdam

Penulis: Ian McEwan

Penerbit: Nan A. Talese (1999)

Halaman: 193p

Beli di: Shopping Jogja (IDR 15k, bargain price!)

What’s it about?
Dua sahabat, Clive Linley dan Vernon Halliday, sama-sama pernah menjadi kekasih (dan selingkuhan) Molly Lane di masa lalu. Kini mereka telah menjadi orang-orang yang berhasil di profesinya. Clive adalah komposer musik terkenal- yang sedang menulis musik untuk acara nasional tahun baru di London. Sedangkan Vernon merupakan editor di sebuah surat kabar- yang penjualannya sedang mengalami penurunan drastis dan butuh ide-idenya yang tidak konvensional.

Keduanya bertemu lagi di sebuah bulan Februari yang dingin, di pemakaman Molly yang meninggal karena sakit. Meninggalnya Molly (yang saat hidupnya dikenal sangat bersemangat dan “hidup”) membuat mereka berpikir ulang tentang kehidupan, kematian dan kesendirian- serta memicu mereka untuk membuat sebuah perjanjian yang akan mengubah arti persahabatan mereka.

Suatu rahasia dari mantan kekasih Molly yang lain, politikus terkenal Julian Garmony, memaksa kedua sahabat ini untuk menguji moral mereka, kesetiaan mereka satu sama lain, dan mendesak mereka untuk mengambil keputusan yang akan mengubah segalanya. Ancaman juga datang dari George, suami Molly yang menyimpan dendam pada para pria tersebut. Dan di Amsterdam-lah puncak segala drama ini, yang mengakhiri segalanya.

What’s so intriguing?
Amsterdam adalah karya pertama Ian McEwan yang pernah kucicipi, meski sebelumnya aku pernah menonton film yang diadaptasi dari novelnya, Atonement. Penulis ini sepertinya memiliki kecenderungan untuk mengangkat tema-tema yang tidak biasa, hubungan personal yang dalam waktu singkat bisa berekskalasi menjadi seperti neraka.

McEwan sangat piawai menggambarkan detail karakternya, terutama sisi profesi Clive dan Vernon. Bagaimana proses kreatif seorang komposer yang sedang bekerja mencari ide, dideskripsikan dengan menarik, sama menariknya dengan intrik-intrik wartawan di surat kabar. McEwan juga mampu menyusun kisah layaknya seorang insinyur merancang sebuah gedung. Mulai dari pondasi hingga ke detail-detail yang terlihat tidak penting, namun menyimpan arti yang krusial di akhir cerita. Cukup sulit bagiku untuk mereview buku ini tanpa membocorkan beberapa spoiler kecil yang akan menyumbangkan twist di akhir kisah.

Satu-satunya yang kurang digali menurutku adalaj karakter Molly yang sebenarnya merupakan sentral cerita. Apakah memang McEwan sengaja melakukan hal ini untuk menjaga aura misterius sang kekasih semua orang tersebut, aku tidak begitu yakin.

Is it Man Booker’s worthy?
Buku ini kubaca dalam rangka baca bareng Blogger Buku Indonesia dengan tema pemenang/finalis Man Booker’s Prize. Dan sejujurnya, Amsterdam bukanlah tipe buku yang bisa membuat orang langsung menjudge-nya sebagai buku yang layak menang berbagai penghargaan.

Tidak seperti Life of Pi, misalnya, yang begitu indah dan memiliki pesan-pesan filosofis yang gamblang. Amsterdam merupakan buku dengan pesan-pesan moral tersembunyi, yang dibalut kisah penuh tensi yang terbangun perlahan-lahan, menyisakan kejutan yang sedikit absurd di bagian akhir buku.

Dalam sekali baca, terus terang aku tidak melihat di mana kekuatan buku ini sehingga bisa dianugerahi Man Booker’s Prize tahun 1998. Namun setelah direnungkan beberapa kali, barulah terlihat kecerdikan Ian McEwan, sang arsitek andal yang karyanya mungkin tidak mentereng, tapi akan berdiri kokoh selama puluhan tahun.

Trivia

Ian McEwan sudah dinominasikan sebanyak 6 kali untuk Man Booker’s Prize. Satu kali menang, empat kali shortlisted dan satu kali longlisted.

McEwan juga pernah dinominasikan untuk Man Booker International Prize tahun 2005 dan 2007.

Submitted for Posting Bareng BBI bulan Oktober 2013 dengan tema Man Booker’s Prize Books.

 

Wishful Wednesday [69]

31 Wednesday Jul 2013

Posted by astrid.lim in meme

≈ 28 Comments

Tags

man booker prize, meme, wishful wednesday, wishlist

wishful wednesdayUhuyyy udah mencapai edisi ke-69 lagi nih 😀 Bulan depan rencananya akan ada Wishful Wednesday Giveaway untuk merayakan ulangtahun Perpuskecil ke-4, yeaaay (baru sadar ternyata blog ini umurnya mirip sama Yofel).

Sambil menunggu, mari berandai-andai di Rabu ini…

Sebenernya minggu ini nggak terlalu kepingin banget buku tertentu, mungkin efek Buying Monday kemaren yang masih bikin merasa bersalah haha… Tapi pengumuman long list nya Man Booker Prize kemaren cukup bikin mupeng juga. Salah satunya adalah buku terbaru Jhumpa Lahiri yang berjudul Lowland.

Masih berkisah tentang perjalanan hidup keluarga di India, sepertinya novel ini akan menjadi sama heartbreaking nya seperti buku-buku Lahiri lainnya yang selalu bikin mengharu biru. Semoga saja buku ini masuk ke short list Man Booker Prize juga!

From Goodreads:

lowlandGrowing up in Calcutta, born just fifteen months apart, Subhash and Udayan Mitra are inseparable brothers, one often mistaken for the other. But they are also opposites, with gravely different futures ahead of them. It is the 1960s, and Udayan-charismatic and impulsive-finds himself drawn to the Naxalite movement, a rebellion waged to eradicate inequity and poverty: he will give everything, risk all, for what he believes. Subhash, the dutiful son, does not share his brother’s political passion; he leaves home to pursue a life of scientific research in a quiet, coastal corner of America. But when Subhash learns what happened to his brother in the lowland outside their family’s home, he comes back to India, hoping to pick up the pieces of a shattered family, and to heal the wounds Udayan left behind-including those seared in the heart of his brother’s wife.

Suspenseful, sweeping, piercingly intimate, The Lowland expands the range of one of our most dazzling storytellers, seamlessly interweaving the historical and the personal across generations and geographies. This masterly novel of fate and will, exile and return, is a tour de force and an instant classic.

What’s your wish for this Wednesday?

  1. Silakan follow blog Books To Share – atau tambahkan di blogroll/link blogmu =)
  2. Buat posting mengenai buku-buku (boleh lebih dari 1) atau segala hal yang berhubungan dengan kebutuhan bookish kalian, yang jadi inceran kalian minggu ini, mulai dari yang bakal segera dibeli, sampai yang paling mustahil dan hanya sebatas mimpi. Oya, sertakan juga alasan kenapa buku/benda itu masuk dalam wishlist kalian ya!
  3. Tinggalkan link postingan Wishful Wednesday kalian di Mr. Linky (klik saja tombol Mr. Linky di bagian bawah post). Kalau mau, silakan tambahkan button Wishful Wednesday di posting kalian.
  4. Mari saling berkunjung ke sesama blogger yang sudah ikut share wishlistnya di hari Rabu =)

From the bookshelf

Categories

Looking for Something?

Enter your email address to follow Books to Share and receive notifications of new posts by email.

Join 1,037 other followers

Currently Reading

I’m a Proud Member! #BBI 1301004

Wishful Wednesday Meme

Fill your Wednesdays with wishful thinking =)

Popsugar Reading Challenge 2018

bookworms

  • aleetha
  • althesia
  • alvina
  • ana
  • annisa
  • bzee
  • dewi
  • dion
  • fanda
  • Ferina
  • helvry
  • inne
  • Kobo
  • maya
  • mei
  • melmarian
  • mia
  • ndari
  • nophie
  • oky
  • peri hutan
  • ren
  • Reygreena
  • sel sel kelabu
  • sinta
  • tanzil
  • tezar
  • yuska

shop til you drop

  • abe books
  • Amazon
  • better world books
  • book depository
  • BukaBuku
  • Buku Dedo
  • bukukita
  • vixxio

Top Posts & Pages

  • Red, White & Royal Blue by Casey McQuiston
    Red, White & Royal Blue by Casey McQuiston
  • A Feast for Crows by George R.R. Martin
    A Feast for Crows by George R.R. Martin
  • Dongeng-Dongeng Grimm Bersaudara
    Dongeng-Dongeng Grimm Bersaudara
  • Five Little Pigs
    Five Little Pigs
  • Station Eleven by Emily St.John Mendel
    Station Eleven by Emily St.John Mendel

Recent Comments

When the Stars Go Da… on The Paris Wife
Hapudin Bin Saheh on Insomniac City: New York, Oliv…
The Case of the Pecu… on The Case of the Left-Handed La…
astrid.lim on Lorong Waktu by Edward Pa…
nina on Lorong Waktu by Edward Pa…

Create a free website or blog at WordPress.com.

Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
  • Follow Following
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Join 1,037 other followers
    • Already have a WordPress.com account? Log in now.
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Customize
    • Follow Following
    • Sign up
    • Log in
    • Report this content
    • View site in Reader
    • Manage subscriptions
    • Collapse this bar
 

Loading Comments...