Judul: Queenie
Penulis: Candice Carty-Williams
Penerbit: Trapeze (Paperback 2020 edition)
Halaman: 387p
Beli di: Periplus (IDR145k)
Queenie bukanlah karakter yang mudah disukai. Itu kesan pertama saya saat membaca buku ini. Sebagai karakter utama sekaligus narator yang juga menjadi judul buku ini, kita diajak melihat kehidupan Queenie secara detail. Namun kadang susah sekali bersimpati padanya, terutama karena keputusan-keputusan buruk yang diambilnya, yang membuat hidupnya tak terkontrol.
Tapi untuk bisa memahami Queenie, kita harus memahami situasinya terlebih dahulu. Dan inilah menurut saya yang menjadi kekuatan utama buku ini. Kita diajak menelusuri latar belakang kehidupan Queenie yang membentuknya menjadi pribadi yang sulit percaya dengan orang lain, selalu berpikiran negatif, self destruct, dan selalu mengambil keputusan yang buruk.
Queenie adalah keturunan imigran dari Jamaica yang bermukim di London. Meski sudah lahir di Inggris, Queenie tetap tidak pernah merasa “belong”, dan selalu mengalami diskriminasi, baik yang terang-terangan ataupun tersembunyi. Banyak orang yang masih menganggapnya warga kelas dua, tidak layak mendapat perlakuan yang sama dengan orang-orang kulit putih, dan bahkan di tempat kerjanya pun Queenie sering dimasukkan kategori “pemenuh kuota”, tanpa dianggap serius oleh bosnya.
Hidup Queenie semakin tak terkendali setelah ia berpisah dengan pacarnya, Tom, dan meyadari kalau ia tidak bisa menghadapi kesendirian. Ia banyak terlibat dengan cowok-cowok hasil bertemu di dating apps, dari mulai yang tidak jelas sampai yang abusive. Queenie seperti membenarkan pendapat semua orang yang menganggap ia tidak layak mendapatkan kebahagiaan, sehingga ia perlahan-lahan menghancurkan hidupnya sendiri.
Buku ini memiliki banyak tema yang ingin diangkat, dari mulai diskriminasi, casual racism, Black Lives Matter, abusive relationship dan sexual harassment, hingga mental health dan bagaimana budaya konvensional masih memandang aneh terapi. Beberapa bagian buku ini terasa cukup real, membuat saya bertanya-tanya apakah memang dialami sendiri oleh sang penulis, tapi ada beberapa bagian yang terasa agak dipaksakan dan hanya menjadi sempalan belaka, misalnya saat Queenie tiba-tiba menjadi woke dan ikut serta marching Black Lives Matter, tapi tidak jelas juga apa siginifikansinya terhadap keseluruhan cerita.
Saya suka beberapa karakter di buku ini, terutama Darcy, teman Queenie yang super naive, serta Diana, sepupu Queenie yang amat gen-Z. Yang juga saya suka adalah penggambaran kehidupan POC di London, yang meski sedikit mirip kondisinya dengan di Amerika, tapi lebih jarang diekspos dan dibahas lebih lanjut. Casual racism lebih banyak terjadi, di mana orang-orang masih denial tentang isu rasisme di negara tersebut.
Sepertinya Queenie sedikit banyak merupakan penggambaran hidup Candice Carty-Williams, setidaknya dari sisi profesi, latar belakang budaya dan usia – jadi saya rasa memang banyak kisah yang diambil dari kejadian nyata yang dialami langsung oleh Carty-Williams. Namun kadang beberapa isu yang dipaksakan tadi agak membuat buku ini kehilangan fokus, dan banyaknya keputusan buruk yang diambil oleh Queenie membuat kita makin sulit relate dengannya, karena – when will enough be enough? Banyak adegan cringey yang membuat saya ingin menskip beberapa halaman saking sebalnya dengan Queenie.
Tapi bagaimanapun, this is a good book, written pretty well even though a bit all over the place, dan yang pasti, memberikan sudut pandang yang cukup segar tentang isu rasisme dan immigrant live di Inggris.
Rating: 3.5/5
Recommended if you want to read about: racism in London, modern relationship, own voice story, British dry humor, disaster dating stories, insight Black culture.
Submitted for: