• About this blog
  • Clearance Sale!
  • Newbery Project
  • Popsugar Reading Challenge 2018
  • Previous Challenges
    • BBI Read and Review Challenge 2017
    • Challenges 2014
    • Challenges 2015
    • Lucky No.14 Reading Challenge
    • Lucky No.15 Reading Challenge
    • POPSUGAR Reading Challenge 2017
    • Twenty-Ten Challenge
    • Challenges 2012
    • Challenges 2013
  • Round Ups
  • The Librarian
  • What’s in a Name 2018

~ some books to share from my little library

Tag Archives: psychology

The Lock Artist by Steve Hamilton

11 Thursday Oct 2018

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

action, america, crime, english, fiction, heist, mental health, popsugar RC 2018, psychology, suspense, thriller

Judul: The Lock Artist

Penulis: Steve Hamilton

Penerbit: Orion Paperback (2011)

Halaman: 408p

Beli di: Betterworldbooks.com (USD 7.98, dics 20%)

Miracle Boy adalah julukan yang diberikan publik pada Michael, akibat suatu tragedi mengerikan yang dialami keluarganya saat ia kecil, dan ia adalah satu-satunya korban yang selamat.

Namun sejak kejadian tersebut, Michael tidak bisa bicara. Berbagai terapi dan konsultasi psikologis sudah ia jalani, tapi tetap saja- pita suaranya seolah berhenti untuk berfungsi.

Di tengah kesunyian hidupnya, Michael menemukan bakat tersembunyi yang tak terduga: ia bisa membuka kunci apapun; dari mulai gembok sederhana hingga brankas yang super rumit. Keahliannya ini sayangnya memancing gerombolan penjahat untuk memanfaatkannya, dan kejadian demi kejadian akhirnya malah menjerumuskan Michael ke sindikat kejahatan berbahaya yang mengancam kehidupannya dan orang-orang yang disayanginya. Michael berusaha melarikan diri dan bersembunyi- namun ia harus melakukan suatu pekerjaan terakhir, pekerjaan membongkar kunci yang paling berbahaya dan beresiko tinggi yang pernah ia hadapi.

Saya lupa siapa yang merekomendasikan buku ini pada saya- mungkin saya membaca reviewnya di salah satu blog atau website buku. Yang pasti, saya tidak pernah membaca buku karya Steve Hamilton sebelumnya, jadi saya tidak punya ekspektasi apa-apa terhadap buku ini.

Ternyata, Hamilton mampu menghipnotis saya lewat gaya penulisannya yang lancar dan tidak bertele-tele. Michael adalah karakter utama yang mudah mengundang simpati (meski ada beberapa keputusannya yang cukup bodoh), dan buku ini semakin enak untuk diikuti setelah saya merasa terhubung dengan Michael.

Salah satu kunci utama keberhasilan buku bergenre mystery, thriller atau crime, adalah kemampuan sang penulis untuk membuat kisahnya bisa dipercaya. Meyakinkan pembaca bukanlah hal yang mudah, dan inilah yang berhasil dilakukan oleh Hamilton dalam The Lock Artist. Penjelasannya tentang kehidupan sindikat para penjahat, serta penjahat freelance seperti Michael, dituturkan dengan cukup meyakinkan, dan detail tentang cara-cara menbuka kunci dan gembok mengasyikkan untuk diikuti (meski menurut si penulis, ia mengabaikan beberapa detail penting yang menjadikan deskripsinya tidak mungkin diikuti oleh para calon penjahat yang terinspirasi ingin mengikuti jejak Michael).

Secara keseluruhan, Steve Hamilton berhasil memikat saya. Meski tokoh Michael menurut saya masih terlalu muda mengingat kisah ini lumayan banyak mengulas topik yang sebenarnya lebih cocok untuk pembaca dewasa, namun hal ini sesekali malah menimbulkan efek simpati yang mungkin memang menjadi tujuan Hamilton menciptakan karakter berusia 18 tahun yang juga prodigy sindikat para penjahat. Sepertinya buku jni bisa dipertimbangkan oleh Hollywood untuk diangkat ke layar lebar!

Submitted for:

Category: A book involving a heist

Advertisements

In Cold Blood by Truman Capote

04 Thursday Oct 2018

Posted by astrid.lim in non fiction

≈ Leave a comment

Tags

america, crime, english, history, non fiction, popsugar RC 2018, psychology, thriller, true crime

Judul: In Cold Blood

Penulis: Truman Capote

Penerbit: Penguin Essentials (2012)

Halaman: 343p

Beli di: Big Bad Wolf Jakarta 2018 (IDR 70k)

Tanggal 15 November 1959 adalah hari yang tidak akan pernah dilupakan oleh penduduk kota kecil Holcomb di Kansas. Pada malam naas itu, salah satu keluarga yang terpandang, keluarga Clutter, tewas dibunuh oleh orang-orang tak dikenal.

Mr. dan Mrs. Clutter serta kedua anak remaja mereka tidak menyangka sedikitpun mereka akan menjadi korban kekejian berdarah yang menghabisi nyawa mereka.

Kasus ini diselidiki oleh Agent Al Dewey, yang memutar otak namun hanya menemukan sedikit sekali petunjuk, serta tidak adanya motif yang meyakinkan, karena keluarga Clutter bukanlah keluarga yang dibenci, bahkan sebaliknya, mereka sangat dihargai di kota kecil tersebut. Apakah ini perbuatan orang-orang yang tidak dikenal, atau ada musuh lama muncul dari masa lalu?

Truman Capote is a master of storytelling. Meski buku ini diangkat dari kisah nyata, namun penulisannya yang mengalir lancar, penuh dengan detail kecil tapi penting, sangat menarik untuk diikuti, dan seringkali saya lupa bahwa buku ini adalah non fiksi, saking serunya alur yang dipaparkan oleh Capote.

Sejak awal, kita sudah diajak menyusuri kisah seram ini dari dua sudut pandang: para korban dan para pelaku. Memang, tidak ada twist atau kejutan di sini karena kita sudah tahu siapa pelaku dan korban. Namun, dengan lihai Capote membawa kita mengenal satu per satu karakter yang terlibat di sini, mengupas kepribadian mereka, keseharian mereka, pandangan orang-orang tentang mereka. Dan secara tidak sadar, kita serasa berada langsung di tempat kejadian dan terhubung langsung dengan orang-orang tersebut.

The chilling factornya adalah bagaimana Capote merekonstruksi kejadian dari sudut pandang para pembunuh dengan sangat meyakinkan. Mulai dari saat mereka merencanakan perbuatan ini, apa yang ada di benak mereka dan saat-saat terakhir mereka memutuskan untuk berhenti atau jalan terus. Saya seolah bisa melihat langsung jalan pemikiran mereka, berusaha memahami dan menyadari dengan terkejut bahwa pembunuh berdarah dingin itu ada, dan mereka terlihat normal dalam kesehariannya seperti orang lain pada umumnya.

Banyak yang menganggap bahwa Capote terlalu banyak memasukkan unsur fiksi dan imajinasi serta menuliskan interpretasinya sendiri dalam buku ini, tapi menurut saya Capote sudah melakukan tugasnya dengan baik, mewawancarai berbagai sumber dan benar-benar mencari tahu setiap detail yang terungkap.

Buku ini juga membahas tentang hukuman mati, pro dan kontranya terutama di negara bagian Kansas, yang saat kasus ini terjadi, masih menerapkan hukuman gantung. Nyawa ganti nyawa- apakah relevan?

Saya merekomendasikan buku ini untuk pembaca yang ingin mencicipi genre true crime, atau yang ingin menulis buku bergenre kriminal. This is a real masterpiece indeed.

Truman Capote dan Harper Lee

Mungkin banyak yang sudah tahu bahwa Truman Capote bersahabat erat dengan Harper Lee, penulis masterpiece lain, To Kill a Mockingbird. Mereka adalah teman sejak kecil dan tumbuh besar di kota Monroeville di Alabama. Beberapa tokoh dalam kisah fiksi Capote terinspirasi dari karakter Lee, dan Capote (yang sudah lebih dulu dikenal di dunia sastra) bahkan disebut-sebut membantu Lee dalam menulis karya epiknya tersebut.

Capote dan Lee, ca 1960s

Namun mungkin banyak yang belum tahu kalau hubungan Capote dan Lee menjadi retak sejak terbitnya In Cold Blood. Lee berperan aktif dalam penulisan buku ini sebagai research assistant Capote, namun ia sangat tersinggung karena namanya hanya dimasukkan ke dalam halaman Acknowledgement saja, dan tidak diakui sebagai co-author.

Kisah persahabatan mereka diangkat ke layar lebar lewat film Capote yang diperankan oleh Philip Seymour Hoffman.

Submitted for:

Category: True crime

 

 

 

 

Sent from my Samsung Galaxy smartphone.

The Dinner by Herman Koch

27 Thursday Apr 2017

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 4 Comments

Tags

bbi review reading 2017, dutch, english, europe, fiction, mystery, popsugar RC 2017, psychology, twist, unreliable narrator

Judul: The Dinner

Penulis: Herman Koch

Penerjemah: Sam Garrett (dari Bahasa Belanda)

Penerbit: Hogarth (2009)

Halaman: 292p

Beli di: Better World Books (USD 7, disc 20%)

Dua pasang suami istri makan malam bersama di sebuah restoran mewah di Amsterdam. Paul (narator kisah ini) dan istrinya Claire, sebenarnya tidak terlalu suka dengan rencana ini, namun mereka tidak punya pilihan lain dan akhirnya menuruti saran Serge dan istrinya Babette untuk bertemu di restoran tersebut.

Topik penting yang harus mereka bicarakan menyangkut kedua anak laki-laki mereka yang sudah remaja, yang sedang menghadapi masalah besar. Namun mereka kerap menunda inti persoalan dan malah membicarakan hal-hal lain yang kurang penting, dari mulai film terbaru Woody Allen sampai rumah peristirahatan di Prancis. Seiring hidangan demi hidangan mewah yang disajikan oleh pelayan restoran, ketegangan pun semakin memuncak dan pembaca diajak untuk bertanya-tanya, kapankah masalah sesungguhnya akan terkuak?

Sementara itu, di sela-sela pembicaraan, Paul mengajak pembaca untuk menelusuri masa lalu, dan kembali ke awal mula terjadinya masalah. Sedikit demi sedikit, misteri mulai terbuka dan kita dihadapkan pada kejutan demi kejutan.

Saya sebenarnya cukup kagum dengan ide Herman Koch yang menggabungkan unsur misteri keluarga dengan setting restoran mewah. Simbol-simbol hidangan, dari aperitif hingga dessert, cukup bisa mewakili memuncaknya konflik secara perlahan-lahan sampai akhirnya meledak di bagian akhir.

Namun terus terang saja, plotnya sendiri menurut saya kurang meyakinkan dan agak sedikit dipaksakan. Berikut beberapa complaint saya:

Pertama, Paul sebagai unreliable narrator digambarkan kurang konsisten. Memang, narator model begini (seperti pada buku Gone Girl atau The Girl in The Train) seringkali sengaja diciptakan seperti itu oleh para penulis, untuk mengecoh pembaca dan menciptakan twist seru di sepanjang kisah. Tapi penggambaran karakter Paul sendiri menurut saya agak off, kurang bisa digali lebih dalam, sehingga berbagai fakta tentang dirinya yang terkuak di sepanjang buku, terasa seperti random facts yang dipaksakan.

Kedua, rasanya aneh juga mengapa dua pasangan ini, yang berkerabat dekat, memutuskan untuk bertemu di restoran mewah untuk membicarakan hal yang begitu pribadi. Apalagi Serge digambarkan sebagai public figure yang kehadirannya selalu menarik perhatian orang banyak. Mengapa mereka tidak bicara di rumah saja? Atau kalau ingin tempat yang lebih netral, menyewa ruangan khusus di sebuah restoran? Toh Serge mampu untuk melakukan semua itu. Ketidakkonsistenan inilah yang menurut saya menjadi kelemahan utama kisah The Dinner, yang menjadikan setting restoran sebagai plot dan tools utamanya dalam berkisah, tetapi tidak memberikan latar belakang yang cukup meyakinkan sehingga kita serasa hanya disodorkan dengan paksa setting tersebut tanpa boleh bertanya alasan di baliknya.

Ketiga, ending. Endingnya!!! Saya tahu, ending happily ever after sudah kurang laku di zaman sekarang, apalagi untuk kisah psychology mystery yang disajikan oleh unreliable narrator. Tapi… apa ngga ada ending yang lebih mending ya? Sudah karakternya sulit untuk disukai, endingnya membuat kita ingin menggetok para karakter tersebut. Benar-benar bikin depresi.

Kesimpulannya? Untuk yang suka kisah-kisah ajaib dengan unreliable narrator dan karakter yang unlikable, silakan mencicipi The Dinner. Tapi kalau saya pribadi, masih tidak mengerti kenapa buku ini menggondol lumayan banyak penghargaan. Hmm…

TRIVIA

Bulan Mei ini, film The Dinner akan dirilis, dengan pemain utama Richard Gere sebagai Stan (bukan Serge!) Lohman, dan Steve Coogan sebagai Paul Lohman. Anehnya, nama Serge dan Babette diganti menjadi Stan dan Katelyn di buku ini. Entah apa alasannya 😀

Submitted for:

Category: A book with an unreliable narrator

Kategori: Buku Pengarang Lima Benua (Eropa)

Before I Go To Sleep by S.J. Watson

11 Tuesday Oct 2016

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 4 Comments

Tags

english, fiction, movie tie in, mystery, psychology, secondhand books, suspense, thriller, twist ending

before-i-go-to-sleepJudul: Before I Go To sleep

Penulis: S.J. Watson

Penerbit: HarperCollins (2012, First International Mass Market)

Halaman: 368p

Beli di: Bukumoo (IDR 50k)

Salah satu genre favorit saya sepanjang masa adalah thriller-mystery. Saya (yang tidak suka genre horror tapi suka ditakut-takuti) selalu excited dengan pace yang cepat, intens, plot twist dan karakter yang tidak reliable.

Menurut premisnya, Before I Go To Sleep masuk ke dalam kategori ini.

THE PLOT:

Sejak insiden misterius yang menimpanya, Christine Lucas tidak memiliki memori jangka panjang lebih dari 24 jam. Setiap pagi, ia bangun dalam keadaan clueless tentang ruangan yang ditempatinya, umurnya, bahkan laki-laki yang berbaring di sebelahnya dan mengaku adalah suaminya, Ben.

Frustrasi ingin mengingat lebih banyak, dan merasa sangat vulnerable karena tidak berhasil, Christine suatu hari dikejutkan oleh telepon dari laki-laki yang mengaku sebagai dokternya, Dr. Nash, yang memberitahunya kalau Christine ternyata memiliki jurnal yang berisi informasi yang dikumpulkannya sedikit demi sedikit tentang fakta-fakta hidupnya, yang tujuannya adalah untuk mengembalikan memorinya.

Namun Christine terkejut saat membaca tulisannya di halaman depan: Do Not Trust Ben.

Siapa yang harus ia percayai?

THE TWIST:

Saya selalu berharap dikejutkan oleh twist dramatis (tapi tetap realistis) dari buku-buku sejenis ini. Kenikmatan membaca buku bergenre thriller mystery adalah secara bertahap dibuat tegang, lalu meledak menjadi kejutan di bagian akhir yang tidak tertebak tapi sekaligus bisa memberikan penjelasan yang memuaskan.

Sayangnya- Before I Go To Sleep belum bisa masuk ke dalam golongan ini (buat saya). Twistnya sudah tercium kuat dari pertengahan buku, tapi saya masih berharap saya salah, karena menurut saya penyelesaian tersebut tidak masuk akal dan akan terlalu dipaksakan. Namun ternyata dugaan saya benar, dan alih-alih puas karena berhasil menebak, saya justru kecewa. Ketegangan dan misteri yang terbangun cukup baik dari awal, terasa merosot dan sia-sia dengan ending yang terlalu dipaksakan.

THE VERDICT

Menurut saya, kisah Before I Go To Sleep memiliki Premis yang baik, cocok untuk penyuka thriller psikologis, dan ketegangannya juga cukup terjaga. Saya menyelesaikan buku ini dalam satu hari karena memang tidak bisa berhenti, rasa penasaran itu berhasil dibuat menumpuk (at least untuk membuktikan kalau tebakan saya salah dan ada kejutan lain menunggu di akhir buku).

Tapi sayangnya, twist di bagian ending kurang oke, menghilangkan dua bintang (dari lima bintang) yang saya sematkan pada buku ini. Konsistensi adalah kunci kesuksesan menjaring lima bintang pada buku bergenre misteri, dan buku ini, simply put, tidak bisa menjaga konsistensi tersebut dan kedodoran berat di bagian akhir.

THE MOVIE

Buku ini sudah diangkat ke layar lebar, dengan pemeran utama Nicole Kidman dan Colin Firth. Mungkin harusnya saya nonton filmnya saja, karena sepertinya Colin Firth akan mengalihkan saya dari ending yang paling tidak masuk akal sekalipun (Kingsman, cough cough) 🙂

large_before_i_go_to_sleep

 

The Girls by Emma Cline

22 Thursday Sep 2016

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 6 Comments

Tags

america, bahasa indonesia, dramatic, Gramedia, historical fiction, psychology, terjemahan

the-girls1Judul: The Girls (Gadis-Gadis Misterius)

Penulis: Emma Cline

Penerjemah: Maria Lubis

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2016)

Halaman: 360p

Beli di: Hobby Buku (IDR 75k, disc 25%)

Evie Boyd adalah seorang remaja perempuan biasa yang tinggal di kota kecil di California Utara pada tahun 1969. Keluarganya memang agak berantakan: ayah dan ibunya bercerai, sang ayah tinggal dengan selingkuhannya dan sang ibu terus mengabaikan Evie karena terlalu sibuk menata hidupnya usai perceraian tersebut.

Evie bukanlah anak gaul, ia hanya punya satu teman dekat, Connie, yang menurutnya agak membosankan. Evie ingin sesuatu yang baru, orang-orang menarik yang bisa menjadikan hidupnya lebih penting dan berarti.

Suatu hari di sebuah taman, Evie bertemu dengan sekelompok gadis berpakaian aneh, lusuh namun penuh misteri. Beberapa orang berbisik-bisik tentang gadis-gadis ini, yang disebut -sebut sebagai bagian dari kelompok aliran sesat. Salah satu dari gadis itu menarik perhatian Evie, memikatnya hingga akhirnya ikut terjerat ke dalam komunitas tersebut.

Dalam kelompok itu, Evie bertemu dengan banyak gadis dan pemuda yang serba bebas, tidak terikat aturan dan norma kehidupan pada umumnya. Mereka tinggal bersama-sama di suatu rumah pertanian kumuh, mencuri makanan dari tempat sampah dan hidup dengan barang seadanya. Namun semuanya dipersatukan oleh ikatan yang sama: pemujaan luar biasa terhadap pemimpin mereka, seorang laki-laki karismatik bernama Russell.

Namun seiring waktu yang dihabiskan Evie dengan pengikut Russell, ia mulai melihat keanehan demi keanehan: obsesi Russell yang berlebihan untuk menelurkan album rekaman dan menjadi musisi terkenal, tindakan-tindakan para pengikutnya yang mulai bisa dikategorikan sebagai tindakan kriminal, serta kekhawatiran Evie terhadap Suzanne, gadis yang memikatnya ke dalam kelompok ini namun yang juga memiliki rahasia terbesar.

Suatu kejadian mengerikan terjadi yang membuat Evie mempertanyakan kembali keputusannya bergabung dalam kelompok Russell, sekaligus yang akan mengubah hidupnya untuk selamanya.

Jujur saja, premis buku ini begitu menarik sampai-sampai saya tidak sabar untuk menunggu buku ini terbit- dan memutuskan untuk membaca terjemahannya yang memang keluar tidak lama setelah versi bahasa Inggrisnya terbit. Sepertinya GPU cukup jeli untuk langsung mengambil hak terjemahan buku yang memang menjadi bestseller di mana-mana tersebut (dan covernya cakep banget!).

Sudah menjadi rahasia umum kalau buku ini terinspirasi dari kisah tentang cult atau kelompok aliran sesat yang terkenal di akhir tahun 60an di California, yang dipimpin oleh Charles Manson, bahkan sosok Russell dan konflik yang dihadapi juga benar-benar terjadi dalam kelompok Manson Family dulu. Namun, alih-alih bercerita detail tentang kejadian dan tragedi yang dialami kelompok ini, The Girls lebih banyak berkisah tentang pergumulan batin Evie dalam memutuskan statusnya di kelompok tersebut, terutama hubungannya dengan Suzanne.

Saya agak kecewa juga sih, karena saya berharap plot yang lebih juicy, komplit dengan konflik internal, drama antar anggota kelompok, dan ketegangan yang meledak menjadi kasus tragis yang akan menghancurkan kelompok ini. Insider stories, lah. Tapi ternyata, Evie lebih berperan sebagai orang luar di pinggiran yang sibuk berkontemplasi tentang hidupnya sendiri.

Plot buku ini ditulis dengan alur maju-mundur, saat Evie berusia belasan tahun dan saat ia sudah beranjak tua, dengan bayang-bayang keterlibatannya dalam kelompok Russell terus menghantui hidupnya. Sepi, sendiri dan terasing, adalah kesan saya terhadap sosok Evie di bagian masa kini, mengingatkan saya dengan tone depresif karakter-karakter Haruki Murakami atau Kazuo Ishiguro. Sedangkan di masa lalu, Evie hanyalah anak remaja labil yang butuh perhatian.

Pendalaman psikologis adalah elemen utama buku ini, dan dituangkan dengan cukup baik oleh Emma Cline. Namun, untuk yang mengharapkan lebih banyak action (seperti saya), siap-siap untuk sedikit kecewa, ya 🙂

 

The Einstein Girl by Philip Sington

02 Monday Feb 2015

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 2 Comments

Tags

bahasa indonesia, europe, fiction, historical, medical, mystery, psychology, science, serambi, sicklit, terjemahan

einstein girlJudul: The Einstein Girl

Penulis: Philip Sington

Penerjemah: Salsabila Sakinah

Penerbit: PT Serambi Ilmu Semesta (2010)

Halaman: 525p

Swap with: Desty

Dunia dikejutkan dengan munculnya surat-menyurat rahasia antara Albert Einstein dan istri pertamanya, Mileva Maric, 30 tahun setelah kematian Einstein. Dari surat-surat tersebut, terungkap keberadaan seorang anak yang lahir sebelum Einstein menikah dengan Mileva. Anak yang tak pernah diakui oleh pasangan tersebut, dan identitasnya tetap menjadi misteri.

Hal inilah yang menjadi inspirasi Philip Sington ketika menulis kisah fiksi sejarah The Einstein Girl.

Kisah dibuka dengan munculnya seorang gadis yang nyaris tewas di sebuah hutan di luar kota Berlin. Ketika sang gadis pulih dari koma, ia tidak ingat siapa dirinya sebenarnya. Satu-satunya petunjuk adalah secarik kertas yang ditemukan di dekat sosoknya, berisi pemberitahuan tentang kuliah umum oleh Albert Einstein. Maka publik pun menjuluki gadis tersebut sebagai The Einstein Girl.

Psikiater yang menangani kasus ini, Martin Kirsch, bertekad ingin mengungkap identitas si Gadis Einstein. Penyelidikannya membawa Martin jauh melangkah ke masa lalu sang gadis, bahkan ke masa lalu Einstein yang rumit di Serbia dan Zurich. Ia juga sempat bertemu dengan Edward, anak laki-laki Einstein yang dirawat di rumah sakit jiwa, dan memegang kunci penting akan identitas si Gadis Einstein.

Buku ini ditulis dengan cukup teliti, riset yang dilakukan oleh Philip Sington terasa menyeluruh, baik mengenai kondisi Jerman menjelang kekuasaan Hitler (yang memaksa Einstein untuk kabur ke Amerika), teori Fisika Kuantum Einstein yang mengubah dunia, dan tentu saja, masa lalu pribadi Einstein yang rumit dan penuh desas desus.

Saya tidak tahu seberapa banyak dari kehidupan pribadi Einstein yang benar-benar nyata dalam buku ini, namun gaya bercerita Sington cukup bisa meyakinkan saya. Memang ada beberapa penjabaran mengenai teori fisika maupun psikiatri dasar yang menurut saya cukup bertele-tele, ditambah dengan terjemahan yang agak kaku, namun secara keseluruhan saya (surprisingly) lumayan menikmati kisah si Gadis Einstein.

Satu hal yang agak saya sayangkan adalah gaya penceritaan yang non linear tapi tidak diimbangi dengan detail yang jelas, membuat saya sempat kebingungan di beberapa bagian cerita.

Lalu, saya -yang tidak terlalu familiar dengan sejarah Jerman pra pemerintahan Hitler- juga agak tidak mengerti dengan subplot politik yang diselipkan Sington di pertengahan buku. Sington seolah mengasumsikan pembaca sudah mengerti benar apa yang ia bicarakan, sehingga merasa tidak perlu memberikan background yang terperinci. Sayangnya, beberapa bagian yang krusial justru terlewat begitu saja karena saya tidak merasa familiar dengan nama-nama yang terkait sejarah Jerman tersebut.

Overall, I quite enjoyed the story of the Einstein Girl, and recommend it for all hisfic lovers.

Submitted for:

Category "Name in the Title"

Category “Name in the Title”

We Need to Talk About Kevin by Lionel Shriver

24 Monday Feb 2014

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 8 Comments

Tags

america, dramatic, dysfunctional family, english, fiction, name challenge 2014, psychology, review 2014, tragedy

we need to talkJudul: We Need To Talk About Kevin

Penulis: Lionel Shriver

Penerbit/Edisi: The Text Publishing Company, Paperback (2006)

Halaman: 468p

Beli di: @Balibooks (IDR 50k)

Untuk setiap orang tua, salah satu mimpi terburuk adalah mendapati anaknya menjadi seorang pembunuh massal, yang mengakibatkan kematian tujuh orang teman sekolahnya. Hal itulah yang harus ditanggung oleh Eva Khatchadourian, setelah anak laki-lakinya Kevin dipenjara akibat penembakan massal di sekolah yang dilakukannya.

Dua tahun setelah Kevin dipenjara, Eva mulai menulis surat pada suaminya, Franklin, menyusuri awal hubungan mereka, pernikahan dan masa kecil Kevin. Sebagai orang tua, Eva bertanya-tanya, What could’ve been wrong? What did she do to deserve this?

Apakah menjadikan Kevin si pembunuh merupakan hasil perbuatannya dan Franklin selama bertahun-tahun, pola parenting yang salah dan menjerumuskan? Ataukah Kevin memang sudah dilahirkan dengan hati yang dingin, moral yang beku, dan keinginan untuk merusak bahkan sejak kecil?

Eva mengingat-ingat pergumulannya saat memutuskan ingin memiliki anak, dilemanya memilih antara keluarga atau karier (Eva memiliki perusahaan buku panduan traveling sejenis Lonely Planet), dan peperangannya dengan Franklin tentang cara terbaik membesarkan Kevin. Franklin sangat mengakomodir Kevin sementara Eva selalu memiliki prasangka buruk terhadap anaknya. Manakah yang lebih baik? Mana yang berpengaruh fatal?

Buku ini adalah salah satu buku paling gelap, paling berat, dan paling membuat depresi yang pernah saya baca, terutama setelah berstatus sebagai orang tua. Hingga batas apa orang tua dapat menentukan masa depan anaknya? Hingga batas apa orang tua bisa disalahkan atas perilaku anaknya?

Kontemplasi Eva sepanjang buku ini terasa sangat real, di satu sisi saya bisa bersimpati padanya,meski di sisi lain saya menganggap beberapa hal memang merupakan kesalahannya. Tapi yang paling misterius adalah Kevin. Bagaimana rasanya memiliki anak yang tidak bisa kita percaya? Saya hanya bisa merinding bila memikirkan kejadian ini dapat menimpa siapa saja. Seorang anak yang berasal dari darah daging kita mendadak menjadi sosok yang asing dan menyeramkan.

Satu-satunya komplain saya adalah gaya bahasa Lionel Shiver yang terasa sangat sophisticated. Eva memang digambarkan sebagai perempuan yang snob, keturunan imigran Armenia yang berusaha melakukan pembuktian diri di Amerika, dan mungkin gaya bahasa ini disengaja untuk memperkuat karakter Eva, apalagi sepanjang buku ini yang digunakan adalah sudut pandang Eva melalui surat-suratnya pada Franklin. Namun tetap saja saya tidak bisa menikmatinya. Kalimat-kalimat yang terlalu panjang dengan vocab yang seolah dipadukan dari berbagai kamus membuat saya menjadi kurang sabar terhadap Eva dan sulit bersimpati dengannya.

Meski demikian, saya mengacungi jempol untuk issue berat yang diangkat oleh Lionel Shriver dalam buku ini, yang terasa sangat relevan khususnya di belahan dunia Amerika. Saya ingat, seorang kerabat yang sekarang tinggal di Amerika, mengaku selalu ketar-ketir kalau di sekolah anaknya sudah mulai ada “code red alert” yang biasanya terjadi kalau sudah ada kasus penembakan di sekolah lain. Sepertinya selain maraknya kasus bullying, ijin penggunaan senjata juga menjadi issue yang masih sering diperdebatkan.

Trivia

  • Di enam minggu pertama tahun 2014, tercatat sudah ada 13 kasus penembakan sekolah di Amerika Serikat. Sedangkan sejak Desember 2012, sudah ada 44 kasus penembakan dengan total korban meninggal sebanyak 28 orang, mayoritas dari mereka adalah siswa sekolah yang bersangkutan.
  • Yang mengerikan, sebagian besar dari kasus tersebut dilakukan oleh siswa yang berusia di bawah 18 tahun.
  • Penembakan di sekolah bukanlah hal baru di Amerika, karena sudah pernah terjadi sejak tahun 1927 di Bath Township, Michigan (dengan korban tewas mencapai 45 orang). Namun jumlah dan skalanya pun bertambah seiring perkembangan jaman, termasuk peraturan penggunaan senjata di Amerika Serikat yang dianggap semakin bebas.
  • We Need To Talk About Kevin sudah diangkat ke layar lebar tahun 2011, dengan Tilda Swinton sebagai Eva, dan Ezra Miller sebagai Kevin.
Ezra Miller looks so chilling as the twisted Kevin.

Ezra Miller looks so chilling as the twisted Kevin.

Submitted for:

aname-1

Night Film

18 Friday Oct 2013

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 5 Comments

Tags

english, fiction, marisha pessl, mystery/thriller, new york, psychology, twist ending

intense cover!

intense cover!

Title: Night Film

Writer: Marisha Pessl

Publisher: Random House (2013)

Pages: 599p

Bought at: Kinokuniya Ngee Ann City (24,95 SGD)

 

 

5 Reasons Why This Book is a Must Read:
1. It’s written by Marisha Pessl (check out my review of her first cool debut)
2. It’s a mystery- with a crazy twist
3. It has a lot of graphics, pictures and other multimedia gimmick inside- that are related so well with the story
4. It’s set in New York City!!
5. It’s written by Marisha Pessl (had I mentioned this before?)

The Story
This book was told from Scott McGrath’s point of view, a veteran investigative journalist whose career was ruined after he failed to write an in-depth article about Stanislas Cordova, a mysterious cult film director who hasn’t been seen in public for more than 30 years.

Scott’s chance to fix his reputation came when Cordova’s daughter, Ashley, found dead in an abandoned warehouse in Manhattan. While the authority said it was a suicide, Scott was convinced that there’s something wrong with Ashley’s life, especially related to how Cordova raised her. Too many tragedies happened to the family, it’s hard to believe that all were just coincidences. And so many rumors and myths surrounding Cordova and his family (nobody in real world had met Cordova, and the one who had the honor did not want to talk about him)- it seemed impossible to even start the investigation.

Helped by two complete strangers, Nora -a girl from Florida suburb, and Hopper, a troubled guy who had known Ashley in the past, Scott jumped into the crazy world of Cordova- where fiction from his movies and the reality of his life- seemed to stumble with each other. Nothing is certain, nobody is trustful- everything is a complete haze. And there are dangers everywhere they go.

The Bonus
Apart from the delicious mystery plot, there is an extra bonus along this book. Pictures, articles, forum chat rooms from the internet, all were made in a very convincing way to support the story. There’s even a special feature article, written as if by the famous time.com, complete with photos and very accurate format.

a very convincing article from time.com

a very convincing article from time.com

Pessl has built Cordova’s life as if he’s a real person, a crazy combination of Quentin Tarantino and Stanley Kubrick probably (check out this article about crazy movie directors and you’ll know what I mean), with real cult movies and real fanatic fans. Pessl also mentioned the title of movies Cordova made, and how they affected people, all the tension and gory details, scary plots and bizarre endings. Even the actors didn’t want to talk about their experience! To make it more real, Pessl even told us some of the movie plots and secretly I really wanted to watch them- even though they are not real!

Intriguing fan-website -a totally cool fandom inside.

Intriguing fan-website -a totally cool fandom inside.

My thoughts
Another brilliant, dazzling masterpiece, beautifully crafted by Pessl’s magical mind. When in her first book she still had this “trying too hard” feeling- a bit too pretentious and ambitious in some part, here in her second book, she is more mature, brilliant without being too complicated.

I love the ending- the absurd feeling of “is this real?” Just like watching Cordova’s movies (I guess!). The characters – even though they’re not as lovable as Blue Van Meer from her debut novel- are quite OK. Nora is a bit annoying but I love Hopper and really hope he’s been exposed more. Scott can draw my sympathy with his failing career and life, even though sometimes he’s too pathetic for me.

And the New York City setting feels so right, helps to build the story so well. From the obvious places like Central Park or Waldorf-Astoria to the hidden secret places, like the magic shop and secret club, I can’t help but love NYC more after I read this book 🙂

The fact that Pessl used “Astrid” as the name of one of the characters is just another bonus! I can say that Marisha Pessl is one of the very few of my fave authors who hasn’t disappointed me so far. Can’t wait for her next work!

Imaginative interview of Cordova in Rolling Stone

Imaginative interview of Cordova in Rolling Stone

PS: this is my first 5-star book of the year 🙂

Marisha Pessl grew up in North Carolina, and currently living in New York. She worked in PricewaterhouseCoopers and wrote her first novel while working there. Her works are influenced by Agatha Christie, Truman Capote, David Lynch and Woody Allen (among others). She loves to watch old movies and her favorite TV Series is Breaking Bad. Night Film is her second novel (and I hope there will be more coming soon!)

One Flew Over The Cuckoo’s Nest

30 Thursday May 2013

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 25 Comments

Tags

allegory, BBI, borrowed, classic, dramatic, english, fiction, psychology, tragedy

cuckoo nestJudul: One Flew Over The Cuckoo’s Nest

Penulis: Ken Kesey

Penerbit: Penguin Classics (2005)

Halaman: 281p

Pinjam dari: Melisa (thanks!)

One flew east, one flew west, one flew over the cuckoo’s nest

Kisah kelam ini bersetting di sebuah rumah sakit jiwa di Oregon, Amerika Serikat. Di sebuah bangsal yang dipimpin oleh Kepala Perawat Ratched, berkumpul pasien yang mengalami gangguan psikologis. Meski sebagian besar dari mereka terlihat normal dari luar, namun masing-masing memiliki kelainan mental yang semakin diperparah oleh gaya tiran Ratched yang memimpin seperti seorang diktator. Penuh manipulasi dan aturan kaku yang menekan para pasiennya sehingga mereka semakin tidak percaya diri, Ratched menguasai rumah sakit tanpa ada perlawanan yang berarti, dibantu oleh para staffnya yang tak kalah kejam dan penuh kebencian.

Hingga suatu hari, datanglah McMurphy, seorang kriminal berbadan besar dan berambut merah yang ditransfer ke rumah sakit untuk ditelaah secara psikologis akibat kecenderungan nafsu seksual dan berjudi yang tak wajar. Namun McMurphy lah yang bisa menantang Ratched dan sistem diktatornya yang mengerikan. McMurphy melihat melampaui rekan-rekannya, bahwa sekuat apapun sistem yang menekan mereka, selama ada kemauan untuk melawan, maka mereka masih bisa menang.

Usaha-usaha McMurphy ini diceritakan melalui sudut pandang sang narator, Chief Bromden, pasien keturunan Indian yang sudah sangat lama berada di bawah rezim Ratched, dan sudah menyerah sejak dulu, sehingga semua orang menganggapnya bisu dan tuli, meski sebenarnya pengamatannya sangat tajam.

Apakah McMurphy akhirnya berhasil memecahkan dinding kediktatoran Ratched?

Karakter Jack Nicholson sebagai McMurphy menggondol banyak penghargaan

Karakter Jack Nicholson sebagai McMurphy menggondol banyak penghargaan

Buku ini adalah jenis buku yang harus ditelaah perlahan-lahan, memiliki begitu banyak simbol dan pesan tersembunyi, sehingga berkonsultasi pada Sparknotes bukanlah ide yang buruk 😀 Lewat novel pertamanya ini, Ken Kesey ingin menunjukkan protesnya terhadap sistem yang mengekang di era 60-an, di mana setiap orang dipaksa oleh negara dan masyarakat untuk mengikuti norma-norma yang berlaku, dan semua yang melenceng akan dianggap tidak normal.

Kesey juga melakukan telaah psikologis yang sangat mendalam di buku ini, lewat tokoh-tokohnya yang digambarkan memiliki masalah berbeda-beda, seperti Billy Bibbit yang mengalami keterlambatan menjadi dewasa dan selalu gagap, akibat dikekang oleh ibunya yang overprotektif. Atau Chief Bromden sendiri, yang masa lalunya sebagai anak kepala suku Indian dilukai oleh sikap pemerintah yang kejam pada suku dan keluarganya, membuatnya semakin merasa kecil dan kecil.

salah satu pemenang design cover penguin, keren banget! Source

salah satu pemenang design cover penguin, keren banget! Source

Tak heran Kesey berhasil menggambarkan karakternya dengan begitu detail, mengingat ia menulis buku ini setelah menjadi sukarelawan dalam eksperimen pengobatan di rumah sakit jiwa yang dibiayai oleh pemerintah. Dan gambaran rumah sakit jiwa yang kaku, pasien yang menurut seperti anak ayam (atau kelinci, menurut istilah salah satu tokoh di buku ini), serta pengobatan radikal seperti terapi listrik dan operasi otak, menjadi wakil sempurna dari ketakutan masyarakat terhadap sistem pemerintahan yang mengekang. Tak heran buku ini menjadi modern klasik yang tak lekang oleh jaman.

Meskipun saat membaca endingnya – hiks.

Ken Kesey adalah penulis Amerika yang lahir di Colorado, 17 September 1935. Novel pertamanya menjadi novel paling terkenal yang pernah ia tulis, dan sudah diadaptasi ke layar lebar (dengan Jack Nicholson sebagai McMurphy) dan memenangkan berbagai penghargaan, termasuk 5 piala Oscar untuk kategori utama. Kesey meninggal tahun 2001 di usia 66 tahun.

Postingan ini ditulis dalam rangka Posting Bersama Blogger Buku Indonesia (BBI) bulan Mei dengan tema klasik kontemporer.

What makes a modern classic?

Memilih buku yang akan dibaca bulan ini termasuk tricky. Banyak sumber yang berbeda tentang kategori modern classic/ klasik kontemporer ini. Sebagian besar mengatakan kalau klasik kontemporer adalah genre buku yang ditulis di jaman modern (Setelah perang dunia I atau II) dan membentuk trend literatur berbeda pada jamannya, yang pada akhirnya mengubah trend di masa depan. Banyak yang mengeluh ini berarti Twilight bisa masuk kategori tersebut, tapi masa iya Twilight disandingkan dengan 1984 atau To Kill A Mockingbird? Hehehe..Pro dan kontra sih, satu post tersendiri juga kayaknya nggak akan cukup membahas ini. Tapi itulah indahnya dunia membaca, nggak ada yang 100% salah dan benar, karena balik lagi, kita sebagai pembaca lah yang berhak menentukan genre ini dan genre itu 🙂 Yang mau lihat penjelasan cukup detail, bisa baca di blog Ndari. Dan yang mau melihat buku-buku seru apa saja yang menjadi pilihan anak-anak BBI bulan ini, silakan berkunjung ke blog Mia.

Out

05 Friday Apr 2013

Posted by astrid.lim in adult, challenge, fiction

≈ 14 Comments

Tags

asia, bahasa indonesia, crime, culture, fiction, Gramedia, mystery reading challenge, mystery/thriller, psychology, terjemahan

outJudul: Out

Penulis: Natsuo Kirino

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2007)

Pages: 576p

Gift from: @gramedia

Di pinggiran kota Tokyo, empat orang perempuan bekerja shift malam di sebuah pabrik makanan kotak (bento). Kehidupan mereka merupakan kebalikan dari orang-orang biasa: bekerja di tengah malam dan tidur di pagi hari. Namun diiming-imingi bayaran yang lebih besar, mereka berusaha mengesampingkan fakta ini.

Yoshie melakukannya demi menghidupi keluarganya, karena sebagai janda ia menjadi tulang punggung keluarga. Yayoi menabung untuk kehidupan keluarga kecilnya yang lebih layak, Kuniko perlu melunasi utang-utangnya yang sudah menumpuk. Sedangkan Masako memilih pekerjaan ini karena ingin menghindari suami dan anaknya yang semakin menjauhinya.

Mereka menjalani hidup dengan berat, dibebani masalah sehari-hari, hingga suatu saat Yayoi tidak tahan lagi dengan kelakuan suaminya yang gemar judi, menghabiskan tabungan keluarga, dan memukulinya. Yayoi membunuh suaminya, dan ketiga temannya terpaksa membantu memotong-motong mayat suaminya dan menyingkirkannya. Ketika salah satu potongan ditemukan polisi, mulailah drama kejar-kejaran yang menegangkan, ditambah dengan kehadiran seorang Yakuza yang sempat dituduh sebagai pelaku kejahatan tersebut, dan kini ingin membalas dendam.

Satu peringatan bagi yang ingin membaca buku ini: siapkan perut yang kuat! Karena akan begitu banyak gory details yang disajikan di sini, termasuk proses memotong dan mengiris mayat hingga bisa dimasukkan ke dalam belasan kantong belanjaan. Eew! Mungkin karena memang sudah menjadi ciri khas para penulis Jepang yang gemar adegan absurd, brutal, dan frontal, maka begitu jugalah gaya Natsuo Kirino mengisahkan thriller misteri ini.

Dipadukan dengan cerita gelap dan kegetiran yang dialami masing-masing tokohnya, maka sempurnalah perasaan depresi yang bisa ditimbulkan oleh buku ini. Jalinan ceritanya sendiri sebenarnya seru, mengalir dengan sifat-sifat dan aspek psikologis manusia yang bisa dituturkan dengan begitu pas oleh Natsuo. Ditambah lagi dengan budaya Jepang yang memang sunyi, kaku, dan masih sering merendahkan kaum perempuan. Permasalahan yang dialami masing-masing tokoh juga mewakili perasaan terperangkap, ingin mencari jalan keluar di saat semua pintu nampaknya sudah tertutup. Keputusasaan menjadi tema utama buku ini, dan betapa suatu kejadian yang sangat absurd mungkin bisa menjadi jalan keluar.

Namun buku ini memang sepertinya bukan untuk semua orang, dan harus dibaca dalam mood yang tepat. Otherwise, the intensity and dark feelings will bring you down.

Posting ini diikutsertakan dalam TBRR Mystery Reading Challenge yang di-host oleh Hobby Buku.

MysteryReadingChallengeButton1

From the bookshelf

Categories

Looking for Something?

Enter your email address to follow Books to Share and receive notifications of new posts by email.

Join 941 other followers

Currently Reading

I’m a Proud Member! #BBI 1301004

Wishful Wednesday Meme

Fill your Wednesdays with wishful thinking =)

Popsugar Reading Challenge 2018

What’s in a Name 2018

bookworms

  • aleetha
  • althesia
  • alvina
  • ana
  • annisa
  • bzee
  • dewi
  • dion
  • fanda
  • Ferina
  • helvry
  • inne
  • Kobo
  • maya
  • mei
  • melmarian
  • mia
  • ndari
  • nophie
  • oky
  • peri hutan
  • ren
  • Reygreena
  • sel sel kelabu
  • sinta
  • tanzil
  • tezar
  • yuska

shop til you drop

  • abe books
  • Amazon
  • better world books
  • book depository
  • BukaBuku
  • Buku Dedo
  • bukukita
  • vixxio

Top Posts & Pages

  • Istanbul: Kenangan Sebuah Kota by Orhan Pamuk
    Istanbul: Kenangan Sebuah Kota by Orhan Pamuk
  • China Rich Girlfriend (Kekasih Kaya Raya) by Kevin Kwan
    China Rich Girlfriend (Kekasih Kaya Raya) by Kevin Kwan
  • Lima Sekawan - The Series
    Lima Sekawan - The Series
  • Harry Potter dan Batu Bertuah
    Harry Potter dan Batu Bertuah
  • The Glass Castle by Jeannette Walls
    The Glass Castle by Jeannette Walls

Recent Comments

The Seven Husbands o… on Beautiful Ruins by Jess W…
Turtles All The Way… on The Fault in Our Stars
Turtles All The Way… on Will Grayson, Will Grayso…
Kumpulan Sinopsis Da… on Lucky No. 15 Reading Chal…
sunkyuuu on Birthday Bash Giveaway Wi…
Advertisements

Create a free website or blog at WordPress.com.

Cancel
Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy