• About this blog
  • Clearance Sale!
  • Newbery Project
  • Popsugar Reading Challenge 2022
  • Previous Challenges
    • BBI Read and Review Challenge 2017
    • Challenges 2014
    • Challenges 2015
    • Lucky No.14 Reading Challenge
    • Lucky No.15 Reading Challenge
    • POPSUGAR Reading Challenge 2017
    • Popsugar Reading Challenge 2018
    • Popsugar Reading Challenge 2020
    • Popsugar Reading Challenge 2021
    • What’s in a Name 2018
    • Twenty-Ten Challenge
    • Challenges 2012
    • Challenges 2013
  • Round Ups
  • The Librarian

~ some books to share from my little library

Tag Archives: psychology

Why We’re Polarized by Ezra Klein

27 Monday Sep 2021

Posted by astrid.lim in non fiction

≈ Leave a comment

Tags

america, culture, ebook, non fiction, politics, popsugar RC 2021, psychology

Judul: Why We’re Polarized

Penulis: Ezra Klein

Penerbit: Avid Reader Press/Simon & Schuster (2020, Kindle edition)

Halaman: 335p

Beli di: Amazon.com (USD 10.20)

Saya beberapa kali membaca artikel yang ditulis oleh Ezra Klein di New York Times, tapi ini adalah pertama kalinya saya membaca buku karya Klein. Gaya menulisnya tetap sama: lugas, to the point, mudah dimengerti, dan bisa menarabahasakan sesuatu yang rumit dengan lebih sederhana, tanpa simplified the issues.

Isu utama yang dibahas buku ini adalah polarisasi. Klein menulis Why We’re Polarized setelah beberapa tahun masa kepemimpinan Donald Trump. Ia mencoba menganalisis mengapa dunia saat ini jauh lebih terpolarisasi dibandingkan dengan sepuluh tahun lalu. Mengapa kita harus memilih antara ekstrem yang satu dan ekstrem yang lain, dan merasa sangat emosional jika pilihan kita didebat atau dipertanyakan?

Klein memang lebih banyak membahas isu polarisasi dari kacamata politik Amerika Serikat, khususnya di election 2016 dan pasca Donald Trump menjabat. Tapi saya sendiri merasa isu dan pembahasannya sangat relevan dengan kondisi dunia, termasuk Indonesia, saat ini. Saya masih ingat jelas betapa terpolarisasinya Indonesia di Pemilu 2014, dengan geng cebong dan kampret, yang terus berlarut-larut hingga sekarang, di masa pandemi ini. Dalam setiap isu, rakyat seolah harus memilih ingin berada di pihak mana, dan saling berlomba untuk menjadi yang paling benar dalam opini dan pilihan mereka.

Sangat menarik membaca analisis Klein tentang politik identitas (relevan juga dengan Indonesia!), baik menyangkut agama, region, etnis, dan banyak lagi hal-hal yang makin ke sini dirasa makin penting dibandingkan di masa lalu. Peran sosial media juga cukup besar, di mana polarisasi bisa dipertajam dengan debat online, compressed news stories, dan hoax. Penjelasannya sangat mengena, dengan bahasa sehari-hari yang membuat amat relatable dan mudah dimengerti.

But if our search is motivated by aims other than accuracy, more information can mislead us—or, more precisely, help us mislead ourselves. There’s a difference between searching for the best evidence and searching for the best evidence that proves us right. And in the age of the internet, such evidence, and such experts, are never very far away.

The simplest way to activate someone’s identity is to threaten it, to tell them they don’t deserve what they have, to make them consider that it might be taken away. The experience of losing status—and being told your loss of status is part of society’s march to justice—is itself radicalizing.

Satu lagi yang saya suka, Klein juga memberikan langkah-langkah praktis di bagian akhir buku, yang bisa kita coba untuk memperkecil gap polarisasi sehingga politik bisa kembali ke iklim yang sehat. Saya berharap ada penulis Indonesia yang juga bisa membahas isu ini dengan menjadikan Indonesia sebagai case study, karena menurut saya, situasi yang kita hadapi juga tidak jauh berbeda dengan Amerika Serikat.

Rating: 4/5

Recommended if you are into: politics, relevant issues, relatable case studies, internet and social media, easy to understand non fiction analysis

Submitted for:

Category: A book about a subject you are passionate about

The Girls in the Garden by Lisa Jewell

22 Thursday Jul 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

british, crime, dysfunctional family, e-book, english, fiction, mystery, psychology, thriller, twist

Judul: The Girls in the Garden

Penulis: Lisa Jewell

Penerbit: Atria Books (2015, Kindle edition)

Halaman: 321p

Beli di: Amazon.com (USD 1.99, bargain!)

Saya pertama kali familiar dengan Lisa Jewell ketika ia masih menulis novel bergaya chicklit, dengan tema drama domestik berbumbu romance. Namun beberapa tahun terakhir ini, nama Jewell justru besar karena genre thriller/mystery, dan ia termasuk produktif menerbitkan buku hampir setiap tahun.

The Girls in the Garden adalah buku pertama Jewell yang saya baca setelah sekian tahun, terutama yang bergenre misteri. Kesan pertama saya adalah alangkah unik dan menariknya setting yang dipakai Jewell di buku ini. Lingkungan perumahan komunal, dengan rumah teras/apartemen bergaya Victoria, yang kini ditempati banyak keluarga muda yang mencari affordable housing, maupun pemilik lama yang tidak mau berpisah dari tempat tinggal keluarga yang sudah diwariskan turun temurun. Yang membedakan Virginia Terrace dari lingkungan perumahan sejenis adalah adanya taman komunal yang bisa diakses oleh penghuni.

Area taman ini memiliki playground, taman bunga, bahkan pojok cantik untuk duduk-duduk membaca buku. Saya sendiri senang dengan referensi peta yang digambarkan di bagian awal buku, sehingga memudahkan saya untuk membayangkan setting kisah ini.

Sayangnya, di taman yang terlihat tenteram dan damai inilah sebuah tragedi terjadi, seusai pesta midsummer yang diadakan oleh para penghuni. Grace, yang baru pindah ke Virginia Terrace, ditemukan tergeletak tak sadarkan diri dan setengah telanjang. Apa yang terjadi? Bukankah lingkungan mereka adalah lingkungan perumahan yang aman?

Pip, adik Grace yang berusia 11 tahun, merasa ada yang aneh dengan para penghuni Virginia Terrace. Adele dan Leo, beserta anak-anak mereka, yang terlihat seperti keluarga sempurna namun menyimpan rahasia masa lalu yang gelap, Dylan yang ditaksir Grace, beserta kakaknya yang memiliki kondisi mental terbelakang, serta Tyler, anak perempuan sok jago yang selalu merasa paling tahu tentang segalanya. Semuanya memiliki dinamika yang aneh, yang menurut Pip menguarkan aura sinis, mungkin karena ia dan keluarganya adalah pendatang baru yang tidak mengerti sejarah masa lalu para penghuni lama Virginia Terrace.

Dan meski kulminasi The Girls in the Garden adalah tentang misteri kejahatan yang menimpa Grace, serta siapa yang berada di balik insiden tersebut, namun saya merasa Jewell lebih fokus untuk menggali drama dan dinamika antara karakter para penghuni Virginia Terace. Masa lalu mereka, tragedi mirip yang pernah terjadi sebelumnya, tokoh-tokoh yang sudah meninggal, yang kembali lagi setelah sekian tahun, atau yang masih menetap di perumahan tersebut, semua memiliki kisah menarik yang cukup berhasil diramu oleh Jewell.

Tapi, menurut saya, Jewell jadi agak keteteran di bagian unsur misternya sendiri, karena crime yang terjadi rasanya tidak bisa dikategorikan ke dalam genre psychological suspense atau thriller yang selama ini digadang-gadang sebagai spesialisasi Jewell. Saya sendiri mengategorikan kisah ini lebih seperti kisah-kisah drama domestik ala Lianne Moriarty atau Jodi Picoult. Juicy, page turner, tapi tidak memiliki gigitan yang sama dengan crime stories pada umumnya.

Let’s see if I have another opinion with Jewell’s other books.

Rating: 3.5/5

Recommended if you like: mystery, juicy neighbor drama, domestic semi-thriller, tamped down crime story, unique setting, other side of London’s life

Final Girls by Riley Sager

05 Wednesday May 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

america, contemporary, mystery/thriller, popsugar RC 2021, psychology, thriller, twist ending, unreliable narrator

Judul: Final Girls

Penulis: Riley Sager

Penerbit: Dutton (paperback, 2018)

Halaman: 339p

Beli di: Books and Beyond (IDR 147,500)

Saya jatuh cinta berat dengan Riley Sager saat membaca Home Before Dark tahun lalu, dan langsung berniat membaca semua bukunya yang lain. Final Girls, meski tidak sefenomenal Home, tetap memiliki keseruannya sendiri.

Final girls merujuk pada sebutan untuk beberapa perempuan yang menjadi korban kejahatan pembunuhan massal, namun berhasil menjadi satu-satunya penyintas. Quincy adalah salah satu dari final girls yang berhasil selamat dari pembunuhan massal yang terjadi saat ia dan teman-temannya berlibur di sebuah kabin. Quincy memblok memorinya akan apa yang terjadi di malam naas itu, dan ia tergantung sepenuhnya dengan Xanax untuk bisa melanjutkan hidupnya.

Kini Quincy tinggal di New York, bersama pacarnya Jeff, dan mendedikasikan hidupnya untuk website bakingnya. Satu-satunya yang masih menghubungkannya dengan tragedi masa lalunya adalah Coop, polisi yang menyelamatkan hidupnya dan menjadi tempat curhat Quincy saat mengalami hari yang buruk.

Ketenangan hidup Quincy terusik saat salah satu Final Girls lain, Lisa, ditemukan meninggal dunia secara misterius, dan Sam, Final Girl yang selama ini menghilang, tiba-tiba muncul di depan apartemen Quincy. Quincy pun terpaksa mengingat kembali peristiwa mengerikan yang terjadi bertahun-tahun lalu, terutama karena ia sadar nyawanya pun terancam bahaya.

Final Girls adalah salah satu buku thriller pertama yang ditulis oleh Riley Sager, dan memang, tone serta gaya menulisnya belum se-mature buku-buku setelahnya, terutama Home Before Dark. Tapi Final Girls tetap seru untuk dinikmati dan memiliki elemen-elemen yang penting untuk buku thriller sejenis. Karakter yang misterius, narator yang unreliable, setting yang spooky, berbagai twist dan turn yang agak bisa sedikit tertebak tapi masih tetap mengejutkan. Sager sendiri mengaku sangat menyukai film dan kisah pembunuhan/slasher yang marak di tahun 90an seperti Scream dan I Know What You Did Last Summer, dan nuansa slasher tersebut terasa cukup jelas di buku ini.

Now I will just read whatever Sager writes, and fortunately, there are still quite many of them because he is such a productive writer 🙂

Rating: 3.5/5

Recommend if you like: suspense, unreliable narrator, 90s slasher movie vibes, twisted ending

Submitted for:

Category: A book you think your best friend would like

The Night Swim by Megan Goldin

29 Thursday Apr 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

america, bargain book!, ebook, lovely heroine, mystery/thriller, psychology, social issues, social media, suspense/thriller, twist ending, women

Judul: The Night Swim

Penulis: Megan Goldin

Penerbit: St. Martin’s Press (2020, Kindle Edition)

Halaman: 352p

Beli di: Amazon.com (USD 2.99, bargain!)

Rachel Krall adalah seorang podcast host yang terkenal dengan liputan true crime nya. Bahkan, di season pertamanya, Rachel berhasil memecahkan kasus yang sudah dianggap selesai, dan membebaskan orang tak bersalah yang sudah dihukum penjara. Kini, di season terbaru, Rachel berangkat ke Neapolis, kota kecil di pesisir North Carolina, untuk meliput salah satu pengadilan terheboh di tahun itu.

Kasusnya adalah pemerkosaan oleh seorang atlet renang muda yang menjadi idola seisi kota, terhadap murid SMA yang juga cucu mantan kepala polisi kota tersebut. Kasus yang sensitif ini membuat panas penduduk kota, yang terbagi menjadi dua kubu yang masing-masing meyakini teorinya lah yang paling benar. Rachel sendiri berusaha bersikap netral, dan hanya ingin menyajikan kebenaran terhadap pendengarnya, lewat interview, investigasi, dan liputan live jalannya persidangan yang ditunggu-tunggu oleh para pendengarnya.

Namun di tengah kasus panas tersebut, Rachel dikejutkan dengan adanya penguntit, seorang perempuan misterius bernama Hannah, yang ngotot ingin meminta pertolongan Rachel memecahkan kasus yang terjadi bertahun-tahun silam. Kakak perempuan Hannah meninggal secara misterius, semua orang yakin itu merupakan kecelakaan karena ia berenang di laut malam-malam, apalagi reputasi sang kakak yang dinilai sebagai party goers dan penggoda laki-laki. Namun Hannah yakin kalau kakaknya tidak meninggal karena kecelakaan, melainkan dibunuh. Dan Hannah yakin, satu-satunya yang bisa menolongnya membuktikan hal ini adalah Rachel.

Ini adalah pertama kalinya saya membaca buku karya Megan Goldin. And I WAS HOOKED! Saya suka penyajiannya yang pas, dengan selingan episode podcast Rachel yang sangat hidup, sampai-sampai saya bisa membayangkan suara Rachel sendiri yang membawakan skripnya. Saya juga suka dengan penggambaran karakter Rachel, yang tidak dibuat sebagai superhero di sini, tapi justru mewakili kita para pembaca yang ingin mengetahui kejelasan kasus-kasus ini sampai akhir. Rachel tidak mendistraksi kita dengan agenda personalnya, sehingga cukup konsisten dari awal hingga akhir berperan menjadi detektif amatir yang cukup bisa relate dengan pembaca.

Saya juga suka bagaimana Goldin meramu dua kasus yang sama-sama berkaitan dengan pemerkosaan, walaupun berlangsung di dua timeline yang berbeda. Penyatuan dua kasus ini hingga akhirnya memiliki kejelasan yang memuaskan, adalah salah satu kekuatan utama buku ini. Goldin juga membahas secara cukup detail tentang sulitnya posisi korban dalam kasus pemerkosaan, yang tidak akan terjadi di kasus dengan jenis kejahatan lainnya. Betapa stigma yang melekat di korban pada kasus pemerkosaan terasa amat memberatkan: dituduh pembohong, disalahkan, dijatuhkan reputasinya. Ini adalah isu yang sangat relevan, dan miris rasanya karena tidak banyak yang berubah sejak masa lampau hingga sekarang.

Overall, a very recommended book. Saya langsung ingin mencari buku-buku Megan Goldin yang lain 🙂

Rating: 4/5

Recommended if you like: psychological thriller, controversial cases, dramatic court scenes, twisted ending, sympathetic main character

The Lock Artist by Steve Hamilton

11 Thursday Oct 2018

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

action, america, crime, english, fiction, heist, mental health, popsugar RC 2018, psychology, suspense, thriller

Judul: The Lock Artist

Penulis: Steve Hamilton

Penerbit: Orion Paperback (2011)

Halaman: 408p

Beli di: Betterworldbooks.com (USD 7.98, dics 20%)

Miracle Boy adalah julukan yang diberikan publik pada Michael, akibat suatu tragedi mengerikan yang dialami keluarganya saat ia kecil, dan ia adalah satu-satunya korban yang selamat.

Namun sejak kejadian tersebut, Michael tidak bisa bicara. Berbagai terapi dan konsultasi psikologis sudah ia jalani, tapi tetap saja- pita suaranya seolah berhenti untuk berfungsi.

Di tengah kesunyian hidupnya, Michael menemukan bakat tersembunyi yang tak terduga: ia bisa membuka kunci apapun; dari mulai gembok sederhana hingga brankas yang super rumit. Keahliannya ini sayangnya memancing gerombolan penjahat untuk memanfaatkannya, dan kejadian demi kejadian akhirnya malah menjerumuskan Michael ke sindikat kejahatan berbahaya yang mengancam kehidupannya dan orang-orang yang disayanginya. Michael berusaha melarikan diri dan bersembunyi- namun ia harus melakukan suatu pekerjaan terakhir, pekerjaan membongkar kunci yang paling berbahaya dan beresiko tinggi yang pernah ia hadapi.

Saya lupa siapa yang merekomendasikan buku ini pada saya- mungkin saya membaca reviewnya di salah satu blog atau website buku. Yang pasti, saya tidak pernah membaca buku karya Steve Hamilton sebelumnya, jadi saya tidak punya ekspektasi apa-apa terhadap buku ini.

Ternyata, Hamilton mampu menghipnotis saya lewat gaya penulisannya yang lancar dan tidak bertele-tele. Michael adalah karakter utama yang mudah mengundang simpati (meski ada beberapa keputusannya yang cukup bodoh), dan buku ini semakin enak untuk diikuti setelah saya merasa terhubung dengan Michael.

Salah satu kunci utama keberhasilan buku bergenre mystery, thriller atau crime, adalah kemampuan sang penulis untuk membuat kisahnya bisa dipercaya. Meyakinkan pembaca bukanlah hal yang mudah, dan inilah yang berhasil dilakukan oleh Hamilton dalam The Lock Artist. Penjelasannya tentang kehidupan sindikat para penjahat, serta penjahat freelance seperti Michael, dituturkan dengan cukup meyakinkan, dan detail tentang cara-cara menbuka kunci dan gembok mengasyikkan untuk diikuti (meski menurut si penulis, ia mengabaikan beberapa detail penting yang menjadikan deskripsinya tidak mungkin diikuti oleh para calon penjahat yang terinspirasi ingin mengikuti jejak Michael).

Secara keseluruhan, Steve Hamilton berhasil memikat saya. Meski tokoh Michael menurut saya masih terlalu muda mengingat kisah ini lumayan banyak mengulas topik yang sebenarnya lebih cocok untuk pembaca dewasa, namun hal ini sesekali malah menimbulkan efek simpati yang mungkin memang menjadi tujuan Hamilton menciptakan karakter berusia 18 tahun yang juga prodigy sindikat para penjahat. Sepertinya buku jni bisa dipertimbangkan oleh Hollywood untuk diangkat ke layar lebar!

Submitted for:

Category: A book involving a heist

In Cold Blood by Truman Capote

04 Thursday Oct 2018

Posted by astrid.lim in non fiction

≈ Leave a comment

Tags

america, crime, english, history, non fiction, popsugar RC 2018, psychology, thriller, true crime

Judul: In Cold Blood

Penulis: Truman Capote

Penerbit: Penguin Essentials (2012)

Halaman: 343p

Beli di: Big Bad Wolf Jakarta 2018 (IDR 70k)

Tanggal 15 November 1959 adalah hari yang tidak akan pernah dilupakan oleh penduduk kota kecil Holcomb di Kansas. Pada malam naas itu, salah satu keluarga yang terpandang, keluarga Clutter, tewas dibunuh oleh orang-orang tak dikenal.

Mr. dan Mrs. Clutter serta kedua anak remaja mereka tidak menyangka sedikitpun mereka akan menjadi korban kekejian berdarah yang menghabisi nyawa mereka.

Kasus ini diselidiki oleh Agent Al Dewey, yang memutar otak namun hanya menemukan sedikit sekali petunjuk, serta tidak adanya motif yang meyakinkan, karena keluarga Clutter bukanlah keluarga yang dibenci, bahkan sebaliknya, mereka sangat dihargai di kota kecil tersebut. Apakah ini perbuatan orang-orang yang tidak dikenal, atau ada musuh lama muncul dari masa lalu?

Truman Capote is a master of storytelling. Meski buku ini diangkat dari kisah nyata, namun penulisannya yang mengalir lancar, penuh dengan detail kecil tapi penting, sangat menarik untuk diikuti, dan seringkali saya lupa bahwa buku ini adalah non fiksi, saking serunya alur yang dipaparkan oleh Capote.

Sejak awal, kita sudah diajak menyusuri kisah seram ini dari dua sudut pandang: para korban dan para pelaku. Memang, tidak ada twist atau kejutan di sini karena kita sudah tahu siapa pelaku dan korban. Namun, dengan lihai Capote membawa kita mengenal satu per satu karakter yang terlibat di sini, mengupas kepribadian mereka, keseharian mereka, pandangan orang-orang tentang mereka. Dan secara tidak sadar, kita serasa berada langsung di tempat kejadian dan terhubung langsung dengan orang-orang tersebut.

The chilling factornya adalah bagaimana Capote merekonstruksi kejadian dari sudut pandang para pembunuh dengan sangat meyakinkan. Mulai dari saat mereka merencanakan perbuatan ini, apa yang ada di benak mereka dan saat-saat terakhir mereka memutuskan untuk berhenti atau jalan terus. Saya seolah bisa melihat langsung jalan pemikiran mereka, berusaha memahami dan menyadari dengan terkejut bahwa pembunuh berdarah dingin itu ada, dan mereka terlihat normal dalam kesehariannya seperti orang lain pada umumnya.

Banyak yang menganggap bahwa Capote terlalu banyak memasukkan unsur fiksi dan imajinasi serta menuliskan interpretasinya sendiri dalam buku ini, tapi menurut saya Capote sudah melakukan tugasnya dengan baik, mewawancarai berbagai sumber dan benar-benar mencari tahu setiap detail yang terungkap.

Buku ini juga membahas tentang hukuman mati, pro dan kontranya terutama di negara bagian Kansas, yang saat kasus ini terjadi, masih menerapkan hukuman gantung. Nyawa ganti nyawa- apakah relevan?

Saya merekomendasikan buku ini untuk pembaca yang ingin mencicipi genre true crime, atau yang ingin menulis buku bergenre kriminal. This is a real masterpiece indeed.

Truman Capote dan Harper Lee

Mungkin banyak yang sudah tahu bahwa Truman Capote bersahabat erat dengan Harper Lee, penulis masterpiece lain, To Kill a Mockingbird. Mereka adalah teman sejak kecil dan tumbuh besar di kota Monroeville di Alabama. Beberapa tokoh dalam kisah fiksi Capote terinspirasi dari karakter Lee, dan Capote (yang sudah lebih dulu dikenal di dunia sastra) bahkan disebut-sebut membantu Lee dalam menulis karya epiknya tersebut.

Capote dan Lee, ca 1960s

Namun mungkin banyak yang belum tahu kalau hubungan Capote dan Lee menjadi retak sejak terbitnya In Cold Blood. Lee berperan aktif dalam penulisan buku ini sebagai research assistant Capote, namun ia sangat tersinggung karena namanya hanya dimasukkan ke dalam halaman Acknowledgement saja, dan tidak diakui sebagai co-author.

Kisah persahabatan mereka diangkat ke layar lebar lewat film Capote yang diperankan oleh Philip Seymour Hoffman.

Submitted for:

Category: True crime

 

 

 

 

Sent from my Samsung Galaxy smartphone.

The Dinner by Herman Koch

27 Thursday Apr 2017

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 4 Comments

Tags

bbi review reading 2017, dutch, english, europe, fiction, mystery, popsugar RC 2017, psychology, twist, unreliable narrator

Judul: The Dinner

Penulis: Herman Koch

Penerjemah: Sam Garrett (dari Bahasa Belanda)

Penerbit: Hogarth (2009)

Halaman: 292p

Beli di: Better World Books (USD 7, disc 20%)

Dua pasang suami istri makan malam bersama di sebuah restoran mewah di Amsterdam. Paul (narator kisah ini) dan istrinya Claire, sebenarnya tidak terlalu suka dengan rencana ini, namun mereka tidak punya pilihan lain dan akhirnya menuruti saran Serge dan istrinya Babette untuk bertemu di restoran tersebut.

Topik penting yang harus mereka bicarakan menyangkut kedua anak laki-laki mereka yang sudah remaja, yang sedang menghadapi masalah besar. Namun mereka kerap menunda inti persoalan dan malah membicarakan hal-hal lain yang kurang penting, dari mulai film terbaru Woody Allen sampai rumah peristirahatan di Prancis. Seiring hidangan demi hidangan mewah yang disajikan oleh pelayan restoran, ketegangan pun semakin memuncak dan pembaca diajak untuk bertanya-tanya, kapankah masalah sesungguhnya akan terkuak?

Sementara itu, di sela-sela pembicaraan, Paul mengajak pembaca untuk menelusuri masa lalu, dan kembali ke awal mula terjadinya masalah. Sedikit demi sedikit, misteri mulai terbuka dan kita dihadapkan pada kejutan demi kejutan.

Saya sebenarnya cukup kagum dengan ide Herman Koch yang menggabungkan unsur misteri keluarga dengan setting restoran mewah. Simbol-simbol hidangan, dari aperitif hingga dessert, cukup bisa mewakili memuncaknya konflik secara perlahan-lahan sampai akhirnya meledak di bagian akhir.

Namun terus terang saja, plotnya sendiri menurut saya kurang meyakinkan dan agak sedikit dipaksakan. Berikut beberapa complaint saya:

Pertama, Paul sebagai unreliable narrator digambarkan kurang konsisten. Memang, narator model begini (seperti pada buku Gone Girl atau The Girl in The Train) seringkali sengaja diciptakan seperti itu oleh para penulis, untuk mengecoh pembaca dan menciptakan twist seru di sepanjang kisah. Tapi penggambaran karakter Paul sendiri menurut saya agak off, kurang bisa digali lebih dalam, sehingga berbagai fakta tentang dirinya yang terkuak di sepanjang buku, terasa seperti random facts yang dipaksakan.

Kedua, rasanya aneh juga mengapa dua pasangan ini, yang berkerabat dekat, memutuskan untuk bertemu di restoran mewah untuk membicarakan hal yang begitu pribadi. Apalagi Serge digambarkan sebagai public figure yang kehadirannya selalu menarik perhatian orang banyak. Mengapa mereka tidak bicara di rumah saja? Atau kalau ingin tempat yang lebih netral, menyewa ruangan khusus di sebuah restoran? Toh Serge mampu untuk melakukan semua itu. Ketidakkonsistenan inilah yang menurut saya menjadi kelemahan utama kisah The Dinner, yang menjadikan setting restoran sebagai plot dan tools utamanya dalam berkisah, tetapi tidak memberikan latar belakang yang cukup meyakinkan sehingga kita serasa hanya disodorkan dengan paksa setting tersebut tanpa boleh bertanya alasan di baliknya.

Ketiga, ending. Endingnya!!! Saya tahu, ending happily ever after sudah kurang laku di zaman sekarang, apalagi untuk kisah psychology mystery yang disajikan oleh unreliable narrator. Tapi… apa ngga ada ending yang lebih mending ya? Sudah karakternya sulit untuk disukai, endingnya membuat kita ingin menggetok para karakter tersebut. Benar-benar bikin depresi.

Kesimpulannya? Untuk yang suka kisah-kisah ajaib dengan unreliable narrator dan karakter yang unlikable, silakan mencicipi The Dinner. Tapi kalau saya pribadi, masih tidak mengerti kenapa buku ini menggondol lumayan banyak penghargaan. Hmm…

TRIVIA

Bulan Mei ini, film The Dinner akan dirilis, dengan pemain utama Richard Gere sebagai Stan (bukan Serge!) Lohman, dan Steve Coogan sebagai Paul Lohman. Anehnya, nama Serge dan Babette diganti menjadi Stan dan Katelyn di buku ini. Entah apa alasannya 😀

Submitted for:

Category: A book with an unreliable narrator

Kategori: Buku Pengarang Lima Benua (Eropa)

Before I Go To Sleep by S.J. Watson

11 Tuesday Oct 2016

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 4 Comments

Tags

english, fiction, movie tie in, mystery, psychology, secondhand books, suspense, thriller, twist ending

before-i-go-to-sleepJudul: Before I Go To sleep

Penulis: S.J. Watson

Penerbit: HarperCollins (2012, First International Mass Market)

Halaman: 368p

Beli di: Bukumoo (IDR 50k)

Salah satu genre favorit saya sepanjang masa adalah thriller-mystery. Saya (yang tidak suka genre horror tapi suka ditakut-takuti) selalu excited dengan pace yang cepat, intens, plot twist dan karakter yang tidak reliable.

Menurut premisnya, Before I Go To Sleep masuk ke dalam kategori ini.

THE PLOT:

Sejak insiden misterius yang menimpanya, Christine Lucas tidak memiliki memori jangka panjang lebih dari 24 jam. Setiap pagi, ia bangun dalam keadaan clueless tentang ruangan yang ditempatinya, umurnya, bahkan laki-laki yang berbaring di sebelahnya dan mengaku adalah suaminya, Ben.

Frustrasi ingin mengingat lebih banyak, dan merasa sangat vulnerable karena tidak berhasil, Christine suatu hari dikejutkan oleh telepon dari laki-laki yang mengaku sebagai dokternya, Dr. Nash, yang memberitahunya kalau Christine ternyata memiliki jurnal yang berisi informasi yang dikumpulkannya sedikit demi sedikit tentang fakta-fakta hidupnya, yang tujuannya adalah untuk mengembalikan memorinya.

Namun Christine terkejut saat membaca tulisannya di halaman depan: Do Not Trust Ben.

Siapa yang harus ia percayai?

THE TWIST:

Saya selalu berharap dikejutkan oleh twist dramatis (tapi tetap realistis) dari buku-buku sejenis ini. Kenikmatan membaca buku bergenre thriller mystery adalah secara bertahap dibuat tegang, lalu meledak menjadi kejutan di bagian akhir yang tidak tertebak tapi sekaligus bisa memberikan penjelasan yang memuaskan.

Sayangnya- Before I Go To Sleep belum bisa masuk ke dalam golongan ini (buat saya). Twistnya sudah tercium kuat dari pertengahan buku, tapi saya masih berharap saya salah, karena menurut saya penyelesaian tersebut tidak masuk akal dan akan terlalu dipaksakan. Namun ternyata dugaan saya benar, dan alih-alih puas karena berhasil menebak, saya justru kecewa. Ketegangan dan misteri yang terbangun cukup baik dari awal, terasa merosot dan sia-sia dengan ending yang terlalu dipaksakan.

THE VERDICT

Menurut saya, kisah Before I Go To Sleep memiliki Premis yang baik, cocok untuk penyuka thriller psikologis, dan ketegangannya juga cukup terjaga. Saya menyelesaikan buku ini dalam satu hari karena memang tidak bisa berhenti, rasa penasaran itu berhasil dibuat menumpuk (at least untuk membuktikan kalau tebakan saya salah dan ada kejutan lain menunggu di akhir buku).

Tapi sayangnya, twist di bagian ending kurang oke, menghilangkan dua bintang (dari lima bintang) yang saya sematkan pada buku ini. Konsistensi adalah kunci kesuksesan menjaring lima bintang pada buku bergenre misteri, dan buku ini, simply put, tidak bisa menjaga konsistensi tersebut dan kedodoran berat di bagian akhir.

THE MOVIE

Buku ini sudah diangkat ke layar lebar, dengan pemeran utama Nicole Kidman dan Colin Firth. Mungkin harusnya saya nonton filmnya saja, karena sepertinya Colin Firth akan mengalihkan saya dari ending yang paling tidak masuk akal sekalipun (Kingsman, cough cough) 🙂

large_before_i_go_to_sleep

 

The Girls by Emma Cline

22 Thursday Sep 2016

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 6 Comments

Tags

america, bahasa indonesia, dramatic, Gramedia, historical fiction, psychology, terjemahan

the-girls1Judul: The Girls (Gadis-Gadis Misterius)

Penulis: Emma Cline

Penerjemah: Maria Lubis

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2016)

Halaman: 360p

Beli di: Hobby Buku (IDR 75k, disc 25%)

Evie Boyd adalah seorang remaja perempuan biasa yang tinggal di kota kecil di California Utara pada tahun 1969. Keluarganya memang agak berantakan: ayah dan ibunya bercerai, sang ayah tinggal dengan selingkuhannya dan sang ibu terus mengabaikan Evie karena terlalu sibuk menata hidupnya usai perceraian tersebut.

Evie bukanlah anak gaul, ia hanya punya satu teman dekat, Connie, yang menurutnya agak membosankan. Evie ingin sesuatu yang baru, orang-orang menarik yang bisa menjadikan hidupnya lebih penting dan berarti.

Suatu hari di sebuah taman, Evie bertemu dengan sekelompok gadis berpakaian aneh, lusuh namun penuh misteri. Beberapa orang berbisik-bisik tentang gadis-gadis ini, yang disebut -sebut sebagai bagian dari kelompok aliran sesat. Salah satu dari gadis itu menarik perhatian Evie, memikatnya hingga akhirnya ikut terjerat ke dalam komunitas tersebut.

Dalam kelompok itu, Evie bertemu dengan banyak gadis dan pemuda yang serba bebas, tidak terikat aturan dan norma kehidupan pada umumnya. Mereka tinggal bersama-sama di suatu rumah pertanian kumuh, mencuri makanan dari tempat sampah dan hidup dengan barang seadanya. Namun semuanya dipersatukan oleh ikatan yang sama: pemujaan luar biasa terhadap pemimpin mereka, seorang laki-laki karismatik bernama Russell.

Namun seiring waktu yang dihabiskan Evie dengan pengikut Russell, ia mulai melihat keanehan demi keanehan: obsesi Russell yang berlebihan untuk menelurkan album rekaman dan menjadi musisi terkenal, tindakan-tindakan para pengikutnya yang mulai bisa dikategorikan sebagai tindakan kriminal, serta kekhawatiran Evie terhadap Suzanne, gadis yang memikatnya ke dalam kelompok ini namun yang juga memiliki rahasia terbesar.

Suatu kejadian mengerikan terjadi yang membuat Evie mempertanyakan kembali keputusannya bergabung dalam kelompok Russell, sekaligus yang akan mengubah hidupnya untuk selamanya.

Jujur saja, premis buku ini begitu menarik sampai-sampai saya tidak sabar untuk menunggu buku ini terbit- dan memutuskan untuk membaca terjemahannya yang memang keluar tidak lama setelah versi bahasa Inggrisnya terbit. Sepertinya GPU cukup jeli untuk langsung mengambil hak terjemahan buku yang memang menjadi bestseller di mana-mana tersebut (dan covernya cakep banget!).

Sudah menjadi rahasia umum kalau buku ini terinspirasi dari kisah tentang cult atau kelompok aliran sesat yang terkenal di akhir tahun 60an di California, yang dipimpin oleh Charles Manson, bahkan sosok Russell dan konflik yang dihadapi juga benar-benar terjadi dalam kelompok Manson Family dulu. Namun, alih-alih bercerita detail tentang kejadian dan tragedi yang dialami kelompok ini, The Girls lebih banyak berkisah tentang pergumulan batin Evie dalam memutuskan statusnya di kelompok tersebut, terutama hubungannya dengan Suzanne.

Saya agak kecewa juga sih, karena saya berharap plot yang lebih juicy, komplit dengan konflik internal, drama antar anggota kelompok, dan ketegangan yang meledak menjadi kasus tragis yang akan menghancurkan kelompok ini. Insider stories, lah. Tapi ternyata, Evie lebih berperan sebagai orang luar di pinggiran yang sibuk berkontemplasi tentang hidupnya sendiri.

Plot buku ini ditulis dengan alur maju-mundur, saat Evie berusia belasan tahun dan saat ia sudah beranjak tua, dengan bayang-bayang keterlibatannya dalam kelompok Russell terus menghantui hidupnya. Sepi, sendiri dan terasing, adalah kesan saya terhadap sosok Evie di bagian masa kini, mengingatkan saya dengan tone depresif karakter-karakter Haruki Murakami atau Kazuo Ishiguro. Sedangkan di masa lalu, Evie hanyalah anak remaja labil yang butuh perhatian.

Pendalaman psikologis adalah elemen utama buku ini, dan dituangkan dengan cukup baik oleh Emma Cline. Namun, untuk yang mengharapkan lebih banyak action (seperti saya), siap-siap untuk sedikit kecewa, ya 🙂

 

The Einstein Girl by Philip Sington

02 Monday Feb 2015

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 2 Comments

Tags

bahasa indonesia, europe, fiction, historical, medical, mystery, psychology, science, serambi, sicklit, terjemahan

einstein girlJudul: The Einstein Girl

Penulis: Philip Sington

Penerjemah: Salsabila Sakinah

Penerbit: PT Serambi Ilmu Semesta (2010)

Halaman: 525p

Swap with: Desty

Dunia dikejutkan dengan munculnya surat-menyurat rahasia antara Albert Einstein dan istri pertamanya, Mileva Maric, 30 tahun setelah kematian Einstein. Dari surat-surat tersebut, terungkap keberadaan seorang anak yang lahir sebelum Einstein menikah dengan Mileva. Anak yang tak pernah diakui oleh pasangan tersebut, dan identitasnya tetap menjadi misteri.

Hal inilah yang menjadi inspirasi Philip Sington ketika menulis kisah fiksi sejarah The Einstein Girl.

Kisah dibuka dengan munculnya seorang gadis yang nyaris tewas di sebuah hutan di luar kota Berlin. Ketika sang gadis pulih dari koma, ia tidak ingat siapa dirinya sebenarnya. Satu-satunya petunjuk adalah secarik kertas yang ditemukan di dekat sosoknya, berisi pemberitahuan tentang kuliah umum oleh Albert Einstein. Maka publik pun menjuluki gadis tersebut sebagai The Einstein Girl.

Psikiater yang menangani kasus ini, Martin Kirsch, bertekad ingin mengungkap identitas si Gadis Einstein. Penyelidikannya membawa Martin jauh melangkah ke masa lalu sang gadis, bahkan ke masa lalu Einstein yang rumit di Serbia dan Zurich. Ia juga sempat bertemu dengan Edward, anak laki-laki Einstein yang dirawat di rumah sakit jiwa, dan memegang kunci penting akan identitas si Gadis Einstein.

Buku ini ditulis dengan cukup teliti, riset yang dilakukan oleh Philip Sington terasa menyeluruh, baik mengenai kondisi Jerman menjelang kekuasaan Hitler (yang memaksa Einstein untuk kabur ke Amerika), teori Fisika Kuantum Einstein yang mengubah dunia, dan tentu saja, masa lalu pribadi Einstein yang rumit dan penuh desas desus.

Saya tidak tahu seberapa banyak dari kehidupan pribadi Einstein yang benar-benar nyata dalam buku ini, namun gaya bercerita Sington cukup bisa meyakinkan saya. Memang ada beberapa penjabaran mengenai teori fisika maupun psikiatri dasar yang menurut saya cukup bertele-tele, ditambah dengan terjemahan yang agak kaku, namun secara keseluruhan saya (surprisingly) lumayan menikmati kisah si Gadis Einstein.

Satu hal yang agak saya sayangkan adalah gaya penceritaan yang non linear tapi tidak diimbangi dengan detail yang jelas, membuat saya sempat kebingungan di beberapa bagian cerita.

Lalu, saya -yang tidak terlalu familiar dengan sejarah Jerman pra pemerintahan Hitler- juga agak tidak mengerti dengan subplot politik yang diselipkan Sington di pertengahan buku. Sington seolah mengasumsikan pembaca sudah mengerti benar apa yang ia bicarakan, sehingga merasa tidak perlu memberikan background yang terperinci. Sayangnya, beberapa bagian yang krusial justru terlewat begitu saja karena saya tidak merasa familiar dengan nama-nama yang terkait sejarah Jerman tersebut.

Overall, I quite enjoyed the story of the Einstein Girl, and recommend it for all hisfic lovers.

Submitted for:

Category "Name in the Title"

Category “Name in the Title”

← Older posts

From the bookshelf

Categories

Looking for Something?

Enter your email address to follow Books to Share and receive notifications of new posts by email.

Join 1,036 other followers

Currently Reading

I’m a Proud Member! #BBI 1301004

Wishful Wednesday Meme

Fill your Wednesdays with wishful thinking =)

Popsugar Reading Challenge 2018

bookworms

  • aleetha
  • althesia
  • alvina
  • ana
  • annisa
  • bzee
  • dewi
  • dion
  • fanda
  • Ferina
  • helvry
  • inne
  • Kobo
  • maya
  • mei
  • melmarian
  • mia
  • ndari
  • nophie
  • oky
  • peri hutan
  • ren
  • Reygreena
  • sel sel kelabu
  • sinta
  • tanzil
  • tezar
  • yuska

shop til you drop

  • abe books
  • Amazon
  • better world books
  • book depository
  • BukaBuku
  • Buku Dedo
  • bukukita
  • vixxio

Top Posts & Pages

  • Lima Sekawan - The Series
    Lima Sekawan - The Series
  • Lethal White by Robert Galbraith
    Lethal White by Robert Galbraith
  • Dongeng-Dongeng Grimm Bersaudara
    Dongeng-Dongeng Grimm Bersaudara
  • The House in the Cerulean Sea by T.J. Klune
    The House in the Cerulean Sea by T.J. Klune
  • Abarat 2: Days of Magic, Nights of War by Clive Barker
    Abarat 2: Days of Magic, Nights of War by Clive Barker

Recent Comments

When the Stars Go Da… on The Paris Wife
Hapudin Bin Saheh on Insomniac City: New York, Oliv…
The Case of the Pecu… on The Case of the Left-Handed La…
astrid.lim on Lorong Waktu by Edward Pa…
nina on Lorong Waktu by Edward Pa…

Blog at WordPress.com.

Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
  • Follow Following
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Join 1,036 other followers
    • Already have a WordPress.com account? Log in now.
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Customize
    • Follow Following
    • Sign up
    • Log in
    • Report this content
    • View site in Reader
    • Manage subscriptions
    • Collapse this bar
 

Loading Comments...