• About this blog
  • Clearance Sale!
  • Newbery Project
  • Popsugar Reading Challenge 2022
  • Previous Challenges
    • BBI Read and Review Challenge 2017
    • Challenges 2014
    • Challenges 2015
    • Lucky No.14 Reading Challenge
    • Lucky No.15 Reading Challenge
    • POPSUGAR Reading Challenge 2017
    • Popsugar Reading Challenge 2018
    • Popsugar Reading Challenge 2020
    • Popsugar Reading Challenge 2021
    • What’s in a Name 2018
    • Twenty-Ten Challenge
    • Challenges 2012
    • Challenges 2013
  • Round Ups
  • The Librarian

~ some books to share from my little library

Tag Archives: black history month

Hell of a Book by Jason Mott

13 Monday Jun 2022

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

african american, black history month, black lives matter, contemporary, english, fiction, popsugar RC 2022, race, social issues

Judul: Hell of a Book

Penulis: Jason Mott

Penerbit: Dutton (2021)

Halaman: 323p

Beli di: Periplus BBFH (200k)

Seorang penulis kulit hitam (yang namanya tidak pernah disebut sepanjang buku), sedang melakukan tur keliling Amerika dalam rangka promosi bukunya yang terbaru. Namun di sela-sela turnya yang padat, sang novelis kerap dikunjungi oleh seorang anak laki-laki yang dia sebut The Kid, yang tampak amat familiar namun ia tidak ingat pernah bertemu anak itu di mana. Apakah The Kid benar-benar karakter yang nyata, atau hanya rekaan imajinasinya belaka? Sementara itu, suasana di Amerika juga kian memanas, karena banyaknya kasus kekerasan oleh polisi terhadap orang kulit hitam, yang bahkan sudah mengakibatkan kematian.

Lepas dari si novelis, kita diajak untuk bertemu dengan Soot, seorang anak kulit hitam yang tidak jelas asal-usulnya, hidup di daerah rural Amerika, dan memiliki masa kecil yang keras. Apa hubungan Soot dengan The Kid atau si novelis, menjadi tanda tanya besar yang berusaha dijawab melalui buku ini.

A Hell of a Book adalah salah satu buku dengan storytelling paling unik yang pernah saya baca – vague, dengan batas yang amat longgar antara fiksi dan realita. Karakter utamanya, meski tak bernama, namun terasa amat relatable, dan kita bisa merasakan strugglenya di masa lalu, masa kini, dan masa depan, serta hubungannya dengan racial wokeness di Amerika. Bagaimana ia menghadapi ketakutan dan kebingungannya sebagai orang kulit hitam yang sukses (namun seringkali merasa tercerabut dari akarnya sendiri), menjadi tema utama novel ini, diselingi oleh banyak adegan maju-mundur dengan karakter yang terlihat fiksional namun amat familiar.

Menurut saya, ini adalah buku yang masuk ke kategori “showing” dan bukan “telling”, memberikan ruang pada pembaca untuk menginterpretasikan sendiri makna kisah dan konflik yang dialami oleh karakter-karakternya. Plusnya adalah, tidak ada kesan judging dan preaching sedikitpun dari buku ini, meski temanya sendiri termasuk yang berat dan sensitif. Namun minusnya, terkadang saya jadi bingung sendiri, sebenarnya mau dibawa ke mana cerita buku ini, dan vagueness nya banyak menimbulkan kesan ambigu yang membuat saya ingin bertanya banyak hal pada Jason Mott XD

A great book to be discussed in a book club or with other readers, for sure.

Rating: 4/5

Recommended if you like: unusual storytelling, books with free interpretations, important issues without sounding preachy

Submitted for:

Category:  A book with two POVs

The Final Revival of Opal & Nev by Dawnie Walton

11 Friday Mar 2022

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

african american, black history month, e-book, english, fiction, historical fiction, music, popsugar RC 2022, race

Judul: The Final Revival of Opal & Nev

Penulis: Dawnie Walton

Penerbit: Ink (2021, Kindle Edition)

Halaman: 368p

Beli di: Amazon.com (USD 6.99)

New York City, 1970s – Neville Charles, musisi dari Inggris, mengadu nasib ke Amerika Serikat, ditemukan oleh produser dari suatu label musik independen, dan diberi tugas untuk mencari partner duet sebelum bisa menelurkan album. Setelah berkeliling, Nev terpikat pada Opal Jewell, perempuan kulit hitam asal Detroit, yang sebenarnya bukan penyanyi paling berbakat, namun memiliki X factor yang menurut Nev akan melengkapi penampilannya dengan sempurna.

Maka dimulailah perjalanan Nev dan Opal mengejar sukses di dunia musik, namun ternyata jalan tidak semulus yang mereka bayangkan. Meski mereka memiliki chemistry yang kuat, namun perbedaan latar belakang kadang menjadi sumber konflik di antara mereka. Sementara itu, Opal juga memperuncing konflik lewat affairnya dengan drummer band mereka, yang sudah menikah dan sedang menunggu kelahiran anaknya.

Kesuksesan yang tidak kunjung datang seperti yang mereka harapkan, membuat Opal dan Nev mulai desperate. Mereka memutuskan untuk ikut show yang diadakan oleh label mereka, yang berakhir dengan chaos dan kekacauan, yang ironisnya, malah membuat nama mereka dikenal di mana-mana.

40 years later – Opal dan Nev berencana untuk mengadakan reuni, namun puluhan tahun yang sudah memisahkan mereka menyimpan banyak cerita tersembunyi. Sunny Shelton, jurnalis kulit hitam yang ayahnya pernah menjalin affair dengan Opal, diminta Opal untuk meliput dan menulis memoir Opal dan Nev. Dan kompilasi interview serta tulisannya lah yang menjadi fondasi kisah buku ini.

Premis buku ini amat menarik, berkisah tentang dunia musik era 70an yang juga menyentuh isu ras dan politik, dibumbui oleh rahasia dan konflik yang juicy. Sedikit mengingatkan dengan buku Daisy Jones and the Six, kisah Opal & Nev juga ditulis dalam bentuk interview yang membuat buku ini terasa lebih otentik. Namun, sayangnya, beberapa bagian terasa amat panjang, dan banyak narasi dan karakter pelengkap yang benar-benar hanya numpang lewat, sehingga terkesan kalau interview ini benar-benar mentah dan seperti membaca artikel yang belum diedit.

Beberapa selingan yang diberi judul “Editor’s Note” juga agak merusak alur buku ini, yang terasa ingin memaksa memasukkan beberapa hal yang tidak bisa disampaikan melalui interview. Bagian ini ditulis dari sudut pandang Sunny, dan malah jadi memberikan kesan bias pada buku yang seharusnya ditulis oleh seorang jurnalis yang netral.

Dan meski saya mengerti dari mana buku ini berangkat, dan isu rasisme serta racial gap yang bahkan masih kental di era modern (tidak jauh berbeda dari tahun 70an), tapi menurut saya ada beberapa sudut pandang yang terasa diabaikan, termasuk sudut pandang Nev yang terbatas, dan karakternya yang terasa satu dimensi.

Saya berharap buku ini bisa ditulis dari sudut pandang Opal dan Nev, bukan Sunny, sehingga lebih terasa unsur personalnya dan pembaca bisa lebih dalam mengenal kedua karakter ini.

Rating: 3/5

Recommended if you like: music theme, unusual storytelling format, strong Black characters, New York City music industry, 1970s vibes

Submitted for:

A book about a band or musical group

Long Way Down by Jason Reynolds

01 Thursday Apr 2021

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ Leave a comment

Tags

african american, black history month, black lives matter, Gramedia, guns, social issues, terjemahan, verse, young adult

Judul: Long Way Down

Penulis: Jason Reynolds

Penerjemah: Mery Riansyah

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2018)

Halaman: 319p

Beli di: @HobbyBuku (IDR 60k)

Buku dengan format verse (puisi?syair?) bukanlah genre favorit saya. Tapi Long Way Down merupakan satu dari sedikit buku yang powerful dan memang pas ditulis dengan gaya verse, karena temanya yang amat kuat dan intens.

Will hidup di sebuah kota tak bernama di Amerika Serikat, yang kental dengan nuansa kekerasan, kriminal, dan senjata. Banyak teman dan kerabatnya yang meninggal akibat tertembak, baik itu karena perkelahian antar geng, atau sebagai korban tak bersalah yang berada di tempat dan waktu yang salah.

Suatu hari, Will menyaksikan kakaknya, Shawn, tewas ditembak di jalanan depan apartemen mereka. Dunianya serasa hancur, dan Will bertekad untuk membalas dendam pada orang yang menembak Shawn, sesuai dengan peraturan tak tertulis di lingkungan mereka:

  1. Menangis: Jangan.
  2. Mengadul: Jangan.
  3. Membalas dendam: Lakukan.

Namun membalas dendam bisa menimbulkan masalah baru: peluru yang meleset, menembak orang yang salah. Dan kau bisa jadi korban berikutnya.

Perjalanan Will menuruni apartemennya dengan lift selama 60 detik ditangkap melalui momen-momen intens penuh kontemplasi dan refleksi, dengan bintang tamu orang-orang dari masa lalu Will yang berusaha mengubah sudut pandangnya tentang membalas dendam. Namun apakah Will berhasil dipengaruhi oleh mereka?

Long Way Down adalah novel yang singkat, padat, dan sangat efektif. Baris-baris puisinya begitu mencekam, dan menggigit, dan setiap kali Will turun ke lantai yang berbeda, akan ada sebuah kejutan baru yang menantinya. Detik-detik yang berharga digambarkan melalui kalimat-kalimat pendek yang mendesak, yang membuat kita kerap kali ikut masuk ke dalam dilema Will. Balas dendam tapi beresiko ia terbunuh, atau merelakan Shawn tewas tanpa pertanggungjawaban.

Menurut saya, versi terjemahan buku ini cukup baik, sanggup menggambarkan intensitas dilema Will dengan pilihan kata yang puitis namun tetap efektif. Saya penasaran juga ingin membaca versi Bahasa Inggrisnya, sih, apalagi saya memang belum pernah membaca buku Jason Reynolds sebelumnya.

Buku ini juga menggambarkan secara gamblang kondisi masyarakat khususnya kulit hitam di Amerika, yang sarat akan kekerasan antar geng, penembakan yang berujung kematian, dan pembalasan dendam yang seperti membuat lingkaran setan. Miris, sedih, dan menyentuh, Reynolds membuka mata saya tentang betapa sulitnya kehidupan penduduk kulit hitam di area urban, dan betapa masifnya efek gun control yang kerap menjadi perdebatan sengit di negara tersebut.

Rating: 4/5

Recommended if you like: verse novel, Black YA literature, strong & intense plot, thought provoking reads

His Only Wife by Peace Adzo Medie

30 Tuesday Mar 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

africa, black history month, culture, domestic fiction, ebook, ghana, reeses book club, romance, women

Judul: His Only Wife

Penulis: Peace Adzo Medie

Penerbit: Algonquin Books (2020, Kindle Edition)

Halaman: 225p

Beli di: Amazon.com (USD 1.99 – bargain!)

Afi Tekple dijodohkan oleh keluarganya untuk menikahi Elikem Ganyo, anak keluarga kaya di desa Afi yang orang tuanya sudah banyak membantu keluarga Afi. Namun perjodohan ini tidak seperti perjodohan standar, karena Afi diberi tugas oleh keluarga Elikem untuk memisahkan Elikem dari perempuan yang selama ini menjalin hubungan dengannya dan bahkan sudah memberinya seorang anak perempuan. Perempuan dari Liberia ini amat ditentang oleh keluarga Elikem karena dianggap merusak hubungan Elikem dengan keluarganya, dan mengubah Elikem menjadi anak yang selalu menentang orang tuanya. Singkatnya, perempuan tersebut membawa pengaruh buruk, dan harus segera disingkirkan.

Dari awal, Afi sudah tahu tugasnya akan terasa berat. Ia hanyalah seorang gadis desa yang berasal dari keluarga miskin, sedangkan Eli berpendidikan, berasal dari keluarga kaya dan tinggal di kota besar Accra. Di pesta pernikahan mereka pun Eli tidak bisa datang karena sedang business trip ke luar negeri, sehingga diwakilkan oleh adik laki-lakinya. Dan setelah Afi pindah ke Accra, bukannya tinggal serumah dengan Eli, ia malah disediakan apartemen mewah dan tinggal di sana seperti seorang perempuan simpanan alih-alih istri resmi, sementara sang perempuan Liberia tinggal bersama Eli di rumahnya.

His Only Wife bercerita tentang normal sosial dan budaya di masyarakat Ghana modern, yang masih amat kental dengan nuansa patriarki, salah satunya melalui budaya poligami. Meski masyarakat Ghana masa kini sudah lebih menghargai peran perempuan dan memberikan kesempatan yang lebih banyak pada mereka (terlihat dari beberapa karakter di buku ini, termasuk ibu Eli yang memegang perusahaan keluarga, serta Afi yang meniti karier sebagai perancang busana), namun tetap saja bila menyangkut pernikahan dan peran perempuan di dalam rumah tangga, norma yang diikuti masih sama dengan zaman dulu.

Buat saya, melihat isu poligami dari kacamata budaya Ghana yang tidak terlalu familiar buat saya adalah pengalaman yang amat menarik. Apalagi, Peace Adzo Medie adalah seorang penulis yang andal, yang mampu merangkai kisah ini menjadi amat menggigit, menarik diikuti, dan membuat saya merasa terhubung dengan para karakternya. Tidak ada karakter yang 100% baik atau 100% villain di sini. Semua memiliki alasan masing-masing untuk bertindak sesuai dengan kondisinya. Afi yang naive pun tidak selamanya benar, ada momen-momen di mana ia tidak mengambil keputusan yang bijak. Sementara itu, sang perempuan Liberia pun ternyata bukan sosok villain seperti yang dikesankan oleh keluarga Eli.

Biasanya, buku domestic drama dan romance bukanlah cup of tea saya. Tapi saya benar-benar menikmati buku ini, yang membuka mata saya terhadap banyak hal-hal baru seputar kehidupan masyarakat Ghana modern, terutama kaum perempuannya. Dan setting Ghana, terutama kontras antara desa Afi dan kota Accra yang megah, mengingatkan saya akan Indonesia dengan segala kesenjangannya. Turns out we’re all more similar than we think, aren’t we? 🙂

Rating: 4/5

Recommended if you want to read about: domestic drama and romance, modern African life, polygamist culture, women role in Africa, life in Ghana, juicy plot and fresh dialogue.

Pet by Akwaeke Emezi

05 Friday Mar 2021

Posted by astrid.lim in Uncategorized

≈ 2 Comments

Tags

afrofuturism, black history month, fantasy, LGBT, popsugar RC 2021, young adult

Judul: Pet

Penulis: Akwaeke Emezi

Penerbit: Faber&Faber (Kindle Edition, 2019)

Halaman: 208p

Beli di: Amazon.com (USD 7)

Belakangan ini, nama Akwaeke Emezi sedang banyak muncul di berbagai media dan media sosial, terutama karena buku-bukunya digadang-gadang sebagai masa depan literatur Afrika. Tapi saya justru belum sempat membaca karya-karyanya yang hits seperti The Death of Vivek Oji atau Freshwater. Membaca buku Pet ini pun sebenarnya tidak disengaja, karena memenuhi salah satu prompt Popsugar Reading Challenge saja 🙂

Pet berkisah tentang suatu kota fiksi bernama Lucille, dengan setting masa depan yang tidak disebutkan. Yang pasti, Lucille merupakan tempat ideal karena sudah tidak ada lagi “monster” yang berkeliaran. Semua yang tinggal di sana adalah orang baik-baik, karena semua monster alias kriminal sudah ditumpas oleh para pahlawan yang dikenal sebagai “angels”.

Hanya saja, suatu hari, hadir sesosok makhluk dari dunia yang lain, menyambangi Jam dan keluarganya. Makhluk misterius yang menyebut dirinya sebagai “Pet” ini menyampaikan peringatan bahwa ada monster yang diam-diam menyelinap di Lucille, dan yang membuat Jam terkejut, monster tersebut ada di sekeliling sahabatnya, Redemption.

Meski takut, Jam terpaksa bergabung dengan Pet untuk berburu monster dan melindungi Redemption. Namun Jam tidak sepenuhnya percaya, karena keluarga Redemption dipenuhi oleh orang-orang baik yang sudah ia anggap seperti keluarganya sendiri. Terlebih lagi, Jam tidak pernah hidup di dunia yang memiliki monster, karena ia dilahirkan di era setelah monster berhasil disingkirkan dari Lucille. Bagaimana ia bisa mengenali sosok monster, kalau ia tidak pernah tahu satupun monster sebelumnya?

Pet diklasifikasikan sebagai afrofuturism, yaitu literatur yang memiliki unsur futuristik atau science fiction, biasanya memiliki setting di masa depan, namun menggabungkan kisah futuristik tersebut dengan elemen Black history dan culture. Saya sendiri masih asing dengan genre ini, dan sengaja memilih Pet yang ditujukan lebih ke pembaca young adult, sehingga kisahnya masih termasuk mudah untuk diikuti.

Satu hal yang saya sadari saat membaca buku ini adalah karakter-karakternya yang sangat diverse, namun ditulis dengan sangat kasual tanpa membesar-besarkan masalah identitas tersebut. Kisah tentang Jam yang transgender dan didukung penuh oleh orang-orang di sekitarnya, lalu tentang orang tua Redemption yang digambarkan memiliki hubungan polyamory, dan salah satu orang tuanya adalah non-binary – semuanya merupakan hal biasa, yang menurut saya, memang sengaja dibuat seolah sesuatu yang normal di masa depan (yang ideal).

Hal lain yang menarik perhatian saya adalah betapa vague-nya konflik dalam buku ini. Monster tidak dijelaskan dengan detail sudah melakukan kejahatan apa, dan monster di keluarga Redemption pun hanya dijelaskan dengan subtle. Sementara itu setting yang sangat utopia juga membuat saya agak susah relate dengan karakter dan plot di buku ini. Saya tidak tahu apakah kebanyakan afrofuturim books memang gaya penceritaannya seperti ini, atau ini adalah ciri khas Akwaeke Emezi. Mungkin saya harus sampling beberapa buku afrofuturisme yang lain, yang ditujukan untuk pembaca dewasa. Overall, this is an interesting experience though.

Rating: 3.5/5

Recommended if you’d like to try: afrofuturism book, unusual plot, queer characters, mysterious creature from another world, intriguing black young adult book.

Submitted for:

Category: An Afrofuturist book

White Fragility by Robin DiAngelo

01 Monday Mar 2021

Posted by astrid.lim in Uncategorized

≈ Leave a comment

Tags

african american, america, black history month, black lives matter, history, non fiction, popsugar RC 2021, social issues

Judul: White Fragility: Why It’s So Hard for White People to Talk About Racism

Penulis: Robin DiAngelo

Penerbit: Penguin Random House (2018)

Halaman: 168p

Beli di: Periplus (IDR 126k)

Robin DiAngelo adalah seorang perempuan kulit putih Amerika yang berprofesi sebagai konsultan dan pembicara yang banyak membahas tentang racial diversity and inclusion, terutama di berbagai institusi di Amerika Serikat. Sejak awal buku ini, DiAngelo sudah mengklaim bahwa sudut pandangnya adalah sudut pandang seorang kulit putih Amerika, berdasarkan pengalaman dan keahliannya selama menekuninya profesinya saat ini, yang meskipun banyak menyangkut racial diversity, tetap tak lepas dari bias.

Buku ini membahas bahwa betatapun baiknya seseorang, betapapun tinggi moral yang dijunjung, setiap orang kulit putih tidak akan bisa lepas dari rasisme. Setiap orang kulit putih adalah rasis, bukan karena ia jahat, tetapi karena rasisme sudah sangat erat menyatu dalam kehidupannya (terutama di dalam konteks Amerika Serikat), atau dengan kata lain, rasisme sudah menjadi sistemik.

Tentu saja pernyataan kontroversial ini tidak diterima oleh orang-orang kulit putih, terutama mereka yang menganggap diri liberal, progresif, toleran, dan peduli dengan isu racial diversity maupun social justice. Dan sikap defensif serta denial inilah yang dikupas tuntas oleh DiAngelo, lewat bahasa yang mudah dimengerti, to the point, dan apa adanya. Karena ia adalah mantan dosen, saya suka penuturannya yang runut.

DiAngelo menjelaskan secara cukup detail tentang konstruksi sosial rasisme di Amerika Serikat, termasuk sejarah yang berawal dari perbudakan, diskriminasi orang kulit hitam, era Jim Crow, dan seterusnya. Setiap orang kulit putih mewarisi sistem ini turun temurun, yang secara tidak disadari sudah merasuk ke dalam alam bawah sadar mereka dan menyebabkan bias. Hal ini nantinya bisa terlihat dari casual racism, komentar yang tidak disengaja tapi ternyata mengandung unsur rasisme, asumsi yang diberikan pada orang kulit hitam, yang terlihat innocent padahal ternyata berakar dari rasisme tadi. White supremacy (baik di Amerika maupun di dunia) adalah nyata, dan hal mendasar inilah yang pertama-tama ingin disampaikan oleh DiAngelo.

DiAngelo juga menyinggung tentang sulitnya orang kulit putih Amerika menerima kenyataan tentang systemic racism ini, terutama karena mereka tidak ingin dianggap sebagai orang jahat, karena merasa tidak pernah membeda-bedakan teman dari rasnya, atau karena merasa sudah melakukan banyak hal baik terutama menyangkut social justice. Tapi apakah itu cukup? Ternyata tidak, karena justru tanpa mengakui adanya masalah mendasar bahwa setiap orang kulit putih merupakan bagian dari masalah rasisme di Amerika (dan dunia), masalah ini akan selalu ada dan tidak akan ada pemecahannya.

Satu hal menarik yang juga saya tangkap dari buku ini adalah konsep White Fragility itu sendiri. Saat ada gerakan seperti Black Lives Matter (BLM) yang sempat heboh beberapa tahun belakangan ini, orang-orang kulit putih (yang sudah biasa berada di zona nyaman dan aman) menjadi merasa “terancam”, seolah kedudukannya sebagai mayoritas akan digeser oleh orang-orang kulit hitam, satu hal yang sebenarnya sangat tidak mungkin. Saking sudah lamanya orang kulit putih berada dalam status mayoritas yang menikmati segala jenis privilege sejak dilahirkan ke dunia, perjuangan sekecil apapun dari kaum minoritas (terutama kulit hitam) dianggap sebagai sesuatu yang mengancam dan akhirnya menimbulkan polemik. Padahal, tuntutan BLM adalah racial equality dan inclusion. Bahwa mereka berhak mendapatkan hal-hal mendasar yang sudah dirasakan oleh kulit putih secara cuma-cuma.

Dan mau tidak mau, saya jadi membandingkan hal ini dengan kaum mayoritas di negara kita tercinta. Bahwa white fragility, meski di sini mungkin berubah namanya, memang ada di mana-mana. Kaum mayoritas dengan segala privilegenya akan merasa terancam jika ada wakil minoritas yang akan mengubah keadaan, dan mengancam kenyamanan tatanan dunia mereka. Satu hal yang patut kita renungkan bersama, dan menurut saya, akan sangat menarik jika ada penulis yang berani mengupas isu ini seperti DiAngelo berani mengupas terang-terangan perihal white fragility di Amerika.

We’ll see 🙂

Rating: 4,5/5

Recommended if you want to learn more about: racism, social justice, racial equity in America, black history, Black Lives Matter

Submitted for:

Category: A book found on a Black Lives Matter reading list

From the bookshelf

Categories

Looking for Something?

Enter your email address to follow Books to Share and receive notifications of new posts by email.

Join 1,037 other followers

Currently Reading

I’m a Proud Member! #BBI 1301004

Wishful Wednesday Meme

Fill your Wednesdays with wishful thinking =)

Popsugar Reading Challenge 2018

bookworms

  • aleetha
  • althesia
  • alvina
  • ana
  • annisa
  • bzee
  • dewi
  • dion
  • fanda
  • Ferina
  • helvry
  • inne
  • Kobo
  • maya
  • mei
  • melmarian
  • mia
  • ndari
  • nophie
  • oky
  • peri hutan
  • ren
  • Reygreena
  • sel sel kelabu
  • sinta
  • tanzil
  • tezar
  • yuska

shop til you drop

  • abe books
  • Amazon
  • better world books
  • book depository
  • BukaBuku
  • Buku Dedo
  • bukukita
  • vixxio

Top Posts & Pages

  • Lima Sekawan - The Series
    Lima Sekawan - The Series
  • The Picture of Dorian Gray by Oscar Wilde
    The Picture of Dorian Gray by Oscar Wilde
  • Circe by Madeline Miller
    Circe by Madeline Miller
  • Red, White & Royal Blue by Casey McQuiston
    Red, White & Royal Blue by Casey McQuiston
  • Matilda
    Matilda

Recent Comments

When the Stars Go Da… on The Paris Wife
Hapudin Bin Saheh on Insomniac City: New York, Oliv…
The Case of the Pecu… on The Case of the Left-Handed La…
astrid.lim on Lorong Waktu by Edward Pa…
nina on Lorong Waktu by Edward Pa…

Blog at WordPress.com.

Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
  • Follow Following
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Join 1,037 other followers
    • Already have a WordPress.com account? Log in now.
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Customize
    • Follow Following
    • Sign up
    • Log in
    • Report this content
    • View site in Reader
    • Manage subscriptions
    • Collapse this bar
 

Loading Comments...