Judul: Rahasia Meede, Misteri Harta Karun VOC
Penulis: E.S. Ito
Penerbit: Hikmah- PT Mizan Publika (2008)
Halaman: 675p
Borrowed from: Althesia
Masa-masa VOC datang ke Indonesia dan dimulainya penjajahan ratusan tahun oleh negara kecil bernama Belanda, bukanlah tema yang banyak diminati oleh para penulis tanah air. Tema historical fiction saat ini lebih banyak menguak era 65 atau 98 yang dianggap sebagai tonggak sejarah yang masih seksi untuk diulik.
Saya sendiri termasuk jarang membaca genre historical fiction asli negeri kita, dan jujur saja, lebih tertarik dengan karya-karya penulis asing mengenai topik fiksi sejarah. Makanya saya tidak punya ide banyak saat tahu kalau posting bareng BBI bulan Agustus adalah tentang fiksi sejarah bersetting di Indonesia.
Hanya setelah melempar pertanyaan di grup WA BBI yang selalu resourceful lah saya mendapatkan pencerahan tentang Rahasia Meede, yang syukurnya- meski sudah langka di pasaran- saya berhasil mendapatkan pinjaman dari Essy (makasiiih).
Premis Rahasia Meede langsung memikat hati saya: penelusuran sejarah ke masa lampau, ke era pendudukan VOC, oleh berbagai pihak di masa kini, demi mencari sisa-sisa harta yang dikabarkan masih ditimbun di suatu tempat oleh VOC dan terlupakan begitu saja.
Kisah ini terjalin rumit tapi masih enak untuk dinikmati. Kita dibawa maju-mundur dari masa lalu ke masa kini, untuk bisa membayangkan dengan lebih baik kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Perpindahan fokus karakter di setiap bab juga membuat buku ini lebih kaya dan mudah diikuti tanpa harus menjadi membingungkan.
Tiga peneliti asal Belanda berusaha menggali lorong peninggalan masa lalu di bawah Museum Sejarah Jakarta demi membuka jalan menuju harta karun, tanpa sadar ada rahasia lain yang lebih besar di balik penemuan mereka.
Seorang peneliti lain, perempuan Belanda yang memiliki keterkaitan sejarah keluarga dengan VOC, juga mencoba mengais-ngais fakta masa lalu untuk menguatkan dugaannya dan profesor permbimbing thesisnya mengenai keberadaan harta karun terpendam. Namun pencariannya ke pusat arsip nasional malah membawanya masuk ke dalam konspirasi berbahaya yang tak ia duga.
Sementara itu, masih banyak kelompok lain yang juga mengincar harta VOC. Hingga ada serangkaian pembunuhan misterius yang diduga kuat berhubungan dengan perebutan harta ini, dan ditengarai merupakan hasil pekerjaan kelompok anarkis yang sudah diincar negara sejak sekian lama.
Seorang wartawan muda bertama Batu, bertekad ingin menyelidiki kasus-kasus pembunuhan tersebut, yang lokasinya semua berawalan huruf “B”. Penyelidikannya membawanya ke berbagai tempat di Indonesia, dan menguak rahasia lebih besar tentang sejarah Indonesia dan pihak-pihak yang ingin memanipulasinya.
Buku ini terus terang saja mengingatkan saya dengan kisah-kisah ala Dan Brown: teori konspirasi dipadukan dengan sejarah fiksi, dibumbui oleh misteri dan thriller yang melahirkan berkali lipat twist dan kejutan.
Tapi saya nggak keberatan sih. Soalnya, E.S Ito (yang belum pernah saya baca karya sebelumnya) ‎berhasil menyeimbangkan berbagai unsur dan kerumitan tersebut dalam satu kisah padu yang seru. Saya jadi tahu banyak tentang lika-liku sejarah kota Jakarta dan bangunan serta monumen yang ada, saya bisa mencicipi sejarah VOC dan masa pendudukannya, bahkan mengintip sedikit ke dalam kehidupan para agen Kopasus dan kisah kelam di balik wajah militer Indonesia.
All in all, I applaud the writer for his wonderful effort! Saya puas setelah membaca buku ini, meski ada beberapa kekurangan di sana-sini, termasuk detail yang agak questionable, misalnya: bagaimana mungkin ketiga peneliti Belanda tersebut bisa mendapat izin penelitian dari KEMENRISTEK untuk menggali-gali di bawah Museum Jakarta, padahal (berdasarkan pengalaman saya yang menggeluti dunia ini sehari-hari), untuk mendapat izin penelitian biasa bagi orang asing saja sulitnya sudah minta ampun, tanpa melibatkan gali-menggali di bawah museum bersejarah 😀 Seolah-olah, kesannya semua gampang saja hanya dengan sogokan, uang, dan pengaruh pejabat. Padahal kenyataannya juga tidak sesimpel itu, karena birokrasi pemberian izin penelitian di Indonesia saat ini sudah jauh lebih rumit, dan tidak bisa diselesaikan dengan sogok menyogok!
Tapi di luar topik tersebut, menurut saya riset sang penulis sudah dilakukan dengan cukup maksimal. Berbagai sempalan tentang adat, budaya, bahasa, sampai setting lokasi sepertinya benar-benar sesuai dengan kenyataannya. Bisa jadi panutan bagi penulis lain yang ingin menghasilkan karya dengan genre sejenis!
VOC dan Indonesia
Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) merupakan perusahaan dagang yang dibentuk Belanda tahun 1602 dengan tujuan mengatasi persaingan terhadap negara-negara lain di Eropa yang sama-sama ingin menguasai hasil bumi dunia timur. VOC adalah gabungan dari berbagai perusahaan dagang di negeri Belanda, yang menjadi sangat kuat di awal masa pendiriannya karena memiliki hak monopoli perdagangan.
VOC mendirikan kantor pertamanya di Indonesia tahun 1603, tepatnya di Banten. Dan dimulailah masa-masa penindasan (yang nantinya berujung pada masa panjang penjajahan)Â di Indonesia melalui politik ekonomi VOC, antara lain yang memaksa penduduk pribumi untuk menjual hasil bumi sesuai yang ditetapkan VOC, serta membayar pajak dalam bentuk hasil bumi.
Pada akhirnya, selain menguasai monopoli perekonomian, VOC diberi hak oleh pemerintah Belanda untuk membentuk pemerintahannya sendiri di berbagai daerah di Indonesia, melalui seorang Gubernur Jenderal. Di sinilah VOC mulai menampakkan keasliannya, melalui moral yang semakin merosot, penindasan yang kejam, serta sistem pemerintahan dan birokrasi feodal yang penuh korupsi dan hutang yang tak kunjung lunas. Perlawanan dari berbagai daerah, kerajaan dan masyarakat di Nusantara pun akhirnya berkobar – yang nantinya akan berujung pada perang kemerdekaan.
Tahun 1799, karena kebangkrutan yang makin fatal, pemerintah Belanda akhirnya membubarkan VOC. Namun aset-asetnya dialihkan pada pemerintah Belanda dan Belanda masih bercokol di Indonesia hingga menjelang akhir Perang Dunia II, saat Jepang merangsek masuk dan Sekutu akhirnya mengusir mereka.
Saya dan Belanda
Saya sendiri merasa kisah tentang penjajahan Belanda cukup personal juga, karena kakek buyut saya dari pihak papa, memang berasal dari Belanda. Jan Dekker, nama beliau, datang ke Indonesia sekitar tahun 1920-an untuk mengadu nasib (seperti ratusan orang Belanda lainnya pada masa itu) di Indonesia, tepatnya bekerja di kilang minyak BPM di Sumatra, yang saat itu masih merupakan aset pemerintah Belanda sisa-sisa kejayaan VOC. Di sanalah Jan Dekker bertemu dengan calon istrinya, seorang perempuan Jawa yang bermukim di daerah Plaju.
Almarhumah Oma saya adalah satu-satunya anak Jan Dekker yang tidak kembali ke negeri Belanda, karena malah bertemu dengan bakal suaminya, seorang pengusaha Tionghoa yang akhirnya bermukim di Bandung. Jadi Oma saya akhirnya memeluk warga negara Indonesia, meski tampangnya seperti Londo asli.
Bulan Juni lalu, keluarga besar Dekker bereuni di Belanda, dan papa saya ikut ke sana. Sayang saya tidak bisa bergabung karena bentrok dengan dinas kantor. Yang jelas, mereka semua, yang sudah kawin campur dengan orang Belanda, Ambon, dan berbagai etnis lainnya, meski sudah tidak ada keterikatan langsung dengan Indonesia, tapi masih sangat-sangat merasa terhubung dengan negara kita ini. Salah satu sepupu saya misalnya, membuka restoran Indonesia di kota tempat tinggalnya.
Hal yang sama juga saya rasakan sih, meski tidak berdarah Belanda 100%, masih ada hubungan khusus dengan negara ini – salah satu alasan kenapa saya memilih Belanda sebagai tempat saya studi S2.
Bagaimanapun, hubungan antara RI dan Belanda pasca masa pendudukan yang ratusan tahun itu memang berangsur-angsur semakin membaik. Terbukti juga dari banyaknya warga Indonesia yang menjadi fans berat tim sepak bola Oranje ini 😀
History – always fascinating 🙂