• About this blog
  • Clearance Sale!
  • Newbery Project
  • Popsugar Reading Challenge 2023
  • Previous Challenges
    • BBI Read and Review Challenge 2017
    • Challenges 2014
    • Challenges 2015
    • Lucky No.14 Reading Challenge
    • Lucky No.15 Reading Challenge
    • POPSUGAR Reading Challenge 2017
    • Popsugar Reading Challenge 2018
    • Popsugar Reading Challenge 2020
    • Popsugar Reading Challenge 2021
    • Popsugar Reading Challenge 2022
    • What’s in a Name 2018
    • Twenty-Ten Challenge
    • Challenges 2012
    • Challenges 2013
  • Round Ups
  • The Librarian

~ some books to share from my little library

Tag Archives: history

Radiance by Catherynne M. Valente

07 Tuesday Sep 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

english, fantasy, fiction, genre hybrid, history, popsugar RC 2021, science fiction, space

Judul: Radiance

Penulis: Catherynne M. Valente

Penerbit: Tor Book (2015)

Halaman: 432p

Beli di: @Therebutforthebooks (IDR 110k)

Apa yang terjadi jika:

  1. Masa kejayaan film bisu berlangsung amat lama, akibat keluarga Edison menimbun paten yang menyebabkan film dengan suara bisa dibuat.
  2. Penemuan suatu zat yang menyebabkan manusia bisa hidup di semua planet di tata surya (termasuk Pluto, yeay!) dan bahkan membuat film di sana.

Kedua alternate history inilah yang menjadi titik tolak Catherynne M. Valente dalam membangun kisah yang luar biasa imajinatif ini. Menggabungkan space opera, alternate history, dan mystery bernuansa noir, Valente membawa kita ke sebuah dunia yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Dunia yang amat luas, amat penuh kemungkinan-kemungkinan, namun juga amat berbahaya.

Severin Unck adalah tokoh utama Radiance yang menjadi benang merah keseluruhan cerita yang ditulis menyerupai potongan dan fragmen klip film. Ayah Severin adalah sutradara terkenal yang memiliki spesialisasi genre Gothic romance. Meski mencintai dunia perfilman, Severin tidak ingin disamakan dengan ayahnya, dan ia tumbuh besar dengan membuat film dokumenter yang mengajak penonton untuk menjelajahi tata surya yang amat luas, mulai dari bertemu dengan penduduk Neptunus hingga koboi Mars yang tidak kenal hukum.

Film terakhir Severin digadang-gadang akan menjadi yang paling fenomenal, menyelidiki hilangnya koloni di Venus yang menjadi misteri legendaris yang tak terpecahkan. Venus, planet misterius yang dihuni oleh alien berwujud callowhale, yang menghasilkan zat serupa susu yang menjadi kunci terbukanya perjalanan dan kehidupan antariksa bagi manusia bumi.

Saat syuting film di Venus, Severin menghilang. Lenyap tak berbekas. Dan kehilangan inilah yang kemudian menjadi inti cerita, yang disampaikan oleh orang-orang terdekatnya, mulai dari kekasihnya, Erasmo, hingga anak kecil yang ditemukan secara misterius di Venus, Anchises. Memori dan kenangan bercampur dengan suara hati Severin yang terdengar lewat film-filmnya. Ke manakah Severin menghilang? Dan apakah ada hubungannya dengan menghilangnya koloni di Venus secara munculnya Anchises?

Radiance adalah buku yang super ambisius. Selain elemen scifi yang kental lewat perjalanan ruang angkasa, Radiance juga bergumul dengan isu sejarah perfilman, mengandaikan bila Hollywood mengembangkan sayap ke Bulan, dan bahkan syuting di berbagai planet di tata surya. Dan tidak cukup tema dan isu yang cukup rumit dan spesifik, buku ini juga ditulis dengan gaya yang tidak biasa. Menggabungkan berbagai format dan media, mulai dari buku harian, transkrip interview, cuplikan dokumenter, episode sandiwara radio, hingga penggalan-penggalan memori, kita serasa diombang-ambingkan di antariksa tanpa batas, tidak yakin ke mana harus berpijak.

Untuk yang menyukai kisah konvensional yang rapi dan runut, dengan jalan cerita yang mudah diikuti, Radiance bukanlah buku yang tepat. Tapi untuk penyuka kisah imajinatif tanpa batas, dan rela mengalami sedikit vertigo di sana-sini, silakan masuk ke petualangan antariksa yang absurd sambil mencari di mana Severin berada.

Rating: 3.5/5

Recommended if you like: science fiction, space opera, movie history, unconventional format, unlimited imagination

Submitted for:

Category: A genre hybrid

Shakespeare and Company by Sylvia Beach

10 Tuesday Aug 2021

Posted by astrid.lim in non fiction

≈ Leave a comment

Tags

autobiography, book about books, bookstores, english, europe, history, memoir, non ficttion

Judul: Shakespeare and Company

Penulis: Sylvia Beach

Penerbit: Bison Book (New Edition, 1991)

Halaman: 230p

Beli di: shakespeareandcompany.com (23 Euro)

Salah satu obsesi saya adalah mengunjungi toko buku legendaris di berbagai belahan dunia. Dan yang sampai sekarang masih menjadi bucket list adalah Shakespeare and Company yang terletak di kota Paris. Meski beruntung sudah pernah menginjakkan kaki di Paris, entah kenapa nasib belum membawa saya berkunjung ke toko buku bersejarah ini.

Saat Shakespeare and Co. kemarin sempat terancam tutup di tengah pandemi Covid-19, saya bersama beberapa teman memutuskan untuk berbelanja online di toko tersebut, sebagai bentuk dukungan kami terhadap toko buku independen yang memang banyak mengalami kesulitan terutama di masa pandemi. Dan salah satu buku yang menarik perhatian saya tentu saja Shakespeare and Company, memoir Sylvia Beach sang pendiri original toko buku ini sejak tahun 1919.

Dalam memoir yang ditulis dengan gaya jurnal ini, Sylvia Beach bercerita tentang asal muasal Shakespeare and Company, bagaimana seorang perempuan Amerika berhasil membuka toko buku pertama yang berbahasa Inggris di Paris, di era setelah Perang Dunia I. Sylvia yang memang pencinta budaya, literatur, dan seni, sudah bercita-cita ingin memiliki toko buku sendiri, dan ketika impiannya untuk membuka cabang toko buku Prancis di New York kandas, ia banting setir dan malah membuka toko buku berbahasa Inggris di Paris.

Ternyata, Shakespeare and Company malah sukses besar. Bukan hanya menjadi toko buku pionir yang menjual buku bahasa Inggris di tengah kota yang amat kental nuansa Prancisnya, namun Shakespeare and Co. juga menjadi tempat berkumpul para penulis yang nantinya akan menjadi penulis legendaris seperti Ernest Hemingway, Scott Fitzgerald, dan D.H Lawrence. Belum lagi hubungan dekat Sylvia dengan James Joyce, dan dari buku ini saya juga baru tahu kalau Shakespeare and Company pernah berperan sebagai penerbit Ulysess karena tidak ada penerbit yang mau menerbitkan novel tersebut.

Meski kadang seringkali rambling, dengan gaya bahasa santai namun sering tidak jelas urut-urutan timelinenya, saya tetap merasa bisa menikmati memoir Sylvia Beach ini. Beach bercerita dengan apa adanya tentang tantangannya mengelola toko buku, termasuk dari sisi bisnis, politik, dan sosial. Ia kehilangan teman, mendapatkan teman baru, dan bahkan pasangan hidup (Beach adalah salah satu pionir LGBT di era nya), karena Shakespeare and Company.

Hal lain yang juga saya suka dari buku ini adalah penggambaran kota Paris yang terasa dekat. Sylvia Beach mampu mendeskripsikan dengan detail, namun tidak membosankan, suasana Paris, baik di sekitar Shakespeare and Co maupun di daerah lain yang tak kalah cantik. Selain itu, beberapa foto yang tampil di memoir ini juga memperkuat kesan yang diperoleh, karena kita bisa dengan mudah membayangkan suasana toko buku maupun daerah sekitarnya, lengkap dengan tokoh-tokoh yang diceritakan Beach dalam buku ini. Penggambaran kesannya terhadap karakter-karakter yang ditemuinya sepanjang berkarier sebagai pemilik toko buku juga terasa hangat, apa adanya, dan penuh dengan anekdot yang membuat saya mendapatkan fakta-fakta baru tentang para penulis maupun tokoh dunia sastra lainnya.

Overall, this is a nice memoir. Yang pasti, setelah membaca buku ini, jangan kaget kalau langsung craving for some traveling to Paris!

Note: Shakespeare and Co. ditutup tahun 1941, saat Nazi mulai menguasai Prancis, dan tidak pernah dibuka kembali. Shakespeare and Co. versi saat ini didirikan tahun 1951 oleh George Whitman, dan dinamai sama dengan toko Sylvia Beach sebagai tribut terhadap toko buku dan pendirinya yang legendaris tersebut. Sylvia Whitman, anak perempuan George, mengambil alih toko buku Shakespeare and Co. di tahun 2006 hingga sekarang, dan semoga, toko ini tak akan pernah tutup 🙂

The original Shakespeare and Company
Shakespeare and Company masa kini

Rating: 4/5

Recommended if you like: Paris!, books about books and bookstores, history of literature, unusual name dropping, journal slash memoir

Submitted for:

Category: A book where the main character works at your current or dream job

White Fragility by Robin DiAngelo

01 Monday Mar 2021

Posted by astrid.lim in Uncategorized

≈ Leave a comment

Tags

african american, america, black history month, black lives matter, history, non fiction, popsugar RC 2021, social issues

Judul: White Fragility: Why It’s So Hard for White People to Talk About Racism

Penulis: Robin DiAngelo

Penerbit: Penguin Random House (2018)

Halaman: 168p

Beli di: Periplus (IDR 126k)

Robin DiAngelo adalah seorang perempuan kulit putih Amerika yang berprofesi sebagai konsultan dan pembicara yang banyak membahas tentang racial diversity and inclusion, terutama di berbagai institusi di Amerika Serikat. Sejak awal buku ini, DiAngelo sudah mengklaim bahwa sudut pandangnya adalah sudut pandang seorang kulit putih Amerika, berdasarkan pengalaman dan keahliannya selama menekuninya profesinya saat ini, yang meskipun banyak menyangkut racial diversity, tetap tak lepas dari bias.

Buku ini membahas bahwa betatapun baiknya seseorang, betapapun tinggi moral yang dijunjung, setiap orang kulit putih tidak akan bisa lepas dari rasisme. Setiap orang kulit putih adalah rasis, bukan karena ia jahat, tetapi karena rasisme sudah sangat erat menyatu dalam kehidupannya (terutama di dalam konteks Amerika Serikat), atau dengan kata lain, rasisme sudah menjadi sistemik.

Tentu saja pernyataan kontroversial ini tidak diterima oleh orang-orang kulit putih, terutama mereka yang menganggap diri liberal, progresif, toleran, dan peduli dengan isu racial diversity maupun social justice. Dan sikap defensif serta denial inilah yang dikupas tuntas oleh DiAngelo, lewat bahasa yang mudah dimengerti, to the point, dan apa adanya. Karena ia adalah mantan dosen, saya suka penuturannya yang runut.

DiAngelo menjelaskan secara cukup detail tentang konstruksi sosial rasisme di Amerika Serikat, termasuk sejarah yang berawal dari perbudakan, diskriminasi orang kulit hitam, era Jim Crow, dan seterusnya. Setiap orang kulit putih mewarisi sistem ini turun temurun, yang secara tidak disadari sudah merasuk ke dalam alam bawah sadar mereka dan menyebabkan bias. Hal ini nantinya bisa terlihat dari casual racism, komentar yang tidak disengaja tapi ternyata mengandung unsur rasisme, asumsi yang diberikan pada orang kulit hitam, yang terlihat innocent padahal ternyata berakar dari rasisme tadi. White supremacy (baik di Amerika maupun di dunia) adalah nyata, dan hal mendasar inilah yang pertama-tama ingin disampaikan oleh DiAngelo.

DiAngelo juga menyinggung tentang sulitnya orang kulit putih Amerika menerima kenyataan tentang systemic racism ini, terutama karena mereka tidak ingin dianggap sebagai orang jahat, karena merasa tidak pernah membeda-bedakan teman dari rasnya, atau karena merasa sudah melakukan banyak hal baik terutama menyangkut social justice. Tapi apakah itu cukup? Ternyata tidak, karena justru tanpa mengakui adanya masalah mendasar bahwa setiap orang kulit putih merupakan bagian dari masalah rasisme di Amerika (dan dunia), masalah ini akan selalu ada dan tidak akan ada pemecahannya.

Satu hal menarik yang juga saya tangkap dari buku ini adalah konsep White Fragility itu sendiri. Saat ada gerakan seperti Black Lives Matter (BLM) yang sempat heboh beberapa tahun belakangan ini, orang-orang kulit putih (yang sudah biasa berada di zona nyaman dan aman) menjadi merasa “terancam”, seolah kedudukannya sebagai mayoritas akan digeser oleh orang-orang kulit hitam, satu hal yang sebenarnya sangat tidak mungkin. Saking sudah lamanya orang kulit putih berada dalam status mayoritas yang menikmati segala jenis privilege sejak dilahirkan ke dunia, perjuangan sekecil apapun dari kaum minoritas (terutama kulit hitam) dianggap sebagai sesuatu yang mengancam dan akhirnya menimbulkan polemik. Padahal, tuntutan BLM adalah racial equality dan inclusion. Bahwa mereka berhak mendapatkan hal-hal mendasar yang sudah dirasakan oleh kulit putih secara cuma-cuma.

Dan mau tidak mau, saya jadi membandingkan hal ini dengan kaum mayoritas di negara kita tercinta. Bahwa white fragility, meski di sini mungkin berubah namanya, memang ada di mana-mana. Kaum mayoritas dengan segala privilegenya akan merasa terancam jika ada wakil minoritas yang akan mengubah keadaan, dan mengancam kenyamanan tatanan dunia mereka. Satu hal yang patut kita renungkan bersama, dan menurut saya, akan sangat menarik jika ada penulis yang berani mengupas isu ini seperti DiAngelo berani mengupas terang-terangan perihal white fragility di Amerika.

We’ll see 🙂

Rating: 4,5/5

Recommended if you want to learn more about: racism, social justice, racial equity in America, black history, Black Lives Matter

Submitted for:

Category: A book found on a Black Lives Matter reading list

Dead Wake: The Last Crossing of the Lusitania by Erik Larson

07 Thursday Jan 2021

Posted by astrid.lim in Uncategorized

≈ Leave a comment

Tags

british, europe, history, non fiction, popsugar RC 2021, secondhand books, world war

Judul: Dead Wake: The Last Crossing of the Lusitania

Penulis: Erik Larson

Penerbit: Broadway Books (2015)

Halaman: 452p

Beli di: Betterworldbooks.com (USD 9.98)

Erik Larson delivered again! Kalau ada penulis yang membuat saya bisa terpukau dengan buku sejarah, Larson lah orangnya. Kali ini, topik yang diangkat adalah tentang Lusitania, kapal besar yang mengangkut penumpang dari New York ke Liverpool, dan tenggelam karena ditorpedo oleh Jerman saat Perang Dunia I. Ini merupakan salah satu tragedi paling terkenal di dunia maritim, terutama karena terjadi pada kapal swasta yang seharusnya kebal dari ancaman perang.

Saya sendiri kurang tahu tentang peristiwa ini, dan tidak terlalu tertarik untuk mencari tahu lebih jauh. Tidak seperti Titanic yang kental dengan nuansa romantis (terutama setelah diangkat ke layar lebar oleh Hollywood), tragedia Lusitania -karena terjadi di masa perang- dianggap seperti collateral damage saja sehingga kurang menarik untuk diulik.

Tapi Erik Larson berpikiran lain – ia berhasil mengangkat peristiwa yang tadinya hanya dianggap sepintas lalu sebagai bagian Perang Dunia I – ke dalam sebuah naratif yang memikat. Seperti biasa, buku ini merupakan hasil penelitian panjang Larson dari berbagai sumber, termasuk buku harian, surat-surat dan dokumen lainnya.

Yang menarik, Larson bisa menggabungkan kisah masing-masing penumpang Lusitania – dari mulai persiapan mereka berangkat hingga tragedi menimpa mereka di atas kapal- dengan momen-momen di mana ketegangan antara Inggris dan Jerman semakin memuncak.

Ada dua hal besar yang membuat buku ini begitu menarik, dan Erik Larson dengan lihai bisa menjalin kedua isu utama ini ke dalam naratif yang mudah dibaca dan diikuti.

Yang pertama adalah Lusitania itu sendiri – sejarahnya, karakteristiknya, para penumpangnya, serta kapten yang menggawangi pelayaran tersebut, Captain Turner. Semuanya akan menjadi elemen-elemen penting yang mempengaruhi peristiwa tenggelamnya Lusitania secara tragis. Karena kapal swasta seharusnya aman dari serangan musuh dan menjadi wilayah netral di Perang Dunia I, tidak ada seorang pun yang merasa terancam secara serius, meski saat pelayaran ini berlangsung di bulan Mei 1915, Jerman sedang giat-giatnya menyebar kapal selam perang mereka di perairan Eropa dan menembaki kapal-kapal musuh.

Isu kedua yang tak kalah penting adalah ketegangan di antara Jerman dan Inggris, karena pertengahan tahun 1915 merupakan saat-saat stagnan di medan peperangan darat, dan lautan menjadi salah satu kunci untuk bisa memenangkan perang tersebut. Inggris sangat ingin Amerika Serikat bergabung dan beraliansi dengan mereka di Perang Dunia I, namun Presiden Woodrow Wilson tetap teguh ingin memegang netralitas Amerika. Sementara itu, tergoda untuk memenangkan perang sebelum Amerika ikut mendukung Inggris, Jerman pun mulai melancarkan serangan-serangan tajam di lautan, dan bahkan mulai menargetkan kapal-kapal non perang serta kapal dari negara netral.

Sementara itu, Presiden Wilson sendiri sedang mengalami banyak masalah pribadi, istrinya baru meninggal dan tak lama kemudian ia menjalin hubungan dengan seorang perempuan yang masih ragu untuk menjadi pendamping hidupnya. Konteks ini perlu diketahui karena cukup berpengaruh pada perasaan dan kondisi Wilson saat awal Perang Dunia I.

Yang paling membuat gemas adalah melihat cara Inggris menghadapi hari-hari menjelang penyerangan Lusitania. Badan intelijennya sudah menangkap tanda-tanda submarine U-20 yang berkeliaran di perairan sekitar Liverpool, tapi mereka tidak memperingatkan Lusitania dan masih menganggap ancaman penyerangan tersebut tidak serius.

Berita tenggelamnya Lusitania

Larson adalah penulis non fiksi dengan hati seorang novelis. Ia bisa menyajikan narasi yang memikat tapi tetap netral, tidak berat sebelah, dan mengungkap bukti-bukti keteledoran semua pihak. Tidak serta merta ia memihak Inggris atau menyalahkan Jerman, tapi menjelaskan semua fakta dengan apa adanya. Banyak faktor yang menyebabkan Lusitania ditorpedo pada bulan Mei 1915, dan banyak korban yang sebenarnya tidak perlu jatuh di hari itu, termasuk yang tertimpa perahu penyelamat atau kru yang terjebak di ruang bahan bakar.

Detail-detail yang begitu vivid seringkali membuat saya lupa kalau saya sedang membaca buku sejarah alih-alih novel fiksi. Dan itulah kepiawaian Erik Larson yang sulit ditandingi oleh penulis lain. Bahkan topik yang tidak terkenal, tidak terpikirkan, dan tidak terlihat menarik, bisa disulap menjadi buku yang engaging dan memikat. And I’m super happy because there are some of his books that I haven’t read 🙂

Rating: 4/5

Recommended if you want to read about: World War I, maritime tragedies, history book with a sense of fiction novel, detailed but engaging narratives.

Submitted for:

Category: A book with a black-and-white cover

In Cold Blood by Truman Capote

04 Thursday Oct 2018

Posted by astrid.lim in non fiction

≈ Leave a comment

Tags

america, crime, english, history, non fiction, popsugar RC 2018, psychology, thriller, true crime

Judul: In Cold Blood

Penulis: Truman Capote

Penerbit: Penguin Essentials (2012)

Halaman: 343p

Beli di: Big Bad Wolf Jakarta 2018 (IDR 70k)

Tanggal 15 November 1959 adalah hari yang tidak akan pernah dilupakan oleh penduduk kota kecil Holcomb di Kansas. Pada malam naas itu, salah satu keluarga yang terpandang, keluarga Clutter, tewas dibunuh oleh orang-orang tak dikenal.

Mr. dan Mrs. Clutter serta kedua anak remaja mereka tidak menyangka sedikitpun mereka akan menjadi korban kekejian berdarah yang menghabisi nyawa mereka.

Kasus ini diselidiki oleh Agent Al Dewey, yang memutar otak namun hanya menemukan sedikit sekali petunjuk, serta tidak adanya motif yang meyakinkan, karena keluarga Clutter bukanlah keluarga yang dibenci, bahkan sebaliknya, mereka sangat dihargai di kota kecil tersebut. Apakah ini perbuatan orang-orang yang tidak dikenal, atau ada musuh lama muncul dari masa lalu?

Truman Capote is a master of storytelling. Meski buku ini diangkat dari kisah nyata, namun penulisannya yang mengalir lancar, penuh dengan detail kecil tapi penting, sangat menarik untuk diikuti, dan seringkali saya lupa bahwa buku ini adalah non fiksi, saking serunya alur yang dipaparkan oleh Capote.

Sejak awal, kita sudah diajak menyusuri kisah seram ini dari dua sudut pandang: para korban dan para pelaku. Memang, tidak ada twist atau kejutan di sini karena kita sudah tahu siapa pelaku dan korban. Namun, dengan lihai Capote membawa kita mengenal satu per satu karakter yang terlibat di sini, mengupas kepribadian mereka, keseharian mereka, pandangan orang-orang tentang mereka. Dan secara tidak sadar, kita serasa berada langsung di tempat kejadian dan terhubung langsung dengan orang-orang tersebut.

The chilling factornya adalah bagaimana Capote merekonstruksi kejadian dari sudut pandang para pembunuh dengan sangat meyakinkan. Mulai dari saat mereka merencanakan perbuatan ini, apa yang ada di benak mereka dan saat-saat terakhir mereka memutuskan untuk berhenti atau jalan terus. Saya seolah bisa melihat langsung jalan pemikiran mereka, berusaha memahami dan menyadari dengan terkejut bahwa pembunuh berdarah dingin itu ada, dan mereka terlihat normal dalam kesehariannya seperti orang lain pada umumnya.

Banyak yang menganggap bahwa Capote terlalu banyak memasukkan unsur fiksi dan imajinasi serta menuliskan interpretasinya sendiri dalam buku ini, tapi menurut saya Capote sudah melakukan tugasnya dengan baik, mewawancarai berbagai sumber dan benar-benar mencari tahu setiap detail yang terungkap.

Buku ini juga membahas tentang hukuman mati, pro dan kontranya terutama di negara bagian Kansas, yang saat kasus ini terjadi, masih menerapkan hukuman gantung. Nyawa ganti nyawa- apakah relevan?

Saya merekomendasikan buku ini untuk pembaca yang ingin mencicipi genre true crime, atau yang ingin menulis buku bergenre kriminal. This is a real masterpiece indeed.

Truman Capote dan Harper Lee

Mungkin banyak yang sudah tahu bahwa Truman Capote bersahabat erat dengan Harper Lee, penulis masterpiece lain, To Kill a Mockingbird. Mereka adalah teman sejak kecil dan tumbuh besar di kota Monroeville di Alabama. Beberapa tokoh dalam kisah fiksi Capote terinspirasi dari karakter Lee, dan Capote (yang sudah lebih dulu dikenal di dunia sastra) bahkan disebut-sebut membantu Lee dalam menulis karya epiknya tersebut.

Capote dan Lee, ca 1960s

Namun mungkin banyak yang belum tahu kalau hubungan Capote dan Lee menjadi retak sejak terbitnya In Cold Blood. Lee berperan aktif dalam penulisan buku ini sebagai research assistant Capote, namun ia sangat tersinggung karena namanya hanya dimasukkan ke dalam halaman Acknowledgement saja, dan tidak diakui sebagai co-author.

Kisah persahabatan mereka diangkat ke layar lebar lewat film Capote yang diperankan oleh Philip Seymour Hoffman.

Submitted for:

Category: True crime

 

 

 

 

Sent from my Samsung Galaxy smartphone.

The Other Boleyn Girl by Philippa Gregory

26 Thursday Apr 2018

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 3 Comments

Tags

british, drama, english, fiction, historical fiction, history, lovely heroine, popsugar RC 2018, romance, women

Judul: The Other Boleyn Girl

Penulis: Philippa Gregory

Penerbit: Touchstone (2001)

Halaman: 661p

Beli di: Reading Lights Bandung (IDR 50k)

Mary Boleyn adalah anak dari keluarga terpandang yang tinggal di lingkungan istana saat masa pemerintahan Raja Henry VIII. Ketika ia berusia remaja, Raja Henry menaruh perhatian padanya dan menjadikannya wanita simpanan. Mary yang polos hanya memikirkan cintanya pada sang Raja dan bagaimana membahagiakan idolanya tersebut. Namun di balik itu, keluarga Mary tidak tinggal diam, dan menjadikannya alat untuk mencapai ambisi mereka: menjadi keluarga nomor satu di Inggris.

Saat ambisi Mary dinilai tak sesuai harapan, keluarga Boleyn masih menyimpan senjata rahasia: Anne Boleyn, kakak perempuan Mary yang jauh lebih berambisi, cerdik, cantik namun sekaligus licik. Anne menggusur kedudukan Mary dan bertekad bukan hanya akan menjadi perempuan simpanan raja- namun langsung menjadi permaisurinya, tidak peduli saat itu sudah ada sang Ratu yang duduk di singgasana.

Kisah kerajaan Inggris selalu menarik untuk diikuti, apalagi yang terjadi saat masa kekuasaan Tudor seperti Henry VIII. Penuh intrik, konflik dan drama yang tak putus-putusnya, kisah-kisah keluarga kerajaan ini benar-benar cocok untuk diangkat ke novel. Ini adalah pengalaman pertama saya membaca karya Philippa Gregory-setelah mendengar banyak pujian dan membaca review bagus di berbagai media- dan ternyata dia memang layak dipuja-puja! Buku tebal lebih dari 500 halaman ini berhasil saya lahap dalam waktu yang terbilang singkat, karena memang disajikan dengan seru, penuh bumbu drama yang membuat penasaran.

Saya rooting for Mary, karena dia seperti saudara yang dianaktirikan. Namun lega sekali saat ia memutuskan untuk mengambil alih nasibnya sendiri dan tidak bergantung pada keluarganya yang gila. Saya membenci Anne di sebagian besar cerita, karena di sini ia memang lebih ditonjolkan sebagai perempuan yang bitchy. Namun di akhir kisah, sedikit simpati berhasil saya dapatkan untuknya.

Penggambaran karakter di buku ini -meski amat berlimpah- terasa mudah untuk diikuti, walaupun lumayan banyak nama yang mirip satu sama lain. Pace-nya juga pas, sebagai buku historical fiction, tetap banyak fakta yang dimasukkan, namun unsur dramanya membuat kisah keluarga Boleyn ini jauh dari membosankan.

Dan saya jatuh cinta dengan William Stafford! Tokoh yang muncul diam-diam dan berhasil memikat hati say 😀 The romance part is definitely worth to read (even for a romance hater like me, haha)

Saya sendiri belum pernah menonton film The Other Boleyn Girl, yang diperankan oleh Scarlet Johansen dan Natalie Portman. Tapi setelah melihat beberapa cuplikannya di Youtube, sepertinya filmnya masih bisa menangkap kesan bukunya dengan cukup baik. Banyak yang mengkritik cara Philippa Gregory menyampaikan kisah keluarga Boleyn dan Raja Henry VIII, karena dianggap terlalu jauh melenceng dari sejarah. Tapi menurut saya sih namanya juga historical fiction, ya pastilah unsur fiksinya dibuat cukup menonjol untuk memberikan bumbu pada kisah sejarahnya 😀

 

Dinasti Tudor

Dinasti Tudor adalah salah satu dinasti (wangsa/house) yang cukup lama memerintah Inggris, hingga lebih dari 1 abad. Masa Tudor dimulai dari Henry VII dan diakhiri oleh Ratu Elizabeth I, yang memang tidak memiliki keturunan.

Salah satu yang paling terkenal dari masa Tudor adalah pemerintahan Henry VIII, yang pertama kalinya mendirikan gereja Anglikan, terpisah dari Katolik Roma, dan mengizinkan perceraian karena ia ingin menikahi Anne Boleys. Henry VIII memiliki total enam orang istri, dengan kisah dan tragedi yang penuh drama.

Submitted for:

Category: A novel based on a real person

 

 

In the Garden of Beasts by Erik Larson

14 Thursday Dec 2017

Posted by astrid.lim in non fiction

≈ 1 Comment

Tags

bbi review reading 2017, english, historical, history, non fiction, secondhand books

Judul: In the Garden of Beasts

Penulis: Erik Larson

Penerbit: Broadway Paperbacks (2011)

Halaman: 448p

Beli di: Better World Books (USD 7.48, disc 20%)

Erik Larson adalah satu dari sedikit penulis yang berhasil menghilangkan ketakutan saya pada buku-buku non fiksi, khususnya buku sejarah. Setelah terhanyut dalam kisah nyata pembunuh berantai di Devil in the White City, kini saya masuk ke dalam dunia yang sebelumnya bahkan tidak pernah saya pikirkan: dunia diplomat di Berlin menjelang kebangkitan Hitler dan kejayaan Nazi yang berlanjut pada Perang Dunia II.

Larson membawa kita mengikuti keluarga Dodd. William Dodd baru diangkat menjadi Duta Besar Amerika Serikat di Berlin, dan ia membawa serta istrinya serta kedua anaknya yang sudah dewasa: Martha dan Bill Jr. Mereka tinggal di daerah Tiergarten (Garden of Beasts), taman luas serupa Central Park NY yang menjadi pusat kedutaan besar dan kantor-kantor pemerintah.

Dodd sendiri berasal dari latar belakang akademis dan merupakan sejarawan andal, obsesinya adalah menulis buku sejarah tentang negara bagian Amerika di sebelah Selatan tempat ia lahir dan dibesarkan. Di usia yang sudah terbilang cukup senior, Dodd akhirnya memenuhi permintaan Presiden Roosevelt untuk bertugas di Berlin, meski ia bukan seorang diplomat karier dan bahkan tidak disukai oleh orang-orang di US Department of State.

Buku ini menelusuri perjalanan karier Dodd selama di Berlin, dan kesadarannya sedikit demi sedikit tentang pengaruh Hitler yang makin menguat dan berbahaya. Dari sini juga saya baru melihat jelas bahwa Hitler tidak muncul secara tiba-tiba dan Nazi pun tidak langsung berkuasa. Ada masa-masa transisi yang krusial yang sebenarnya -bila dihadapi dengan berbeda- bisa mengubah sejarah dunia yang kelam dan mencegah terjadinya Holocaust dan Perang Dunia II. Namun bagaimana para diplomat malah menghargai dan menyambut Hitler sebelum masa jayanya itulah yang menjadi fakta mengejutkan yang membuka mata saya saat membaca buku ini.

Yang lumayan seru juga adalah mengikuti sepak terjang Martha, anak perempuan Dodd yang surat-surat serta buku hariannya banyak dijadikan sumber tulisan di buku ini. Martha adalah seorang pemberontak yang dianggap tidak pantas mewakili keluarga diplomat Amerika. Affairnya dengan berbagai kalangan (termasuk official Nazi dan Gestapo) hingga pertemanannya dengan para penggagas gerakan bawah tanah menjadi bumbu yang cukup menyegarkan di sepanjang kisah ini.

Dibandingkan The Devil in the White City, In the Garden of Beasts memang lebih slow, tidak terlalu engaging dan bahkan agak membosankan di beberapa bagian. Buku ini lebih terasa benar-benar sebagai buku non fiksi sejarah, bukan ‘historical fiction’ seperti kesan yang saya dapat di buku Devil. Namun karena topiknya tetap relevan hingga sekarang, saya merasa buku ini masih penting untuk dibaca dan bisa mengingatkan kita akan pelajaran yang diperoleh puluhan tahun lalu itu. Betapa cara memandang dan menangani suatu masalah, terutama politik luar negeri, benar-benar akan berpengaruh terhadap keseluruhan sejarah dunia. Dan betapa kecewanya saya (mseki tidak terkejut) terhadap reaksi Amerika Serikat saat Dodd mulai menyatakan kecurigaannya akan ancaman kebangkitan Hitler.

Hal ini mengingatkan saya juga dengan kondisi dunia saat ini. Terutama dengan berkembangnya lagi isu rasisme dan kebencian terhadap ras tertentu (Trump di Amerika, Rohingya di Myanmar); yang sebenarnya tidak ada bedanya dengan apa yang terjadi di zaman Hitler berkuasa. Mudah-mudahan saja kini dunia bisa lebih bijaksana menghadapi situasi tersebut, dan tidak ignorant seperti saat kekuasaan Hitler menanjak di awal tahun 1930an dulu.

Submitted for:

Kategori Ten Points: Historical Non Fiction

 

 

Whittington by Alan Armstrong

21 Monday Aug 2017

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ 1 Comment

Tags

animals, bbi review reading 2017, children, english, fiction, history, newbery, popsugar RC 2017

Judul: Whittington

Penulis: Alan Armstrong

Illustrator: S.D. Schindler

Penerbit: Yearling (2006)

Halaman: 208p

Beli di: Bras Basah, Singapura (thank you, Dewi!)

Sebuah lumbung milik lelaki tua bernama Bernie dipenuhi oleh berbagai binatang yang berasal dari tempat yang berbeda-beda. Bernie telah menyelamatkan mereka semua, termasuk pemimpin mereka, Lady si angsa. Binatang-binatang ini, meski tidak selalu akur (uhuk,uhuk, para tikus), berusaha untuk hidup berdampingan di dalam lumbung tersebut. Cucu Pak Tua Bernie yang bernama Abby dan Ben seringkali bermain bersama para binatang, bahkan bisa bercakap-cakap dengan mereka.

Suatu hari datanglah seekor kucing liar bernama Whittington, ia mengaku sebagai keturunan kucing Dick Whittington. Dick adalah tokoh legendaris yang merupakan kisah sukses seorang pemuda miskin menjadi tokoh kaya raya dengan bantuan kucingnya yang cerdik.

Whittington si kucing ingin sekali diterima di komunitas lumbung Bernie, dan untuk memperoleh keinginannya, ia bersedia bercerita tentang sejarah Dick Whittington, seperti yang dituturkan oleh para leluhurnya, dan bagaimana kucing kesayangan Dick berperan penting dalam kesuksesan hidupnya hingga menjadi orang kaya yang suka berbagi.

Sementara itu, ada sempalan kisah tentang Ben, cucu Bernie yang memiliki kesulitan membaca (disleksia), dan bagaimana para penghuni lumbung bahu-membahu membantu Ben supaya bisa mengatasi kesulitannya.

Whittington adalah buku middle grade yang berhasil membawakan tema yang cukup umum (sejarah tokoh Dick Whittington, disleksia, dll) dengan gaya penceritaan yang unik, yaitu menjadikan kucing sebagai naratornya – dan menyelipkan tokoh-tokoh binatang serta anak-anak yang bisa saling berinteraksi.

Kisahnya sendiri cukup memikat, meski awalnya agak membuat bingung- seperti realistic fiction tapi bercampur dengan fable atau fantasi dongeng, sehingga menimbulkan kesan yang tidak biasa. Tapi lama-lama, saya terpikat juga dengan gaya bercerita Whittington si kucing, dan kisah luar biasa Dick Whittington sang legenda. Dan tentu saja- di sela-selanya saya ikut bersemangat untuk Ben yang berusaha memerangi disleksianya.

Whittington bukanlah buku yang jelas-jelas merupakan kontender utama Newbery, namun dengan segala keunikan dan kebersahajaannya, justru berhasil menggaet penghargaan bergengsi tersebut.

Submitted for:

Category: A book with a cat on the cover

 

 

 

 

 

Kategori: Children Literature

 

 

The Wonder by Emma Donoghue

30 Friday Jun 2017

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 1 Comment

Tags

bbi review reading 2017, english, fiction, historical fiction, history, popsugar RC 2017, religion

Judul: The Wonder

Penulis: Emma Donoghue

Penerbit: Little, Brown and Company (2016)

Halaman: 291p

Beli di: Book Depository (IDR 149,120)

Lib Wright adalah perawat Inggris yang merupakan anak didik dari Florence Nightinghale. Ia dipanggil untuk bertugas di sebuah desa kecil miskin di Irlandia, namun kasus yang dihadapinya bukanlah kasus biasa.

Desa tersebut sedang diramaikan oleh berita tentang seorang anak perempuan berumur 11 tahun, Anna O’Donnell, yang dikabarkan sudah berpuasa selama berbulan-bulan dan tidak makan apapun, namun kondisi tubuhnya tetap baik. Fenomena ini mengundang banyak orang, baik turis maupun penganut Katolik yang percaya kalau Anna adalah titisan Santa, dan mereka berbondong-bondong menyambanginya.

Sebuah komite dibentuk di desan tersebut dan mereka mengambil keputusan untuk mengundang pengamat dari luar yang ditugaskan menguak misteri ini. Lib hadir sebagai perwakilan ilmu pengetahuan, perawat terlatih yang terbiasa melihat segalanya dari sudut pandang rasional. Bahkan sebelum bertemu Anna, Lib sudah yakin kalau semua kehebohan ini hanyalah bagian dari tipuan belaka, usaha untuk mencari sensasi, ketenaran, bahkan uang. Namun pertanyaannya, siapa yang menjadi dalangnya, dan bagaimana cara tipuan itu dilakukan?

Lib bertekad untuk menguak misteri tersebut secepat mungkin, namun pengamatannya selama beberapa hari non-stop masih belum membuahkan hasil. Hatinya mulai diliputi kebimbangan. Apakah mungkin Anna ternyata benar-benar menjadi bukti keajaiban yang nyata?

Emma Donoghue memang paling lihai menulis kisah-kisah yang tidak biasa, topik yang gelap namun nyata, dan karakter-karakter yang memorable, termasuk menggunakan sosok anak kecil sebagai sentral ceritanya.

Beberapa bagian mengingatkan saya pada buku Emma sebelumnya, Room, yang menjadi bestseller di mana-mana. Setting cerita yang terkesan “sempit” dan claustrophobic, tokoh-tokoh yang menyimpan rahasia, tema yang tidak biasa dan menyisakan kejutan hingga di bagian akhir…

Memang The Wonder terasa lebih lambat dibandingkan Room. Jalan ceritanya juga terkesan lebih datar. Namun saya tetap menikmati kisah ini, terlebih karena memang diinspirasi oleh kejadian nyata yang terjadi beberapa abad lalu. Fenomena miracles, mukjizat, keajaiban dan sejenisnya memang amat populer bahkan hingga masa kini. Orang-orang selalu tertarik ke dalam pusaran kejadian yang tidak biasa dan tidak bisa dijelaskan dengan akal sehat. Dan pertentangan antara ilmu pengetahuan serta agama maupun spiritual tetap menjadi topik yang menarik, dan Emma Donoghue dengan segala keterbatasannya, cukup berhasil menyajikannya dengan menarik lewat The Wonder.

Submitted for:

Category: A book about an interesting woman

Kategori: Historical Fiction

An Officer and a Spy by Robert Harris

05 Monday Jun 2017

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 1 Comment

Tags

bbi review reading 2017, english, europe, fiction, historical fiction, history, mystery/thriller, popsugar RC 2017, secondhand books

Judul: An Officer and a Spy

Penulis: Robert Harris

Penerbit: Arrow Books (2014)

Halaman: 611p

Beli di: Carefour Central Park (IDR 58k)

Paris, tahun 1895: seorang tentara Prancis keturunan Yahudi, Alfred Dreyfus, ditangkap dengan tuduhan pengkhianatan dan menjadi mata-mata Jerman yang saat itu merupakan “musuh dalam selimut” bagi Prancis.

Seorang perwira muda Prancis, Georges Picquart, menyaksikan bagaimana Dreyfus dilucuti dari posisinya di tentara dan dipermalukan di depan publik, sebelum akhirnya diasingkan ke Devil’s Island di Amerika Selatan.

Karena track recordnya yang bagus, Picquart ditunjuk untuk mengepalai unit intelligence militer dan kariernya melejit cukup pesat.

Namun suatu penemuan tak sengaja membawa Picquart menelusuri kembali kasus pengkhianatan Dreyfus. Ternyata setelah pengasingan Dreyfus, rahasia militer masih saja bocor ke tangan Jerman. Apakah Dreyfus memiliki kaki tangan, atau jangan-jangan militer Prancis telah menangkap orang yang salah? Picquart memulai penyelidikannya, namun tidak menyangka yang ditemukannya ternyata jauh lebih rumit, lebih mengejutkan dan mengerikan daripada yang ia bayangkan.

Robert Harris memang paling piawai mengolah fakta sejarah menjadi kisah fiksi dengan bumbu thriller yang memikat. Seperti pada masterpiece sebelumnya yang mengisahkan intrik politik Romawi lewat sosok Cicero, kali ini Harris pun bermain-main dengan plot yang sarat dengan politik, pengkhianatan, rahasia negara, intrik perebutan kekuasaan dan bagaimana manusia menghalalkan segala cara untuk mempertahankan kuasa yang sudah diperoleh.

Yang hebat dari Harris, bahkan kisah yang nyaris tidak diketahui siapapun ini- karena tenggelam dalam lautan sejarah yang lebih luas- bisa diramu dengan amat memikat dan membuat saya nyaris tidak bisa berhenti membaca- bahkan sempat terlambat ke kantor segala. Buku setebal 611 halaman ini tidak terasa berat, meski temanya cukup rumit namun berhasil disampaikan dengan mulus. Awalnya, sempat agak bingung membaca banyaknya nama-nama asing berbau Prancis yang terlibat dalam peristiwa ini, namun lama-kelamaan nama-nama itu terasa begitu akrab.

Twist demi twist hadir beruntun, membuat saya membalik halaman demi halaman dengan rasa ingin tahu yang tak kunjung padam. Harris juga berhasil menghadirkan karakter utama yang mudah disukai: membumi, idealis namun tetap memiliki kelemahan yang masuk akal. Seperti Cicero, Picquart dengan kenaifannya harus membayar mahal untuk menjadi orang baik di kancah politik yang serba brutal.

Ending buku ini, meski sesuai dengan fakta sejarahnya sehingga tidak terlalu menyisakan twist yang bombastis, masih terasa cukup memuaskan, walaupun agak sedikit terlalu buru-buru di bagian akhir. Mungkin karena deadline yang semakin mendekat? 😀

Saya tidak sabar membaca buku Harris berikutnya, Conclave yang bercerita tentang intrik pemilihan Paus di Vatikan. I hope Robert Harris keep on being one of the most consistent, celebrated writers in modern era.

Submitted to:

Category: An espionage thriller

Kategori: Thriller & Crime Fiction

 

← Older posts

From the bookshelf

Categories

Looking for Something?

Enter your email address to follow Books to Share and receive notifications of new posts by email.

Join 1,036 other subscribers

Currently Reading

I’m a Proud Member! #BBI 1301004

Wishful Wednesday Meme

Fill your Wednesdays with wishful thinking =)

Popsugar Reading Challenge 2018

bookworms

  • aleetha
  • althesia
  • alvina
  • ana
  • annisa
  • bzee
  • dewi
  • dion
  • fanda
  • Ferina
  • helvry
  • inne
  • Kobo
  • maya
  • mei
  • melmarian
  • mia
  • ndari
  • nophie
  • oky
  • peri hutan
  • ren
  • Reygreena
  • sel sel kelabu
  • sinta
  • tanzil
  • tezar
  • yuska

shop til you drop

  • abe books
  • Amazon
  • better world books
  • book depository
  • BukaBuku
  • Buku Dedo
  • bukukita
  • vixxio

Top Posts & Pages

  • Spooktober Read (2): The Turn of the Screw by Henry James
    Spooktober Read (2): The Turn of the Screw by Henry James
  • The Rainmaker by John Grisham
    The Rainmaker by John Grisham
  • A Dance with Dragons by George R.R. Martin
    A Dance with Dragons by George R.R. Martin
  • The Best of Nancy Drew, Classic Collection Vol.1
    The Best of Nancy Drew, Classic Collection Vol.1
  • The Secret History
    The Secret History

Recent Comments

Puddin’ by Jul… on Dumplin’ by Julie M…
jesica on Abarat 2: Days of Magic, Night…
jesica on Abarat 2: Days of Magic, Night…
When the Stars Go Da… on The Paris Wife
Hapudin Bin Saheh on Insomniac City: New York, Oliv…

Create a free website or blog at WordPress.com.

Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
  • Follow Following
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Join 1,036 other followers
    • Already have a WordPress.com account? Log in now.
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Customize
    • Follow Following
    • Sign up
    • Log in
    • Report this content
    • View site in Reader
    • Manage subscriptions
    • Collapse this bar
 

Loading Comments...