• About this blog
  • Clearance Sale!
  • Newbery Project
  • Popsugar Reading Challenge 2023
  • Previous Challenges
    • BBI Read and Review Challenge 2017
    • Challenges 2014
    • Challenges 2015
    • Lucky No.14 Reading Challenge
    • Lucky No.15 Reading Challenge
    • POPSUGAR Reading Challenge 2017
    • Popsugar Reading Challenge 2018
    • Popsugar Reading Challenge 2020
    • Popsugar Reading Challenge 2021
    • Popsugar Reading Challenge 2022
    • What’s in a Name 2018
    • Twenty-Ten Challenge
    • Challenges 2012
    • Challenges 2013
  • Round Ups
  • The Librarian

~ some books to share from my little library

Tag Archives: politics

Home Fire by Kamila Shamsie

04 Thursday Nov 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 2 Comments

Tags

bargain book!, british, english, fiction, politics, popsugar RC 2021, religion, retelling, romance, women prize

Judul: Home Fire

Penulis: Kamila Shamsie

Penerbit: Bloomsbury Publishing (2018)

Halaman: 264p

Beli di: Books and Beyond (IDR 54k, bargain!)

Isma, Aneeka, dan Parvaiz adalah tiga bersaudara dari keluarga imigran Pakistan yang menetap di London. Setelah ibu mereka meninggal dunia, mereka hanya bergantung pada satu sama lain. Namun, ketiganya selalu dihantui sosok sang ayah, seorang jihadist yang meninggalkan keluarga mereka.

Ketakutan terbesar Isma adalah terpecahnya keluarga mereka, dan hal itu terjadi saat Parvaiz terseret masuk ke kelompok ISIS, tanpa benar-benar paham konsekuensi yang menantinya. Cerita semakin rumit saat Isma dan Aneeka dekat dengan anak Menteri Dalam Negeri Inggris, yang meski berlatar belakang Muslim, memiliki reputasi yang amat tegas terhadap Islam radikal, dan fokus memerangi terorisme.

Home Fire adalah buku yang penuh nuance – plotnya sendiri cukup sederhana, tapi berbagai detail kecil, kejadian yang saling berhubungan, serta relevansinya terhadap isu Islamophobia, radikalisme, terorisme, dan imigran, yang menjadi isu penting di Inggris serta Eropa, menjadikan buku ini kompleks dengan segala keruwetannya.

Kita diajak menyelami sudut pandang masing-masing karakter utama, dari mulai Isma yang mendapat beasiswa S3 ke Amerika, Aneeka yang cantik dan kembarannya, Parvaiz yang tidak puas dengan versi kisah sang ayah yang dicekoki media pada dirinya. Namun kita juga diajak melihat sudut pandang Karamat, Home Secretary yang mengingkari masa lalunya demi posisi politik, dan anaknya, Eamonn, yang memiliki hubungan rumit dengan ayahnya.

Plot yang intriguing ini sebenarnya diramu dengan cukup baik, namun embel-embel kisah romance yang digadang-gadang sebagai retelling kisah mitologi Yunani Antigone, malah menjadi distraksi buat saya. Ditambah dengan endingnya yang super dramatis, membuat saya menurunkan rating buku ini, dari empat bintang menjadi 3,5 bintang saja 🙂

Saya sendiri tidak familiar dengan kisah Antigone, jadi mungkin itu salah satu sebabnya bagian akhir buku ini terasa kurang relate dengan saya. Tapi menurut saya, buku ini masih bisa dibilang berhasil menyajikan isu penting dengan tidak bias, melalui karakter-karakter yang cukup believable.

Rating: 3.5/5

Recommended if you want to read about: relevant issues, Islam in Europe, multiple POVs, complicated characters

Submitted for:

Category: A book that has won the Women’s Prize for Fiction

Why We’re Polarized by Ezra Klein

27 Monday Sep 2021

Posted by astrid.lim in non fiction

≈ Leave a comment

Tags

america, culture, ebook, non fiction, politics, popsugar RC 2021, psychology

Judul: Why We’re Polarized

Penulis: Ezra Klein

Penerbit: Avid Reader Press/Simon & Schuster (2020, Kindle edition)

Halaman: 335p

Beli di: Amazon.com (USD 10.20)

Saya beberapa kali membaca artikel yang ditulis oleh Ezra Klein di New York Times, tapi ini adalah pertama kalinya saya membaca buku karya Klein. Gaya menulisnya tetap sama: lugas, to the point, mudah dimengerti, dan bisa menarabahasakan sesuatu yang rumit dengan lebih sederhana, tanpa simplified the issues.

Isu utama yang dibahas buku ini adalah polarisasi. Klein menulis Why We’re Polarized setelah beberapa tahun masa kepemimpinan Donald Trump. Ia mencoba menganalisis mengapa dunia saat ini jauh lebih terpolarisasi dibandingkan dengan sepuluh tahun lalu. Mengapa kita harus memilih antara ekstrem yang satu dan ekstrem yang lain, dan merasa sangat emosional jika pilihan kita didebat atau dipertanyakan?

Klein memang lebih banyak membahas isu polarisasi dari kacamata politik Amerika Serikat, khususnya di election 2016 dan pasca Donald Trump menjabat. Tapi saya sendiri merasa isu dan pembahasannya sangat relevan dengan kondisi dunia, termasuk Indonesia, saat ini. Saya masih ingat jelas betapa terpolarisasinya Indonesia di Pemilu 2014, dengan geng cebong dan kampret, yang terus berlarut-larut hingga sekarang, di masa pandemi ini. Dalam setiap isu, rakyat seolah harus memilih ingin berada di pihak mana, dan saling berlomba untuk menjadi yang paling benar dalam opini dan pilihan mereka.

Sangat menarik membaca analisis Klein tentang politik identitas (relevan juga dengan Indonesia!), baik menyangkut agama, region, etnis, dan banyak lagi hal-hal yang makin ke sini dirasa makin penting dibandingkan di masa lalu. Peran sosial media juga cukup besar, di mana polarisasi bisa dipertajam dengan debat online, compressed news stories, dan hoax. Penjelasannya sangat mengena, dengan bahasa sehari-hari yang membuat amat relatable dan mudah dimengerti.

But if our search is motivated by aims other than accuracy, more information can mislead us—or, more precisely, help us mislead ourselves. There’s a difference between searching for the best evidence and searching for the best evidence that proves us right. And in the age of the internet, such evidence, and such experts, are never very far away.

The simplest way to activate someone’s identity is to threaten it, to tell them they don’t deserve what they have, to make them consider that it might be taken away. The experience of losing status—and being told your loss of status is part of society’s march to justice—is itself radicalizing.

Satu lagi yang saya suka, Klein juga memberikan langkah-langkah praktis di bagian akhir buku, yang bisa kita coba untuk memperkecil gap polarisasi sehingga politik bisa kembali ke iklim yang sehat. Saya berharap ada penulis Indonesia yang juga bisa membahas isu ini dengan menjadikan Indonesia sebagai case study, karena menurut saya, situasi yang kita hadapi juga tidak jauh berbeda dengan Amerika Serikat.

Rating: 4/5

Recommended if you are into: politics, relevant issues, relatable case studies, internet and social media, easy to understand non fiction analysis

Submitted for:

Category: A book about a subject you are passionate about

A Long Petal of the Sea by Isabel Allende

19 Wednesday May 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

ebook, historical fiction, immigrant, politics, popsugar RC 2021, south america, war, world war

Judul: A Long Petal of the Sea

Penulis: Isabel Allende

Penerbit: Ballantine Books (Kindle edition, 2020)

Halaman: 336p

Beli di: Amazon.com (USD 2.99- bargain!)

Di akhir tahun 1930an, Spanyol dilanda Perang Saudara saat General Franco mengambil alih kekuasaan negara tersebut. Gaya kepemimpinannya yang fasis amat sesuai dengan kondisi dunia saat itu, yang didominasi Hitler dan Nazi yang siap memorakporandakan kehidupan jutaan orang.

Warga Spanyol, terutama yang bertentangan dengan Franco, banyak yang mengungsi ke Prancis, melalui jalur perbatasan yang sulit di tengah musim dingin yang menggigit. Salah satunya adalah Roser, yang sedang hamil tua, dan berjanji akan bertemu dengan kakak iparnya, Victor Dalmau, sambil menunggu kekasihnya, adik Victor, yang berjuang di medan perang.

Victor sendiri berprofesi sebagai dokter, merawat korban perang saudara di tengah kondisi yang makin berbahaya. Setelah berhasil bertemu Roser di Prancis, mereka memutuskan untuk ikut rombongan pengungsi ke Chile, dalam program yang digagas oleh penyair sekaligus aktivis Pablo Neruda. Saat itu, Chile memang sedang mencari banyak pengungsi untuk mengisi negara mereka, terutama yang memiliki keahlian khusus seperti science, arts, dan culture.

Meski awalnya Victor dan Roser menganggap kepindahan mereka ke Chile sebagai rencana temporer, lama kelamaan mereka malah menganggap Chile sebagai rumah mereka, meski keinginan untuk kembali ke Spanyol tetap tersimpan di dalam hati mereka. Dan melalui perjalanan kehidupan Victor dan Roser, kita diajak mencerna apa arti “rumah” yang sesungguhnya.

Sebelum membaca buku ini, saya tidak terlalu mudeng dengan sejarah negara Chile, dan saya bahkan belum pernah membaca karya Pablo Neruda sama sekali. Melalui A Long Petal of the Sea (sebutan untuk negara Chile yang terletak memanjang di ujung benua Amerika Selatan), Isabel Allende mengajak kita untuk menyusuri sejarah negara Chile, terutama hubungannya dengan Perang Saudara Spanyol dan para pengungsi yang nantinya akan ikut membentuk negara tersebut.

Dibandingkan dengan beberapa karya Allende sebelumnya, A Long Petal memang terasa agak lebih monoton. Tidak ada magical realisme di sini, dan gaya berceritanya pun lebih linear, lebih banyak telling daripada showing. Tapi menurut saya, Allende tetap menunjukkan tajinya, menghipnotis kita dengan alunan kalimat yang flowy dan membuat buku 300an halaman ini tidak terasa (terlalu) panjang, meski ada beberapa bagian yang agak slow.

Untuk pencinta Neruda, buku ini juga membahas sekelumit perannya di kancah politik Chile, yang kembali bergejolak setelah Perang Dunia II. It’s a great introduction to those who are not familiar with him, too.

Overall, tetap recommended, terutama yang sudah kangen dengan karya Isabel Allende.

Rating: 4/5

Recommended if you want to read about: Chile history, Spanish Civil War, migrations and refugees, great historical fiction with South American setting

Submitted for:

Category: A book set in multiple countries

A Promised Land by Barack Obama

03 Sunday Jan 2021

Posted by astrid.lim in Uncategorized

≈ Leave a comment

Tags

2020, 5 stars, america, autobiography, english, memoir, non fiction, politics

Title: A Promised Land

Writer: Barack Obama

Publisher: Crown (First Edition, 2020)

Pages: 751p

Bought at: Periplus.com (IDR 472k, disc 20%)

Barack Obama is a good writer. That’s one of my main impressions after reading his memoir. He can write about a very complicated period in his life, with many complicated issues, in a really clear, organized way, easy to understand but not oversimplified everything, and in between those packed topics, he can still write in his style, with lots of humors and sarcastic comments here and there.

This book covered the first half of his presidency, but started way before that time, with a hint of his family background and unconventional childhood, how politics creeped into his life and changed who he became, and of course, his fateful meeting with Michelle. Reading this part reminded me of Michelle’s memoir, Becoming, that also told story of his meeting with Barack, and how their relationship changed her life. But if Michelle wrote in more personal, emotional way, with many reminiscing of her childhood and talked a lot about her personal identity, Barack didn’t write that much about his personal life. I think his main purpose is to record his path in politics and how his presidency helped changing America into the state that’s getting closer with his ideals. Even though, of course, the reality is not that easy.

Although I have been working with American government program for more than 10 years now, there are still many things, especially related to social-politics-economy of the country that I don’t understand. Reading this book, I learned a lot about the issues that are important to American people: the economy gap, racial issues, universal healthcare, justice system, and even the relationship with other countries in the world, especially in the Middle East area (with the never ending wars), Russia, and China, and how the dynamics of their relationships shaped the global world situation.

Obama wrote in a very detailed way, thoughtful, with step by step guidance on his decision making process, very useful for younger generations who are interested in working in politics. He is a natural born leader, with very sharp mind, great decision making skills, and outstanding ability to choose the right people for the right position. I think even for those who are not interested in politics, this book still teaches a lot about how to become a great leader.

Another interesting thing is how detailed Obama described his daily life in White House, including his favorite room, his routine, and all the people he met, from the gardeners to the world leaders. What he and his team usually did inside Air Force One (playing cards!), their obsession with basketball, and the Dad stuff he still did even though his life was very busy.

And Obama is a fair writer. He wrote about his failures and bad judgments with the same precisions and details with his writing about his successes. And every time he wrote about his success stories, he always mentioned in detailed the roles of other people to bring the success.

Overall, this is a really good memoir, a bit long, but necessary, and better to savor it slowly. Like Obama said, he planned to write a 500-page book about his two-term presidency, but he failed tremendously XD This is only the first volume of his journey, and it already reached 700 pages, hahaha.. I can’t wait for the second volume though, and learn more from his journey.

Also – it’s good to read this book right after the US election, so at least I was not too frustrated with the fact that every achievement that Obama made – already ruined or canceled by Trump. Hopefully Biden and Harris will bring back some of the good policies that Obama has started. We’ll see.

Rating: 5/5

Recommended if you like: good memoirs, world leader autobiography, politics and social issues, American history, long book but not boring, serious issues tackled with understandable language and great sense of humor

The President is Missing by Bill Clinton & James Patterson

02 Tuesday Jun 2020

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 1 Comment

Tags

america, english, fiction, mystery/thriller, politics, popsugar RC 2020, secondhand books, suspense

Judul: The President is Missing

Penulis: Bill Clinton & James Patterson

Penerbit: Arrow Books (2019)

Halaman: 513p

Beli di: @BaliBooks (IDR 80k)

Apa jadinya bila dua nama besar berkolaborasi dalam satu buku? Yang satu adalah penulis best seller yang karya-karyanya sudah dikenal di seluruh dunia, sementara yang seorang lagi adalah mantan presiden Amerika Serikat, politikus andal yang juga terkenal karena salah satu skandal terbesar di White House.

Saya sendiri penasaran ketika pertama kali mendengar tentang kolaborasi ini. Saya sudah membaca beberapa karya James Patterson, dan meskipun tidak semuanya masuk ke kategori wow, namun rata-rata bukunya dikemas dalam kisah cepat penuh twist yang memang bikin ketagihan. Sedangkan Bill Clinton? Saya malah tidak bisa membayangkan eks POTUS tersebut menulis buku, apalagi yang bergenre thriller!

Ternyata, hasilnya adalah kisah thriller bertema terorisme yang merupakan page turner, bikin penasaran dan deg-degan sampai akhir. Yang membuatnya beda dari buku Patterson lainnya adalah detail-detail kepresidenan, mulai dari setting di White House hingga intrik politik dan protokoler yang terkesan sangat akurat, karena memang dibuat berdasarkan pengalaman Clinton saat menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat.

Kisahnya adalah tentang seorang Presiden yang menghadapi ancaman mengerikan dari teroris, yang bisa berakibat pada hancurnya sistem internet, dan basically, semua sistem peradaban manusia modern. Cyber terrorism adalah topik yang in, dan memang mungkin terjadi di masa sekarang ini, sehingga semua detail di buku ini seolah memang terjadi di dunia nyata, menambah kesan mencekam di sepanjang cerita.

Ancamana ini membuat sang Presiden harus mengambil langkah-langkah tidak biasa, termasuk bernegosiasi dengan salah satu pemimpin kelompok terorisme paling terkenal, bekerja sama dengan hacker yang diragukan kesetiannya, hingga menghilang dan beraksi seorang diri. Langkah-langkahnya tentu saja dikritik sejumlah pihak, termasuk rivalnya di dunia politik, dari mulai juru bicara Congress hingga bahkan Wakil Presiden-nya sendiri yang seolah ingin mencari kesempatan di tengah kesempitan.

Kisah semakin rumit dan tak tertebak ketika muncul sosok pembunuh misterius, serta orang dalam yang merupakan pengkhianat alias musuh dalam selimut.

Juicy dan menegangkan, dengan intrik rumit namun pemecahan yang cukup mengesankan, menurut saya buku kolaborasi pertama ini bisa dibilang cukup berhasil. Biasanya, Patterson memang piawai menyusun kisah thriller cepat, tapi seringkali mengabaikan beberapa detail penting dan menyisakan lubang-lubang dalam plotnya. Hal inilah yang berhasil diimbangi oleh Clinton, yang menyumbangkan expertise-nya dan membuat kisah terjalin dengan lebih rapat, dengan karakter-karakter dunia politik yang meyakinkan.

Next collab?

Berangkat dari kesuksesan ini, Patterson dan Clinton baru-baru ini mengumumkan rencana mereka menerbitkan kolaborasi yang kedua di bulan Juni 2021. Kisahnya adalah tentang penculikan anak perempuan mantan presiden (dari buku pertama). Sepertinya akan sama serunya dengan buku sebelumnya!

Submitted for:

Kategori: A fiction or nonfiction book about a world leader

Red, White & Royal Blue by Casey McQuiston

06 Wednesday May 2020

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ Leave a comment

Tags

america, british, english, fiction, LGBT, new adult, politics, popsugar RC 2020, romance, secondhand books, young adult

Judul: Red, White & Royal Blue

Penulis: Casey McQuiston

Penerbit: St. Martin’s Press

Halaman: 418p

Beli di: Betterworldbooks.com (USD 11.3)

Apa jadinya kalau anak Presiden Amerika Serikat jatuh cinta dengan Pangeran Inggris? Pastinya menjadi gosip yang juicy dan menghebohkan- apalagi karena anak presiden tersebut adalah laki-laki.

Red, White & Royal Blue berkisah tentang cerita cinta dua pemuda yang kebetulan sama-sama merupakan publik figur di panggung politik dunia. Alex Claremont-Diaz memiliki masa depan cemerlang – ia ingin mengikuti jejak ibunya sebagai presiden dari kalangan minoritas. Alex terkenal doyan gonta-ganti cewek, tapi ia tetap dipuja oleh rakyat (dan netizen) Amerika dan dianggap sebagai anak emas oleh semua orang.

Sementara itu, Henry adalah pangeran muda dari Kerajaan Inggris, pewaris royal family yang selalu jaga image dan masa depannya sudah ditentukan sejak ia lahir.

Alex dan Henry beberapa kali bertemu dalam acara kenegaraan, tapi keduanya selalu saling cela. Puncaknya adalah ketika mereka berkelahi di acara resepsi pernikahan kakak Henry, yang berakhir dengan foto mereka menerjang kue pengantin. Setelah insiden itu, tim PR White House dan Buckingham Palace menggodok skenario yang memperlihatkan keakraban Alex dan Henry, lengkap dengan acara jalan-jalan, foto-foto dan posting di social media.

Tapi siapa sangka – keakraban yang dipaksakan itu berlanjut menjadi hubungan yang lebih dari sekadar teman, saat Alex dan Henry menyadari perasaan mereka satu sama lain. Dan dimulailah hubungan diam-diam mereka – yang mendapat tantangan dari kedua belah pihak: ibu Alex yang sedang sibuk kampanye reelection, serta keluarga kerajaan Inggris yang selalu menjaga image konservatif mereka.

Red, White & Royal Blue merupakan buku yang sempat heboh banget di tahun 2019. Review positif dari ribuan pembaca, bahkan menyabet beberapa penghargaan Goodreads Award. Saya tidak menyangkal kalau buku ini memang menyenangkan – kisah cinta rumit tapi seru ala Alex dan Henry, dan kedua karakter yang sangat karismatik ini (meski Alex kadang agak terlalu nyinyir) dengan mudah bisa merebut hati saya, dan saya mau tidak mau langsung rooting for them.

Tapi jujur saja, pesan-pesan political correctness di buku ini yang sangat milenial Amerika, sempat membuat saya ilfil juga. Apalagi karena saya tahu, Amerika masih jauh sekali dari apa yang dikhayalkan Casey McQuiston di buku ini. Boro-boro presiden perempuan dengan suami keturunan Hispanic – Amerika jelas-jelas belum siap mempercayakan tampuk kepemimpinan pada siapapun yang bukan laki-laki kulit putih (kecuali Obama).

Lalu banyak pesan dalam buku ini yang seolah menjadi curahan hati para milenial dan generasi Z Amerika: anti diskriminasi, persamaan hal perempuan, isu aborsi, LGBTQ, kesehatan, dan lain-lain. Seolah buku ini merupakan platform kampanye ala milenial yang masih sakit hati dengan hasil pemilu tahun 2016 kemarin.

Dan memang benar, McQuiston mengakui ia menulis buku ini sebagai eskapisme setelah amat kecewa dan depresi dengan hasil pemilu 2016, serta kelanjutan masa-masa suram pemerintahan Donald Trump. Tak heran, banyak anak muda Amerika memuja buku ini, tapi sepertinya buku ini tidak terlalu sukses di benua Inggris sana, yang menganggap penggambaran Royal Family yang konservatif terlalu berlebihan.

Saya sendiri lumayan menikmati bagian romans Alex dan Henry (dan email-emailan mereka yang memang kocak dan seru), tapi agak malas mengikuti plot yang menyangkut perpolitikan Amerika. Yah.. mungkin karena saya bukan audiens yang tepat saja. Hahaha…

Tapi untuk yang mencari buku romans ringan LGBTQ dengan karakter-karakter yang seru, buku ini cukup recommended, kok.

Submitted for:

Kategori: A book with a pun in the title

Behold The Dreamers by Imbolo Mbue

22 Friday Feb 2019

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

african american, america, english, fiction, immigrant, new york, politics, race

Judul: Behold The Dreamers

Penulis: Imbolo Mbue

Penerbit: Random House (2016)

Halaman: 382p

Beli di: Periplus.com (IDR 105k, bargain price!)

Jende Jonga datang dari Kamerun ke Amerika Serikat dengan sejuta impian: menjadi orang sukses, memberikan kesempatan pada anaknya untuk hidup yang lebih baik, dan merasakan tinggal di negara maju yang sepertinya bisa mengabulkan apapun mimpi rakyatnya.

Apakah kenyataannya semudah itu? Tentu tidak. Ada berbagai isu yang harus dihadapi Jende: urusan visa dan imigrasi yang ternyata lebih rumit dari yang ia kira, ketakutan akan dideportasi karena permohonan asilumnya belum dikabulkan, ketakutan kehilangan pekerjaan yang secara beruntung ia dapatkan.

Bekerja sebagai sopir salah satu investor sukses Wall Street, membuat Jende harus terlibat dalam urusan yang sebenarnya tidak mau ia campuri. Termasuk urusan keluarga Clark, bosnya, serta kehidupan pribadinya yang penuh rahasia.

Kejatuhan Lehman Brothers yang menyebabkan krisis finansial dunia menjungkirbalikkan dunia Jende, dan membuatnya bertanya-tanya apakah mimpinya di Amerika kandas dan ia harus pulang ke Kamerun. Namun istrinya, Neni, menentang keras ide tersebut karena ia sudah telanjur katuh cinta dengan New York, dan tidak bisa membayangkan harus kembali ke Kamerun, apalagi membesarkan anak mereka di sana.

Behold the Dreamers adalah salah satu kisah terbaik tentang kaum imigran dan American Dreams. Dikisahkan dengan sangat mengalir, membuat kita langsung merasa terhubung dengan semua karakter yang ada, terutama Jende dan keluarganya. Semua detail tentang imigrasi, mulai dari memakai ide asilum usulan pengacara, sampai bekerja serabutan karena tidak punya visa legal, semuanya merupakan hal umum yang kerap terjadi di Amerika.

Amerika di sini pun digambarkan bukan sebagai negara satu dimensi yang memiliki segalanya- karena tentu saja banyak isu bahkan untuk konglomerat seperti Clark -bos Jende- yang seolah mempunyai hidup sempurna namun ternyata menyimpan berbagai masalah sendiri yang menyesakkan.

Terkadang ilusi tentang hidup sempurna di negara sempurna itulah yang dikejar oleh manusia- sehingga mereka dibutakan oleh kenyataan yang sesungguhnya yang seringkali jauh berbeda dari yang diharapkan.

Saya sendiri memiliki beberapa keluarga yang mengejar mimpi ke Amerika, bahkan ada yang seperti Jende, nekat memakai isu asilum untuk mendapat Green Card seusai kerusuhan 1998, meski sebenarnya ia tidak terdampak langsung oleh tragedi tersebut.

Membahas tentang masalah imigran memang tidak akan ada habisnya. Behold The Dreamers adalah salah satu serpihan dari kisah teraebut, yang berhasil disampaikan oleh Imbolo Mbue dengan gemilang. Saya jadi penasaran mengikuti gebrakan Mbue selanjutnya yang semoga saja tetap menyegarkan seperti buku ini.

 

 

Laut Bercerita by Leila S. Chudori

10 Monday Sep 2018

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 2 Comments

Tags

bahasa indonesia, borrowed, fiction, historical fiction, indonesia, indonesia asli, literature, politics, popsugar RC 2018, tragedy

Judul: Laut Bercerita

Penulis: Leila S. Chudori

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG, cetakan ketiga, Januari 2018)

Halaman: 379p

Pinjam dari: Althesia

Kisah ini dituturkan oleh Biru Laut, mahasiswa aktivis yang kuliah di Yogya, yang pada tahun 1998 hilang diculik oknum tak dikenal dan selama berbulan-bulan disiksa, diinterogasi, dipukuli, disetrum dan ditindas, dipaksa untuk menjawab pertanyaan aparat mengenai gerakan aktivis yang ingin menggulingkan pemerintahan saat itu.

Laut mengajak kita untuk berkilas balik menelusuri kehidupannya. Awal perkenalannya dengan teman-teman yang nantinya akan berjuang bersamanya. Keluarganya yang saling mencintai, yang seringkali harus ia korbankan demi hasratnya memperjuangkan Indonesia yang lebih demokratis. Pertemuannya dengan cinta pertamanya, Anjani. Kegemarannya akan makanan dan obsesinya menyempurnakan resep warisan keluarga, mulai dari tengkleng hingga kuah Indomie istimewa yang menjadi ciri khasnya.

Laut adalah bagian dari sejarah Indonesia. Lewat penuturannya, kita diajak untuk menyelami masa-masa kelam penuh ancaman dan suasana mencekam selama diktator Orde Baru berkuasa. Tanpa mahasiswa seperti Laut dan teman-temannya, kenikmatan hidup bebas berdemokrasi saat ini tak akan pernah kita rasakan.

Secara pribadi, saya sendiri jauh lebih menyukai buku Laut Bercerita dibandingkan buku Leila sebelumnya yang juga sedikit menyinggung tentang perjuangan reformasi, Pulang. Laut Bercerita memiliki ramuan yang pas antara karakter-karakter yang digambarkan cukup dalam dan tidak terkesan klise, konflik yang tidak bertele-tele dan tentu saja, ending yang kepingin bikin berteriak-teriak saking emosionalnya. Kisah Laut sukses membuat air mata saya mengalir, perasaan tercabik-cabik dan hati yang remuk seolah saya sendiri berada di sana, ikut berjuang bersama para sahabat tersebut.

Tidak seperti dalam Pulang, Leila cukup konsisten menjaga tempo cerita dan karakter-karakternya sehingga tetap memikat hingga akhir. Meski ia berganti narator beberapa kali, namun semua babnya masih enak untuk diikuti. Ditambah lagi, tidak ada aura romans yang terlalu kental, atau cinta segitiga dan sejenisnya di sini. Semuanya diceritakan seperlunya saja, dan fokus kisah tentang perjuangan reformasi, serta persahabatan di antara para aktivis, cukup terjaga baik.

Buku ini saya rekomendasikan untuk segenap masyarakat Indonesia yang kerap lupa, yang seringkali bercanda tentang enaknya zaman Soeharto dan impian untuk kembali ke Orde Baru, untuk anak-anak muda yang bahkan tidak bisa membayangkan kengerian yang dialami oleh Laut dan teman-temannya, karena kengerian terbesar mereka mungkin hanyalah kehilangan wifi gratisan. Buku ini saya rekomendasikan untuk mereka yang masih butuh pengingat tentang pahlawan-pahlawan tanpa nama, yang bahkan hingga hari ini masih tidak diketahui keberadaannya. Buku ini saya rekomendasikan untuk yang masih ingin berjuang menyelesaikan pekerjaan rumah menumpuk yang masih dimiliki Indonesia. Buku ini saya rekomendasikan untuk siapapun yang masih mengaku mencintai Indonesia dan ingin yang terbaik bagi negara ini.

#menolaklupa

Dalam catatan penulis, Leila menyebutkan salah satu inspirasinya dalam menulis buku ini adalah the real reformation heroes, para mahasiswa dan aktivis yang berjuang hingga Indonesia bisa menikmati kebebasan demokrasi seperti saat ini. Dan di antara mereka, hingga kini masih ada 13 aktivis yang hilang (selain juga 9 korban penculikan yang berhasil kembali). Ada juga korban yang akhirnya ditemukan sudah dalam keadaan tidak bernyawa.

Siapa yang bertanggung jawab terhadap kasus-kasus penculikan ini? Bagaimana nasib ke-13 aktivis tersebut? Ini adalah PR besar pemerintah Indonesia, yang sayangnya hingga kini mashi mentok dan belum berhasil menemukan titik terang (alias belum memproses secara hukum para pelaku dan otak kejahatan ini). Bayangkan apa rasanya menjadi keluarga para aktivis korban penculikan ini, yang hingga kini bahkan tidak tahu nasib orang-orang yang mereka sayangi, bahkan memakamkan dengan layak pun mereka tidak bisa.

It’s a dark history of Indonesia. And please, do not ever forget.

Submitted for:

popsugarRC2018button

Category: A book by a local author

 

 

A Gentleman in Moscow by Amor Towles

31 Tuesday Jan 2017

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 1 Comment

Tags

bbi review reading 2017, english, europe, fiction, historical fiction, history, politics, popsugar RC 2017

gentleman-in-moscowJudul: A Gentleman in Moscow

Penulis: Amor Towles

Penerbit: Viking (2016)

Halaman: 462p

Beli di: Kinokuniya Nge Ann City (SGD 29.85) — Thanks Papa!!

Tahun 1922 adalah tahun yang penuh perubahan di Rusia. Kaum Bolshevik berkuasa setelah Revolusi besar, memunculkan tokoh seperti Stalin yang hadir dengan konsep komunismenya.

Kaum aristrokat bukan hanya tersingkir, tapi juga dimusuhi dan dianggap sebagai warga kelas dua. Tak terkecuali Count Alexander Rostov, yang kembali ke Rusia setelah Revolusi karena alasan pribadi, namun malah dituduh bersikap subversif karena puisi karangannya yang dianggap melanggar peraturan baru pemerintah komunis. Jadilah Count memperoleh hukuman berat saat itu: tahanan rumah seumur hidup! Tapi, karena sang Count bertempat tinggal di Hotel Metropol di Moskow sebagai tamu tetap, maka ia pun menjadi “tahanan hotel”.

Metropol adalah hotel paling mewah di Moskow, tapi kalau disangka menjadi tahanan di hotel mewah itu menyenangkan, wah… salah besar! Hotel tetap saja jadi penjara kalau kita tidak diizinkan pergi melangkah ke luar sama sekali. Yah… miriplah dengan istilah “burung dalam sangkar emas”.

Apa yang dilakukan Count sebagai tahanan Metropol, itulah yang menjadi inti cerita buku ini. Dari balik gedung mewah tersebut, Count mengamati perubahan yang terjadi pada Rusia yang dicintainya. Sementara itu, Count juga bertemu dengan berbagai karakter menarik yang sedikit banyak akan mempengaruhi hidupnya, termasuk Nina, gadis kecil cerdas yang menunjukkan akses menuju tempat-tempat tersembunyi di Metropol, Andrey dan Emile, karyawan restoran yang akan menjadi sahabat-sahabat terdekat Count, serta Anna Urbanova, aktris Rusia yang sedang naik daun dan kerap menginap di Metropol.

Tahun demi tahun, Count mencoba membuat hidupnya berarti meski terkungkung dinding-dinding mewah Metropol. Ia juga mengamati perubahan politik Rusia, baik melalui tamu-tamu hotel maupun melalui Mishka, sahabat lamanya yang kerap berkunjung dan berkeluh kesah tentang kekacauan yang ditimbulkan oleh Stalin dan kroni-kroninya.

A Gentleman in Moscow bukanlah jenis buku yang menegangkan, penuh klimaks dan twist mengejutkan. Justru, buku ini lebih cocok dinikmati perlahan-lahan, kaya akan diksi dan analogi-analogi yang menantang otak kita untuk mencernanya.

Saya suka gaya Amos Towles bercerita, dengan selipan humor -baik yang subtle sampai yang sarkastik- di sana-sini terutama dalam dialog antar tokohnya. Memang ada bagian-bagian yang agak lambat bahkan cenderung membosankan, tapi justru memperdalam makna kisah sang Count dalam buku ini.

Saya juga suka bagaimana Towles menggambarkan Metropol Hotel dengan detail dan hidup sampai seolah-olah saya ikut hadir di sana. Dari mulai lobbynya yang mewah, restoran Piazza yang megah, bar Sharlyapin yang hangat, sampai ruangan tersembunyi seperti basement dan loteng. Tak kalah seru, karakter yang hadir pun semuanya tidak dibuat satu dimensi, meski beberapa dari mereka sebenarnya hanya tampil sebagai pelengkap.

Namun pemenang dari semuanya tentu adalah Count Rostov sendiri, karakter utama yang mudah untuk disukai, dengan segala kerendahhatiannya sebagai “mantan” kaum aristokrat yang sudah terpinggirkan. Dari Count saya belajar banyak sekali hal: bagaimana membuat hidup berarti sekecil apapun itu, bagaimana mensyukuri hidup hari demi hari, bagaimana menerima kenyataan bahwa kehidupan selalu berubah, dan masih banyak lagi. Saya mau tidak mau selalu rooting for the Count, dan berharap entah bagaimana, ada ending yang bahagia untuknya.

A Gentleman in Moscow mungkin bukanlah buku yang sempurna, namun ketidaksempurnaannya itulah yang membuatnya begitu layak untuk dinikmati dan diapresiasi.

metropol-1

Metropol Hotel di Moscow hingga sekarang masih berdiri tegak dan menjadi salah satu hotel paling mewah dan bersejarah di Rusia. Dibangun tahun 1899 hingga 1907, hotel ini sudah menyaksikan banyak sekali peristiwa penting yang mengubah wajah Rusia, termasuk sempat menjadi tempat tinggal dan berkantor birokrat Soviet saat awal berdirinya pemerintahan baru tersebut. Dengan gaya dekorasi Art Noveau yang megah serta berlokasi di tengah-tengah pusat kota Moscow, tak heran Metropol hingga kini masih terus digemari oleh orang-orang yang berkunjung ke ibu kota Rusia itu.

metropol-2

 

Submitted for:

Category: A Book Set in a Hotel

Category: A Book Set in a Hotel

Kategori: Historical Fiction

Kategori: Historical Fiction

A Clash of Kings by George R.R. Martin

09 Monday May 2016

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

action, adventures, fantasi, fiction, politics, series, war

a clash of kingsJudul: A Clash of Kings

Penulis: George R.R. Martin

Penerbit: Bantam Books Mass Market Edition (2011)

Halaman: 1009 p

Gift from: Eka (Markituka!)

Buku kedua dari serial fenomenal A Song of Ice and Fire ini langsung melanjutkan ending buku pertamanya, Game of Thrones. Keluarga Lannister, diwakili oleh Joffrey di Iron Throne, masih menguasai the Seven Kingdoms, terutama dengan hadirnya sosok sang ratu yang kejam, Cersei, dan adiknya, si kerdil yang cerdik, Tyrion. Namun jangan salah, ada tiga raja lagi yang mengangkat diri mereka sendiri dan menyatakan kekuasaannya atas the Seven Kingdoms maupun sebagian dari wilayahnya.

Di Utara, Robb Stark masih memproklamirkan dirinya sebagai raja di wilayah tersebut, dan terus memenangkan pertarungan serta perang dengan didampingi oleh direwolf nya yang setia, Grey Wind. Meski ibu Robb, Lady Catelyn tidak sepenuhnya setuju dengan taktik-taktik anaknya yang berbahaya, namun ia tak kuasa melarang anaknya yang semangatnya berkobar-kobar untuk mengalahkan musuh-musuh mereka, terutama keluarga Lannister yang bertanggung jawab atas kematian Ned Stark.

Di Selatan, ada Renly Baratheon, adik bungsu mendiang raja terakhir Robert Baratheon, yang juga menyatakan dirinya sebagai raja yang sah untuk menggantikan abangnya, karena ia didukung oleh seluruh rakyat di wilayah selatan yang mengelu-elukannya dan istrinya yang masih muda.

Sementara itu, dari Dragonstone yang agak terpencil, muncul abang Renly, Stannis Baratheon, yang tak mau kalah dan memproklamirkan dirinya sebagai penerus Robert. Stannis juga didukung ‎oleh penyihir kejam yang memuja dewa cahaya, suatu kepercayaan baru yang bukan merupakan dewa tradisional di realm Westeros. Kekuatan dan kekejaman penyihir ini membuat Stannis memiliki keunggulan dalam membunuh lawan-lawannya dengan cara-cara misterius.

Perebutan tahta dan perang di antara keempat raja ini semakin dibuat rumit pula oleh tiga kejadian lainnya:

  1. Daenerys Targaryen, keturunan terakhir dari keluarga Targaryen yang menjadi penguasa Westeros selama berabad-abad, kini tinggal selangkah lagi untuk berangkat ke tanah kelahirannya dan menancapkan klaimnya sebagai penguasa yang sah, diiringi oleh pengikutnya yang setia dan tentu saja ketiga naganya yang ajaib.
  1. Winterfell, sepeninggal Rob Stark dan Lady Catelyn, menjadi target empuk bagi pihak-pihak yang ingin menguasainya, termasuk salah satu pengkhianat besar yang sebelumnya menjadi bagian dari keluarga Stark namun kini haus kekuasaan, mungkin ketularan fenomena gila perang dan rebutan kekuasaan antar raja-raja di Westeros.
  1. ‎Di wilayah luar Wall alias perbatasan Westeros dengan realm liar, perang mulai berkecamuk dan kaum liar ingin ikut-ikut menancapkan kekuasaan mereka di Westeros, dengan membawa serta kekuatan-kekuatan asing dan mengerikan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Dan di sinilah petualangan Jon Snow, si anak haram keluarga Stark, benar-benar dimulai.

Buku kedua ini bisa dibilang lebih kompleks dan padat dibandingkan buku pertama, yang lebih banyak memperkenalkan kita pada realm Westeros dan karakter-karakter intinya.

Di buku ini, pertarungan baik fisik maupun politik mendapatkan porsi yang sangat besar, meski masih diimbangi dengan perkembangan beberapa karakter intinya. Memang ada cukup banyak adegan perang dan pertempuran yang terlalu teknis dan agak bertele-tele, serta pengulangan yang mirip antara perang yang satu dengan yang lain, sehingga terdapat beberapa bagian yang cukup membosankan di bagian pertengahan buku.

Namun untungnya, George RR Martin adalah seorang penulis yang piawai, sehingga tetap saja ada hal-hal menarik yang bisa dinikmati dari setiap babnya, terutama humor sarkasme yang banyak terlontar- terutama dalam bab-bab yang mengangkat karakter Tyrion.

Beberapa twist juga masih cukup menarik untuk diikuti, dan tentu saja, bersiaplah melihat begitu banyak kematian demi kematian, satu hal yang sepertinya memang menjadi ciri khas buku-buku Martin.

Dan meski begitu banyak spoiler bertebaran di internet, apalagi karena serial TV nya baru tayang lagi episode terbarunya, saya masih bertekad akan terus mengikuti petualangan di Westeros ini melalui bukunya terlebih dulu. Jadi- mari mencari buku ketiga! 🙂

← Older posts

From the bookshelf

Categories

Looking for Something?

Enter your email address to follow Books to Share and receive notifications of new posts by email.

Join 1,036 other subscribers

Currently Reading

I’m a Proud Member! #BBI 1301004

Wishful Wednesday Meme

Fill your Wednesdays with wishful thinking =)

Popsugar Reading Challenge 2018

bookworms

  • aleetha
  • althesia
  • alvina
  • ana
  • annisa
  • bzee
  • dewi
  • dion
  • fanda
  • Ferina
  • helvry
  • inne
  • Kobo
  • maya
  • mei
  • melmarian
  • mia
  • ndari
  • nophie
  • oky
  • peri hutan
  • ren
  • Reygreena
  • sel sel kelabu
  • sinta
  • tanzil
  • tezar
  • yuska

shop til you drop

  • abe books
  • Amazon
  • better world books
  • book depository
  • BukaBuku
  • Buku Dedo
  • bukukita
  • vixxio

Top Posts & Pages

  • Red, White & Royal Blue by Casey McQuiston
    Red, White & Royal Blue by Casey McQuiston
  • The Secret History
    The Secret History
  • Klara and the Sun by Kazuo Ishiguro
    Klara and the Sun by Kazuo Ishiguro
  • The Monogram Murders by Sophie Hannah
    The Monogram Murders by Sophie Hannah
  • Puddin' by Julie Murphy
    Puddin' by Julie Murphy

Recent Comments

Puddin’ by Jul… on Dumplin’ by Julie M…
jesica on Abarat 2: Days of Magic, Night…
jesica on Abarat 2: Days of Magic, Night…
When the Stars Go Da… on The Paris Wife
Hapudin Bin Saheh on Insomniac City: New York, Oliv…

Create a free website or blog at WordPress.com.

Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
  • Follow Following
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Join 1,036 other followers
    • Already have a WordPress.com account? Log in now.
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Customize
    • Follow Following
    • Sign up
    • Log in
    • Report this content
    • View site in Reader
    • Manage subscriptions
    • Collapse this bar
 

Loading Comments...