• About this blog
  • Clearance Sale!
  • Newbery Project
  • Popsugar Reading Challenge 2022
  • Previous Challenges
    • BBI Read and Review Challenge 2017
    • Challenges 2014
    • Challenges 2015
    • Lucky No.14 Reading Challenge
    • Lucky No.15 Reading Challenge
    • POPSUGAR Reading Challenge 2017
    • Popsugar Reading Challenge 2018
    • Popsugar Reading Challenge 2020
    • Popsugar Reading Challenge 2021
    • What’s in a Name 2018
    • Twenty-Ten Challenge
    • Challenges 2012
    • Challenges 2013
  • Round Ups
  • The Librarian

~ some books to share from my little library

Tag Archives: indonesia

Laut Bercerita by Leila S. Chudori

10 Monday Sep 2018

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 2 Comments

Tags

bahasa indonesia, borrowed, fiction, historical fiction, indonesia, indonesia asli, literature, politics, popsugar RC 2018, tragedy

Judul: Laut Bercerita

Penulis: Leila S. Chudori

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG, cetakan ketiga, Januari 2018)

Halaman: 379p

Pinjam dari: Althesia

Kisah ini dituturkan oleh Biru Laut, mahasiswa aktivis yang kuliah di Yogya, yang pada tahun 1998 hilang diculik oknum tak dikenal dan selama berbulan-bulan disiksa, diinterogasi, dipukuli, disetrum dan ditindas, dipaksa untuk menjawab pertanyaan aparat mengenai gerakan aktivis yang ingin menggulingkan pemerintahan saat itu.

Laut mengajak kita untuk berkilas balik menelusuri kehidupannya. Awal perkenalannya dengan teman-teman yang nantinya akan berjuang bersamanya. Keluarganya yang saling mencintai, yang seringkali harus ia korbankan demi hasratnya memperjuangkan Indonesia yang lebih demokratis. Pertemuannya dengan cinta pertamanya, Anjani. Kegemarannya akan makanan dan obsesinya menyempurnakan resep warisan keluarga, mulai dari tengkleng hingga kuah Indomie istimewa yang menjadi ciri khasnya.

Laut adalah bagian dari sejarah Indonesia. Lewat penuturannya, kita diajak untuk menyelami masa-masa kelam penuh ancaman dan suasana mencekam selama diktator Orde Baru berkuasa. Tanpa mahasiswa seperti Laut dan teman-temannya, kenikmatan hidup bebas berdemokrasi saat ini tak akan pernah kita rasakan.

Secara pribadi, saya sendiri jauh lebih menyukai buku Laut Bercerita dibandingkan buku Leila sebelumnya yang juga sedikit menyinggung tentang perjuangan reformasi, Pulang. Laut Bercerita memiliki ramuan yang pas antara karakter-karakter yang digambarkan cukup dalam dan tidak terkesan klise, konflik yang tidak bertele-tele dan tentu saja, ending yang kepingin bikin berteriak-teriak saking emosionalnya. Kisah Laut sukses membuat air mata saya mengalir, perasaan tercabik-cabik dan hati yang remuk seolah saya sendiri berada di sana, ikut berjuang bersama para sahabat tersebut.

Tidak seperti dalam Pulang, Leila cukup konsisten menjaga tempo cerita dan karakter-karakternya sehingga tetap memikat hingga akhir. Meski ia berganti narator beberapa kali, namun semua babnya masih enak untuk diikuti. Ditambah lagi, tidak ada aura romans yang terlalu kental, atau cinta segitiga dan sejenisnya di sini. Semuanya diceritakan seperlunya saja, dan fokus kisah tentang perjuangan reformasi, serta persahabatan di antara para aktivis, cukup terjaga baik.

Buku ini saya rekomendasikan untuk segenap masyarakat Indonesia yang kerap lupa, yang seringkali bercanda tentang enaknya zaman Soeharto dan impian untuk kembali ke Orde Baru, untuk anak-anak muda yang bahkan tidak bisa membayangkan kengerian yang dialami oleh Laut dan teman-temannya, karena kengerian terbesar mereka mungkin hanyalah kehilangan wifi gratisan. Buku ini saya rekomendasikan untuk mereka yang masih butuh pengingat tentang pahlawan-pahlawan tanpa nama, yang bahkan hingga hari ini masih tidak diketahui keberadaannya. Buku ini saya rekomendasikan untuk yang masih ingin berjuang menyelesaikan pekerjaan rumah menumpuk yang masih dimiliki Indonesia. Buku ini saya rekomendasikan untuk siapapun yang masih mengaku mencintai Indonesia dan ingin yang terbaik bagi negara ini.

#menolaklupa

Dalam catatan penulis, Leila menyebutkan salah satu inspirasinya dalam menulis buku ini adalah the real reformation heroes, para mahasiswa dan aktivis yang berjuang hingga Indonesia bisa menikmati kebebasan demokrasi seperti saat ini. Dan di antara mereka, hingga kini masih ada 13 aktivis yang hilang (selain juga 9 korban penculikan yang berhasil kembali). Ada juga korban yang akhirnya ditemukan sudah dalam keadaan tidak bernyawa.

Siapa yang bertanggung jawab terhadap kasus-kasus penculikan ini? Bagaimana nasib ke-13 aktivis tersebut? Ini adalah PR besar pemerintah Indonesia, yang sayangnya hingga kini mashi mentok dan belum berhasil menemukan titik terang (alias belum memproses secara hukum para pelaku dan otak kejahatan ini). Bayangkan apa rasanya menjadi keluarga para aktivis korban penculikan ini, yang hingga kini bahkan tidak tahu nasib orang-orang yang mereka sayangi, bahkan memakamkan dengan layak pun mereka tidak bisa.

It’s a dark history of Indonesia. And please, do not ever forget.

Submitted for:

popsugarRC2018button

Category: A book by a local author

 

 

Wishful Wednesday [230]

10 Wednesday May 2017

Posted by astrid.lim in meme

≈ Leave a comment

Tags

indonesia, meme, personal, wishful wednesday, wishlist

Halo.. Rabu kelabu nih. Setelah apa yang terjadi kemarin di Jakarta dengan Pak Ahok, rasanya benar-benar emosional, sedih, kecewa dan marah semua jadi satu. Hopeless dan apatis, apalagi. Seperti nggak percaya karena Indonesia yang saya kenal dan cintai berubah jadi seperti sekarang ini, hanya demi kepentingan segelintir penguasa aja. Terlebih lagi, banyak teman dan kenalan saya yang seperti menutup mata terhadap ketidakadilan ini, membuat saya semakin skeptis saja. Beberapa teman yang kecewa, menyatakan ingin pindah saja dari Indonesia.

Dan ditengah situasi ini, sepertinya saya ingin mendedikasikan Wishful Wednesday kali ini untuk Indonesia: supaya menjadi Indonesia yang terbuka, yang cerdas, yang tidak membuat warganya terasing di negeri sendiri.

Semoga, ya.

Kalau kamu, apa wishlistmu hari ini?

  • Silakan follow blog Books To Share – atau tambahkan di blogroll/link blogmu =)
  • Buat posting mengenai buku-buku (boleh lebih dari 1) atau segala hal yang berhubungan dengan kebutuhan bookish kalian, yang jadi inceran kalian minggu ini, mulai dari yang bakal segera dibeli, sampai yang paling mustahil dan hanya sebatas mimpi. Oya, sertakan juga alasan kenapa buku/benda itu masuk dalam wishlist kalian ya!
  • Tinggalkan link postingan Wishful Wednesday kalian di Mr. Linky (klik saja tombol Mr. Linky di bagian bawah post). Kalau mau, silakan tambahkan button Wishful Wednesday di posting kalian.
  • Mari saling berkunjung ke sesama blogger yang sudah ikut share wishlistnya di hari Rabu =)

 

Istana BlaBlaBla by Wisnu Nugroho

11 Thursday Sep 2014

Posted by astrid.lim in Uncategorized

≈ 2 Comments

Tags

bahasa indonesia, BBI, indonesia, non fiction, noura books, politics, review 2014

istana blablaJudul: Istana BlaBlaBla

Penulis: Wisnu Nugroho

Ilustrator: Didie SW

Penerbit: Noura Books cetakan ke-1 (Juli 2014)

Halaman: 276p

Beli di: BukaBuku (IDR49,300)

Saya beruntung mengenal Wisnu Nugroho, yang akrab dipanggil Inu, ketika masih bekerja sebagai wartawan. Inu adalah jurnalis Kompas yang lama menempati pos di Istana Presiden, sejak SBY menjabat tahun 2004. Ketika Inu menerbitkan tetralogi Pak Beye-nya, saya langsung bersemangat membaca tulisannya, yang salah satunya pernah saya review di sini.

Buku terbarunya, Istana BlaBlaBla, masih berkisar seputar pengalamannya meliput berita di istana. Namun bukan isu politik serius yang ia bahas, melainkan segala printilan dan kisah-kisah di balik layar yang masih jarang diketahui oleh orang luar seperti saya.

Beberapa cerita menarik yang jadi favorit saya misalnya saat septic tank istana meluap akibat kebanyakan rapat yang digelar di istana, lalu adanya suara-suara misterius setiap tengah malam di salah satu bagian istana, sayembara berburu kucing yang merajalela berkeliaran di dalam kompleks istana, juga saat para menteri dan pejabat membungkus sepatu mereka dengan kresek hitam setiap acara buka puasa, supaya tidak ketahuan memakai merek import yang mahal harganya.

Wisnu bisa menjabarkan kejadian-kejadian kecil menjadi seolah luar biasa penting, yang memang cocok dengan gaya pemerintahan SBY: mementingkan hal-hal tak penting πŸ™‚ Sindiran tajam namun kocak menjadi ciri khas Wisnu yang bertebaran di sepanjang buku. Tentang SBY yang gemar merombak kabinetnya, yang selalu berusaha menghapuskan KKN namun akhirnya menciptakan jabatan-jabatan baru bagi para kerabatnya, juga tentang SBY yang hobi membentuk berbagai jenis “tim” dan “komite” yang seringkali berbenturan dengan tugas para anggota resmi kabinet.

Sifat SBY yang seringkali jaim, reaktif menanggapi keluhan rakyat dan berita negatif di luar sana, serta kecenderungannya untuk melebih-lebihkan yang tidak perlu, digambarkan dengan sangat pas oleh Wisnu yang memang cukup lama menyaksikan sendiri keseharian presiden ke-6 kita ini.

Yang agak saya sayangkan di buku ini adalah layoutnya yang kadang agak mubazir. Saya suka ilustrasi Didie SW yang bisa mengimbangi kekocakan gaya menulis Inu, namun ada beberapa halaman yang mubazir karena hanya menampilkan kutipan atau potongan bab yang bersangkutan.

Menurut saya, kutipan semacam ini kurang perlu, apalagi kalau menghabiskan satu halaman penuh. Selain mubazir, juga agak mengganggu kenikmatan membaca, karena kerap memotong di tengah-tengah bab yang sedang seru. Kutipan atau teaser yang dirasa perlu untuk majalah atau koran, kurang pas untuk buku semacam ini, yang isinya sudah terasa menggigit tanpa perlu ditambahi teaser di bagian tengah. Menurut saya, lebih baik halaman yang bersangkutan dibuat untuk tambahan ilustrasi saja πŸ™‚ Namun secara keseluruhan, buku ini tetap menyenangkan. Dan tujuan Inu memang tercapai:

“Karena banyaknya hal tidak penting, terjaganya hal-hal penting selama dua periode Pak Beye tidak perlu dikhawatirkan. Bukankah hal-hal penting akan tetap menjadi penting ketika banyak didapati hal-hal tidak penting? Seperti eksistensi orang suci yang terjaga karena hadirnya para pendosa”.

Submitted for:

Posbar Tema Buku Baru Indonesia 2014 bulan Agustus 2014

Posbar Tema Buku Baru Indonesia 2014 bulan Agustus 2014

Canting by Arswendo Atmowiloto

28 Thursday Aug 2014

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 14 Comments

Tags

bahasa indonesia, BBI, culture, family, fiction, Gramedia, indonesia, lucky 14, review 2014

cantingJudul: Canting

Penulis: Arswendo Atmowiloto

Penerbit/Edisi: Gramedia Pustaka Utama, cetakan keempat (Juli 2013)

Halaman: 376p

Beli di: Bukabuku.com (IDR 55k)

Keluarga Sestrokusuman adalah keluarga bangsawan Surakarta yang tinggal di lingkungan Keraton. Usaha batik rumahan berlabel Canting menjadi sumber nafkah utama mereka, dengan Bu Bei (bekas buruh batik yang dipersunting Pak Bei sang pewaris keluarga) mengepalai segalanya. Pak Bei sendiri adalah bangsawan moderat yang pemikirannya sering ditentang oleh para tetua. Keenam anak pasangan Bei memiliki sifat berbeda-beda, mulai dari Wahyu si sulung yang dimanja, sampai Ni, si bungsu yang memiliki pemikiran progresif.

Seiring berjalannya waktu, batik Canting mulai meredup kesuksesannya, bersaing dengan batik printing yang menjamur dan dibandrol harga lebih murah. Hanya Ni lah yang bertekad untuk membawa kembali nama Canting supaya bisa sesukses dulu. Namun niat baik Ni tidak disambut gembira oleh semua pihak, bahkan termasuk para buruh yang sudah dia anggap seperti keluarga.

Apakah usahanya akan berhasil, atau sia-sia belaka?

Seingat saya, ini pertama kalinya saya membaca karya Arswendo Atmowiloto. Budaya Jawa Keratonan dilukiskan sangat kental di buku ini, dengan setting mulai tahun 60-an sampai 80-an. Bukan hanya soal batik-membatik dan kehidupan keluarga Keraton yang dibahas mendalam, tapi yang lebih menarik bagi saya adalah komunikasi antara anggota keluarga, intrik adik-kakak dan perspektif orang tua terhadap anak-anaknya, di dalam budaya Jawa Tengah yang kental.

Mungkin karena budaya Jawa sangat kontras dengan cara saya dibesarkan di tengah keluarga- semua serba terbuka, ceplas-ceplos dan penuh emosi tinggi, maklum karena Ibu saya berasal dari Sumatera Utara, dan Ayah saya Cina-Belanda πŸ™‚ – sementara keluarga Pak Bei terlihat santun, serba menjaga jarak dan tidak memperlihatkan emosi.Bahkan ada trik tersendiri untuk menyampaikan pendapat dan menanggapinya.

Yang juga menarik adalah hubungan antara anggota keluarga dengan para buruh Canting yang tinggal di belakang rumah. Mengutip pemikiran Ni, para buruh itulah yang sesungguhnya menghasilkan nafkah sehingga ia dan saudara-saudaranya berhasil menempuh pendidikan tinggi.

Meski temanya menarik dan endingnya dibuat tidak klise, saya masih merasa kurang sreg dengan gaya penulisan Arswendo, yang menurut selera saya masih terlalu jadul. Memang buku ini pertama kali terbit tahun 1986, sehingga sedikit banyak gaya tulisan novel ini mencerminkan jaman tersebut. Dan mungkin itulah yang membuat buku ini terasa kurang relevan dengan jaman sekarang.

Saya -seperti biasa- tidak suka kalimat-kalimat yang mencampurkan kata “saya” dan “aku”, dan banyak sekali dialog kaku -yang entah merupakan bagian pencerminan adat budaya Jawa Tengah, atau memang gaya penulisan Arswendo di masa itu.

Bagaimanapun, Canting membuka wawasan saya tentang kehidupan keluarga yang rasanya sangat jauh dari yang saya ketahui. Dan itulah yang membuat buku ini menarik.

Submitted for:

Posbar Tema Buku Budaya/Lokal bulan Agustus 2014

Posbar Tema Buku Budaya/Lokal bulan Agustus 2014

Category: Not My Cup of Tea

Category: Not My Cup of Tea

Pulang by Leila S. Chudori

30 Friday May 2014

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 9 Comments

Tags

bahasa indonesia, BBI, fiction, history, indonesia, KLA, KPG, literature, politics, review 2014, romance

PulangJudul: Pulang

Penulis: Leila S Chudori

Penerbit: KPG (2013)

Halaman: 457p

Beli di: Kompas Gramedia Fair 2013 (IDR 70k, disc 20%)

Awal berkuasanya Orde Baru, September 1965, semua orang Indonesia yang terlibat dengan PKI dan sekitarnya terkena imbas, ditangkap atau melarikan diri. Dimas Suryo, wartawan yang sebenarnya punya posisi netral namun sedang dikirim ke Santiago, Cili, untuk sebuah acara, akhirnya terkatung-katung tak bisa pulang. Bersama 3 orang temannya, Nugroho, Tjai dan Risjaf- Dimas terdampar di Paris, membuka restoran Indonesia yang malah menjadi hits. Dimas juga bertemu dengan Vivienne Deveraux, mahasiswi Prancis yang akhirnya menjadi pasangan hidupnya.

Tahun 1998, era Orde Baru sedang di ujung tanduk. Lintang Utara, anak perempuan Dimas sedang membuat tugas akhir kuliahnya tentang politik Indonesia, tanah air yang tak pernah ia kenal karena ia tidak boleh menginjakkan kaki di sana akibat status eksil politik ayahnya. Namun nasib baik menghampiri Lintang saat ia berhasil mendapatkan visa ke Indonesia. Tapi kehadirannya di saat Indonesia siap berubah wujud, memaksanya mengenal negara itu dari sisi yang lain.

My thoughts:

Tema tentang eksil politik

Saya memiliki pengalaman pribadi mengenal beberapa eksil politik di Belanda, yang hingga saat ini tetap memutuskan untuk menetap di negara itu karena terlalu lama merasa kecewa dengan Indonesia. Dimas Suryo dan teman-temannya mengingatkan saya pada Pak Mien di Leiden dan kawan-kawannya sesama eksil politik, yang banyak memberikan saya pengetahuan baru tentang tanah air kita ini. Betapa peristiwa 1965 mengubah nasib banyak orang, dan betapa pahitnya mencintai negara sendiri namun hanya bertepuk sebelah tangan.

With Pak Mien dan temen2 PPI Belanda, jadi mengenang masa lalu ceritanya :)

With Pak Mien dan temen2 PPI Belanda, jadi mengenang masa lalu ceritanya πŸ™‚

Namun sejujurnya, saya berharap lebih dengan isu eksil politik yang diangkat dalam buku ini. Menurut saya, Leila terlalu banyak berkutat pada drama melankoli dan kisah romans yang terkubur, sehingga lupa menjelaskan latar belakang lebih detail masing-masing tokoh dalam buku ini. Padahal banyak sekali- baik drama pribadi maupun kisah politik- yang masih bisa digali di sini.

Fokus utama kisah cinta Dimas Suryo – yang nantinya juga berlanjut dengan kisah cinta Lintang Utara – terlalu mendapat porsi besar di sini, mengalahkan kecintaan Dimas pada Indonesia. Padahal yang patut dicermati justru adalah bagaimana para eksil politik ini berada dalam dilema tak berkesudahan – membenci sekaligus mencintai tanah air yang tak terjangkau ini.

Too much romance

Uhum, untuk sebuah buku yang memenangkan penghargaan Khatulistiwa Literary Award tahun 2013, rasanya memang nuansa romans di buku ini terlalu kental. Padahal premisnya sih sudah sangat menarik, sayang juga Leila terlalu memfokuskan cerita layaknya romansa remaja πŸ˜€ Tapi mungkin ini salah satu trik untuk menarik pembaca dari segmen yang lebih luas. Terbukti dari beberapa review para pencinta romans yang sempat saya baca, rata-rata menilai positif buku ini.

Tidak konsisten

Ada beberapa ketidakkonsistenan yang cukup mengganggu saya sepanjang membaca buku ini. Salah satunya adalah gaya bahasa Leila, yang mungkin sedikit mengacu pada gaya bahasa zaman dulu, sehingga banyak menggunakan percampuran kata aku dan saya di dalam satu kalimat. Menurut saya, ini adalah salah satu flaw yang cukup amatir, terutama untuk buku sastra sekelas Pulang. Menggunakan kata saya dan aku di dalam satu kalimat atau satu paragraf bukan saja tidak konsisten, tapi juga merusak gaya bahasa keseluruhan buku. Beberapa saat Lintang menggunakan kata “aku” dengan ayahnya, menunjukkan hubungan yang akrab dan hangat, namun di kalimat selanjutnya, kembali kata “saya” yang muncul, menghadirkan suasana yang kaku dan berjarak.

Selain itu, ketidakkonsistenan juga sempat saya temukan dalam setting waktu yang melompat-lompat, namun kurang jelas. Misalnya, disebutkan kalau saat bertemu dengan Vivienne bulan Mei 1968, Dimas sedang memegang surat dari tanah air tentang tertangkapnya salah satu kawannya, Hananto di Jakarta. Namun belakangan, tanggal di surat itu tertulis Jakarta, Agustus 1968. Tidak jelas apa saya melewatkan suatu detail penting di sini, jeda yang tak nampak, tapi buat saya, ketidakkonsistenan semacam ini cukup mengganggu.

Atau kesalahan kecil semacam kalimat yang menyatakan kalau Lintang pertama kalinya mencoba naik sepeda motor di Jakarta saat dibonceng Mita di tengah kerusuhan Mei, namun sebelumnya saat Lintang baru tiba di Jakarta, disebutkan ia naik ojek ke kantor Alam di Jakarta Pusat. Kesalahan kecil, namun seharusnya tidak perlu terjadi di buku selevel pemenang KLA.

Overall?

Secara keseluruhan, buku Pulang sangat saya rekomendasikan untuk pembaca yang masih awam dengan dunia sastra Indonesia. Buku ini mengangkat topik yang cukup serius, dengan penyampaian yang ringan dan mudah dipahami. Perkenalan yang menarik dengan karya-karya nominasi KLA yang biasanya terbilang berat dan cukup membuat pusing kepala.

Namun untuk yang berharap lebih, mungkin Pulang hanya bisa diibaratkan sebagai snack di sore hari, selingan yang menghibur tapi kurang mengenyangkan.

Submitted for:

Posbar Tema Buku KLA bulan Mei 2014

Posbar Tema Buku KLA bulan Mei 2014

Noel d’amour 2 by Peri Penulis

03 Friday Jan 2014

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ 4 Comments

Tags

anthology, bahasa indonesia, christmas, christmas read, fiction, gift, indonesia, review 2014, short stories

noel d'amour2Judul: Noel d’amour 2

Penulis: Peri Penulis (Maria Ch Michaela, Stephie Anindita, Yohanna Yang, Devina Kwan, Fonny Jodikin, Biondy Alfian)

Penerbit: Smart Writing

Halaman: 229p

Gift from: Biondy

Ini adalah posting yang sedikit terlambat dari salah satu Christmas Read-ku tahun lalu (ciye, mentang-mentang udah 2014. langsung ngomong “tahun lalu” aja). Buku cantik ini terdiri dari sebelas cerita pendek yang ditulis oleh enam orang Peri Penulis.

Uniknya, ada benang merah dari ke-11 kisah disini: semuanya bertema Natal, semuanya memiliki hubungan dengan postcard, dan karakter-karakternya saling berhubungan satu sama lain. Jadi jangan kaget kalau seorang tokoh yang disebut sekilas di suatu cerita, ternyata menjadi karakter utama di cerita yang lain. Hal ini jadi membuatku memperhatikan lebih jeli nama-nama yang muncul dan hubungan antar tokoh.

Kisah favoritku dalam buku ini adalah Saat Aku Jadi Papa, serta Satu Hari Yang Cerah, keduanya ditulis oleh Biondy Alfian (ini bukan bias karena Biondy adalah sesama fellow blogger lho!! :D). Kedua cerita ini berkisah tentang hubungan anak laki-laki dengan ayahnya yang memburuk karena sang anak tidak ingin mengikuti keinginan ayahnya. Yang indah dari kedua cerita ini adalah perbedaan sudut pandang yang digunakan. Yang satu menggunakan sudut pandang si anak, dan yang satu lagi menggunakan sudut pandang si ayah. Intinya sama, keluarga jauh lebih berharga dari apapun juga.

Kisah lainnya yang aku suka adalah kisah yang menjadi pembuka buku ini, I’ll Be Home For Christmas , yang bercerita tentang kerinduan seorang laki-laki untuk kembali ke London, ke tempat kekasihnya berada, sementara rumah sesungguhnya berada di tengah keluarganya di Bandung. Dan kembali kita diajak untuk merenungkan makna keluarga yang sesungguhnya.

Secara keseluruhan, kisah-kisah dalam buku ini sangat menghangatkan hati, terutama bila dibaca menjelang Natal. Sarat akan makna kebersamaan, cinta kasih dan keluarga, setiap cerita memiliki kekuatannya masing-masing. Sedikit masukan yang bisa kuberikan mungkin hanya menyangkut editingnya. Banyak sekali typo bertebaran, juga paragraf berulang, kesalahan tata bahasa dan masalah-masalah kecil yang cukup mengganggu.

Misalnya saja, sudut pandang orang ketiga tiba-tiba berubah sebentar menjadi orang pertama, atau beberapa nama yang diucapkan tertukar-tukar satu sama lain. Mungkin di masa depan, proses editing ini bisa dilakukan dengan lebih teliti lagi. Saran lainnya yang bisa aku berikan adalah mengenai keberagaman latar belakang. Sebagian besar cerita di buku ini mengambil setting kota Bandung, sedangkan gereja yang paling sering disebut adalah Katedral. Mungkin akan lebih menarik juga jika kisah-kisah Natal ini menggunakan berbagai latar belakang gereja, termasuk yang bukan Katolik, sehingga settingnya lebih bervariasi. Tapi aku juga tidak yakin apakah memang latar Katolik ini ada hubungannya dengan penerbit atau target pembaca buku.

Aku berharap akan ada lagi edisi-edisi berikutnya (karena hasil penjualan buku ini juga digunakan untuk amal) dengan kualitas yang makin membaik.

Winter Dreams

29 Thursday Aug 2013

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 24 Comments

Tags

america, bahasa indonesia, BBI, culture, dramatic, Gramedia, indonesia, literature

winter dreamsJudul: Winter Dreams

Penulis: Maggie Tiojakin

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2011)

Halaman: 291p

Gift from: Yes24 Indonesia

Ketika hubungan dengan ayahnya semakin memburuk, Nicky F Rompa menuruti saran ibunya untuk pergi sejenak ke Amerika Serikat dan tinggal bersama seorang kerabat jauh di kota Boston. Meski awalnya diterima baik oleh Tante Riesma dan suaminya Frank, suatu kesalahpahaman membuat Nicky terpaksa keluar dari rumah tersebut, dan terlunta-lunta menentukan nasibnya sendiri.

Ia sempat menumpang di rumah keluarga pacarnya, hingga akhirnya memutuskan untuk mencari apartemen sendiri. Berbagai pekerjaan juga disambanginya, dan ketika visanya sudah habis, Nicky terpaksa memiliki status sebagai imigran ilegal, sama seperti ribuan orang lainnya yang mencari mimpi di Amerika.Di tengah status sebagai masyarakat kelas dua, Nicky kerap kali bertanya-tanya apa yang sebenarnya ia cari dalam hidupnya.

Ini adalah sebuah kisah sederhana tentang pencarian mimpi dan jati diri, yang disampaikan dengan gaya yang indah, melalui karakter yang believable, dan setting yang meyakinkan. Kekuatan utama Maggie (yang karyanya baru kubaca pertama kali ini) menurutku adalah bisa membuat pembaca merasa relate dengan mudah pada karakter-karakternya. Misalnya saja ketakutan Nicky yang berada dalam suatu void zone- kekosongan, kedataran hidup, ketika tidak ada satu tujuan yang benar-benar menggugah hatinya- namun juga kekhawatirannya akan menjadi “nothing”- tidak diingat siapa-siapa, tidak menyumbangkan apapun. Is it better to be “nothing” in America- or is it the same everywhere?

American dreams sebenarnya merupakan satu tema yang tidak asing, namun tetap menarik untuk diulas. Aku ingat dengan sepupuku, yang pergi ke Amerika memboyong keluarganya karena pekerjaan menuntutnya untuk ditempatkan di kantor pusat di Chicago selama 2 tahun. Setelah 2 tahun lewat, mereka memutuskan untuk tetap tinggal di sana- meski itu berarti harus diberhentikan dari pekerjaan sebelumnya, dan berusaha mencari jalan sendiri untuk bisa mendapatkan green card.

Sementara itu, salah seorang om-ku, malah mendapatkan undian green card dari kedutaan AS, dan memutuskan untuk meninggalkan semua yang dimilikinya- dari mulai rumah sampai karier perbankan- dan membawa keluarganya untuk starting over di Amerika. Bahkan green card tidak membuat segalanya menjadi mudah, karen ia harus rela menukar jabatannya sebagai manager di salah satu bank swasta di Jakarta- dengan pekerjaan kasar seperti cleaning service di klinik atau kasir di supermarket. American dreams- will you ever achieve it?

Kekuatan Maggie yang lain terletak pada penggunaan settingnya- yang benar-benar dieksplor secara detail. Tidak seperti buku-buku kebanyakan sekarang ini yang menjadikan setting luar negeri sebagai tempelan pemikat belaka (bahkan sengaja meng-copy paste artikel internet untuk deskripsinya), Maggie berhasil membawa pembaca seutuhnya merasakan seluk beluk kota Boston (dan beberapa tempat lain di sekitarnya), termasuk mencicipi cuacanya, harumnya, penduduknya, dengan sangat meyakinkan.

Penuturan Maggie- kesederhanaan kisah yang dibalut kekuatan emosi dan deskripsi detail- mengingatkanku akan gaya Jhumpa Lahiri- sedikit bittersweet dan heartbreaking dengan nuansa suram -namun tidak sampai membuat pembaca depresi, karena masih bisa merasakan keindahannya. It’s a nice, compact ride, with no nonsense and unnecessary turns. I can’t wait to enjoy her other works.

Submitted for posting bareng Blogger Buku Indonesia bulan Agustus dengan tema Sastra Indonesia.

From the bookshelf

Categories

Looking for Something?

Enter your email address to follow Books to Share and receive notifications of new posts by email.

Join 1,037 other followers

Currently Reading

I’m a Proud Member! #BBI 1301004

Wishful Wednesday Meme

Fill your Wednesdays with wishful thinking =)

Popsugar Reading Challenge 2018

bookworms

  • aleetha
  • althesia
  • alvina
  • ana
  • annisa
  • bzee
  • dewi
  • dion
  • fanda
  • Ferina
  • helvry
  • inne
  • Kobo
  • maya
  • mei
  • melmarian
  • mia
  • ndari
  • nophie
  • oky
  • peri hutan
  • ren
  • Reygreena
  • sel sel kelabu
  • sinta
  • tanzil
  • tezar
  • yuska

shop til you drop

  • abe books
  • Amazon
  • better world books
  • book depository
  • BukaBuku
  • Buku Dedo
  • bukukita
  • vixxio

Top Posts & Pages

  • Red, White & Royal Blue by Casey McQuiston
    Red, White & Royal Blue by Casey McQuiston
  • A Feast for Crows by George R.R. Martin
    A Feast for Crows by George R.R. Martin
  • Dongeng-Dongeng Grimm Bersaudara
    Dongeng-Dongeng Grimm Bersaudara
  • Five Little Pigs
    Five Little Pigs
  • Station Eleven by Emily St.John Mendel
    Station Eleven by Emily St.John Mendel

Recent Comments

When the Stars Go Da… on The Paris Wife
Hapudin Bin Saheh on Insomniac City: New York, Oliv…
The Case of the Pecu… on The Case of the Left-Handed La…
astrid.lim on Lorong Waktu by Edward Pa…
nina on Lorong Waktu by Edward Pa…

Blog at WordPress.com.

Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
  • Follow Following
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Join 1,037 other followers
    • Already have a WordPress.com account? Log in now.
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Customize
    • Follow Following
    • Sign up
    • Log in
    • Report this content
    • View site in Reader
    • Manage subscriptions
    • Collapse this bar
 

Loading Comments...