Yes, books are dangerous. They should be dangerous – theycontain ideas. – Pete Hautman
Buku identik dengan ide. Dan terkadang (atau seringkali) ide-ide ini membuat pihak-pihak tertentu merasa terancam, takut, dan terpojokkan. Pihak-pihak ini sadar, bahwa buku dapat menjadi senjata yang lebih berbahaya dibandingkan pistol atau bom.
Karena sudah terpojok, kadang pihak-pihak tersebut mulai melakukan segala cara untuk bisa meredam ketakutan mereka akan tersebarnya ide-ide yang dianggap berbahaya. Ide-ide ini bisa berupa kebebasan berekspresi yang dinilai terlalu berlebihan (misalnya penggunaan kata-kata kasar atau adegan seksualitas yang terlalu eksplisit), atau bisa juga berupa ideologi maupun kepercayaan yang dianggap tidak cocok dengan situasi dan kondisi masyarakat di daerah tertentu (paham komunisme atau ateisme bisa masuk ke dalam kategori ini, setidaknya untuk negara kita tercinta).
Dan cara-cara yang ditempuh memang cukup ekstrim, dari mulai melarang peredaran buku di daerahnya, menggolongkan suatu buku ke dalam kategori “banned books” atau buku terlarang, bahkan yang paling ekstrim adalah membakar buku-buku yang dianggap berbahaya, dengan tujuan memusnahkannya sekaligus.
Books Burning
Books burning, atau pembakaran buku, sering juga disebut sebagai librisida, memiliki sejarah yang panjang. Menurut catatan, ritual pembakaran buku bahkan sudah terjadi di jaman Perjanjian Lama Alkitab, saat saat Raja Jehoiakim membakar teks Nabi Yeremia.
Dari masa ke masa, pembakaran buku selalu menjadi bagian dari sejarah, baik di tengah perang yang berkecamuk, pendudukan suatu kelompok di atas kelompok lainnya, atau saat ada paham dan ajaran baru yang diperkenalkan ke dalam masyarakat.
Salah satu puncak ritual pembakaran buku terjadi di era Perang Dunia II, atau saat Nazi berkuasa. Saking parnonya dengan ide-ide yang mengancam kekuasaan mereka, hampir semua buku -kecuali yang officially diakui oleh pemerintahan Hitler saat itu- dibakar habis. Razia buku pun menjadi satu hal yang rutin dilakukan, dan siapapun yang memiliki buku lain di luar buku yang diizinkan saat itu, dianggap nekat atau memang memiliki privilege luar biasa.
Topik pembakaran buku juga cukup sering diangkat ke dalam novel, beberapa yang terkenal dan sudah pernah saya baca misalnya Fahrenheit 451 dan Book Thief. Tema pembakaran buku sangat dekat dengan pembaca, karena pembaca pada umumnya adalah orang-orang yang mencintai buku lebih dari (hampir) apapun, dan bersedia menjadi guardian angel dari buku-buku yang ada di dunia 🙂
Indonesia?
Posting Bareng BBI bulan Mei ini mengambil tema Hari Buku Nasional yang jatuh tanggal 17 Mei lalu. Dan menurut saya, topik bakar-membakar buku cukup relevan dengan kondisi dunia perbukuan di Indonesia saat ini, mengingat banyaknya berita mengenai pembakaran buku “aliran kiri” yang akhir-akhir ini marak terjadi, bahkan lembaga edukasi semacam Perpustakaan Nasional sempat membuat kontroversi saat menyatakan kalau mereka juga mendukung pemusnahan buku aliran kiri.
Rupanya, di era setelah reformasi ini, Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, masih juga memilih untuk mengambil jalan pintas saat dihadapkan dengan isu yang dianggap bisa mengancam keutuhan negara. Isu yang sebenarnya bisa dimanfaatkan sebagai sarana untuk mengedukasi generasi muda penerus bangsa tentang salah satu era kelam namun penting dalam sejarah bangsa Indonesia, sayangnya justru langsung diberangus dan dicap sebagai “bahaya laten”.
Apakah memusnahkan buku-buku dan memberangus ide-ide berarti kita sudah melakukan sesuatu yang berjasa bagi anak-anak kita, misalnya dengan menjauhkan mereka dari “bahaya aliran kiri?” Menurut saya sih tidak ya. Karena justru dengan mengedukasi anak-anak kita tentang sejarah bangsalah, maka kita sudah berbuat adil pada mereka. Membakar dan memusnahkan buku malahan merampas hak generasi penerus untuk belajar dan mengerti benar mengenai suatu paham dan ide, dan memutuskan secara sadar mana yang bahaya dan mana yang tidak.
Saya sendiri khawatir kalau anak saya dibesarkan di dalam lingkungan yang menutup aksesnya terhadap ketersediaan informasi apapun, nantinya pemikiran dan ide-idenya justru akan terkungkung begitu saja, bahkan malah membatasi dunianya dengan alasan yang salah.
Burned, But Not Dead
Di masa kini, pembakaran buku seringkali bukan dimaksudkan untuk memusnahkan buku secara keseluruhan, terutama karena teknologi memang mempermudah pembaca untuk mengakses buku dalam banyak bentuk (digital, audio, dan sebagainya). Namun gerakan membakar buku masih terus-menerus dilakukan, lebih sebagai simbol perlawanan dan kebencian terhadap suatu ideologi atau ide tertentu.
Matt Fishburn, dalam bukunya Burning Books, menyatakan bahwa fenomena membakar buku dari masa ke masa sebenarnya lebih sebagai “kontrol”, untuk menegaskan “kekuasaan dan kepercayaan dari suatu rezim”.
Beberapa motif yang juga terkenal untuk pembakaran buku adalah motif religius, yang didasari pada pandangan sempit terhadap suatu kepercayaan tertentu. Yang cukup terkenal misalnya saat Pastor Terry Jones berniat untuk membakar Al Quran saat peringatan peristiwa 9/11 di Amerika.
Namun apakah membakar buku masih efektif untuk menghancurkan berkembangnya ide dan intelektualitas? Apakah membakar buku masih relevan di zaman yang serba terbuka dan penuh ide-ide baru seperti sekarang ini?
Salah satu quote yang saya paling suka datang dari seorang aktivis buku dan pemilik toko buku The Bookshop di Skotlandia, Shaun Bythell:
Anyone who has tried to burn books to wipe out ideologies has always failed. It is a pointless exercise. Ideas exist beyond the book. You are ridiculing the idea that you can destroy ideas by burning books. You can’t.
Jadi – buat apa membakar buku? Karena ide-ide di kepala manusia tidak semudah itu untuk dibakar. Dan yang pasti, jangan biarkan praktek pembakaran buku -seheboh apapun itu- mempengaruhi cara kita memandang suatu ide, dan meneruskannya kepada anak-cucu kita.
Selamat hari buku nasional!
“A word to the unwise.
Torch every book.
Char every page.
Burn every word to ash.
Ideas are incombustible.
And therein lies your real fear.”
― Ellen Hopkins
Tulisan ini adalah opini pribadi yang dilengkapi dengan keterangan dari berbagai sumber.
Submiited for:
boemisayekti said:
“Membakar dan memusnahkan buku malahan merampas hak generasi penerus untuk belajar dan mengerti benar mengenai suatu paham dan ide, dan memutuskan secara sadar mana yang bahaya dan mana yang tidak.”
setuju sekali dengan pernyataan di atas! 🙂
astrid.lim said:
amen. semoga praktek ini nggak akan berlanjut terus 😀
desty said:
Buku yang dibakar itu malah justru menarik perhatian. Dan manusia sekarang pasti nemu aja cara untuk membacanya lagi.
Btw, tampilan baru blog-nya lebih fresh mbak.. 😀
astrid.lim said:
iya beneeer.. manusia kan pada dasarnya kepo ya XD makasih buat komen ttg tampilan blog 😀
Dion said:
Wah iya, baru sadar ini tampilan blognya baru nih, seger deh.
Setuju, melarang dan membakar buku sudah bukan zamannya lagi. Kalau mau menolak ide, tandingi dengan ide lain. tulis buku tandingan dan biarkan masyarakat pembaca turut belajar dari saling tanding buku ini, pasti lebih keren.
astrid.lim said:
makasih ya komen tentang tampilan blogku XD Yep, semoga bakar2an ini nggak menghalangi masyarakat untuk terus belajar…
Ren said:
Bakar buku cuma bikin polusi dan terkesan barbarik. Masa masih mau kembali ke jaman batu dengan seenaknya bakar buku ya 😀
astrid.lim said:
betul, mendingan bukunya dibagi2in ke yang membutuhkan ya ren hihi
Bin (@Bintang_Ach) said:
Sejak mengenal Kak Astrid sekaligus Book To Share, aku selalu suka sekali dengan isi postingannya.
Sama halnya dengan Balada Bakar Buku yang kk Astrid tulis ini. Selain berisi, aku juga suka dengan opini, pemikiran, dan tulisan Kak Astrid yang menohok banget, hehe. Sangat mewakili apa yang kami (pembaca buku) rasakan.
Membaca artikel ini membuat aku lega karena apa yang menjadi unek-unekku selama ini berhasil dituangkan dengan baik oleh Kk Astrid. Dan yah, semoga, ini bukan sekadar tulisan semata. Semoga bisa merubah pandangan mereka (para pembakar buku) untuk berpikir lebih bijak lagi.
astrid.lim said:
hi bintang, thank you for your nice comment 🙂 aku pun sudah baca dan komen di postinganmu yang masih nyambung juga dengan postinganku ini 🙂
erdeaka said:
Orang pada umumnya tuh masih suka cari “gampangnya aja”. Daripada musti capek-capek bertarung ide, gampangnya dibakar aja bukunya. Yah, kira-kira begitu.
astrid.lim said:
betul, semoga ketidakefektifan praktek ini akan membuat orang2 berhenti melakukannya ya..
Abduraafi Andrian said:
Jadi, kemarin aku dan rekan kerja isi acara di salah satu kampus internasional. Ada satu siswa yang bertanya tentang buku-buku “kiri” (yang dimaksud adalah seri buku TEMPO pegiat PKI seperti Aidit), apakah tidak ditarik juga di platform aplikasi buku digital. Setelah memberi bukti bahwa buku-buku tersebut “aman”, dia senang. Dia pecinta sejarah dan dia bilang kabarnya buku-buku tersebut sudah ditarik dari peredaran (toko buku fisik). Aku sedih mendengarnya.
astrid.lim said:
euhhh sebel banget ya.gimana mau punya generasi baru yang kritis dan open minded kalau sudah diblok terus kayak gini?
Peri Hutan said:
“Jadi – buat apa membakar buku? Karena ide-ide di kepala manusia tidak semudah itu untuk dibakar.”
Yap, suka banget dengan kalimat itu, ide nggak akan pernah musnah dan bisa ditulis kembali, sangat ketinggalan zaman kalau masih ada yang ingin membakar buku hanya karna berbau ‘kiri’ padahal kan itu bentuk generasi sekarang untuk mengetahui sejarah masa lalu, masak mau dicekoki yang baik-baik mulu, kapan belajar dari kesalahan?
astrid.lim said:
betuuul, semoga praktek bakar2an ini nggak akan berlanjut lagi ya 🙂