• About this blog
  • Clearance Sale!
  • Newbery Project
  • Popsugar Reading Challenge 2022
  • Previous Challenges
    • BBI Read and Review Challenge 2017
    • Challenges 2014
    • Challenges 2015
    • Lucky No.14 Reading Challenge
    • Lucky No.15 Reading Challenge
    • POPSUGAR Reading Challenge 2017
    • Popsugar Reading Challenge 2018
    • Popsugar Reading Challenge 2020
    • Popsugar Reading Challenge 2021
    • What’s in a Name 2018
    • Twenty-Ten Challenge
    • Challenges 2012
    • Challenges 2013
  • Round Ups
  • The Librarian

~ some books to share from my little library

Tag Archives: war

Les Misérables by Victor Hugo

23 Monday Aug 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 2 Comments

Tags

bargain book!, classics, english, europe, fiction, historical fiction, popsugar RC 2021, translated. french, translation, war

Judul: Les Misérables

Penulis: Victor Hugo

Penerjemah: Julie Rose

Penerbit: Modern Library (2009, first published 1862)

Halaman: 1329p

Beli di: Books and Beyond (IDR 130k, bargain!)

Sejujurnya, saya bingung bagaimana mereview buku legendaris setebal lebih dari 1000 halaman ini. Where should I start?

Mungkin, yang paling mudah dan masuk akal adalah membuat summary singkat setiap volume, kemudian menyampaikan kesan-kesan saya secara keseluruhan di bagian akhir review ini 🙂 I hope that’s okay.

Les Misérables terdiri dari lima bagian atau volume, yang masing-masing dipecah lagi menjadi beberapa “buku” yang terdiri dari beberapa “chapter”. Tak heran buku ini begitu panjang, karena mencakup perjalanan sejarah Prancis dalam rentang waktu yang cukup lama, dan diisi oleh amat banyak karakter, baik yang hanya muncul sepintas lalu, atau yang memang menjadi tokoh utama dalam cerita tragedi ini.

PART ONE: FANTINE

Di bagian pertama buku ini, kita diajak menemui beberapa karakter yang nantinya akan menjadi tokoh-tokoh utama dalam Les Misérables. Ada Jean Valjean, mantan napi yang meski sudah keluar dari penjara, namun masa lalunya tetap membuatnya susah diterima oleh lingkungannya, sehingga ia harus mengkhianati identitasnya sendiri. Ada Fantine, perempuan yang sangat ingin membahagiakan anaknya, namun berbagai keputusan buruk yang ia buat malah menjauhkannya dan anaknya dari kebahagiaan. Dan ada Javert, polisi yang akan menjadi nemesis Jean Valjean.

PART TWO: COSETTE

Kali ini kita beralih ke Cosette, setelah bertahun-tahun hidup menderita, akhirnya dipertemukan dengan Jean Valjean, dan mereka berusaha bertahan hidup sebagai keluarga, meski Javert tetap mengejar Jean Valjean akibat masa lalunya yang suram.

PART THREE: MARIUS

Cosette tumbuh menjadi gadis cantik, yang memikat hati seorang pemuda bernama Marius. Namun, Marius dalam keadaan galau, antara mengikuti jejak ayahnya, pendukung Republik, atau tetap setia dengan kakek yang mengurusnya dari kecil, yang merupakan bagian dari kaum elite. Marius pun bertemu dengan sekelompok pemuda yang sedanng berkobar-kobar ingin melancarkan revolusi terhadap pemerintah Prancis saat itu.

PART FOUR: THE IDYLL OF THE RUE PLUMET AND THE EPIC OF THE RUE SAINT-DENIS

Di tengah kisah cinta Marius dan Cosette yang penuh drama, termasuk tentangan dari Jean Valjean (yang tidak rela kehilangan Cosette), Marius ikut serta dalam demonstrasi yang digagas teman-temannya. Klimaks yang terjadi kemudian melibatkan juga Jean Valjean serta Javert, yang berada di tengah situasi penuh bahaya tersebut.

PART FIVE: JEAN VALJEAN

Bagaimanakah Jean Valjean akan mengakhiri kisahnya? Apakah dengan kejujuran, penerimaan terhadap identitasnya, meski itu artinya ia akan kehilangan Cosette, satu-satunya orang paling berarti di hidupnya? Dan bagaimanakah akhir perseteruan Jean Valjean dengan Javert?

Les Misérablesadalah sebuah buku tentang identitas, penerimaan pada masa lalu, kejujuran, dan cinta. Sejauh mana kita akan berkorban demi membahagiakan orang-orang yang kita cintai?

Tema yang (sebetulnya) sederhana ini, dibuat rumit oleh Victor Hugo karena kecenderungannya untuk menulis dengan panjang lebar, terutama untuk hal-hal yang menjadi passionnya. Misalnya, di Part One, ada satu bagian yang amat panjang, yang bercerita tentang Bishop Bienvenu, yang tidak akan muncul lagi di sepanjang buku, tapi karena memiliki peran cukup penting dalam turning point Jean Valjean, maka kisah sang Bishop ditulis dengan amat detail, hingga ke masa lalu dan latar belakangnya yang panjang.

Contoh lain adalah di Part Two, saat Hugo menuliskan kisah perang Waterloo secara amat mendetail, mulai dari suasana hingga beberapa tokoh yang berperan penting, padahal Waterloo sendiri hanya memiliki keterkaitan amat kecil dengan kisah Les Misérables.

Saya pernah mendengar pendapat orang yang bilang kalau membaca Les Misérables itu ibarat membaca kisah hidup Jean Valjean, yang diselingi dengan banyak sekali sejarah random Prancis. And I can’t agree more, lol!

Satu hal yang saya sadari dari membaca Les Misérables adalah betapa sedikitnya sejarah Prancis yang saya ketahui selama ini. Saya tidak aware kalau Prancis mengalami banyak sekali revolusi dan demonstrasi, baik besar dan kecil, sehingga sering berganti bentuk pemerintahan dengan amat cepat. Selama ini saya hanya tahu peristiwa Louis XVI, juga Revolusi Bastille, yang memang sering diangkat ke buku atau layar lebar. Les Misérables menawarkan banyak sudut pandang dan fakta baru, yang memang seringkali membingungkan akibat minimnya pengetahuan saya tentang sejarah Prancis, namun pada akhirnya malah jadi membuka mata saya tentang sejarah negara tersebut.

Saya sendiri belum pernah menonton versi musikal Les Misérables, baik yang dipentaskan di teater maupun yang diangkat ke layar lebar, sehingga tidak bisa membandingkan dengan bukunya. Namun, jujur saja, selama seminggu lebih saya berkutat dengan buku ini, saya beberapa kali ingin menyerah saja, terutama ketika bertemu dengan narasi sejarah yang panjang, detail, dan alot, dan tidak jelas hubungannya dengan keseluruhan kisah. Apalagi, Les Misérables memiliki banyak sekali footnotes, baik yang berhubungan dengan fakta sejarah maupun terjemahan dalam bahasa Inggris, yang memang sebaiknya dibaca juga kalau ingin lebih mengerti konteks kisah tersebut.

Pada akhirnya, saya bersyukur berhasil menyelesaikan buku ini, yang – eventhough indeed a monster- terasa epik, menakjubkan, dan menyajikan salah satu pengalaman membaca luar biasa yang sudah jarang saya temui dari buku fiksi kontemporer.

Sekarang, tinggal menonton filmnya, untuk melihat whether they do this book justice? 😀

Rating: 4/5

Recommended if you like: history, French, epic drama, brick books, everlasting classics

Submitted for:

Category: The longest book (by pages) on your TBR list

A Long Petal of the Sea by Isabel Allende

19 Wednesday May 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

ebook, historical fiction, immigrant, politics, popsugar RC 2021, south america, war, world war

Judul: A Long Petal of the Sea

Penulis: Isabel Allende

Penerbit: Ballantine Books (Kindle edition, 2020)

Halaman: 336p

Beli di: Amazon.com (USD 2.99- bargain!)

Di akhir tahun 1930an, Spanyol dilanda Perang Saudara saat General Franco mengambil alih kekuasaan negara tersebut. Gaya kepemimpinannya yang fasis amat sesuai dengan kondisi dunia saat itu, yang didominasi Hitler dan Nazi yang siap memorakporandakan kehidupan jutaan orang.

Warga Spanyol, terutama yang bertentangan dengan Franco, banyak yang mengungsi ke Prancis, melalui jalur perbatasan yang sulit di tengah musim dingin yang menggigit. Salah satunya adalah Roser, yang sedang hamil tua, dan berjanji akan bertemu dengan kakak iparnya, Victor Dalmau, sambil menunggu kekasihnya, adik Victor, yang berjuang di medan perang.

Victor sendiri berprofesi sebagai dokter, merawat korban perang saudara di tengah kondisi yang makin berbahaya. Setelah berhasil bertemu Roser di Prancis, mereka memutuskan untuk ikut rombongan pengungsi ke Chile, dalam program yang digagas oleh penyair sekaligus aktivis Pablo Neruda. Saat itu, Chile memang sedang mencari banyak pengungsi untuk mengisi negara mereka, terutama yang memiliki keahlian khusus seperti science, arts, dan culture.

Meski awalnya Victor dan Roser menganggap kepindahan mereka ke Chile sebagai rencana temporer, lama kelamaan mereka malah menganggap Chile sebagai rumah mereka, meski keinginan untuk kembali ke Spanyol tetap tersimpan di dalam hati mereka. Dan melalui perjalanan kehidupan Victor dan Roser, kita diajak mencerna apa arti “rumah” yang sesungguhnya.

Sebelum membaca buku ini, saya tidak terlalu mudeng dengan sejarah negara Chile, dan saya bahkan belum pernah membaca karya Pablo Neruda sama sekali. Melalui A Long Petal of the Sea (sebutan untuk negara Chile yang terletak memanjang di ujung benua Amerika Selatan), Isabel Allende mengajak kita untuk menyusuri sejarah negara Chile, terutama hubungannya dengan Perang Saudara Spanyol dan para pengungsi yang nantinya akan ikut membentuk negara tersebut.

Dibandingkan dengan beberapa karya Allende sebelumnya, A Long Petal memang terasa agak lebih monoton. Tidak ada magical realisme di sini, dan gaya berceritanya pun lebih linear, lebih banyak telling daripada showing. Tapi menurut saya, Allende tetap menunjukkan tajinya, menghipnotis kita dengan alunan kalimat yang flowy dan membuat buku 300an halaman ini tidak terasa (terlalu) panjang, meski ada beberapa bagian yang agak slow.

Untuk pencinta Neruda, buku ini juga membahas sekelumit perannya di kancah politik Chile, yang kembali bergejolak setelah Perang Dunia II. It’s a great introduction to those who are not familiar with him, too.

Overall, tetap recommended, terutama yang sudah kangen dengan karya Isabel Allende.

Rating: 4/5

Recommended if you want to read about: Chile history, Spanish Civil War, migrations and refugees, great historical fiction with South American setting

Submitted for:

Category: A book set in multiple countries

The Shadow King by Maaza Mengiste

03 Monday May 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 2 Comments

Tags

africa, award, ethiopia, historical fiction, man booker prize, war, women, world war

Judul: The Shadow King

Penulis: Maaza Mengiste

Penerbit: Canongate Books (2020)

Halaman: 428p

Beli di: @__lesens (IDR 235k)

Tahun 1935, Ethiopia berada di ambang peperangan, setelah sebelumnya berhasil mengalahkan Italia di tahun 1896. Kali ini, Italia di bawah kepemimpinan fasis Mussolini, ingin membalas dendam dan menggapai impian mereka yang belum tercapai, yaitu menguasai Ethiopia. Didukung oleh situasi dunia yang sedang bersiap-siap menghadapi Perang Dunia II, plus menguatnya kekuatan fasis di belahan bumi barat, Italia yakin kali ini mereka akan memenangkan perang tersebut.

Hirut adalah seorang yatim piatu yang dipekerjakan di rumah salah satu tentara kepercayaan Emperor Haile Selassie, yang bernama Kidane. Hirut dan pekerja perempuan lainnya diharapkan untuk ikut membantu persiapan perang, termasuk mendampingi pasukan sebagai perawat dan menyiapkan makanan. Namun Aster, istri Kidane, menginginkan lebih daripada itu. Kesedihannya yang mendalam akibat kematian anak laki-lakinya menyebabkan Aster berubah menjadi seorang perempuan yang getir, keras, dan tangguh. Ia ingin membentuk pasukannya sendiri, yang terdiri dari para perempuan kuat Ethiopia yang ia yakin sanggup menyamai bahkan melebihi kecerdikan pasukan tentara Emperor.

Meski Hirut dibenci Aster karena kedekatannya dengan Kidane, namun ia belajar banyak dari istri majikannya ini selama peperangan berlangsung. Bahkan Hirut ikut berperan penting dalam merancang strategi Shadow King, alias Raja Bayangan, yang menjadi legenda peperangan gerilya Etiophia. Pada akhirnya, Ethiopia memang bukan merupakan tandingan Italia yang super kejam. Tapi, sokongan moral dari The Shadow King mengambil tempat tersendiri di hati rakyat Etiophia, bahkan ceritanya diturunkan ke generasi-generasi selanjutnya.

The Shadow King adalah salah satu buku yang berhasil mengungkapkan fakta sejarah yang saya tidak tahu sebelumnya. Sedikit yang selama ini saya tahu tentang Ethiopia, dan Maaza Mengiste sukses mengedukasi saya tentang negara asalnya ini. Dan beberapa sudut pandang yang dipakai buku ini, mulai dari Hirut, sang Emperor sendiri, hingga tentara Italia, menambahkan detail-detail yang menarik di sepanjang buku.

Hanya saja, jujur saya tidak bisa menikmati sepenuhnya buku ini. Ada dua alasan utama mengapa buku ini belum bisa mendapatkan rating sempurna dari saya. Yang pertama, saya berharap buku ini lebih banyak mengambil sudut pandang Hirut, terutama karena dari yang saya baca di bagian Acknowlegment, sosok Hirut serta latar belakang sejarah Shadow King terinspirasi dari kisah keluarga Mengiste sendiri, terutama dari nenek buyutnya, Getey. Dan menurut saya kisah ini memang sangat menarik, namun sayangnya di bagian tengah hingga akhir buku, kita malah lebih banyak disuguhi oleh sudut pandang tentara Italia yang diwakili oleh Ettore sang fotografer. Memang kisah Etorre cukup penting juga dan berkaitan erat dengan masa depan Hirut, tapi saya jadi kehilangan suara Hirut dan sayangnya tidak merasa terkoneksi sepenuhnya dengan tokoh perempuan tersebut.

Alasan kedua, yang lebih mendominasi buat saya, adalah gaya penulisan Maaza Mengiste. Mengiste adalah seorang scholar dan professor Creative Writing, bahkan pernah menerima beasiswa Fulbright (WHOOP!). Dan memang, gaya menulisnya amat berkesan “nyastra” sekali, penuh dengan matefora dan penggambaran detail yang luar biasa puitis. Awalnya, saya senang-senang saja membaca kalimat demi kalimat yang penuh keindahan ini. Namun lama kelamaan, rasanya lelah juga, apalagi Mengiste amat senang menggambarkan detail setting seperti sudut jatuhnya cahaya matahari, perbedaan suara burung yang satu dengan burung yang lain, dan sebagainya, yang tujuannya mungkin untuk menampilkan setting yang amat nyata, namun karena banyak pengulangan di sini, saya jadi bosan juga membacanya. Satu lagi, Mengesti adalah penggemar “tanpa tanda kutip”, sehingga tidak ada dialog yang diapit tanda kutip di buku ini, satu tren yang saya kurang suka karena seringkali menciptakan kebingungan.

Overall, The Shadow King adalah buku yang amat penting, menyajikan sekelumit kisah sejarah yang jarang diangkat ke permukaan, Secara kualitas pun buku ini amat baik, tak heran dinominasikan dan mendapat penghargaan di mana-mana, termasuk short list Man Booker Prize 2020. Tapi memang buku ini, menurut saya, bukanlah tipe buku yang bisa dinikmati 🙂

Rating: 3/5

Recommended if you want to read about: African history, Ethiopia, women fighters, high quality literature, creative writing at its best

The Muse by Jessie Burton

14 Wednesday Apr 2021

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

arts, europe, historical fiction, mystery, popsugar RC 2021, twist, war, women

Judul: The Muse

Penulis: Jessie Burton

Penerbit: Picador (2016)

Halaman: 445p

Beli di: Big Bad Wolf Tokopedia (IDR 70k)

London, Juli 1967

Odelle Bastien baru saja diterima bekerja di Skelton gallery, di bawah pengawasan bosnya yang cerdas namun penuh misteri, Marjorie Quick. Sebagai imigran dari Trinidad, Odelle bertekad akan membuktikan kemampuan dirinya bertahan di London, dan suatu saat nanti mempublikasikan novelnya. Suatu hari, sebuah lukisan misterius datang kepadanya melalui laki-laki yang baru ia kenal, Lawrie. Disinyalir, lukisan tersebut adalah salah satu lukisan Isaac Robles, pelukis Spanyol yang karya-karyanya termasuk langka, serta keburu menghilang sebelum namanya sempat mendunia. Yang membuat Odelle bingung adalah reaksi Marjorie terhadap lukisan tersebut, yang menggambarkan singa beserta dua orang perempuan. Ada hubungan apa antara Marjorie dan lukisan itu?

Spanyol, 1936

Keluarga Schloss baru pindah ke daerah pedesaan Spanyol, setelah insiden menyangkut sang Ibu, Sarah, mengharuskannya beristirahat dan menyepi. Anak mereka, Olive, memiliki ambisi yang ia sembunyikan dari kedua orang tuanya, terutama ayahnya yang adalah seorang art dealer. Kehidupan keluarga Schloss berubah total saat kakak beradik Teresa dan Isaac menjadi bagian dari kehidupan mereka di Spanyol, terutama menjelang pecahnya Civil War di negara tersebut.

Agak sulit menjabarkan plot buku ini tanpa memberikan spoiler yang cukup penting. The Muse (seperti juga buku Jessie Burton sebelumnya, The Miniaturist), menggabungkan kisah sejarah dan seni, mengukuhkan Jessie Burton sebagai salah satu penulis historical fiction yang selalu konsisten dengan tema-temanya. Saya sendiri lebih menyukai The Muse dibandingkan dengan The Miniaturist, karena kisahnya lebih menggigit dan penggambaran karakter-karakternya lebih menarik, meskipun endingnya tetap membuat emosi seperti The Miniaturist. Penuturan Burton termasuk enak diikuti, sehinggal timeline yang berganti-ganti antara tahun 1936 dan 1967 tidak terasa membingungkan.

Namun menurut saya, The Muse berusaha mengangkat terlalu banyak topik atau isu, sehingga agak keteteran di beberapa bagian. Beberapa isu dalam buku ini adalah tentang imigran, rasisme dan perjuangan minoritas seperti Odelle di tengah kerasnya London; sejarah Civil War di Spanyol; profesi seniman atau pelukis di era 1930-an yang masih amat didominasi oleh kaum laki-laki; serta sejarah lukisan itu sendiri. Kekuatan utama Burton adalah menyajikan kisahnya dengan cukup meyakinkan (saya sampai meng-Google Isaac Robles untuk melihat apakah ia adalah seorang pelukis nyata atau fiksi), namun kelemahannya adalah ingin mengangkat terlalu banyak topik, sehingga kadang kurang bisa menjaga pace cerita. Di awal, kisah terasa lambat karena begitu banyak hal yang ingin dibahas, tapi di bagian akhir, endingnya terasa agak “crammed” karena diburu-buru.

Saya sendiri lebih simpati dengan Odelle dibandingkan tokoh perempuan lainnya di buku yang lumayan kental nuansa feminisnya ini. Tapi porsi Odelle tidak sebanyak kisah keluarga Scholls dan Robles, sehingga saya merasa saya kurang diberi waktu untuk bisa lebih relate dengan Odelle.

Bagaimanapun, The Muse termasuk kisah fiksi sejarah yang cukup solid, terutama untuk para penggemar sejarah seni.

Rating: 3.5/5

Recommended if you like: historical fiction, arts fiction, women inspired fiction, dual timeline

Submitted for:

A book about art or an artist

The Wednesday Wars by Gary D. Schmidt

13 Friday May 2016

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ Leave a comment

Tags

america, children, fiction, historical fiction, new york, newbery, realistic, war

wednesday warsJudul: The Wednesday Wars

Penulis: Gary D. Schmidt

Penerbit: Sandpiper Books (2007)

Halaman: 264p

Part of: bundle Newbery (Bookdepository USD 25)

Ada buku-buku yang kita baca dengan ekspektasi tinggi, tapi diakhiri dengan perasaan kecewa. Namun ada juga buku-buku yang kita baca tanpa ekspektasi- dan ternyata resmi menambah daftar buku favorit kita!

Syukurlah, The Wednesday Wars masuk ke kategori kedua. Saya membacanya tanpa ekspektasi terlalu tinggi- selain cap Newbery Honor (tahun 2008) di sampul depannya -dan mendapat pengalaman yang sangat menyenangkan bersama karakater-karakternya.

Holling Hoodhood merasa kalau wali kelasnya di kelas 7, Mrs. Baker, tidak menyukainya. Kenapa? Tidak jelas juga alasannya, tapi yang pasti Holling selalu kena sasaran kesinisan atau kekejaman Mrs. Baker. Well, kejam menurut Holling, setidaknya. Hal ini diperparah juga karena setiap hari Rabu siang, saat teman-teman sekelasnya yang beragama Katolik pergi ke gereja untuk pelajaran katekisasi, sedangkan yang Yahudi pergi ke sinagoga untuk persiapan bar mitzvah, Holling harus tinggal di kelas bersama Mrs. Baker karena ia satu-satunya murid yang menganut aliran Presbyterian.

Awalnya, hari-hari Rabu selalu menyiksa dan diisi dengan perseteruan diam-diam antara Holling dan Mrs. Baker, namun perlahan-lahan tumbuh semacam hubungan persahabatan di antara guru dan murid ini. Mrs. Baker memperkenalkan Holling pada Shakespeare, dan Holling menemukan passionnya yang lain, berlari, juga karena bantuan Mrs. Baker.

Kisah sederhana ini menjadi lebih berkesan karena berlatar belakang Perang Vietnam di tahun 1967, dan saat itu, banyak opini mengenai perang tersebut dari para penduduk di kota kecil Long Island tempat Holling tinggal. Ada kakak Holling yang terpengaruh gerakan hippies, ada Mrs. Baker dan guru-guru lain di sekolah Holling yang suaminya dikirim ke medan perang, serta ada juga teman sekelas Holling, anak perempuan dari Vietnam yang menjadi refugee di Amerika.

Meski simple, The Wednesday Wars menjadi sangat menarik karena disajikan dengan lengkap: karakter yang membumi, jalan cerita yang realistis, dan humor di sana-sini yang diselingi oleh beberapa adegan mengharukan. Pokoknya benar-benar pas untuk ukuran buku middle grade. Tidak heran buku ini memboyong penghargaan Newbery pada tahun 2008. Yang pasti, Holling Hoodhood menjadi salah satu karakter remaja favorit saya, dan Mrs. Baker menurut saya berhak menggondol penghargaan guru terbaik (mungkin bersaing dengan Profesor Lupin dari Harry Potter, dan Ms. Honey dari Matilda) 🙂

Saya sendiri jadi ngefans berat dengan Gary P. Schmidt dan bertekad ingin membaca buku-bukunya yang lain, termasuk companion book dari Wednesday Wars yang berjudul Okay For Now, bercerita tentang salah satu teman sekelas Holling yang sempat sedikit disinggung di buku Wednesday Wars.

A Clash of Kings by George R.R. Martin

09 Monday May 2016

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

action, adventures, fantasi, fiction, politics, series, war

a clash of kingsJudul: A Clash of Kings

Penulis: George R.R. Martin

Penerbit: Bantam Books Mass Market Edition (2011)

Halaman: 1009 p

Gift from: Eka (Markituka!)

Buku kedua dari serial fenomenal A Song of Ice and Fire ini langsung melanjutkan ending buku pertamanya, Game of Thrones. Keluarga Lannister, diwakili oleh Joffrey di Iron Throne, masih menguasai the Seven Kingdoms, terutama dengan hadirnya sosok sang ratu yang kejam, Cersei, dan adiknya, si kerdil yang cerdik, Tyrion. Namun jangan salah, ada tiga raja lagi yang mengangkat diri mereka sendiri dan menyatakan kekuasaannya atas the Seven Kingdoms maupun sebagian dari wilayahnya.

Di Utara, Robb Stark masih memproklamirkan dirinya sebagai raja di wilayah tersebut, dan terus memenangkan pertarungan serta perang dengan didampingi oleh direwolf nya yang setia, Grey Wind. Meski ibu Robb, Lady Catelyn tidak sepenuhnya setuju dengan taktik-taktik anaknya yang berbahaya, namun ia tak kuasa melarang anaknya yang semangatnya berkobar-kobar untuk mengalahkan musuh-musuh mereka, terutama keluarga Lannister yang bertanggung jawab atas kematian Ned Stark.

Di Selatan, ada Renly Baratheon, adik bungsu mendiang raja terakhir Robert Baratheon, yang juga menyatakan dirinya sebagai raja yang sah untuk menggantikan abangnya, karena ia didukung oleh seluruh rakyat di wilayah selatan yang mengelu-elukannya dan istrinya yang masih muda.

Sementara itu, dari Dragonstone yang agak terpencil, muncul abang Renly, Stannis Baratheon, yang tak mau kalah dan memproklamirkan dirinya sebagai penerus Robert. Stannis juga didukung ‎oleh penyihir kejam yang memuja dewa cahaya, suatu kepercayaan baru yang bukan merupakan dewa tradisional di realm Westeros. Kekuatan dan kekejaman penyihir ini membuat Stannis memiliki keunggulan dalam membunuh lawan-lawannya dengan cara-cara misterius.

Perebutan tahta dan perang di antara keempat raja ini semakin dibuat rumit pula oleh tiga kejadian lainnya:

  1. Daenerys Targaryen, keturunan terakhir dari keluarga Targaryen yang menjadi penguasa Westeros selama berabad-abad, kini tinggal selangkah lagi untuk berangkat ke tanah kelahirannya dan menancapkan klaimnya sebagai penguasa yang sah, diiringi oleh pengikutnya yang setia dan tentu saja ketiga naganya yang ajaib.
  1. Winterfell, sepeninggal Rob Stark dan Lady Catelyn, menjadi target empuk bagi pihak-pihak yang ingin menguasainya, termasuk salah satu pengkhianat besar yang sebelumnya menjadi bagian dari keluarga Stark namun kini haus kekuasaan, mungkin ketularan fenomena gila perang dan rebutan kekuasaan antar raja-raja di Westeros.
  1. ‎Di wilayah luar Wall alias perbatasan Westeros dengan realm liar, perang mulai berkecamuk dan kaum liar ingin ikut-ikut menancapkan kekuasaan mereka di Westeros, dengan membawa serta kekuatan-kekuatan asing dan mengerikan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Dan di sinilah petualangan Jon Snow, si anak haram keluarga Stark, benar-benar dimulai.

Buku kedua ini bisa dibilang lebih kompleks dan padat dibandingkan buku pertama, yang lebih banyak memperkenalkan kita pada realm Westeros dan karakter-karakter intinya.

Di buku ini, pertarungan baik fisik maupun politik mendapatkan porsi yang sangat besar, meski masih diimbangi dengan perkembangan beberapa karakter intinya. Memang ada cukup banyak adegan perang dan pertempuran yang terlalu teknis dan agak bertele-tele, serta pengulangan yang mirip antara perang yang satu dengan yang lain, sehingga terdapat beberapa bagian yang cukup membosankan di bagian pertengahan buku.

Namun untungnya, George RR Martin adalah seorang penulis yang piawai, sehingga tetap saja ada hal-hal menarik yang bisa dinikmati dari setiap babnya, terutama humor sarkasme yang banyak terlontar- terutama dalam bab-bab yang mengangkat karakter Tyrion.

Beberapa twist juga masih cukup menarik untuk diikuti, dan tentu saja, bersiaplah melihat begitu banyak kematian demi kematian, satu hal yang sepertinya memang menjadi ciri khas buku-buku Martin.

Dan meski begitu banyak spoiler bertebaran di internet, apalagi karena serial TV nya baru tayang lagi episode terbarunya, saya masih bertekad akan terus mengikuti petualangan di Westeros ini melalui bukunya terlebih dulu. Jadi- mari mencari buku ketiga! 🙂

The Corpse Exhibition and Other Stories of Iraq by Hassan Blasim

29 Friday May 2015

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 7 Comments

Tags

BBI, english, fantasi, fiction, middle east, posbar, review15, satire, short stories, war

corpse exhibitionJudul: The Corpse Exhibition and Other Stories of Iraq

Penulis: Hassan Blasim

Penerjemah: Jonathan Wright

Penerbit: Penguin Books (2014)

Halaman: 196p

Gift from: Doug Clark

Apa rasanya dilahirkan dan hidup di negara yang terus berperang seperti Irak? Hassan Blasim, penulis dan aktivis asal Irak yang karya-karyanya banyak diboikot di Timur Tengah, menuangkan kisah dari negara tersebut melalui ke-14 cerita pendek di buku ini.

Yang unik, Blasim menggabungkan unsur fantasi dan magical realism dengan kisah nyata dan realita yang terjadi selama Irak berperang. Dalam kisah The Corpse Exhibition, diceritakan tentang para pembunuh yang memanfaatkan perang sebagai ajang mereka berkarya, menganggap nyawa manusia tak ada harganya dan pembunuhan adalah salah satu bentuk karya seni.

The Green Zone Rabit bercerita tentang sepasang pembunuh dalam grup teroris yang ditugaskan membunuh seorang target, yang pada akhirnya malah membuat mereka terkena serangan balik.

Salah satu kisah favorit saya dalam buku ini adalah A Thousand and One Knives, tentang sekelompok orang di Irak yang memiliki kemampuan khusus menyangkut pisau, dan berusaha mencari tahu mengapa mereka memiliki kemampuan tersebut dan apa hubungannya dengan negara tempat mereka hidup, yang selalu berada dalam kekacauan.

Saya juga merinding berat waktu membaca The Crosswords, kisah separuh fantasi yang bercerita tentang korban selamat dari pengeboman, yang hidupnya menjadi tidak tenang karena ia merasa dirasuki oleh arwah polisi yang menyelamatkan hidupnya.

Sedangkan dalam The Nightmares of Carlos Fuente, seorang penduduk Irak malu dengan negaranya yang dicap sebagai sarang teroris dan pencinta perang, sehingga ia kabur jauh ke Belanda dan mengubah identitas dirinya. Namun ia lupa, deep down inside, Irak tetaplah identitasnya.

The Corpse Exhibition and Other Stories of Iraq cukup fenomenal ketika diterbitkan pertama kali, karena merupakan buku pertama karya penulis Irak yang bercerita langsung tentang perang menahun yang melanda negara tersebut. Hassan Blasim menyinggung perang dengan negara Iran, dilanjutkan dengan Kuwait, dan terakhir rezim diktator Saddam Husein yang mengundang penyerbuan Amerika Serikat.

Perang sudah menjadi bagian dari kehidupan rakyat Irak, sampai-sampai kadang mereka sudah mati rasa melihat pengeboman, aksi jihad, pembunuhan oleh teroris dan penyerbuan oleh negara lain. Mereka hanya berusaha bertahan hidup, menjalankan keseharian di tengah kekacauan negara tempat mereka lahir tersebut.

Ada yang pada akhirnya bergabung dengan kelompok fanatis karena tidak ada pilihan lain, atau karena terpaksa mengikuti jejak keluarga. Ada yang memanfaatkan keadaan negara dan menjadi preman di daerahnya, ada juga yang berusaha lari dari kenyataan yang mendera.

Buku ini berhasil menangkap kengerian, kegilaan, dan kekacauan hidup di negara yang menjadikan perang sebagai bagiannya. Terkadang kita lupa, rakyat Irak hanyalah orang biasa. Dan di balik segala berita mengerikan tentang kematian dan bencana, ada sekumpulan orang yang -lebih dari segalanya- hanya ingin bertahan hidup.

Submitted for:

Baca Bareng Mei, Tema Hak Asasi Manusia

Baca Bareng Mei, Tema Hak Asasi Manusia

My Brother Sam Is Dead by James Lincoln Collier & Christopher Collier

14 Tuesday Apr 2015

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ 2 Comments

Tags

america, banned books, children, CL/YA, english, fiction, middle grade, newbery, secondhand books, war

my brother samJudul: My Brother Sam Is Dead

Penulis: James Lincoln Collier & Christopher Collier

Penerbit: Scholastic (1974)

Halaman: 216p

Beli di: Bzee (25k)

My Brother Sam is Dead berkisah tentang kehidupan penduduk kota kecil Redding di Amerika, menjelang munculnya Perang Revolusi Amerika untuk memerdekakan diri dari koloni Inggris di penghujung periode 1700-an.

Perang ini mengubah setiap orang dalam berbagai level- termasuk keluarga Meeker, yang meskipun masih bisa dianggap sebagai kaum loyalis kerajaan Inggris, terpaksa melepaskan anak tertua mereka, Sam, yang bergabung dengan tentara revolusioner.

Tim, adik laki-laki Sam, merasa kehidupannya mulai jungkir balik selepas kepergian abangnya. Bukan saja ia harus membantu Ayah dan Ibunya mengurus usaha penginapan mereka, tapi ia juga merasa perang ini mulai memecah belah keluarganya. Tim sendiri tidak yakin di pihak mana ia seharusnya berada.

Ayah dan ibunya, seperti kebanyakan warga Redding, masih setia pada kerajaan Inggris, dan mereka menentang perang yang membuat semua orang menderita. Di lain pihak, Sam berusaha menunjukkan pada Tim kalau Amerika tidak bisa selamanya berada di bawah kungkungan Inggris- mereka adalah negara merdeka yang berada di tanah yang merdeka pula, dan Inggris tidak berhak memperoleh apapun – termasuk pajak- yang diambil paksa dari rakyat Amerika.

Tim merasa kedua pihak memiliki poinnya masing-masing. Namun ia melihat sendiri, perang ternyata lebih dari sekadar memperjuangkan pendapat yang berbeda. Perang membuat semua orang menderita: kekurangan bahan pangan, keluarga terpecah belah, dan nyawa-nyawa melayang. Sampai kapankah semuanya berakhir?

Membaca buku ini, saya baru sadar kalau pengetahuan saya tentang sejarah revolusi Amerika ternyata masih sangat minim. Samar-samar, saya mengingat sekilas film The Patriot yang dibintangi oleh Mel Gibson. Tapi kalau buku, rasa-rasanya saya memang belum pernah membaca tentang topik ini.

the-patriot

Ada Heath Ledger juga loh di film ini XD

My Brother Sam Is Dead termasuk buku yang cukup “berat” untuk target pembacanya yaitu middle grade. Banyak adegan kekerasan (hint: kepala putus, darah muncrat) yang bertebaran di sepanjang cerita, juga beberapa kata umpatan, dan isu serius seperti perang, perpecahan keluarga dan politik.

Tak heran buku ini – meski menggondol penghargaan Newbery Honor- sempat di banned di mana-mana. Apalagi meskipun ditulis oleh penulis Amerika, buku ini tak ragu untuk menampilkan kekejaman dan kekejian para pejuang revolusi Amerika yang menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan mereka. Jadi, buku ini tidak bisa juga dibilang sebagai buku patriotik Amerika.

Saya sendiri merasa cukup tertarik dengan tema yang ada, dan meski beberapa adegan narasi terasa terlalu panjang dan membosankan, secara keseluruhan buku ini bisa mewakili penggambaran kehidupan Amerika menjelang pecahnya revolusi. Karakter Sam- sebagai karakter sentral- tidak bisa terlalu mendapat simpati saya, namun Tim sebagai narator justru berhasil mencuri perhatian.

Buku ini membuat saya ingin mencari tahu lebih lanjut tentang sejarah Amerika yang selama ini masih berada di luar jangkauan radar bacaan saya.

Submitted for:

banner 13 days cl-ya

The Impossible Knife of Memory by Laurie Halse Anderson

09 Monday Feb 2015

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ 2 Comments

Tags

america, dramatic, dysfunctional family, english, fiction, lucky15, review 15, tragedy, war, young adult

impossible knifeJudul: The Impossible Knife of Memory

Penulis: Laurie Halse Anderson

Penerbit: Scholastic Children’s Books (2014)

Halaman: 374p

Beli di: Kinokuniya Nge Ann City (SGD 19.90)

How does it feel to live by fighting off your memories from the past?

Hayley tidak ingin mengingat masa lalunya- dia melawan segala hal yang bisa memicu kembalinya ingatan akan masa lalunya.

Hayley melawan ayahnya- seorang tentara veteran yang tidak mau mengakui kalau ia memiliki masalah besar karena trauma akan hari-harinya di medan perang. Hayley melawan guru-guru di sekolahnya- yang tanpa henti selalu berusaha membuatnya keluar dari cangkang. Hayley melawan Trish- ibu tiri yang dulu merawatnya dengan baik, namun sempat meninggalkannya sendirian. Dan Hayley bahkan melawan Finn- anak laki-laki nerdy dan baik hati yang tanpa sadar sudah merebut hatinya.

Hayley membenci dunia, namun ia lebih membenci keadaan ayahnya- yang bisa hidup seperti zombie dan selalu membuatnya ketakutan akan ditinggalkan sewaktu-waktu.

Dunia Hayley terasa semakin jungkir balik ketika satu demi satu, ingatan akan masa lalu yang selama ini berhasil dipendamnya, mulai muncul ke permukaan, memaksanya untuk menghadapi hidupnya dengan berani- bukan melawan, tapi menerima. Mampukah Hayley?

Laurie Halse Anderson. Satu nama yang -bagi saya- selalu merupakan jaminan mutu di salah satu genre yang biasanya sulit memuaskan saya- Young Adult.

Laurie selalu mampu mengangkat tema-tema serius tanpa harus berkesan pretensius alias berlebihan. Tema anorexia, pelecehan seksual, atau tekanan untuk masuk ke dunia kampus ivy league, berhasil ditulisnya dengan mulus, memorable, tapi tetap terasa light.

Kali ini Laurie mengangkat tema keluarga veteran- bagaimana perang bukan saja mempengaruhi korban di negara yang bersangkutan maupun para tentara yang berjuang, namun juga keluarga veteran tersebut. Rasa takut, trauma, ditambah pelarian menuju obat-obatan dan alkohol, adalah hal-hal yang biasa dihadapi oleh veteran perang- dan tentunya mempengaruhi keluarga mereka.

Laurie bermain-main dengan isu memori melalui penuturan yang cerdas: bagaimana memori Hayley dan Andy, ayahnya, saling bertaut dan bersilangan- menyusun keping-keping yang meski mereka coba lupakan, namun tak bisa disangkal, menjadi bagian erat hidup mereka.

Banyak dialog yang menyentuh antara Hayley dan Andy, yang membuat saya bisa melihat karakter mereka bukan hanya satu dimensi belaka. Dan hubungan antara ayah dan anak ini menjadi salah satu yang paling berkesan bagi saya.

Oya, bonus dari buku ini? Finn, cowok yang rasa-rasanya bisa menjadi kanditat kuat saya sebagai Book Boyfriend of The Year 😉 Saya jarang terpesona dengan karakter di buku YA, tapi Finn bisalah membuat saya serasa kembali ke jaman SMA 😀

Nih, saya kasih contekan sms-an ala Hayley dan Finn, setelah adegan unyu mereka melihat bintang 🙂

 “Flowers were sweet, stars spectacular, thx” (Hayley)

“Nxt to you, I didn’t notice any stars. Night” (Finn)

Swoon!!!!!

Submitted for:

Something New Category

Something New Category

The Postmistress

30 Saturday Jun 2012

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 6 Comments

Tags

bahasa indonesia, dramatic, fiction, Gramedia, history, terjemahan, war

Judul: The Postmistress

Penulis: Sarah Blake

Penerbit: Elex Media Komputindo (2012)

Halaman: 598 p

Beli di: PestaNovel Gramedia Palmerah (IDR 62,800 disc 20%)


Salah satu hasil kekalapan di #PestaNovel Gramedia beberapa bulan yang lalu =)

Cerita berlatar belakang Perang Dunia selalu menarik untukku, simply karena tidak terbayangkan penderitaan yang dialami oleh jutaan orang saat itu, baik secara langsung maupun tidak langsung. The Postmistress menarik perhatianku karena mengangkat kisah yang jarang dijumpai di buku lainnya: seorang kepala kantor pos perempuan di kota kecil di pesisir timur Amerika Serikat, yang memiliki kekuasaan penuh atas surat-menyurat yang merupakan sarana komunikasi paling penting di era Perang Dunia.

Iris James adalah kepala kantor pos yang sempurna: teratur, jujur, disiplin, dan bertanggung jawab. Tidak ada yang perlu khawatir suratnya tidak sampai ke tujuan di kala Iris sedang bertugas, karena tujuan hidupnya adalah untuk memastikan semua surat sampai ke tangan-tangan yang seharusnya. Sampai suatu hari, ada sebuah surat yang mengusik hatinya, membuatnya memutuskan untuk menyimpan dan tidak meneruskannya ke si penerima. Apakah isi surat tersebut?

Sementara itu di seberang benua, Frankie Bard, wartawan perempuan Amerika, sibuk memberitakan kisah-kisah sedih perang yang menimpa ribuan keluarga di Eropa. Tekadnya adalah menyampaikan kebenaran pada pendengarnya, mengumpulkan kisah demi kisah, sepedih apapun itu. Namun ternyata, ada satu kisah yang tidak dapat disampaikannya dengan jujur pada orang yang seharusnya mendengar berita tersebut. Frankie mengalami dilema berat: menjadi pembawa kebenaran, atau pembawa ketenangan?

Secara keseluruhan, Postmistress bisa menangkap secara jeli suasana Perang Dunia II di dua tempat yang berbeda: kekacauan, chaos penuh ledakan bom dan orang-orang yang diliputi ketakutan di London serta kota-kota Eropa lainnya; serta suasana tenang namun penuh penantian tersembunyi di sebuah kota kecil yang tenang di pesisir Amerika (meski ketenangan tersebut sebenarnya hanya semu belaka). Aku bisa merasakan kepedihan Frankie, dilema Iris, dan keburukan perang, yang menyentuh siapapun itu, baik langsung maupun tidak langsung.

Namun, di pertengahan cerita, Sarah Blake mulai sedikit kehilangan arah. Ke mana ia akan membawa kisah ini? Benang merah berupa perempuan cantik bernama Emma, istri dokter yang tinggal di kota kecil tersebut, sebenarnya sudah merupakan langkah awal yang baik. Namun kurang bisa dikembangkan dengan sempurna. Mungkin karakter Iris yang terlalu dingin, dan Frankie yang terlalu meledak-ledak, kurang bisa dibuat real oleh si penulis, sehingga aku sebagai pembaca tidak merasa relate dengan mereka. Satu-satunya karakter yang terasa dekat adalah Emma, istri sang dokter yang mengalami berbagai kejadian pedih. Rapuh, lovable, dan mampu mengundang simpati. Sayang porsinya tidak sebanyak Iris maupun Frankie.

Sempat terpikir, seandainya buku ini digarap oleh Tatiana de Rosnay (Sarah’s Key), mungkin akan menimbulkan kesan berbeda. Buatku, Postmistress rasanya seperti makan popcorn, cukup renyah sih, tapi yaaa, nggak mengenyangkan. Dan cepat sekali terlupakan setelah selesai dibaca =p Satu lagi yang cukup mengganggu dari edisi terjemahan ini adalah typo nya yang cukup banyak dan agak parah. Untungnya bahasa terjemahannya masih lumayan enak untuk dibaca. Aku juga cukup suka dengan covernya, a bit sweet without being too unyu-unyu =)

About Sarah Blake (taken from Goodreads)

Sarah taught high school and college English for many years in Colorado and New York. She has taught fiction workshops at the Fine Arts Works Center in Provincetown, MA, The Writer’s Center, in Bethesda MD, The University of Maryland, and The George Washington University. She lives in Washington DC with her husband, the poet Joshua Weiner, and their two sons.

From the bookshelf

Categories

Looking for Something?

Enter your email address to follow Books to Share and receive notifications of new posts by email.

Join 1,036 other followers

Currently Reading

I’m a Proud Member! #BBI 1301004

Wishful Wednesday Meme

Fill your Wednesdays with wishful thinking =)

Popsugar Reading Challenge 2018

bookworms

  • aleetha
  • althesia
  • alvina
  • ana
  • annisa
  • bzee
  • dewi
  • dion
  • fanda
  • Ferina
  • helvry
  • inne
  • Kobo
  • maya
  • mei
  • melmarian
  • mia
  • ndari
  • nophie
  • oky
  • peri hutan
  • ren
  • Reygreena
  • sel sel kelabu
  • sinta
  • tanzil
  • tezar
  • yuska

shop til you drop

  • abe books
  • Amazon
  • better world books
  • book depository
  • BukaBuku
  • Buku Dedo
  • bukukita
  • vixxio

Top Posts & Pages

  • Lima Sekawan - The Series
    Lima Sekawan - The Series
  • Lethal White by Robert Galbraith
    Lethal White by Robert Galbraith
  • Dongeng-Dongeng Grimm Bersaudara
    Dongeng-Dongeng Grimm Bersaudara
  • The House in the Cerulean Sea by T.J. Klune
    The House in the Cerulean Sea by T.J. Klune
  • Abarat 2: Days of Magic, Nights of War by Clive Barker
    Abarat 2: Days of Magic, Nights of War by Clive Barker

Recent Comments

When the Stars Go Da… on The Paris Wife
Hapudin Bin Saheh on Insomniac City: New York, Oliv…
The Case of the Pecu… on The Case of the Left-Handed La…
astrid.lim on Lorong Waktu by Edward Pa…
nina on Lorong Waktu by Edward Pa…

Create a free website or blog at WordPress.com.

Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
  • Follow Following
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Join 1,036 other followers
    • Already have a WordPress.com account? Log in now.
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Customize
    • Follow Following
    • Sign up
    • Log in
    • Report this content
    • View site in Reader
    • Manage subscriptions
    • Collapse this bar
 

Loading Comments...