• About this blog
  • Clearance Sale!
  • Newbery Project
  • Popsugar Reading Challenge 2022
  • Previous Challenges
    • BBI Read and Review Challenge 2017
    • Challenges 2014
    • Challenges 2015
    • Lucky No.14 Reading Challenge
    • Lucky No.15 Reading Challenge
    • POPSUGAR Reading Challenge 2017
    • Popsugar Reading Challenge 2018
    • Popsugar Reading Challenge 2020
    • Popsugar Reading Challenge 2021
    • What’s in a Name 2018
    • Twenty-Ten Challenge
    • Challenges 2012
    • Challenges 2013
  • Round Ups
  • The Librarian

~ some books to share from my little library

Tag Archives: teens

Klik!

15 Friday Feb 2013

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ 4 Comments

Tags

bahasa indonesia, fantasi, FYE challenge, gift, Gramedia, puzzle, teens, terjemahan

klikJudul: Klik!

Penulis: Eoin Colfer, Linda Sue Park, Ruth Ozeki, Nick Hornby, Tim Wynne-Jones, David Almond, Gregory Maguire, Deborah Ellis, Margo Lanagan, Roddy Doyle

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2012)

Pages: 228p

Gift from: Mbak Maria (@HobbyBuku)

Usia Kelayakan Baca: 12 y.o. and up

Ketika sepuluh orang penulis fantasi dan kontemporer berkumpul untuk membuat satu kisah yang terdiri dari sepuluh bab, maka yang terjadi adalah labirin misteri yang akan membawa kita ke arah yang tak terduga.

Kisah diawali dengan Maggie dan Jason yang baru saja kehilangan kakek mereka Gee, seorang fotografer hebat yang sudah berkeliling dunia. Gee mewariskan sekotak kerang untuk Maggie, serta setumpuk foto dan kamera untuk Jason. Namun warisan tersebut ternyata memiliki makna lebih dalam daripada sekadar kenang-kenangan. Kakek Gee ingin memperlihatkan dunia kepada Maggie dan Jason, membawa mereka keluar dari cangkang kehidupan yang nyaman, dan mencoba mencari jati diri masing-masing.

Sementara itu kisah bergulir mengajak kita bertemu dengan orang-orang yang kehidupannya telah disentuh oleh Gee di masa lalu, dan memiliki kaitan dengan kerang maupun foto-foto warisan Gee. Dari sanalah misteri kehidupan Gee mulai terungkap, membawa Maggie dan Jason ke dalam perjalanan panjang menyusuri masa lalu dan masa depan.

Yang menarik dari buku ini adalah bagaimana sepuluh orang penulis dapat merangkai sepuluh kisah menjadi satu kesatuan utuh. Layaknya puzzle, tiap penulis memiliki satu keping jigsaw yang harus cocok dengan kepingan lainnya. Setiap bab dibawakan dengan gaya dan ciri khas masing-masing, memberikan warna tersendiri yang akan menyatu dengan keseluruhan cerita.

Ruth Ozeki misalnya, menulis bab “Jiro” dengan latar belakang perang di Jepang yang sangat kental emosinya. Sedangkan Roddy Doyle, penulis yang berasal dari Irlandia, bercerita dalam bab “Vincent” dengan gaya khas Irlandianya yang konyol dan super kocak.

Favoritku adalah bab “Lev” yang ditulis oleh Deborah Ellis. Setting penjara di Rusia beserta penghuninya yang unik dibuat lucu namun tragis, menjadikan Lev salah satu tokoh favoritku dalam buku ini. Bab lainnya yang juga menarik adalah tulisan Nick Hornby tentang Maggie dan perjalanannya ke Perancis untuk menyelidiki masa lalu Gee. Ditulis dengan lancar mengalir khas Nick Hornby, ini adalah salah satu bab paling realistis di tengah sekumpulan kisah fantastis dalam buku ini.

Yang sedikit mengganjal buatku adalah ke mana ending buku ini dibawa oleh para penulis. Memang sebagian besar dari mereka adalah penulis genre fantasi, tapi awal kisah yang begitu realistis membuatku berharap tidak terlalu banyak unsur fantasi yang dimasukkan disini. Namun justru ke sanalah kisah dibawa, dengan bab terakhir bersetting dimasa depan yang futuristik dan dilengkapi oleh bumbu science fiction. Mungkin kunci dari menikmati buku semacam ini adalah jangan menebak dan jangan berharap. Ikuti saja alurnya, dan bersiap untuk dibawa ke dunia yang berbeda.

Trivia:

Setiap penulis dalam buku ini mengambil sudut pandang berbeda, dan masing-masing memiliki ide yang berbeda pula dalam melanjutkan kisah ini dan menulis babnya. Berikut beberapa detail yang memicu ide mereka (sumber dari sini):

Linda Sue Park: karakter Gee ternyata terinspirasi dari seseorang yang dikenalnya, mentor sekaligus sahabatnya yang bernama Dwight “D” Follet.

Eoin Colfer mengambil sudut pandang Jason dan menciptakan karakter anak lelaki tersebut berdasarkan satu kalimat yang Jason ucapkan di bab Linda Sue Park, yaitu “Yeah, Yeah”

Tim Wynne-Jones sangat gembira sekaligus tak percaya saat tahu kalau ia akan share menulis di buku yang sama dengan “the Nick Hornby”. Tapi karakter yang membuatnya penasaran justru Jason versi Eooin Colfer.

Gregory Maguire adalah penulis yang harus merangkum kesembilan cerita sebelumnya dalam bab pamungkas. Ia mengaku ini merupakan tantangan luar biasa karena kesembilan cerita yang ada begitu berwarna. Akhirnya, ia memadukan berbagai karakter dan background cerita, termasuk setting masa depan dan dunia paralel, menjadi bab akhir yang memukau.

posting ini juga diikutsertakan dalam Fun Year Event with Children’s Literature yang di-host oleh Bacaan Bzee, kategori misteri

Come join the event!

Come join the event!

Before I Fall

10 Monday Dec 2012

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ 11 Comments

Tags

bullying, dramatic, english, fiction, rent, teens, tragedy

Before-I-FallTitle: Before I fall

Writer: Lauren Oliver

Publisher: Hodder & Stoughton (2010)

Pages: 344p

Rent: ReadingWalk

How does it feel to re-live your last day on Earth over and over again?

Terrible, at least that’s what Samantha Kingston felt when she woke up after she had a car accident the previous night, and realized that she was facing the exact same day! She knew what exactly would happen: Lindsay, her bestfriend will pick her up, they will be a bit late getting to the school, it’s the cupid day so she will receive nine flowers- including one from Rob her boyfriend, and one from Kent her admirer. She will also make fun of Juliet Sykes, the weirdo of their school, by sending her an anonymous flower. Then the party at Kent’s place, and the accident happens at the end of the party.

Sam knew all of that, but she hasn’t prepared of the things she would learn during her “Groundhog Days”. About her family, her bestfriends and all the secret they had, about life as a bully in high school and why popularity is not as important as it seemed, and most of all – about love, about falling in love and realized how little time you had before you said goodbye to your life.

This is a story about second chance, how you can change the life of others simply by changing yourself first. Life is a series of trial and error, and you will never know what’s the best decision sometimes until it is too late. Sam was lucky because she was given a chance to fix things, to say goodbye decently, to enjoy her life to the fullest because she knew that was her last day on Earth.

At first, this book was a little bit slow and easily made me bored. But after half of it, the story started to get exciting, especially when Sam found out about Lindsay’s secret and the story behind Juliet Sykes. Lauren Oliver masterfully put together the pieces of missing puzzle and made me nodding my head in full satisfaction =)

They say that just before you die, your whole life flashes before your eyes, but that’s not how it happens for me. I see only my greatest hits.

The Carrie Diaries

01 Monday Oct 2012

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 4 Comments

Tags

chicklit, english, fiction, series, teens

Title: The Carrie Diaries

Writer: Candace Bushnell

Publisher: Balzer + Bray (2010)

Pages: 453p

Bought at: Periplus PBJ (IDR 27,5k: bargain price!)

I love Sex & The City, and I love Carrie Bradshaw. She’s a perfect example of how complicated a woman’s mind is in regards to relationships. But behind her fashionable life as a writer in New York City, we never had a glimpse of her past, her life before the beloved NYC. Why did her parents never show up in New York? Even when she met her happy ending by marrying Big, the love of her life?

Candace Bushnell took us a long way to a small suburban town when Carrie was 17 and still a high school student. We get to know her family, her geeky-scientist dad, her mom who was sick and died quite young, her younger sisters, and how helpless Carrie felt sometimes trying to replace her mom’s roles in her family. And also, there were Carrie’s high school buddies.

Carrie was not a popular girl at high school – but she’s not a truly outsider either. She joined swimming team, had a bunch of close friends, and tried to fulfill her dream to become a writer.

One day, her ordinary days changed when Sebastian Kydd came into their peaceful high school, and Carrie’s world was turning upside down. She learned for the first time about love, importance of friendship, the hurtful betrayal, and how to reach out for her dreams.

This book is a very nice companion for all Sex & The City’s fans, especially those who already missed Carrie. Even though it felt hard sometimes to connect this young Carrie (Bradley was her nickname) to the sophisticated writer/socialite/fashionista who lives in Manhattan, but there were certain things inside her that will never change. Her compassion, curiosity and pure sincerity – the ones that will take her to NYC to become the writer she’s always dreaming about.

The next sequel – Summer in the City – will tell stories about Carrie’s first experience stepping into the jungle called New York City.

The Carrie Diaries has already made into TV series – starring Anna Sophia Robb as the young Carrie. Sadly, this series is not as popular as the famous predecessor. But it’s unfair to compare the two items – like comparing chihuahua with a pitbull =)

The Fault in Our Stars

21 Tuesday Aug 2012

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ 8 Comments

Tags

borrowed, cancer, english, fiction, teens

Judul     : The Fault in Our Stars

Penulis : John Green

Penerbit : Dutton Books (2012)

Pages: 313p

Pinjam dari : @ndarow

Hazel Grace Lancaster adalah bukti keajaiban medis: kanker ganas yang menyerangnya berhasil dijinakkan, menyisakan tumor yang semakin mengecil dan memberikannya kesempatan hidup setelah sebelumnya telah kehilangan harapan. Namun hidup Hazel tidak pernah kembali normal: kankernya divonis terminal, membuat paru-parunya tidak dapat berfungsi normal sehingga ia harus selalu membawa-bawa tanki oksigen ke manapun ia pergi.

Kegiatan Hazel hanyalah mengikuti kuliah di community college dekat rumahnya, dan datang ke support group yang diadakan di gedung gereja yang suram. Bahkan teman-teman dekatnya saat sekolah dulu sudah tidak sama sepeti dulu lagi. Hidup tak mungkin lebih suram daripada ini.

Namun suatu hari, Augustus Waters tiba-tiba muncul begitu saja memasuki hidup Hazel. Mantan penderita kanker yang sudah bersih dari pernyakit tersebut, meski harus kehilangan sebelah kakinya akibat amputasi, Augustus (dikenal sebagai Gus di kalangan tertentu) adalah segalanya yang Hazel harapkan – namun belum pernah ia temukan. Cool, percaya diri, cerdas dengan humor sinis yang sarkastik, Augustus adalah belahan jiwa yang tidak pernah Hazel sangka akan mengisi hari-harinya yang entah berapa lama lagi akan tersisa.

Augustus adalah jawaban dari kerinduan Hazel akan hidup yang bermakna, sesingkat apapun itu. Apalagi saat mereka bersama-sama menelusuri jejak penulis misterius yang karya satu-satunya merupakan karya yang menginspirasi mereka berdua. Perjalanan mereka mencari penulis tersebut sekaligus menggambarkan pencarian mereka terhadap arti hidup masing-masing: waktu yang singkat, dan seberapa banyak jejak yang akan mereka tinggalkan di dunia?

The Fault in Our Stars mengukuhkan nama John Green sebagai penulis novel Young Adult papan atas. Tidak ada satu pun karyanya yang tidak menjadi best seller, sekaligus menerima berbagai penghargaan. Dalam novel ini, Green berusaha menjamah dunia yang lebih gelap dan gloomy, meski ia mengakui kalau banyak dari istilah kedokteran (termasuk pengobatan kanker yang dijabarkan dalam buku ini) merupakan imajinasinya belaka.

Namun meski jalan ceritanya begitu menyentuh, ada sesuatu dalam karakter-karakter di buku ini yang kurang mengena bagiku. Mungkin karena mereka terlalu cerdas, dialog-dialognya yang terlalu witty untuk anak-anak 18 tahun, atau simply karena Green terlalu asyik bermain dengan quote-quote yang memorable sampai lupa menambahkan sedikit “jiwa” ke dalam para tokoh utama buku ini, yang menyulitkanku sebagai pembaca untuk merasa simpati pada mereka (selain fakta bahwa mereka adalah para penderita kanker, kehilangan masa muda, masa depan, etc, etc). Meminjam istilah Ndari, mereka terlalu pretensius.

Yang lucu, saat membaca buku ini, aku sempat menulis tweet dan mention@realjohngreen sang penulis, berkomentar tentang salah satu pernyataannya dalam buku yang menyebutkan kalau film V for Vendetta adalah “a boy movie”.

Menanggapi ketidaksetujuanku, surprise, surprise, the famous John Green was actually replying my tweet! Nggak tanggung-tanggung, sampai 4 tweet sambung-menyambung.

@pippopu I don’t think it’s a boy movie (I’m not Hazel). Hazel is making a point about a specific construction of heroism-as-sacrifice…

@pippopu …which at the beginning of the novel she associates with masculinity. By the end, she’s realized that this weird way of…

@pippopu…constructing meaning to human life is far more pervasive than merely being associated with males…

@pippopu although I think Hazel would argue that even though it has become a very widespread idea of heroism, it’s still deeply problematic.

Phew! Even his tweets sound exactly like Augustus Waters! I was wondering whether Mr. Green put every ounce of his brain/personality into his characters, or is he simply becoming his characters? Which one comes first, chicken or egg?

Anyway, I don’t argue about John Green’s credibility, no Sir. I admire his works, his bravity, his compassion. But I am not too crazy of his characters, either. For me, they’re too far away, too witty to be true =) So I rather keep ’em in my books, and try not think too much of them.

BUT…if you are a huge fan of Augustus Waters, maybe you would like to check this tumblr. Dedicated especially for Augustus Waters, his quotes, all his great personality =) Enjoy!

Because you’re beautiful. I enjoy looking at beautiful people, and I decided a while ago not to deny myself the simpler pleasures of existence.

Some infinities are bigger than other infinities.

It would be a privilege to have my heart broken by you.

OK, enough! =)

Wizards

20 Friday Jul 2012

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ 4 Comments

Tags

bahasa indonesia, collaboration, fantasi, fiction, matahati, short stories, teens, terjemahan

Judul: Wizards, Kumpulan Kisah Magis dari Pakar Fantasi Modern

Penulis: Neil Gaiman, Eoin Colfer, Garth Nix, etc

Penerbit: Matahati (2010)

Halaman: 571 p

Beli di: Pesta Buku Jakarta 2010 (IDR 92,5k, disc 30%)

Hampir semua penulis fantasi pernah memasukkan karakter penyihir ke dalam karyanya, baik berbentuk novel maupun cerita pendek. Wizards dengan jeli menangkap fenomena ini, menyatukan 18 cerita pendek dari para penulis fantasi terkenal ke dalam satu buku tebal. Beberapa nama dalam buku ini sangat familiar bagiku, seperti Neil Gaiman dan Eoin Colfer, namun sisanya kebanyakan adalah penulis hardcore fantasi yang baru pernah kudengar dan kubaca karyanya melalui buku ini.

Yang menarik dari Wizards adalah membandingkan konsep penyihir yang terdapat di masing-masing cerpen. Ada beberapa konsep yang umum digunakan oleh beberapa penulis dan dapat dilihat benang merahnya dari cerpen-cerpen mereka, namun ada juga penulis yang memiliki pemikiran sendiri yang cukup berbeda tentang sosok penyihir.

Salah satu hal umum yang ditemui dalam kumpulan cerpen ini adalah hubungan penyihir dengan elemen alam, khususnya batu. Sihir batu dipercaya sebagai salah satu sihir tertua, dan karenanya menjadi favorit banyak penulis dalam menciptakan karakter penyihirnya. Dalam kisah “Stonefather” karya Orson Scott Card, misalnya, yang juga menjadi salah satu favoritku di buku ini, diceritakan tentang Runnel, anak laki-laki buangan yang tidak disukai oleh keluarganya dan melarikan diri dari rumah. Runnel terdampar di sebuah kota dan bekerja di rumah seorang penyihir batu, hingga akhirnya ia menemukan fakta mengejutkan bahwa dirinya pun ternyata memiliki kekuatan menyihir dengan batu. Runnel akhirnya terlibat perseteruan seru antara penyihir batu dan penyihir air yang sudah sejak lama bermusuhan.

Kisah “Penguasa Batu” karya Nancy Kress sedikit mirip. Ceritanya tentang seorang anak berandalan yang baru mengetahui kalau dirinya menyimpan kekuatan sihir batu setelah berhasil terhindar dari sebuah kecelakaan. Ia dipaksa untuk memilih bergabung dengan salah satu kubu: si baik dan si jahat. Satu lagi kisah penyihir batu yang cukup mencekam dan membuat merinding adalah “Istri Winter” karangan Elizabeth Hand. Tersebutlah seorang perempuan misterius yang datang dari Iceland dan menjadi istri salah seorang pentolan desa, Winter. Istri Winter ternyata mewarisi kekuatan sihir kuno yang luar biasa, yang akhirnya digunakannya untuk membalas kelakuan jahat seorang penguasa desa. Menurutku kisah ini adalah salah satu yang paling kelam, sekaligus ditujukan lebih kepada pembaca dewasa ketimbang anak-anak.

Selain sihir elemental, beberapa penulis sepertinya tertarik meneruskan trend Harry Potter, dengan menghadirkan suasana sekolah sihir yang memang cukup potensial dijadikan setting cerita yang menarik. “Hari Penamaan” oleh Patricia McKillip merupakan kisah lucu tentang seorang siswi sekolah sihir yang sudah menanti-nantikan hari pentingnya di sekolah, namun ternyata harus menghadapi peristiwa aneh yang melibatkan nenek sihir jahat terlebih dahulu. Sedangkan di “Magikker”, Terry Dowling berkisah tentang dilema seorang siswa berbakat mengenai masa depannya dan resiko kehilangan bakat sihirnya.

Sebagian penulis juga dengan lihainya menggabungkan kisah sihir modern dengan legenda yang sudah terkenal, seperti kisah “Binatang Ajaib” karya Gene Wolfe yang bercerita tentang seorang gadis masa kini yang jatuh cinta pada Merlin, si penyihir legendaris. Atau “Holly dan Besi”,karya Garth Nix, yang mengisahkan perseteruan kaum Norman dengan kaum Inglish dalam sudut pandang sihir.

Dua penulis yang karya-karyanya sudah familiar bagiku ikut menyumbangkan kisah mereka dengan ciri khas masing-masing. Neil Gaiman menghadirkan “Batu Nisan Sang Penyihir”, penggalan segmen dari novel The Graveyard Book yang fenomenal, lengkap dengan gaya gothicnya, tentang seorang anak yang dibesarkan di pemakaman oleh hantu-hantu baik hati. Sedangkan Eoin Colfer, si penulis Artmeis Fowl yang terkenal, kembali melucu dalam “Kisah Unggas” dengan tokoh utama seekor burung pembohong =)

Secara keseluruhan, Wizards dikemas dengan menarik, mewakili hampir setiap sub genre fantasi (jadi baru ngeh kalau ada yang namanya urban fantasy-lah, high fantasy, dan lain-lain). Meski ada beberapa cerita yang sedikit absurd untuk seleraku, juga ada yang agak membosankan, tapi aku menyukai sebagian besar kisah yang ada. Recommended to any fantasy lover!

Tahukah kamu?

Wizard alias penyihir yang paling terkenal dalam literatur sempat dipegang oleh Merlin, yang kisahnya sudah diadaptasi ribuan kali dalam berbagai bentuk dan jenis, bahkan menjadi cameo dalam banyak kisah modern. Namun seiring waktu, bocah yang bertahan hidup akhirnya mengalahkan kepopuleran Merlin dan kini dinobatkan sebagai penyihir paling terkenal dalam literatur. Yep, I’m talking about the famous Mr. Potter! Kepopuleran Gandalf juga sempat terangkat berkat film trilogi Lord of The Rings yang super sukses. Nah, kalau the most famous witch in literature, siapa ya? Apa Hermione Granger menempati urutan pertama saat ini?

 

 

The Dead and The Gone

12 Thursday Jul 2012

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ 1 Comment

Tags

dystopian, english, fantasi, fiction, series, TBR challenge, teens

Title: The Dead and The Gone

Writer: Susan Beth Pfeffer

Publisher: Graphia (2008)

Pages: 319 p

Bought at: Kramerbooks & Afterwords – Washington, DC (USD 7,99)

After reading the terrifying story from Miranda’s journal in Life As We Knew It, in the second installment of the series, we were taken to New York City, looking at the effects of this disaster from another point of view. Alex Morales was a high school student – with scholarship and bright future- living in an apartment in NYC. His dad was a superintendent for the apartment (that’s why they could live in the building), and his mom worked in a hospital. Carlos, Alex’s older brother joined the marine some time ago, so Alex now only lived with his sisters: Brianna, the devoted catholic girl and Julie, who was a bit of a rebel.

When the moon hit by asteroid, Alex’s dad was in Puerto Rico for family visit, and his mom was working in the hospital. Alex couldn’t reach them and heard nothing from them, he didn’t know if they’re actually still alive. Alex didn’t have many choices, he had to take care of his sisters, and being responsible on their safety.

In the crazy situation that followed the disaster : chaos in the city, no electricity, ashes in the air, and no food – Alex had to make every decision carefully for his sisters. Should he send Brianna to the convent north of the town, suggested by their priest in church? Should he keep looking for his mom’s body in the Yankee Stadium, or keep on hoping that she’s still alive? And how to deal with Julie, the teenage rebel in their family, so she can obey him all the time?

The Dead and The Gone was not as tense as its predecessor, Life As We Knew It. Probably because the element of surprise was already gone, or maybe because the setting of this book, in a big city like New York, the tragedy didn’t hit as hard as in a small town in Pennsylvania. The communication line and electricity were still there even though they’re not as reliable as used to be. And there’s still food delivery from government – not to mention the black market.

But the situation was still rough – bodies were everywhere, even Alex had to learn to go “body shopping” – taking every valuable things from a body to be sold to the black market. The survival skills needed in NYC were quite different than the ones needed in Pennsylvania.

Somehow, the characters in this book were not as likable as the ones in previous book. Sure, the Latino-Catholic background was quite interesting, and having a guy as a main character is a nice change. But still, this book is lack of something. Something that can make you connect with the characters, feeling worry and sad for them.

Anyway, that’s a risk of writing (and reading) a series, right? You will always compare. Let’s see how I feel about the final installment!

 

Amy & Roger’s Epic Detour

10 Tuesday Jul 2012

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ 5 Comments

Tags

borrowed, english, fiction, romance, teens, travel

Judul: Amy & Roger’s Epic Detour

Penulis: Morgan Matson

Penerbit: Simon & Schuster (2010)

Halaman: 343 p

Pinjam dari: @ndarow


Setelah merasa depresi membaca beberapa buku tegang berturut-turut, @ndarow menyelamatkanku dengan meminjami sebuah buku ringan-menyenangkan, Amy & Roger’s Epic Detour. Dari judulnya saja sudah mengingatkan dengan buku-buku lucu sejenis, Dash & Lily’s Book of Dares atau Nick & Noah’s Infinite Playlists =)

Amy Curry baru mengalami tragedi menyedihkan yang menyebabkannya kehilangan seorang ayah, sekaligus menimbulkan trauma mengemudikan mobil. Namun musim panas ini, Amy harus membawa mobil keluarganya melintasi benua Amerika Utara, dari California di bagian barat Amerika ke Connecticut di bagian ujung timur, tempat rumah barunya berada dan ibunya yang sudah menunggu di sana.

Karena Amy belum siap untuk mengemudi, apalagi jarak yang ditempuh juga sangat jauh, ibunya meminta bantuan Roger, anak salah seorang teman keluarga mereka, untuk mengemudikan mobil tersebut dan membawa Amy melintasi Amerika Serikat. Ibu Amy bahkan sudah menentukan jalur yang harus mereka tempuh, yang rencananya dapat diselesaikan dalam 4 malam: California – New Mexico – Oklahoma – Indiana -Ohio – Connecticut.

Namun, ternyata Roger pun memiliki masalahnya sendiri, mimpi masa lalu yang masih harus ia selesaikan.

Maka dimulailah petualangan road trip tak terlupakan bagi Amy dan Roger, apalagi saat mereka memutuskan untuk mengambil “detour” dan keluar dari jalur yang sudah direncanakan sebelumnya, sambil berusaha menyelesaikan masalah mereka masing-masing. Siapa sangka Amerika menawarkan begitu banyak tempat menyenangkan, fast food yang lezat dan khas di setiap daerah, dan bahkan orang-orang yang ditemui sambil lalu, namun ternyata memberikan pelajaran hidup dan kenangan yang tak terlupakan.

Amy & Roger’s Epic Detour adalah kisah perjalanan mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang masih menggantung. Amy dan Roger bukan saja menempuh perjalanan melintasi benua Amerika, namun perjalanan menemukan dan menuntaskan hantu masa lalu mereka, sambil secara tak sengaja, mengenal satu sama lain dengan cara-cara tak terduga.

This is a very fun and light reading, with lots of traveling tips and cute knick-knacks, inculding nice playlists, cool pictures and memorabilia, since Amy tried to write about the journey in her journal. Yang juga menyenangkan, road trip ini terasa begitu nyata karena sang penulis menempuh sendiri perjalanan ini, sambil mengumpulkan pernak-pernik yang dirangkumnya di dalam buku.

Ceritanya sendiri very-very predictable, tapi untungnya ditulis dengan ringan dan mengalir. Karakternya pun masih sangat relate dengan pembaca: Amy yang dipenuhi kesedihan dan rasa bersalah, membuka diri perlahan-lahan, serta Roger yang terobsesi dengan masa lalunya, dan untungnya digambarkan tidak terlalu sempurna. Cara mereka saling mengenal pun tidak terlalu terasa instan seperti kebanyakan novel YA sekarang. Tahapannya masih termasuk masuk akal, ditambah dengan perbedaan yang pelan-pelan justru menjadi kunci kebersamaan mereka (Hint: Playlist Roger yang penuh lagu-lagu dari band keren dan gaul, sementara Amy terlalu malu untuk memutar playlistnya yang penuh lagu-lagu musikal kegemarannya yang tidak bisa dibilang cool).

Sementara itu, setting buku tentu saja tertolong dengan landscape Amerika Serikat yang super interesting, dan fakta-fakta menarik seputar tiap negara bagian. Serasa ada di sana waktu Amy & Roger terdampar di The Loneliest Road in America, atau mencicipi burger crumbly ala Kansas, atau mampir di Graceland kampung halamannya Elvis…Aku malah baru tahu kalau banyak restoran fast food yang hanya ada di negara bagian tertentu. Pantesan waktu ke sana tahun lalu, dan sempat mencicipi Burger In & Out yang super yummy di LA, dicari ke tempat lain nggak pernah nemu. Ternyata memang cuman ada di California =)

Anyway, be prepare to have a sudden craving for doing road trip (especially in the US hahaha) after you read this book!

epic detour: california-nevada-utah-colorado-kansas-missouri-kentucky-north carolina-west virginia-pennsylvania-connecticut!!!


Life As We Knew It

05 Thursday Jul 2012

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ 10 Comments

Tags

dystopian, english, fiction, series, TBR challenge, teens, tragedy

Title: Life As We Knew It

Writer: Susan Beth Pfeffer

Publisher: Graphia (2006)

Pages: 337 p

Bought at: Kramerbooks & Afterwords – Washington, DC (USD 7,99)


Miranda Evans was an ordinary teenage girl living in a small town in Pennsylvania. She worried a lot about her grades in school, college plans, boys and dating, and she picked up swimming after she had an injury and couldn’t continue figure skating as her hobby. This summer, she’s looking forward to seeing her father who lived with her stepmom, Lisa, in Springfield.

But who knows? This summer was not like every other summer. Because everything changed. Big time.

It started when an asteroid hit the moon and made it moved outside the orbit, closer to the Earth. Suddenly, disasters happened all over the world. Flood, tsunamis, thunderstorm, and volcanoes, making the air full with ashes and even breathing became harder and harder everyday. The crops were dying because the sun didn’t even shine its light due to the ashes in the air. And the weather changed drastically – snowing in August and freezing before December.

The worst of it all was the food became scarce. And all the communication line was cut off, including electricity. Miranda never thought how lucky she was when she used to have all the things she needed: food, water, warm weather, electricity and internet, and took them for granted. The assurance that everything will be okay eventually.

Now, all of it were gone, replaced by fear, hunger, and not a single hope that the Earth will be back as it used to be. Not to mention the future existence of the mankind.

Written in the form of diary from Miranda’s point of view, Life As We Knew It was surprisingly real and believable, made me think a lot about things I took for granted, and how does it feel to lose all of it in a split second, facing an uncertain life and future, living in fear and waiting in vain for something good to happen. Miranda’s vivid details of her feelings, and her struggle to survive with her family, her protective mom, her older brother Matt and younger brother Jon, who suddenly looked very grown up because of all the grief they faced – it’s all been very convincing.

And the scary fact about hunger: how does it feel to know that one day there will be no food, even though you tried so hard to save all you have, eating as little as you could – when a can of chicken soup means one more day of survival… And the people were gone one by one, until one day Miranda was sure that they were the last living family on Earth.

Life As We Knew It is a terrible story about how the world could come to end without us being prepared for it. It’s very realistic, very logical, that I could feel the fear inside my bone. This book reminds me of the depressing feeling I had when reading The Road, only this time it was told from a teenager’s point of view. Miranda was a very good narrator, her story was so real and genuine, and I could relate much to her worries, fear and even her hunger. How she tried so much to grow up just like her brothers, but still had all the teenage baggage with her: arguing with her mom, self pitying herself, and even thinking about boy, about the prom she would never have. What made this book more real is the “waiting” factor. Miranda’s family was not affected directly with the disaster (there was no volcanoes or tsunamis inside this book), but they felt it in their every day’s lives – from the never ending hunger and the anxiety of hearing good news, and the loneliness.

I truly recommend this book for people who crave for good disaster/dystopian Young Adult novel – without too much romance in it. I can’t say the same about the next two book in this series (there will be separate reviews of them!), but still, this series is better than most of the current YA – dystopian – romance trend.

moon orbiting the earth – and how i pray it will always stay like this!


Miss Peregrine’s Home for Peculiar Children

29 Friday Jun 2012

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ 34 Comments

Tags

BBI, creepy, english, fantasi, fiction, gothic, teens

Judul: Miss Peregrine’s Home for Peculiar Children

Penulis: Ransom Riggs

Penerbit: Quirk Books (2011)

Halaman: 352 p

Beli di: Kinokuniya Plaza Senayan (IDR 188k)


The Blurb: A mysterious island, an abandoned orphanage, a strange collection of very peculiar photographs.

The Cover: a black and white old photograph of a little girl hanging in the air.

Sounds scary enough?

Jacob Portman adalah anak laki-laki 16 tahun yang berasa dari keluarga berada. Keluarga ibunya memiliki jaringan supermarket di Amerika Serikat, sehingga ayahnya tidak perlu bekerja keras dan bisa menekuni obsesinya menjadi ahli burung dan bercita-cita menulis buku tentang hewan tersebut. Hidup Jacob di Florida membosankan, seandainya saja tidak ada Kakek Portman yang gemar menceritakan masa lalunya yang misterius pada Jacob, di mana ia menghabiskan masa Perang Dunia II di sebuah panti asuhan yang terletak di pulau terpencil di daerah Wales.

Menurut Kakek, di panti asuhan ini tinggal anak-anak yang serba aneh, ada yang bisa menghilang, melayang di udara, membuat api dengan tangan kosong, bahkan mengangkat batu ukuran raksasa. Yang membuat ceritanya lebih terasa real adalah bukti berupa foto-foto hitam putih anak-anak ini, yang sering ditunjukkan kepada Jacob. Jacob memercayai kisah-kisah ini dan menganggap kakeknya sosok pahlawan super, hingga ia tumbuh dewasa dan menyadari bahwa kakeknya tak lebih dari orang tua biasa yang memiliki trauma menghadapi Nazi di Perang Dunia II sebagai seorang anak Yahudi. Sikap paranoid sang kakek dikejar-kejar monster tak bernama juga dianggap Jacob sebagai sisa-sisa ketakutan masa lalu.

Namun, semuanya berubah saat Kakek Portman meninggal secara misterius. Jacob jadi ragu sendiri, haruskah ia memercayai cerita-cerita gila kakeknya? Apakah ada kebenaran di balik itu? Akhirnya dengan ditemani sang ayah, dan atas anjuran psikiaternya, Jacob berangkat ke pulau terpencil di Wales, tempat kisah Kakek Portman berawal. Namun apa yang ditemukannya di pulau tersebut, membuat Jacob tidak tahu lagi mana yang fakta dan mana yang hanya merupakan imajinasinya belaka.

Miss Peregrine’s memiliki semua premis yang dibutuhkan oleh sebuah kisah horror yang menggelitik: blurb yang membuat merinding, setting panti asuhan tua yang mencekam, misteri anak-anak aneh, cover yang mengerikan, serta foto-foto hitam putih yang super creepy. Jadi tidak aneh kalau buku ini masuk dalam list buku-buku bergenre gothic versi Goodreads, membuatku langsung memilihnya saat BBI memutuskan untuk membaca bareng genre ini di bulan Juni.

perhatiin bayangan cewek kecil di foto paling kanan deeeh… hiiiiyyyy

Namun siapa sangka, aura gothic ternyata hanya selapis luar saja.

Di pertengahan cerita, Ransom Riggs memorak-porandakan segala unsur horror yang sudah tersusun rapi itu dengan twist bernuansa fantasi yang sedikit absurd, layaknya menyematkan adegan-adegan film X Men di tengah film horror ala Alfred Hitchcock. Yang bisa menolong pembaca dari perasaan kecewa (karena sudah siap untuk ditakut-takuti) adalah foto-foto aneh yang diselipkan di sepanjang cerita, memberikan gambaran creepy yang lebih nyata tentang anak-anak asuhan Miss Peregrine ini.

Sebenarnya buku ini tidak buruk lho, malah terasa charming dengan karakter-karakter unik yang membuat penasaran. Hanya saja segala unsur tadi itu terlanjur menciptakan ekspektasi yang salah pada pembaca, yang sudah mengharapkan cerita seram kelam yang penuh nuansa gothic. Aku sendiri antara lega dan kecewa saat menyadari buku ini tidak semenyeramkan yang sudah dibayangkan. To tell you the truth, I hate horror books. Jadi senang juga karena tidak jadi ditakut-takuti =D Tapi sayangnya, jadi gagal juga membaca buku yang 100% penuh aura gothic =(

Anyway, tetap direkomendasikan kok untuk yang menyukai cerita-cerita aneh, quirky, sedikit creepy, dengan twist yang fantastis =D

Ransom Riggs tinggal di Los Angeles, California. Selain Miss Peregrine’s, Riggs sudah menulis buku non-fiksi tentang Sherlock Holmes dan saat ini, ia sedang mengerjakan sekuel dari Miss Peregrine’s. Kabarnya, Miss Peregrine’s akan diadaptasi ke layar lebar oleh Tim Burton. (Mungkin unsur gothicnya lebih terasa dalam film?) Cast nya masih dirahasiakan, tapi dream cast ini lumayan sejalan dengan pikiranku.

The Perks of Being Wallflower

01 Friday Jun 2012

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ 19 Comments

Tags

borrowed, english, fiction, guylit, teens

Judul: The Perks of Being Wallflower

Penulis: Stephen Chbosky

Penerbit: Pocket Books (1999)

Halaman: 232p

Pinjam dari @ndarow


Wallflower: a type of loner. seemingly shy folks who no one really knows. often some of the most interesting people if one actually talks to them. cute. (From Urban Dictionary)

Charlie baru saja masuk SMA, dan kenyataan itu membuatnya takut, karena ia bukanlah anak yang gampang bergaul, tidak populer, dan tidak punya banyak teman. Socially awkward lah. Kehidupannya di bangku SMA berubah membaik saat ia bertemu dengan kakak beradik nyentrik namun baik hati, Patrick (cowok gay yang naksir berat sama pemain football ganteng), dan Sam (cewek yang menjadi cinta pertama Charlie).

Dengan bantuan Patrick dan Sam, beserta kelompok teman-teman mereka yang tak kalah nyentrik, Charlie berusaha survive di tahun pertama SMA nya, mengatasi rasa insecure, tidak belong di manapun, dan kesendirian yang kadang terasa begitu menyakitkan. Kenapa ia harus berbeda dari kebanyakan teman-temannya? Kenapa ia tidak pernah merasa nyaman dengan dirinya sendiri? (Sounds familiar, eh?)

Dan memang ada hal-hal yang tidak dapat dihindari saat SMA (I remember how scary my high school days were): kencan pertama, party tanpa orang tua, prom, sapaan-sapaan di lorong sekolah, geng anak-anak keren dan gerombolan para geeks…ahhh…I’m glad I’m over it now =D

Di balik sifatnya yang selalu ingin menyenangkan orang lain, Charlie ternyata menyimpan masa lalu yang misterius, yang bahkan tidak akan terkuak sampai akhir cerita.

Perks of Being Wallflower adalah coming of age story yang (lagi-lagi) aku harap bisa aku baca 10 tahun (atau 15? hehe) yang lalu. Karena membaca buku ini tak lama setelah Getting The Girl – nya Markus Zusak, mau tidak mau aku jadi membandingkan karakter Charlie dengan Cameron Wolfe, yang sama-sama tenggelam dalam hiruk pikuk hidup masa remaja, dan tetap merasa sendiri. Bakat menulisnya pun mirip: bila Cameron mengungkapkan perasaannya lewat tulisan-tulisan singkat untuk dirinya sendiri, maka Charlie memilih untuk menulis surat kepada seseorang yang tidak dikenal (dan tidak mengenalnya), yang sampai akhir pun masih tetap misterius identitasnya (mungkinkah itu Sam? )

Beberapa karakter lain dibuat cukup menarik dan memiliki porsi tersendiri dalam perkembangan karakter Charlie: Bill, guru bahasa Inggris yang sadar akan kecerdasan Charlie dan membantunya menemukan jati diri melalui berbagai buku yang ia pinjamkan, Candace, kakak perempuan Charlie yang sangat cantik namun selalu memiliki masalah dengan laki-laki, dan tentu saja Patrick dan Sam, dengan geng mereka yang ajaib namun berperan penting dalam hidup Charlie.

Perks sangat-sangat aku rekomendasikan untuk anak-anak SMA di luar sana, yang masih mencari jati diri, yang masih mencari di mana mereka belong. Dan itulah menyenangkannya tumbuh dewasa di era buku-buku bagus seperti sekarang ini. You feel that you are not alone. That there will always be Charlie or Cameron out there. And one day, these too, shall pass =)

Perks of Being Wallflower sudah diangkat ke layar lebar dan akan rilis bulan September ini, dengan Logan Lerman sebagai Charlie, Emma Watson sebagai Sam, Nina Dobrev sebagai Candace, dan Paul Rudd sebagai Bill. A must see movie for sure!

 

← Older posts
Newer posts →

From the bookshelf

Categories

Looking for Something?

Enter your email address to follow Books to Share and receive notifications of new posts by email.

Join 1,037 other followers

Currently Reading

I’m a Proud Member! #BBI 1301004

Wishful Wednesday Meme

Fill your Wednesdays with wishful thinking =)

Popsugar Reading Challenge 2018

bookworms

  • aleetha
  • althesia
  • alvina
  • ana
  • annisa
  • bzee
  • dewi
  • dion
  • fanda
  • Ferina
  • helvry
  • inne
  • Kobo
  • maya
  • mei
  • melmarian
  • mia
  • ndari
  • nophie
  • oky
  • peri hutan
  • ren
  • Reygreena
  • sel sel kelabu
  • sinta
  • tanzil
  • tezar
  • yuska

shop til you drop

  • abe books
  • Amazon
  • better world books
  • book depository
  • BukaBuku
  • Buku Dedo
  • bukukita
  • vixxio

Top Posts & Pages

  • Red, White & Royal Blue by Casey McQuiston
    Red, White & Royal Blue by Casey McQuiston
  • A Feast for Crows by George R.R. Martin
    A Feast for Crows by George R.R. Martin
  • Dongeng-Dongeng Grimm Bersaudara
    Dongeng-Dongeng Grimm Bersaudara
  • Five Little Pigs
    Five Little Pigs
  • Station Eleven by Emily St.John Mendel
    Station Eleven by Emily St.John Mendel

Recent Comments

When the Stars Go Da… on The Paris Wife
Hapudin Bin Saheh on Insomniac City: New York, Oliv…
The Case of the Pecu… on The Case of the Left-Handed La…
astrid.lim on Lorong Waktu by Edward Pa…
nina on Lorong Waktu by Edward Pa…

Create a free website or blog at WordPress.com.

Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
  • Follow Following
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Join 1,037 other followers
    • Already have a WordPress.com account? Log in now.
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Customize
    • Follow Following
    • Sign up
    • Log in
    • Report this content
    • View site in Reader
    • Manage subscriptions
    • Collapse this bar
 

Loading Comments...