• About this blog
  • Clearance Sale!
  • Newbery Project
  • Popsugar Reading Challenge 2022
  • Previous Challenges
    • BBI Read and Review Challenge 2017
    • Challenges 2014
    • Challenges 2015
    • Lucky No.14 Reading Challenge
    • Lucky No.15 Reading Challenge
    • POPSUGAR Reading Challenge 2017
    • Popsugar Reading Challenge 2018
    • Popsugar Reading Challenge 2020
    • Popsugar Reading Challenge 2021
    • What’s in a Name 2018
    • Twenty-Ten Challenge
    • Challenges 2012
    • Challenges 2013
  • Round Ups
  • The Librarian

~ some books to share from my little library

Tag Archives: new york

The Secret Runners of New York by Matthew Reilly

06 Thursday Feb 2020

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ Leave a comment

Tags

america, dystopia, english, fiction, mystery/thriller, new york, popsugar RC 2020, post apocalypse, school, science fiction, time travel, young adult

Judul: The Secret Runners of New York

Penulis: Matthew Reilly

Penerbit: Hot Key Books (2019)

Halaman: 341p

Beli di: Book Depository (IDR 111,640)

I love running and I love New York, so this book intrigued me immediately.

Skye dan saudara kembarnya, Red, baru pindah ke New York karena ibu mereka menikah dengan seorang jutawan yang tinggal di salah satu apartemen paling bergengsi di dunia, San Remo. Mereka bersekolah di The Monmouth, institusi elite yang murid-muridnya terdiri dari anak orang-orang paling berpengaruh.

Skye berusaha tampil tidak menonjol untuk menghindari bullying dan drama yang bertebaran di sekitarnya, namun ia malah terseret masuk ke kelompok paling elite di sekolah. Pemimpin grup tersebut, Misty, membagikan rahasia paling gila yang pernah didengar Skye: mereka memiliki kunci ke gerbang tersembunyi di Central Park, yang berfungsi sebagai portal dan bisa membawa mereka masuk ke dunia New York di masa depan.

Namun suatu ekspedisi ke beberapa puluh tahun mendatang membuat mereka melihat kondisi New York yang seperti kota mati. Apa yang terjadi? Apakah ramalan kiamat akibat adanya gelombang mematikan yang melewati bumi benar-benar menjadi kenyataan? Apa yang bisa dilakukan Skye dan teman-temannya untuk menyelamatkan diri?

Unexpectedly, I was hooked to this book. Sebetulnya saya tidak punya ekspektasi macam-macam, dan ternyata kisah buku ini lumayan memikat juga. Gabungan antara thriller dan misteri, action apocalyptic, dan drama sekolah ala Gossip Girl- plus setting di kota New York yang eerie terutama di masa depan, semuanya berhasil diramu Matthew Reilly dengan cukup memuaskan. Memang, beberapa karakternya terasa agak superficial dan stereotype, seperti pimpinan geng yang bitchy, antek-anteknya yang bodoh, atau cowok idola yang super perfect. Tapi secara keseluruhan, karakter-karakternya masih terasa relatable, dan plot time travel dan post apocalypse nya dibuat dengan cukup cermat tanpa meninggalkan terlalu banyak holes.

Satu quote yang memorable bagi saya adalah ketika salah seorang karakter berkata bahwa tanpa manusia, alam akan pelan-pelan mengambil alih kehidupan di bumi, dan semua jejak-jejak peradaban manusia akhirnya akan terhapus oleh kekuatan alam: pohon, tumbuhan, bahkan binatang akan menjadi penghuni bumi yang baru.

And in a way, saya jadi berpikir: mengingat kondisi bumi yang semakin hancur dan rusak, apakah mungkin pada akhirnya itulah yang akan terjadi?

Submitted for:

Kategori: A book with a mapschool

 

Behold The Dreamers by Imbolo Mbue

22 Friday Feb 2019

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ Leave a comment

Tags

african american, america, english, fiction, immigrant, new york, politics, race

Judul: Behold The Dreamers

Penulis: Imbolo Mbue

Penerbit: Random House (2016)

Halaman: 382p

Beli di: Periplus.com (IDR 105k, bargain price!)

Jende Jonga datang dari Kamerun ke Amerika Serikat dengan sejuta impian: menjadi orang sukses, memberikan kesempatan pada anaknya untuk hidup yang lebih baik, dan merasakan tinggal di negara maju yang sepertinya bisa mengabulkan apapun mimpi rakyatnya.

Apakah kenyataannya semudah itu? Tentu tidak. Ada berbagai isu yang harus dihadapi Jende: urusan visa dan imigrasi yang ternyata lebih rumit dari yang ia kira, ketakutan akan dideportasi karena permohonan asilumnya belum dikabulkan, ketakutan kehilangan pekerjaan yang secara beruntung ia dapatkan.

Bekerja sebagai sopir salah satu investor sukses Wall Street, membuat Jende harus terlibat dalam urusan yang sebenarnya tidak mau ia campuri. Termasuk urusan keluarga Clark, bosnya, serta kehidupan pribadinya yang penuh rahasia.

Kejatuhan Lehman Brothers yang menyebabkan krisis finansial dunia menjungkirbalikkan dunia Jende, dan membuatnya bertanya-tanya apakah mimpinya di Amerika kandas dan ia harus pulang ke Kamerun. Namun istrinya, Neni, menentang keras ide tersebut karena ia sudah telanjur katuh cinta dengan New York, dan tidak bisa membayangkan harus kembali ke Kamerun, apalagi membesarkan anak mereka di sana.

Behold the Dreamers adalah salah satu kisah terbaik tentang kaum imigran dan American Dreams. Dikisahkan dengan sangat mengalir, membuat kita langsung merasa terhubung dengan semua karakter yang ada, terutama Jende dan keluarganya. Semua detail tentang imigrasi, mulai dari memakai ide asilum usulan pengacara, sampai bekerja serabutan karena tidak punya visa legal, semuanya merupakan hal umum yang kerap terjadi di Amerika.

Amerika di sini pun digambarkan bukan sebagai negara satu dimensi yang memiliki segalanya- karena tentu saja banyak isu bahkan untuk konglomerat seperti Clark -bos Jende- yang seolah mempunyai hidup sempurna namun ternyata menyimpan berbagai masalah sendiri yang menyesakkan.

Terkadang ilusi tentang hidup sempurna di negara sempurna itulah yang dikejar oleh manusia- sehingga mereka dibutakan oleh kenyataan yang sesungguhnya yang seringkali jauh berbeda dari yang diharapkan.

Saya sendiri memiliki beberapa keluarga yang mengejar mimpi ke Amerika, bahkan ada yang seperti Jende, nekat memakai isu asilum untuk mendapat Green Card seusai kerusuhan 1998, meski sebenarnya ia tidak terdampak langsung oleh tragedi tersebut.

Membahas tentang masalah imigran memang tidak akan ada habisnya. Behold The Dreamers adalah salah satu serpihan dari kisah teraebut, yang berhasil disampaikan oleh Imbolo Mbue dengan gemilang. Saya jadi penasaran mengikuti gebrakan Mbue selanjutnya yang semoga saja tetap menyegarkan seperti buku ini.

 

 

Curiosity House: The Screaming Statue (Lauren Oliver & H.C. Chester)

27 Friday Jul 2018

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ 3 Comments

Tags

children, english, fiction, middle grade, mystery, new york, puzzle, series

Judul: Curiosity House: The Screaming Statue

Penulis: Lauren Oliver & H.C. Chester

Penerbit: HarperCollins Children’s Books (First paperback Edition, 2017)

Halaman: 361p

Beli di: Better World Books (USD 6.48)

Setelah petualangan seru yang dialami oleh empat sahabat Max, Pippa, Sam dan Thomas di buku sebelumnya, kini mereka hadir kembali dengan petualangan selanjutnya yang tak kalah seru.

Dumfrey’s Dime Museum of Freaks, Oddities, and Wonders, mengalami masa-masa suram dan nyaris bangkrut, terlepas sari publisitas singkat yang sempat mereka dapatkan dari petualangan keempat sahabat tersebut di buku pertama. Max, Pippa, Sam dan Thomas terancam akan kehilangan rumah mereka. Musibah juga bertambah dengan terbunuhnya salah satu teman terbaik mefeka, pematung terkenal Siegfried Eckleberger alias Freckles. Penyelidikan keempat anak ini membawa mereka pada kasus pembunuhan lain yang sedang banyak dibicarakan di kota New York saat itu, yaitu pembunuhan pewaris keluarga kaya yang menghebohkan.

Sementara itu, musuh lama mereka (yang juga terkait erat dengan masa lalu mereka yang misterius), Nicholas Rattigan, kabarnya sudah pergi dari Chicago dan kemungkinan sedang menuju ke New York. Dengan segala kekacauan yang mereka hadapi, Pippa, Max, Thomas dan Sam berusaha mengerahkan tenaga (dan kemampuan unik mereka!) untuk menyelamatkan museum yang mereka cintai, sekaligus memecahkan kasus-kasus pembunuhan pelik yang mengancam keberlangsungan hidup mereka.

The Screaming Statue masih membawa formula yang sama dengan buku pertamanya, Shrunken Head. Lauren Oliver memang piawai merangkai petualangan dan misteri seru serta tema keluarga dan persahabatan, yang tentu saja diselingi dengan setting dan detail menarik dari Museum Dumfrey yang legendaris.

Perkembangan karakter keempat tokoh utama kisah ini juga dieksplorasi dengan lebih dalam, terutama yang menyangkut masa lalu mereka serta asal mula munculnya kemampuan super yang membawa mereka menjadi penghuni museum. Dan kehadiran tokoh baru, Howie, yang juga memiliki kemampuan unik, menambah konflik yang menguji persahabatan mereka.

Tidak sabar rasanya melanjutkan buku ke-3, The Fearsome Firebird, yang syukurlah sudah terbit saat ini.

Submitted for:

Category: A book by two authors

 

Fates and Furies by Lauren Groff

07 Thursday Dec 2017

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 1 Comment

Tags

america, bbi review reading 2017, contemporary, english, fiction, new york, romance, secondhand books, twist

Judul: Fates and Furies

Penulis: Lauren Groff

Penerbit: Riverhead Books (2015)

Halaman: 390p

Beli di: Bookbook, NYC (USD 7.98)

Lotto

Lancelot namanya (tapi selalu dipanggil Lotto), laki-laki yang sejak kecil sudah selalu menjadi kesayangan ibunya. Besar di Florida, tapi suatu tragedi memaksanya bersekolah di New England dan akhirnya mengadu nasib di New York. Menjadi aktor adalah obsesinya, dan reputasinya sebagai womanizer sudah tersohor ke mana-mana. Namun pertemuannya dengan seorang gadis misterius memperkenalkannya pada konsep cinta sejati dan mengubah hidupnya selamanya.

Mathilde

Gadis cantik elegan dengan masa lalu serba misterius. Pertemuannya dengan Lotto membuatnya menemukan tujuan hidup yang baru. Namun masa lalunya menjadi satu hal yang selalu mengganjal hidupnya, termasuk hubungannya dengan Lotto. Siapakah Mathilde sebenarnya?

Kisah cinta dua anak manusia ini menjadi plot utama Fates and Furies, buku yang sudah menggondol banyak penghargaan kategori fiksi. Banyak yang membandingkannya dengan Gone Girl, karena kisahnya dikembangkan dari dua sudut pandang berbeda sepasang suami istri, yang ‘penampakannya tidak seperti yang diduga’. Ada lebih dari satu penjelasan untuk suatu peristiwa, dan Lauren Groff berusaha mengolah ide ini ke dalam kisah Lotto dan Mathilde.

Awalnya cukup intriguing juga mengikuti kisah mereka, namun satu hal yang membuat saya sulit menikmati buku ini adalah: karakter-karakternya sulit untuk disukai. Lotto adalah spoiled brat yang tidak menyadari privilege yang dimilikinya dan take things for granted. Meski di akhir-akhir saya cukup merasa bersimpati padanya, namun awalnya Lotto terasa cukup menyebalkan.

Namun turn off utama saya adalah saat masuk ke bagian kedua buku, di mana kita berkesempatan melihat kisah dari sudut pandang Mathilde. Tidak ada yang bisa disukai dari perempuan ini dan hal ini membuat saya merasa amat sulit untuk membaca bagian kisahnya.

Selain dari masalah karakter utama yang menyebalkan, gaya penulisan Groff yang penuh dialog pretensius juga cukup membuat saya malas. Karakter-karakter pendukung di buku ini entah kenapa semuanya satu tipe, pretentious people with unreal problems. Sedikit mengingatkan saya dengan Secret History-nya Donna Tarrt yang juga penuh karakter pretensius dan overhyped conversations. Banyaknya referensi tentang Greek tragedy juga merupakan kesamaan dua buku ini. (Kenapa ya, penulis kontemporer Amerika senang sekali membahas tentang tragedi Greek? Satu lagi alasan mengapa kisah ini sulit untuk saya ikuti karena kurang familiar dengan analogi yang dibahas.)

Satu hal yang saya suka dari Fates and Furies adalah settingnya, kota New York selalu memiliki charm tersendiri untuk saya termasuk dalam buku ini, dan Lauren Groff berhasil meramunya ke dalam plot sehingga menyatu dengan keseluruhan buku.

Bukan termasuk favorit saya, namun saya rekomendasikan untuk fans literatur overprentesious ala-ala Donna Tarrt 😁

Submitted for:

Kategori : Award Winning Books

 

Goodbye to All That: Writers on Loving and Leaving New York by Sari Botton

29 Wednesday Nov 2017

Posted by astrid.lim in non fiction

≈ 1 Comment

Tags

anthology, bbi review reading 2017, memoir, new york, non fiction, NYC, popsugar RC 2017, travel

Judul: Goodbye to All That: Writers on Loving and Leaving New York

Editor: Sari Botton

Penulis: Ann Hood, Dani Shapiro, Cheryl Strayed, Emma Straub, et al

Penerbit: Seal Press (2013)

Halaman: 269p

Beli di: BookBook, NYC (USD 16)

I always love New York City. Kalau ada kota di dunia di mana saya boleh memilih untuk tinggal, NYC lah pilihan saya. Dan karena sampai sekarang kesempatan itu belum ada (well, ada kisah tentang NYU dan what could have been; tapi itu cerita lain), maka saya harus cukup puas untuk menikmati kota ini lewat buku dulu.

Premis buku ini sangat menarik: 28 kisah singkat yang ditulis oleh para penulis perempuan tentang pengalaman mereka jatuh cinta pada NY, tinggal di kota NY, dan akhirnya -karena berbagai alasan- harus mengucapkan selamat tinggal pada kota tersebut. Tapi ada satu kesamaan mereka: pernah menganggap New York City sebagai rumah.

Beberapa kisah memang terasa agak mirip-mirip sehingga malah akhirnya terlupakan begitu saja. Kebanyakan bercerita tentang betapa NY ternyata mengecewakan mereka karena tidak seindah yang dibayangkan, atau karena justru mereka terusir dengan paksa akibat biaya hidup yang tak terjangkau.

Namun beberapa cerita cukup berkesan untuk saya dan malah membuat saya jadi semakin kangen dan penasaran dengan kota yang tak pernah tidur ini.

Hope Edelman bercerita tentang kejadian absurd yang dialaminya: ketika ia masih remaja, ia jatuh cinta dengan sebuah brownstone- apartemen bata khas NY- di Manhattan, dan kejadian serta takdir benar-benar membawanya tinggal di sana bertahun-tahun kemudian.

Emma Straub, tidak seperti penulis lainnya, adalah penduduk asli kota NY, a native New Yorker, yang lahir dan besar di kota tersebut dan tidak mengenal rumah lain selain NYC. Di suatu titik ia merasa harus keluar dari kota itu untuk mencari rumah lain- namun pesona NY kerap menariknya pulang.

Hal yang mirip dialami juga oleh Lauren Elkin, yang besar di Manhattan dan memutuskan untuk pindah ke Paris. Akhirnya ia diberi kesempatan untuk melihat NY dari jendela yang lain, dari sudut pandang berjarak yang membuat ia mencintai NY dengan cara-cara yang tak pernah dia rasakan sebelumnya.

Yang paling berkesan untuk saya adalah kisah Emily St. John Mandel, yang ternyata sempat hidup dalam kemiskinan di Kanada dan hanya bermodalkan nekat lah ia lari ke NY dan menemukan jalan hidupnya.

Membaca kisah-kisah di buku ini memang sedikit mengingatkan saya pada cerita Carrie Bradshaw di Sex and the City, hanya saja tentu lebih terasa real dan kadang dengan nuansa yang cukup kelam (banyak kisah tragedi dan depresi yang dialami para penulis buku ini).

Karena beberapa kisah terasa cukup mirip, ada kesan klise yang diperoleh bila kita membaca buku ini sekaligus. Yang akhirnya bisa menimbulkan kesan sinis seperti “ya, ya, kamu merasa bisa menaklukkan NY, pindah ke NY, gagal, dan pindah ke kota lain dan somehow menjelek-jelekkan NY dan jadi membencinya”. Makanya saran saya buku ini memang harus dibaca pelan-pelan saja dan beri jeda setelah beberapa kisah, supaya tidak merasa dicekoki dengan kisah klise ala NY. Apalagi kadang gaya menulis para penulis perempuan ini cukup pretensius dan tidak semuanya mudah untuk disukai atau relatable.

Saya sendiri cukup menyukai buku ini dan penasaran dengan companion booknya, Never Can Say Goodbye: Writers on Their Unshakable Love of New York, yang menghadirkan kisah lebih variasi dari para penulis yang juga bervariasi (ada penulis laki-laki selain perempuan), dan masih berkisah seputar kota New York.

Trivia:

Kumpulan kisah ini terinspirasi dari essay terkenal Joan Didion (1967) yang memiliki judul sama, Goodbye to All That. Essay tersebut bercerita tentang pengalaman Didion pindah pertama kalinya ke kota New York (yang selalu menjadi kiblat atau aspirasi para penulis pemula), tinggal dan berjuang di kota tersebut, hingga akhirnya memutuskan untuk meninggalkannya. Sayang esaaynya tidak disertakan juga di dalam buku ini, karena sebenarnya bisa menambahkan nuansa melankoli dan memberikan konteks yang lebih dalam untuk kisah-kisah yang ada.

Submitted for:

Category: A book with a subtitle

Kategori Hobby Non Fiction

 

Church of Marvels by Leslie Parry

06 Friday Oct 2017

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 1 Comment

Tags

america, bbi review reading 2017, dysfunctional family, english, fiction, historical fiction, LGBT, new york, romance

Judul: Church of Marvels

Penulis: Leslie Parry

Penerbit: Two Roads (2015)

Halaman: 308p

Beli di: Big Bad Wolf Jakarta (IDR65k)

Kisah ini dimulai dari perkenalan kita dengan para karakter utama:

Sylvan Threadgill, pekerja yang membersihkan toilet setiap malam demi menghidupi dirinya (dan berharap siapa tahu menemukan benda berharga). Suatu malam ia dikejutkan dengan penemuan tak terduga di dekat sebuah toilet: bayi mungil yang ditelantarkan entah oleh siapa..

Odile Church, dan saudara perempuannya, Belle, yang menjadi bagian dari pertunjukan Coney Island, Church of Marvels. Sebuah tragedi memisahkan kedua saudara ini dan masing-masing bergumul dengan masalahnya.

Alphie, seorang perempuan muda yang baru menikah namun tiba-tiba bangun di sebuah rumah sakit jiwa tanpa yakin apa yang telah menimpanya.

Berbagai kejadian mempertemukan karakter-karakter ini, dan kita diajak untuk menelusuri ke belakang sejarah hidup mereka masing-masing hingga akhirnya saling terlibat satu sama lain. Setting dunia pertunjukan di Coney Island menjadi daya tarik utama buku ini, terutama menguak rahasia Church of Marvels, pertunjukan yang digagas oleh ibu Odile dan Belle, dan berakhir dengan tragedi yang penuh misteri.

Menurut saya pribadi, gagasan awal Leslie Parry sudah cukup baik, dan ia mencoba mengeksekusinya dengan baik pula. Namun ada beberapa ganjalan yang kurang bisa membuat buku ini lebih enak untuk dinikmati:

  1. Konflik Alphie dan twist di bagian akhir, menurut saya agak terlalu dipaksakan. Saya tidak bisa bercerita lebih detail karena nanti malah akan spoiler, tapi yang pasti twist di bagian akhir agak tidak terduga dan kurang pas dengan keseluruhan kisah, seperti ingin menambah sempalan isu tapi hanya sekadarnya saja sehingga tidak dikupas tuntas. Padahal saya cukup suka dengan karakter Alphie yang dari awal memang terasa cukup tidak reliable dan penuh misteri.
  2. Gaya penuturan Parry cukup menarik, konflik terjaga baik dengan pace yang lumayan pas. Tapi terasa ada ketidakcocokan di sana sini tentang timeline kisah, karena Perry menggunakan sudut pandang orang ketiga yang fokus pada karakter berbeda di tiap bab, maka kisah memang jadi terbentuk layaknya puzzle yang terpisah-pisah dan akan menyatu di bagian akhir buku. Tapi sayangnya Parry kurang luwes dalam menyajikan timeline ini sehingga saya sering dibuat bingung tentang “Hari apa ini?” “Sudah berapa lama waktu berlalu sejak bab sebelumnya?” “Apakah kejadian di bab ini terjadi bersamaan dengan bab sebelumnya yang bercerita tentang Belle?” Tidak ada kejelasan, mana yang flashback dan mana kejadian yang terjadi di masa kini secara bersamaan. Dan untuk buku yang mengandalkan kepingan puzzle sebagai gaya penceritaannya, kelemahan ini terasa cukup fatal karena mengganggu feel keseluruhan saat membaca.

Church of Marvels merupakan historical fiction yang cukup decent, terlepas dari beberapa kekurangan yang saya bahas di atas. Penggambaran karakternya cukup baik, dan saya menyukai Odile sebagai sentral cerita yang berusaha menyatukan segala kekusutan yang ada. Setting yang digunakan juga terasa pas, terutama berkisah tentang sejarah kemunduran Coney Island dan kerasnya New York City di tahun 1890-an. Saya masih merekomendasikan buku ini untuk pencinta hisfic yang tertarik akan isu-isu tersebut.

Submitted for:

Kategori: Historical Fiction

 

 

The Nest by Cynthia D’Aprix Sweeney

14 Thursday Sep 2017

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 1 Comment

Tags

bbi review reading 2017, contemporary, debut, dysfunctional family, english, family, fiction, new york

Judul: The Nest

Penulis: Cynthia D’Aprix Sweeney

Penerbit: Harper Avenue (2016 Canadian Edition)

Halaman: 353p

Beli di: Periplus Plaza Senayan (IDR 238k)

Keluarga Plumb memiliki simpanan yang diberi nama The Nest, yang ditinggalkan oleh ayah mereka sebagai trust fund dan bisa dicairkan saat anak termuda keluarga tersebut, Melody, berusia 40 tahun. Meski berawal dari jumlah yang kecil, ternyata The Nest membengkak menjadi jumlah yang signifikan, terlebih setelah ayah anak-anak Plumb meninggal dunia.

Sepeninggal ayah mereka, setiap anak keluarga Plumb merasa aman dengan masa depan karena ada The Nest yang bisa menjamin hidup mereka, hari tua mereka bahkan menyelesaikan segala masalah keuangan mereka.

Anak-anak Plumb memiliki masalah masing-masing: Melody dengan cita-citanya menyekolahkan kedua putri kembarnya di universitas terbaik, sementara masih ada cicilan rumah yang mencekiknya dan suaminya pun tidak punya penghasilan besar. Jack, anak laki-laki keluarga Plumb terjebak dalam masalah hutang piutang karena usaha barang antiknya tidak berjalan baik. Ia berhutang tidak sepengetahuan suaminya, Walker. Sedangkan Bea, anak yang tadinya memiliki potensi menjadi penulis berbakat, sedikit demi sedikit semakin menghilang di latar belakang dengan novelnya yang tak kunjung selesai.

Menjelang ulang tahun Melody dan dicairkannya The Nest, terjadi tragedi menyangkut anak tertua Plumb, Leo, yang memaksa The Nest untuk dikorbankan dan terancam musnah. Apakah Leo bisa membantu menyelamatkan The Nest atau ia malah menjadi sumber kekacauan bagi keluarganya? Bagaimana nasib anak-anak Plumb dengan masa depan mereka yang tampak penuh masalah?

The Nest adalah buku debut Cynthia D’Aprix Sweeney yang dieksekusi dengan baik. Kisahnya sangat enak untuk diikuti, dan penggambaran karakternya dilakukan dengan piawai, sehingga kita bisa merasa seolah sudah ikut mengenal mereka. Dan meskipun semua anak keluarga Plumb memiliki kelemahan masing-masing, saya malah merasa semakin relate dengan mereka.

Sweeney merupakan pencerita yang baik, yang mampu membuat kisahnya mengalir lancar, ditambah dengan setting kota New York yang dibuat dengan meyakinkan. Karakter favorit saya adalah Jack yang membuat saya selalu berharap cemas apakah ia akan memperoleh happy endingnya.

Satu lagi yang saya suka adalah kompleksnya masalah keluarga yang diceritakan di buku ini, yang memang sangat Amerika banget tapi tetap asyik untuk diikuti. Selain masalah keuangan, ada isu tentang identitas, orientasi seksual, mengejar mimpi, hubungan antar saudara, hubungan antara anak dan orang tua, dan banyak hal lainnya yang semakin menambah juicy buku ini.

Endingnya juga dibuat sangat realistis meski cukup heartbreaking 🙂 Recommended read!

Submitted for:

Kategori: Award Winning Book

Sweetbitter by Stephanie Danler

04 Tuesday Apr 2017

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 3 Comments

Tags

bbi review reading 2017, coming of age, contemporary, english, fiction, food, new york, popsugar RC 2017, romance

Judul: Sweetbitter

Penulis: Stephanie Danler

Penerbit: Oneworld Publications

Halaman: 368p

Beli di: Kinokuniya Nge Ann City (SGD 19.21)

Apa rasanya bekerja di restoran fancy di New York City? Terutama bila kamu adalah seorang perempuan muda asal kota kecil di Amerika, baru tiba di kota New York dan berusaha memulai hidup yang baru?

Itulah inti kisah Sweetbitter, yang bercerita tentang kehidupan Tess, seorang perempuan muda naif dari kota kecil di daerah Midwest, lulusan universitas tapi tidak memiliki pengalaman kerja kecuali sebagai barista di kota kecilnya, dan datang ke New York hanya bermodal mobil tua, beberapa ratus dollar, serta kontak dari temannya teman yang sedang mencari flat mate.

Maka berlabuhlah Tess di daerah Brooklyn, di sebuah apartemen kecil sempit yang sama sekali tidak menggambarkan glamornya tinggal di NYC. Dan dengan segala daya upaya, mendaratlah ia di sebuah restoran mewah di daerah Union Square, memulai kariernya sebagai pelayan restoran.

Seru juga sebenarnya melihat behind the scene berjalannya sebuah restoran, mulai dari kesibukan di dapur (Chef yang tugasnya memang bukan memasak tapi memerintah anak buahnya untuk memasak), lalu bedanya server (yang bertugas menunggu meja dan melayani kebutuhan pelanggan- paling mungkin mendapatkan tip besar), dengan backwaiter (yang mengambil makanan dari dapur, menyampaikan pesanan, mengisi air di gelas, menata meja dan pekerjaan yang terlihat remeh-temeh tapi sebenarnya amat penting). Juga perannya bartender dan barista, yang tampak efortless padahal sangat melelahkan.

Suka-duka Tess sebagai pelayan, mulai dari menghadapi pelanggan yang aneh-aneh sampai rekan-rekannya yang memiliki sifat beraneka ragam, digambarkan dengan cukup baik di sini. Karakter yang ada juga digambarkan diverse, mulai dari yang gay, yang imigran, yang single maupun married, yang tua dan senior maupun yang muda dan centil.

Yang juga menarik adalah gambaran tentang berbagai makanan yang disajikan di restoran ini, cara pengolahan dan penyimpanannya- jenis-jenis wine, oyster, daging dan sayur- beberapa hidangan malah baru saya dengar di sini.

Dan menurut saya, Sweetbitter (yang menjadi debut sang penulis) sangat berpotensi untuk menjadi buku fiksi favorit, kalau saja tidak terganjal oleh dua hal:

  1. Kisah cinta segitiga antara Tess dengan dua rekan kerjanya, Simone yang sudah senior, dan Jake yang -menurut Tess- irresistible. Sebetulnya Tess amat berpotensi menjadi karakter yang likable karena kondisinya mudah untuk relate dengan pembaca (gadis kota kecil, mencari sesuap nasi di kerasnya kota New York, etc). Tapi begitu sudah berhadapan dengan Simone dan Jake, huuuh…. langsung hilang deh simpati saya, karena Tess berubah menjadi cewek yang menyebalkan, lemah, dan bodoh. Belum lagi Simone yang manipulatif dan Jake yang mau saja dimanipulasi. Benar-benar bikin kesal.
  2. Dialog para tokohnya yang super pretensius. Saya ngga tau ya apa karena setting cerita ini di NYC makanya para karakternya digambarkan super pretensius semua. Tapi dialog-dialognya yang nggak penting namun seolah dibuat penting itu memang menyebalkan sih. Shallow dan self-indulgent.

Sebagai buku coming of age, Sweetbitter kurang nendang karena justru tidak mampu menggali karakternya sehingga pembaca merasa terhubung dengannya. Sepertinya si penulis bingung, antara mau membuat kisah yang berbau klasik (penggalian karakter, perkembangnnya sebagai gadis kota kecil yang hidup di kota besar) tapi terkesan tipikal, atau membuat cerita yang cool namun akhirnya malah jadi dangkal.

Buku ini sebenarnya cukup menghibur, terutama pengetahuan yang saya peroleh tentang kehidupan bekerja di restoran serta jenis-jenis hidangan eksklusif yang selama ini kurang familiar. Tapi saya berharap kisahnya bisa dibuat lebih memorable, dan dirangkai dengan lebih baik. Maybe next book will be better?

Submitted for:

Category: A book about food

Kategori: Contemporary Romance

Wishful Wednesday [202]

03 Wednesday Aug 2016

Posted by astrid.lim in meme

≈ 3 Comments

Tags

anthology, meme, new york, wishful wednesday, wishlist

wishful wednesday

Halo! Maafkan keterlambatan postingan Wishful Wednesday kali ini ya 🙂

Hari ini, lagi kepingin buku yang satu ini, biasalah tentang New York, karena satu dan lain hal kota ini sedang banyak mengganggu pikiran saya 😀

never can say goodbye

Never Can Say Goodbye: Writers on Their Unshakable Love for New York (Sari Botton):

From the editor of the celebrated anthology Goodbye to All That: Writers on Loving and Leaving New York, comes a new collection of original essays on what keeps writers tethered to New York City.

The charming first anthology Goodbye to All That inspired by Joan Didion’s classic essay about loving and leaving Manhattan chronicled the difficulties and disappointments inherent in loving New York, while Never Can Say Goodbye is a celebration of the city that never sleeps, in the tradition of E.B. White’s classic essay, Here Is New York.

Featuring contributions from such luminaries as Elizabeth Gilbert, Susan Orlean, Nick Flynn, Adelle Waldman, Phillip Lopate, Owen King, Amy Sohn, and many others, this collection of essays is a must-have for every lover of New York, regardless of whether or not you call the Big Apple home.

Pinginnnn.. semoga bisa nemu dengan harga murah, amin 😀

Yuk ikutan share WW mu 🙂

  • Silakan follow blog Books To Share – atau tambahkan di blogroll/link blogmu =)
  • Buat posting mengenai buku-buku (boleh lebih dari 1) atau segala hal yang berhubungan dengan kebutuhan bookish kalian, yang jadi inceran kalian minggu ini, mulai dari yang bakal segera dibeli, sampai yang paling mustahil dan hanya sebatas mimpi. Oya, sertakan juga alasan kenapa buku/benda itu masuk dalam wishlist kalian ya!
  • Tinggalkan link postingan Wishful Wednesday kalian di Mr. Linky (klik saja tombol Mr. Linky di bagian bawah post). Kalau mau, silakan tambahkan button Wishful Wednesday di posting kalian.
  • Mari saling berkunjung ke sesama blogger yang sudah ikut share wishlistnya di hari Rabu =)

 

 

The Wednesday Wars by Gary D. Schmidt

13 Friday May 2016

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ Leave a comment

Tags

america, children, fiction, historical fiction, new york, newbery, realistic, war

wednesday warsJudul: The Wednesday Wars

Penulis: Gary D. Schmidt

Penerbit: Sandpiper Books (2007)

Halaman: 264p

Part of: bundle Newbery (Bookdepository USD 25)

Ada buku-buku yang kita baca dengan ekspektasi tinggi, tapi diakhiri dengan perasaan kecewa. Namun ada juga buku-buku yang kita baca tanpa ekspektasi- dan ternyata resmi menambah daftar buku favorit kita!

Syukurlah, The Wednesday Wars masuk ke kategori kedua. Saya membacanya tanpa ekspektasi terlalu tinggi- selain cap Newbery Honor (tahun 2008) di sampul depannya -dan mendapat pengalaman yang sangat menyenangkan bersama karakater-karakternya.

Holling Hoodhood merasa kalau wali kelasnya di kelas 7, Mrs. Baker, tidak menyukainya. Kenapa? Tidak jelas juga alasannya, tapi yang pasti Holling selalu kena sasaran kesinisan atau kekejaman Mrs. Baker. Well, kejam menurut Holling, setidaknya. Hal ini diperparah juga karena setiap hari Rabu siang, saat teman-teman sekelasnya yang beragama Katolik pergi ke gereja untuk pelajaran katekisasi, sedangkan yang Yahudi pergi ke sinagoga untuk persiapan bar mitzvah, Holling harus tinggal di kelas bersama Mrs. Baker karena ia satu-satunya murid yang menganut aliran Presbyterian.

Awalnya, hari-hari Rabu selalu menyiksa dan diisi dengan perseteruan diam-diam antara Holling dan Mrs. Baker, namun perlahan-lahan tumbuh semacam hubungan persahabatan di antara guru dan murid ini. Mrs. Baker memperkenalkan Holling pada Shakespeare, dan Holling menemukan passionnya yang lain, berlari, juga karena bantuan Mrs. Baker.

Kisah sederhana ini menjadi lebih berkesan karena berlatar belakang Perang Vietnam di tahun 1967, dan saat itu, banyak opini mengenai perang tersebut dari para penduduk di kota kecil Long Island tempat Holling tinggal. Ada kakak Holling yang terpengaruh gerakan hippies, ada Mrs. Baker dan guru-guru lain di sekolah Holling yang suaminya dikirim ke medan perang, serta ada juga teman sekelas Holling, anak perempuan dari Vietnam yang menjadi refugee di Amerika.

Meski simple, The Wednesday Wars menjadi sangat menarik karena disajikan dengan lengkap: karakter yang membumi, jalan cerita yang realistis, dan humor di sana-sini yang diselingi oleh beberapa adegan mengharukan. Pokoknya benar-benar pas untuk ukuran buku middle grade. Tidak heran buku ini memboyong penghargaan Newbery pada tahun 2008. Yang pasti, Holling Hoodhood menjadi salah satu karakter remaja favorit saya, dan Mrs. Baker menurut saya berhak menggondol penghargaan guru terbaik (mungkin bersaing dengan Profesor Lupin dari Harry Potter, dan Ms. Honey dari Matilda) 🙂

Saya sendiri jadi ngefans berat dengan Gary P. Schmidt dan bertekad ingin membaca buku-bukunya yang lain, termasuk companion book dari Wednesday Wars yang berjudul Okay For Now, bercerita tentang salah satu teman sekelas Holling yang sempat sedikit disinggung di buku Wednesday Wars.

← Older posts
Newer posts →

From the bookshelf

Categories

Looking for Something?

Enter your email address to follow Books to Share and receive notifications of new posts by email.

Join 1,037 other followers

Currently Reading

I’m a Proud Member! #BBI 1301004

Wishful Wednesday Meme

Fill your Wednesdays with wishful thinking =)

Popsugar Reading Challenge 2018

bookworms

  • aleetha
  • althesia
  • alvina
  • ana
  • annisa
  • bzee
  • dewi
  • dion
  • fanda
  • Ferina
  • helvry
  • inne
  • Kobo
  • maya
  • mei
  • melmarian
  • mia
  • ndari
  • nophie
  • oky
  • peri hutan
  • ren
  • Reygreena
  • sel sel kelabu
  • sinta
  • tanzil
  • tezar
  • yuska

shop til you drop

  • abe books
  • Amazon
  • better world books
  • book depository
  • BukaBuku
  • Buku Dedo
  • bukukita
  • vixxio

Top Posts & Pages

  • Lima Sekawan - The Series
    Lima Sekawan - The Series
  • The Picture of Dorian Gray by Oscar Wilde
    The Picture of Dorian Gray by Oscar Wilde
  • Circe by Madeline Miller
    Circe by Madeline Miller
  • Red, White & Royal Blue by Casey McQuiston
    Red, White & Royal Blue by Casey McQuiston
  • Matilda
    Matilda

Recent Comments

When the Stars Go Da… on The Paris Wife
Hapudin Bin Saheh on Insomniac City: New York, Oliv…
The Case of the Pecu… on The Case of the Left-Handed La…
astrid.lim on Lorong Waktu by Edward Pa…
nina on Lorong Waktu by Edward Pa…

Blog at WordPress.com.

Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
  • Follow Following
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Join 1,037 other followers
    • Already have a WordPress.com account? Log in now.
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Customize
    • Follow Following
    • Sign up
    • Log in
    • Report this content
    • View site in Reader
    • Manage subscriptions
    • Collapse this bar
 

Loading Comments...