• About this blog
  • Clearance Sale!
  • Newbery Project
  • Popsugar Reading Challenge 2023
  • Previous Challenges
    • BBI Read and Review Challenge 2017
    • Challenges 2014
    • Challenges 2015
    • Lucky No.14 Reading Challenge
    • Lucky No.15 Reading Challenge
    • POPSUGAR Reading Challenge 2017
    • Popsugar Reading Challenge 2018
    • Popsugar Reading Challenge 2020
    • Popsugar Reading Challenge 2021
    • Popsugar Reading Challenge 2022
    • What’s in a Name 2018
    • Twenty-Ten Challenge
    • Challenges 2012
    • Challenges 2013
  • Round Ups
  • The Librarian

~ some books to share from my little library

Tag Archives: name challenge 2014

The Story of Edgar Sawtelle by David Wroblewski

27 Thursday Mar 2014

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 23 Comments

Tags

america, animals, BBI, dramatic, english, family, fiction, lucky 14, name challenge 2014, realistic, review 2014, special needs

edgar sawtelleJudul: The Story of Edgar Sawtelle

Penulis: David Wroblewski

Penerbit: Harper International Edition (2009)

Halaman: 611p

Beli di: Aksara, Pesta Buku Jakarta 2011 (IDR 50k, bargain price!)

Edgar Sawtelle lahir dan tumbuh besar di sebuah peternakan anjing di dekat hutan Chequamegon, Wisconsin. Sejak lahir, Edgar tidak bisa berbicara dan hanya berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Namun ia menikmati kehidupannya yang tenang bersama ayah dan ibunya, merawat dan melatih anjing-anjing mereka yang dikenal sebagai Sawtelle Dogs. Edgar juga bersahabat erat dengan salah satu anjing betina yang sudah menjadi teman setianya sejak kecil, Almondine.

Suatu hari, Claude, adik laki-laki ayahnya yang sudah lama pergi dari rumah, mendadak muncul kembali dalam kehidupan mereka. Dan kemunculannya ternyata membawa banyak tragedi dan misteri untuk Edgar. Ketika suatu kecelakaan terjadi, Edgar memutuskan untuk kabur dari rumah, membawa serta ketiga ekor anak anjing yang sedang ia latih, menyusuri hutan Chequamegon.

Edgar banyak belajar selama perjalanan itu, terutama untuk mengkonfrontasi ketakutannya, dan mengungkapkan kebenaran. Akankah Edgar berani pulang ke rumah untuk menghadapi resiko kehilangan hidupnya yang dulu?

Ketika BBI memutuskan untuk mengadakan posting bareng buku-buku Oprah, saya sangat excited, karena ternyata banyak buku di list Oprah yang ada di dalam timbunan saya 🙂 Setelah menimbang-nimbang, akhirnya saya mengambil keputusan untuk membaca buku Edgar Sawtelle ini, karena memang sudah cukup lama terkubur di dalam timbunan buku yang kian meninggi. Dan ternyata, saya cukup menyesali keputusan itu.

Kenapa?

To tell you the truth, I didn’t enjoy reading this book. Dan saya cukup kaget, karena menilik dari daftar buku-buku pilihan Oprah yang sudah saya baca, rata-rata mendapat rating 3-4 bintang dari saya. Dan sejujurnya, saya memang berharap lebih dari si Edgar Sawtelle. Apalagi ada premis kisah tentang anjing-anjing, yang merupakan topik yang selalu menarik bagi saya.

Penuturan yang lambat adalah salah satu alasan utama mengapa saya tidak bisa menikmati buku ini. Mungkin untuk menegaskan kesunyian dunia Edgar yang tanpa suara, David Wroblewski sengaja membuat kisah didominasi oleh narasi berkepanjangan dari sisi Edgar, meski tidak menggunakan sudut pandang orang pertama. Terkadang, untuk mendeskripsikan suatu tempat atau suasana, Wroblewski bisa menghabiskan satu halaman sendiri.

Sebenarnya banyak hal yang bisa membuat kisah ini menjadi menarik, salah satunya adalah detail saat Edgar melatih anjing-anjingnya. Proses bagaimana ia membuat mereka percaya, lalu menurut padanya, awalnya terasa menarik, mengingatkan saya pada acara TV Cesar Milan si ahli anjing. Tapi saat adegan ini diulang-ulang dengan deskripsi detail yang sama seolah baru pertama kali diceritakan, saya jadi merasa bosan dan kehilangan minat.

Wroblewski seakan-akan terjebak dalam keasyikannya menulis sepanjang dan selama mungkin, tanpa memperhatikan perasaan para pembaca. Buat saya, jumlah 611 halaman bukanlah kisah yang singkat. Namun bila menilik isi buku ini, sepertinya Wroblewski bisa memangkas setengah panjang buku tanpa kehilangan esensi yang berarti.

Kelemahan lain Wroblewski yang sangat suka dengan deskripsi tempat dan suasana adalah kurangnya penggambaran karakter yang kuat. Saya cukup kesulitan untuk merasa relate dengan Edgar sang protagonis, dan membenci Claude si antagonis. Buat saya, tidak ada bedanya siapa protagonis dan antagonis dalam kisah ini, saking tidak jelasnya karakterisasi yang digambarkan oleh Wroblewski. Kalau tujuannya ingin membuat pembaca menabak-nebak ke arah mana cerita akan dibawa, untuk kemudian memberikan twist besar di akhir cerita, bagi saya usaha Wroblewski ini gagal total. Yang ada, saya hanya bisa merasa kebingungan dengan inti keseluruhan cerita.

Kisah yang berpotensi penuh drama pun tidak berhasil mewujud dengan baik, karena terlalu banyak narasi bertele-tele yang digunakan. Bahkan endingnya pun tidak berhasil membuat saya terharu atau tersentuh atau apapun yang dimaksudkan oleh sang penulis.

Oprah’s Book Club pertama kali dibentuk oleh Oprah Winfrey tahun 1996, di mana ia memilih buku (biasanya novel) untuk didiskusikan dalam acara talk shownya. Sampai show tersebut berakhir tahun 2011, Oprah’s Book Club telah merekomendasikan 70 buah buku. The Story of Edgar Sawtelle adalah pilihan Oprah untuk bulan September 2008. Tahun 2012, Oprah kembali membentuk Oprah’s Book Club 2.0, di mana interaksinya dengan pembaca buku dilakukan melalui online. List lengkap buku pilihan Oprah bisa dilihat di sini.

Submitted for:

Posbar Tema Oprah's Book Club bulan Maret 2014

Posbar Tema Oprah’s Book Club bulan Maret 2014

aname-1

Category: It's Been There Forever

Category: It’s Been There Forever

 

Are You There God? It’s Me, Margaret by Judy Blume

25 Tuesday Mar 2014

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ 1 Comment

Tags

america, bargain books, children, english, fiction, middle grade, name challenge 2014, religion, review 2014, secondhand books

Judul: Are You There, God? It’s Me, Margaret

Penulis: Judy Blume

Penerbit: Macmillan Children’s Books (1998)

Halaman: 152p

Beli di: Bras Basah (nitip Dewi, SGD 2,90, bargain!)

Plot
Margaret dan keluarganya baru pindah ke Farbrook, kota kecil di New Jersey. Tempat tersebut sangat berbeda dari New York, rumah mereka sebelumnya, dan Margaret sangat takut ia tidak bisa menyesuaikan diri di sana. Lebih dari segalanya, Margaret hanya ingin menjadi anak usia 11 tahun yang normal, yang bisa memakai bra dan mendapat menstruasi tepat waktu. Tapi hal tersebut seolah tak kunjung datang.

Belum lagi kenyataan kalau Margaret tidak memeluk agama apapun, karena kedua orang tuanya membesarkannya dalam kultur agnostik. Margaret sibuk mencari Tuhan, dari mulai pergi ke sinagoga bersama neneknya yang orang Yahudi, ke gereja ikut teman-temannya, bahkan mencoba pengakuan dosa di gereja Katolik. Namun Margaret merasa paling dekat dengan Tuhan saat ia sedang mengobrol secara pribadi denganNya. Tapi apakah itu normal?

Then
Terakhir kali saya membaca buku ini adalah sekitar 20 tahun yang lalu, dan saat itu yang saya baca adalah versi terjemahan Gramedia. Saat itu, saya merasa sangat relate dengan Margaret- terutama karena kami sama-sama khawatir tidak akan tumbuh menjadi remaja perempuan yang normal. Dan dari segi tersebut, saya rasa buku ini akan tetap relevan untuk anak-anak perempuan dari segala tempat dan zaman- meski kisahnya cenderung sederhana dan tidak sesophisticated buku-buku middle grade/ young adult masa kini.

Karakter yang ada di sekeliling Margaret pun rasanya akan tetap bisa dijumpai saat ini, seperti Nancy yang mewakili teman satu geng yang sok tahu, Laura yang merepresentasikan gadis-gadis bertubuh besar yang selalu menjadi bahan olok-olok di kelas, atau Mr. Benedict, guru laki-laki muda yang gugup berhadapan dengan sekelompok pre-teens.

Now

Sekarang, saya kembali membaca buku ini setelah menjadi orang tua. Dan kesannya, tentu saja berbeda. Saya baru menyadari beberapa hal yang dulu sepertinya saya take it for granted.

Salah satu yang mencolok adalah isu mencari Tuhan/agama yang menjadi ini cerita. Mungkin, dulu saking fokusnya saya dengan masalah Margaret yang ingin cepat-cepat pakai bra, saya sampai tidak memperhatikan isu agama ini. Dan menurut saya, ini adalah isu yang cukup serius untuk ukuran buku anak/young adult. Sebenarnya saya nggak keberatan dengan isu ini, karena cukup menjadi eye opener juga, apalagi di jaman sekarang. Yang saya kurang suka adalah sikap orang tua Margaret yang digambarkan bermusuhan dengan kakek-nenek Margaret karena pernikahan mereka tidak disetujui. Apalagi mereka mempengaruhi Margaret untuk memiliki sikap bermusuhan yang sama. Hmmm… as a parent, I could say that I don’t agree with their attitude.

Hal lain yang juga saya sadari adalah terjemahan buku Gramedia yang dulu saya baca, entah kenapa terasa sangat ketinggalan jaman. Kali ini, saya membaca versi bahasa Inggrisnya, yang memang diterbitkan lebih lama daripada versi terjemahan Gramedia. Tapi anehnya, versi bahasa Inggrisnya ini tidak terasa terlalu jadul, malah bisa tetap relevan dengan kehidupan anak-anak jaman sekarang. Saya ingat, dulu di versi Gramedia, diceritakan saat Margaret pertama kali belajar memakai pembalut, dan disebutkan ada kait-kait yang harus dipasang, sampai-sampai saya bingung sendiri membayangkannya. Apa itu pembalut jaman dulu ya? Ternyata, waktu saya baca versi bahasa Inggrisnya, tidak disebutkan tentang kait sama sekali. Justru pembalut yang dipakai adalah model dengan perekat seperti yang kebanyakan dijual saat ini.

Cover versi Gramedia, jadul 🙂

Perjalanan saya menyusuri kisah Margaret ini cukup menyenangkan. Dan seandainya saya punya anak perempuan, buku ini akan saya jadikan bacaan wajibnya 🙂

Submitted for:

aname-1

Category: Walking Down the Memory Lane

Category: Walking Down the Memory Lane

The Lottie Project by Jacqueline Wilson

20 Thursday Mar 2014

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ 2 Comments

Tags

bahasa indonesia, bargain book!, british, children, family, fiction, Gramedia, middle grade, name challenge 2014, review 2014, terjemahan

lottie projectJudul: The Lottie Project

Penulis: Jacqueline Wilson

Penerjemah: Novia Stephanie

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2006)

Halaman: 280p

Beli di: Gramedia Shocking Sale Citraland (IDR 15k, bargain!)

Charlie tidak pernah suka dipanggil dengan nama aslinya, Charlotte, oleh siapa pun. Namun justru itulah yang dilakukan oleh Miss Beckworth, guru baru di kelasnya. Belum hilang kekesalan Charlie, Miss Beckworth juga memisahkannya dari sahabat-sahabatnya, Lisa dan Angela, dan malah mendudukkannya di sebelah Jamie, cowok paling sok tahu dan menyebalkan di seantero kelas. Ditambah lagi, Jo, ibu yang sangat dekat dengannya, belakangan malah bertingkah aneh, dan menjalin hubungan dengan seorang pria.

Satu-satunya pelarian Charlie adalah proyek tentang zaman Victoria yang ditugaskan oleh Miss Beckworth. Charlie memutuskan untuk menulis kisah tentang Lottie, seorang pengasuh anak yang seumuran dengannya dan hidup di zaman Victoria. Anehnya, kisah-kisah Lottie seolah benar-benar menjelma menjadi kenyataan dalam hidup Charlie!

Saya belum bisa menyatakan diri saya sebagai fans Jacqueline Wilson, karena selain memang baru membaca sedikit buku-bukunya, saya juga masih agak parsial terhadap isu-isu yang diangkat oleh Wilson.

Buku ini misalnya, sebenarnya cukup menarik, menggabungkan kisah anak sekolah modern dengan sempalan cerita zaman Victoria yang kuno. Namun, saya kurang setuju dengan beberapa isu yang diangkat dalam The Lottie Project.

Salah satunya adalah tentang hubungan Charlie dan Jo yang digambarkan terlampau dekat dan saling bergantung. Memang betul Jo adalah single mother yang membesarkan Charlie sendirian, tapi perlakuannya pada Charlie yang masih anak-anak terasa berlebihan, terutama karena Jo lebih berperan sebagai teman daripada orang tua. Alih-alih seperti hubungan Lorelai dan Rory dalam Gilmore Girls, di sini Charlie yang masih berusia 11 tahun malah terlihat seperti remaja karbitan.

Sebenarnya saya suka dengan penggambaran karakter dan plot dalam buku ini yang tidak biasa ditemui di buku anak-anak: orang tua tunggal, kakek-nenek yang snob, perjuangan melawan kemiskinan, sampai kasus anak kecil yang menghilang. Tapi beberapa memang tampak terlalu berat untuk ukuran buku middle grade (terutama di belahan dunia kita), dan mungkin lebih cocok untuk young adult atau remaja.

Butuh pemahaman mendalam dan bimbingan orang tua untuk anak-anak yang memang tertarik membaca kisah-kisah Tante Wilson ini. Saya sendiri sebagai orang tua, agak kecewa dengan penggambaran Jo dalam buku ini, yang terlihat egois, kekanakan, dan tidak membantu Charlie menjadi lebih dewasa- ia malah memaksa Charlie untuk memahaminya.

Submitted for:

aname-1

Koleksi Kasus Sherlock Holmes by Arthur Conan Doyle

18 Tuesday Mar 2014

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 5 Comments

Tags

bahasa indonesia, british, classic, fiction, Gramedia, mystery/thriller, name challenge 2014, review 2014, series, terjemahan

koleksi kasus sherlockJudul: Koleksi Kasus Sherlock Holmes

Penulis: Arthur Conan Doyle

Penerjemah: Dra. Daisy Dianasari

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2012)

Halaman: 368p

Beli di: Gramedia Trans Studio Mall Bandung (IDR 38k)

Buku ini berisi 12 kasus detektif legendaris Sherlock Holmes, yang selama ini tersimpan rapat dalam kotak timah Dr. Watson yang diamankan di bank. Kasus-kasus ini berasal dari berbagai periode, mulai saat Holmes masih aktif sampai sudah pensiun.

Beberapa di antara kasus-kasus ini memang sengaja ditutup rapat sebelumnya, karena melibatkan tokoh-tokoh terkemuka, seperti misalnya Kasus Klien Penting, dimana Holmes dituntut untuk mencegah pernikahan puteri bangsawan dengan seorang bajingan pembunuh (yang merupakan salah satu lawannya yang paling tangguh!). Atau Kasus Batu Mazarin, saat Holmes diminta untuk menemukan batu permata kerajaan yang dicuri.

Bila di buku-buku sebelumnya kasus-kasus Holmes dikisahkan oleh Dr. Watson sebagai narator, di buku ini ada tiga kasus yang menghadirkan sudut pandang berbeda: dua kasus dikisahkan sendiri oleh Holmes, dan satu kasus menggunakan sudut pandang orang ketiga.

Kasus Prajurit Berwajah Pucat ditulis Holmes karena ia ingin menjawab tantangan Dr. Watson untuk menulis sendiri kisahnya, akibat kritiknya yang terus menerus terhadap tulisan Watson. Ternyata, Holmes mengakui kalau menulis tentang kasusnya memang susah-susah gampang 😀

Sementara itu di Misteri Surai Singa, Holmes menjadi narator dalam sebuah kasus yang ditanganinya setelah ia pensiun dan hidup di daerah pedesaan Sussex. Ending kasus ini benar-benar di luar dugaan dan menyimpan kejutan yang tak disangka-sangka.

Favorit saya di buku ini adalah Petualangan Tiga Garrideb, yang merupakan kasus klasik ala Conan Doyle, di mana Holmes dan Watson sama-sama berperan penting dalam pemecahan misteri yang mereka hadapi, yaitu membantu pencarian satu orang bernama langka, Garrideb. Hubungan Holmes dan Watson juga digambarkan dengan pas di sini, dan bahkan Holmes menunjukkan rasa sayang yang jarang sekali ia umbar. Coba simak penuturan Watson di bawah ini:

“Walaupun aku terluka- bahkan kalaupun terluka parah aku benar-benar rela, karena aku merasakan betapa setia dan penuh kasihnya sahabatku yang berwajah dingin itu terhadap diriku. Matanya yang besar dan keras menyipit sesaat, dan bibirnya yang kaku gemetaran. Baru sekali inilah aku melihat kehebatan hatinya sebagaimana hebatnya otaknya. Selama bertahun-tahun menemaninya beraksi, baru kali inilah aku menyaksikan luapan perasaannya.” (P 186)

Mau tak mau, kalimat Watson itu mengingatkan saya akan film seri Sherlock produksi BBC, yang menggambarkan dengan sangat tepat hubungan antara Holmes dan Watson melalui para pemerannya, Benedict Cumberbatch dan Martin Freeman.

Source

Source

Buku ini adalah buku terakhir serial original Sherlock Holmes karya Conan Doyle. Setelahnya memang banyak buku-buku adaptasi, spin off dan fan fiction yang ditulis mengenai detektif paling terkenal ini. Saya sendiri agak menyesal tidak membaca serialnya secara berurutan, dan bertekad untuk mengumpulkan semuanya. Ternyata, Conan Doyle – meskipun belum sesukses Agatha Christie- berhasil memikat saya melalui kisah-kisahnya 🙂

Submitted for:

aname-1

The Nanny Diaries by Emma McLaughlin & Nicola Kraus

17 Monday Mar 2014

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 1 Comment

Tags

bahasa indonesia, chicklit, drama, fiction, Gramedia, name challenge 2014, new york, parenting, review 2014, romance, terjemahan

nanny diariesJudul: The Nanny Diaries (Buku Harian Nanny)

Penulis: Emma McLaughlin & Nicola Kraus

Penerjemah: Siska Yuanita

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2003)

Halaman: 408p

Beli di: Omunium (IDR 30k)

Nanny adalah mahasiswa jurusan perkembangan anak yang sedang menginjak semester akhir di NYU. Ia juga bekerja sebagai pengasuh anak untuk keluarga-keluarga kaya di Manhattan. Hidupnya berubah total saat ia menerima pekerjaan di keluarga X untuk mengasuh Grayer, anak mereka yang berumur 4 tahun.

Nanny tersedot masuk ke dalam gaya hidup keluarga Park Avenue yang penuh intrik: perselingkuhan, pesta-pesta dengan goodybag ribuan dollar, majikan perempuan yang culas, dan playdate dengan anak-anak manja keluarga lain yang tak kalah kayanya.

Hidup Nanny semakin menggila ketika ia harus berkutat dengan thesisnya, cowok keren tetangga keluarga X, Mrs X yang membuatnya kerja rodi, dan selingkuhan Mr X yang menjebaknya untuk ikut dalam rahasia busuk mereka. Apakah Nanny sanggup meninggalkan pekerjaan itu- meski ia telah jatuh cinta sepenuhnya pada Grayer?

Saya membaca ulang buku ini setelah sekian tahun karena ingin membaca sequelnya, The Nanny Returns yang ada di timbunan. Ternyata saya masih tetap menyukai buku ini, yang tema ceritanya cukup orisinil bila dibandingkan dengan kisah chicklit sejenis.

Saya suka dengan penuturan duo Emma McLaughlin dan Nicola Kraus, yang sebagai mantan pengasuh anak di New York, tahu benar apa yang mereka bicarakan, sehingga keluarga X dengan segala intriknya terasa sangat hidup. Setting high society di NYC juga cukup real, lengkap dengan tempat-tempat gaul untuk anak-anak keluarga kaya di kota tersebut.

Saya juga merasa tertarik mengulang buku ini karena usia Grayer yang sama dengan Yofel- dan membandingkan gaya orang tua Manhattan membesarkan putra mereka yang berusia 4 tahun dengan apa yang saya lakukan, sangatlah hilarious.

Bayangkan, Grayer sudah les bahasa Prancis, mengunjungi museum seni, dan kursus piano klasik sejak sangat kecil. Sementara itu, ia juga sibuk ikut tes untuk masuk TK yang prestigious. Dan semata-mata hanya untuk gengsi orang tuanya saja.

Tapi ketika saya sedang tertawa-tawa membaca kehebohan ala keluarga Manhattan, saya seperti diingatkan dengan beberapa blog ibu-ibu sosialita Jakarta yang juga sibuk mencarikan tempat les bahasa asing untuk anaknya, membelikan baju bermerek, mengajak liburan ke tempat-tempat mahal, sampai persiapan masuk TK super mahal di Jakarta. Hmm.. It’s not that much different anyway ya 🙂

Satu-satunya ganjalan menurut saya adalah terjemahan buku ini, yang meskipun masih enak diikuti, tapi kadang tidak bisa menggambarkan beberapa istilah dan joke-joke para penulis yang penuh sarkasme dan sedikit witty. Saya ingat, dulu pernah membaca versi bahasa Inggris buku ini, dan kenikmatannya memang sedikit berbeda.

Buku kedua serial ini tidak mendapat rating sebaik pendahulunya, tapi saya masih cukup penasaran dengan nasib Grayer setelah beranjak remaja.

Nanny Diaries sudah diangkat ke layar lebar, dengan Scarlett Johansson sebagai Nanny, dan Laura Liney sebagai Mrs. X yang super jutek. Ada juga penampilan Chris Evans sebagai Harvard Hottie, cowok keren incaran Nanny. Dalam film, nama Nanny diubah menjadi Annie.

nanny diaries2

Submitted for:

aname-1

The Marvelous Misadventures of Sebastian by Lloyd Alexander

12 Wednesday Mar 2014

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ Leave a comment

Tags

adventures, children, english, fantasi, fiction, name challenge 2014, review 2014, secondhand books

sebastianJudul: The Marvelous Misadventures of Sebastian

Penulis: Lloyd Alexander

Penerbit: Puffin Books (2000)

Halaman: 204p

Beli di: Bras Basah, nitip ke Dewi (SGD 2,90, bargain price!)

Sebastian adalah pemain biola keempat di rumah Baron Purn-Hessel, namun suatu insiden menyebabkannya diberhentikan dari pekerjaannya itu dan diusir dari rumah sang Baron. Sebastianpun terpaksa melanglang buana, mencari kehidupan yang lebih baik di luar sana.

Namun yang tidak dia sadari, kehidupan di luar ternyata sedang sangat sulit, terutama setelah sang Regent yang baru mulai memerintah. Regent tersebut terkenal kejam, menindas rakyat dengan aturan yang hanya menguntungkannya saja, dan menghukum mati orang-orang yang tidak menurut.

Petualangan Sebastian berubah seru saat ia tidak sengaja bertemu dengan Princess Isabel -putri pewaris kerajaan- yang sedang menyamar menjadi anak laki-laki karena melarikan diri dari sang Regent. Sebastian berusaha membantu Isabel mencapai tempat pamannya yang aman di utara- meski ia harus menghadapi serangkaian kejadian aneh dan mendebarkan, seperti: dikejar-kejar oleh tukang cukur gila, bertemu beruang yang suka dansa, naik ke angkasa dengan balon raksasa, dan bertemu biola ajaib yang kata orang sudah dikutuk.

Namun Sebastian adalah seorang optimis sejati, yang yakin bahwa di setiap masalah pasti ada jalan keluar, betapapun kecil kemungkinannya.

Buku ini adalah kisah singkat yang manis tentang petualangan, persahabatan dan kepahlawanan, yang bersetting di realm ciptaan Lloyd Alexander, Hamelin-Loring, kerajaan abad ke-18 yang terinspirasi dari kecintaannya pada musik klasik.

Petualangannya cukup seru, meski alurnya gampang ditebak, dan banyak selipan humor sekaligus pelajaran hidup yang masih bisa dicerna oleh target pembacanya yaitu middle grader. Endingnya pun tidak tipikal fairy tale karena dibuat cukup realistis.

Yang agak sedikit mengganggu bagi saya adalah gaya bahasa yang digunakan- yang untuk ukuran buku anak-anak, cukup rumit juga. Mungkin karena setting yang digunakan adalah kerajaan abad 18, gaya bahasa tokoh-tokohnya, terutama sang puteri, memang sangat berbunga-bunga dan berbelit-belit. Sampai agak pusing juga membacanya.

Tapi saya suka dengan judul tiap bab yang dibuat sangat menarik. Misalnya “How Sebastian Had a Bucket on His Head”, “How Sebastian Danced with a Bear”, atau ” How Sebastian Reached for the Moon”. Kreatif dan unik.

Overall, buku ini adalah buku petualangan yang cukup mengasyikkan bagi anak-anak. Tidak terlalu memorable, tapi menyenangkan.

Trivia:

  • Buku ini diterbitkan pertama kali tahun 1970 dan memenangkan penghargaan National Book Award.
  • Lloyd Alexander sebelumnya terkenal dengan serial The Chronicles of Prydain, yang terdiri dari 5 buku dan mendapatkan dua penghargaan Newbery. Sebastian adalah buku pertama yang ia tulis setelah menamatkan serial Prydain.
  • Dalam buku petualangan Sebastian ini, Lloyd Alexander mengangkat dua hal yang menjadi kecintaannya dalam hidup: biola dan kucing (melalui tokoh Presto yang menjadi hewan seperjalanan Sebastian).

Submitted for:

aname-1

Juliet, Naked by Nick Hornby

10 Monday Mar 2014

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 3 Comments

Tags

bargain book!, british, dramatic, english, fiction, music, name challenge 2014, penguin, review 2014, romance

juliet nakedJudul: Juliet, Naked

Penulis: Nick Hornby

Penerbit: Penguin Books (2010)

Halaman: 249p

Beli di: Dahara Books, Carrefour Central Park (IDR 25k, bargain!)

Annie
Lima belas tahun yang dijalaninya bersama Duncan bukanlah waktu yang sebentar. Namun Annie merasa kehidupannya di kota pesisir kecil di Inggris, Gooleness, begitu hampa. Dan ia ingin tahun-tahun yang disia-siakannya bisa kembali lagi, termasuk keinginannya untuk memiliki anak. Sampai suatu hari Duncan memutuskannya, dan Annie bertekad tidak akan menyia-nyiakan hidupnya lagi. Tapi ke mana ia harus mencari soulmatenya?

Duncan
Mengajar di sebuah universitas kecil di Gooleness, Duncan sangat terobsesi dengan Tucker Crowe, rocker asal Amerika yang mendadak berhenti dari dunia musik dan kini bersembunyi entah di mana. Duncan mengelola fans website dan menjadi salah satu pionir fandom Tucker Crowe. Obsesinya ini bahkan mengalahkan posisi Annie di hatinya, fakta yang Annie sendiri sudah sadar sejak lama.

Tucker
Mantan penyanyi/penulis lagu yang berasal dari Amerika. Album terakhirnya, Juliet, disebut-sebut sebagai album patah hati paling jenius di kancah musik dunia. Suatu hari sekitar 20 tahun yang lalu, Tucker memutuskan untuk berhenti bermusik, membatalkan seluruh rangkaian tur nya, dan menghilang dari dunia hiburan. Keputusannya ini menimbulkan banyak teori dari fansnya. Namun alasan sebenarnya, tak ada seorangpun yang tahu kecuali Tucker sendiri.

Juliet, Naked
Versi akustik dari album Juliet yang mendadak beredar lebih dari 20 tahun setelah Tucker Crowe berhenti bermusik. Album ini menimbulkan polemik di kalangan fansnya, dan bahkan menjadi pemicu berakhirnya hubungan Annie dan Duncan. Dan karena album ini pula, Annie bisa mengenal Tucker. Yap, the real Tucker Crowe.

My two cents

Nick Hornby mungkin adalah salah satu dari sedikit penulis laki-laki yang karyanya masih bisa dinikmati oleh pembaca perempuan (misalnya: About a Boy, High Fidelity), meski cukup kental dengan nuansa maskulin. Musik adalah salah satu elemen terbaiknya, dan hal itu dapat terasa jelas di buku ini.

Sesungguhnya tidak ada yang istimewa dengan Juliet, Naked. Bahkan karakter-karakternya pun tidak ada yang bisa disukai. Annie adalah perempuan egois dan pathetic yang haus drama. Duncan adalah laki-laki membosankan, childish dan sok tahu. Dan Tucker? He’s the worst. A total bastard, egois tingkat dewa, womanizer yang nggak jelas, tidak bertanggung jawab dan lari dari kenyataan hidup. Kalau bukan seorang (eks) rock star, dia mungkin sudah hidup jadi gelandangan di pinggir jalan.

Tapi apa yang membuat saya bertahan (dan bahkan memberi 3 bintang) pada buku ini?

Gaya penuturan Hornby.

Enak, mengalir dan believable. Sehingga meskipun saya tidak peduli dengan karakter-karakter yang ada di sini, saya masih tetap dibuat penasaran bagaimana ending buku ini. Penggambaran kota kecil Gooleness yang suram, tanpa kehidupan yang berarti, dengan tepat melambangkan kehidupan tiga orang karakter utama buku ini, yang diombang-ambingkan oleh kehampaan hidup.

Dan Nick Hornby- betapapun suram dan satir karyanya- tetap seorang pencerita yang baik. Inilah yang menyelamatkannya dari caci maki saya sebagai pembaca 🙂 Mungkin dia adalah kebalikan beberapa penulis yang memiliki “premis luar biasa, eksekusi gagal”. Karena untuk Hornby, kasusnya adalah “premis yang nggak jelas, namun dieksekusi dengan lumayan baik”.

Bukan karya Hornby yang terbaik (dan endingnya pun betul-betul “meh” menurut saya), tapi lumayanlah 🙂

Submitted for:

aname-1

Lockwood & Co., The Screaming Staircase by Jonathan Stroud

06 Thursday Mar 2014

Posted by astrid.lim in fiction, young readers

≈ 16 Comments

Tags

bahasa indonesia, british, children, fiction, Gramedia, horror, humor, middle grade, mystery, name challenge 2014, review 2014, series, terjemahan

lockwoodJudul: Lockwood & Co., The Screaming Staircase

Penulis: Jonathan Stroud

Penerjemah: Poppy D Chusfani

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2013)

Halaman: 424p

Beli di: @HobbyBuku (IDR 70, disc 20%)

“Ketika aku menoleh kembali, gadis itu sudah lebih dekat, hampir berada di landasan. Wajahnya masih tertutup bayangan, tapi sinar-gaib yang melayang di sekitar tubuhnya lebih terang daripada tadi. Pergelangan tangannya yang kurus tampak kaku di sisi tubuh, jemarinya bengkok seperti kail pancing. Kakinya yang telanjang sangat kurus.”(P 36)

Menyegarkan. Itulah kesan pertama saya saat mulai terhipnotis masuk ke dunia London-nya Lucy Carlyle yang dengan jenius diciptakan oleh Jonathan Stroud. Di tengah gempuran kisah dystopia/science fiction/paranormal/dan sejenisnya yang menguasai ranah fantasi Young Adult, Stroud hadir dengan ide yang berbeda.

Kisah hantu klasik era 80-an (ingat Goosebumps atau Ghostbuster?) direka ulang dengan nuansa yang penuh horror sekaligus humor. Mirip dengan gayanya saat menciptakan sosok jin lovable di serial terdahulunya, Bartimaeus, kini Stroud memperkenalkan Anthony Lockwood, tokoh sentral yang penuh kharisma sekaligus rahasia, dan tak lupa, menambahkan bumbu kekonyolan di sepanjang cerita.

Lucy Carlyle adalah seorang anak perempuan yang sedari kecil memiliki Bakat Daya Dengar. Ia bisa mendengar hantu, dan ini merupakan salah satu dari tiga Bakat yang dihargai sejak Inggris ditimpa Masalah, yaitu dikuasai oleh banyaknya penampakan dan kehadiran Pengunjung (alias hantu) yang menebarkan ketakutan dan kematian.

Lucy berasal dari kota kecil di utara Inggris, namun insiden di agensi pembasmi hantu tempatnya bekerja memaksa ia untuk hijrah ke London. Di London, Lucy yang berharap bisa masuk ke salah satu agensi terkemuka, terpaksa puas mendapat kerja di agensi pembasmi hantu paling kecil di kota itu, yaitu Lockwood & Co. Anthony Lockwood sang pemimpin adalah remaja penuh kharisma dan masa lalu misterius, sementara satu-satunya rekan Lucy yang lain, George, adalah pemuda gemuk yang doyan makan, pemarah, namun punya kemampuan riset yang mumpuni. Bertiga, mereka berusaha memecahkan kasus-kasus yang datang dari klien.

Namun ketika sebuah kasus berakhir dengan malapetaka, Lockwood dan rekan-rekannya dihadapkan pada kemungkinan terburuk: menutup agensi mereka. Satu-satunya jalan keluar adalah memenuhi undangan seorang klien misterius yang kaya raya, untuk menginap di rumah paling berhantu di Inggris. Mampukah mereka?

Awal membaca buku ini saya cukup deg-degan, karena saya termasuk orang yang penakut. Untunglah, ternyata buku ini, meskipun penuh adegan menegangkan, memang ditulis untuk pembaca middle grade, jadi kesan horrornya masih bisa saya terima dengan baik. Stroud adalah pencerita yang hebat, seperti biasa mampu menggabungkan unsur misteri, petualangan dan humor dengan cemerlang.

Jika sebelumnya Stroud berhasil menciptakan Inggris sebagai negara penyihir, kini ia bermain-main dengan ide Inggris yang diserbu oleh hantu– tanpa sebab yang jelas (yang pastinya akan terpecahkan saat serial ini berakhir). Beberapa istilah yang awalnya membingungkan, cepat terasa akrab bagi pembaca, seperti jenis-jenis hantu dan penampakan, juga senjata-senjata yang lazim digunakan untuk membasmi hantu.

Saran saya, bukalah bagian glosarium di belakang buku kalau menemukan istilah yang agak aneh, karena semua dijelaskan di sana. Saya sendiri terlambat menyadari kehadiran glosarium ini dan terpaksa menebak-nebak beberapa istilah asing di awal kisah.

Tidak seperti buku-buku pendahulunya, kini Stroud konsisten menggunakan sudut pandang orang pertama, yaitu Lucy, sebagai narator. Untungnya Lucy digambarkan cukup menyenangkan, tangguh namun tidak sok jago, memiliki kelemahan dan selera humor juga. Nyaris seperti Katniss di trilogi Hunger Games.

Terjemahan buku ini pun bisa dibilang sangat baik, Poppy D Chusfani bukan nama asing sebagai penerjemah buku-buku Stroud yang diterbitkan oleh Gramedia. Meskipun saya masih bertanya-tanya, kenapa staircase diterjemahkan sebagai undakan ya? Bedanya sama tangga apa?

Satu komentar saya yang agak bersifat kritik mungkin hanya pada covernya. Cover buku ini sebenarnya cukup inovatif, terdiri dari lubang kunci yang di baliknya ada sesosok hantu. Namun ini sebenarnya kurang cocok karena hantu yang digambarkan di cover tidak sesuai dengan kasus-kasus yang ditangani Lockwood & Co. Dan juga. Sepertinya GPU berusaha agak terlalu keras untuk memperlihatkan buku ini sebagai kisah mengerikan, padahal sebenarnya bukan murni horror (agak mengingatkan saya dengan kasus cover Miss Peregrine).

Tampak depan

Tampak depan

Tampak dalam.

Tampak dalam.

Overall, saya merekomendasikan buku ini pada setiap orang yang kangen dengan kisah fantasi yang berbeda, yang lebih klasik, tanpa melibatkan vampir dan manusia serigala 🙂

Good News!

Buku kedua Lockwood & Co. siap beredar September 2014, dengan judul sementara The Whispering Skull. Kisahnya tentu masih berkisar di antara perburuan hantu, misteri Masalah di Inggris, persaingan Lockwood & Co. dengan agensi-agensi besar di London, dan tentu saja, hubungan antara ketiga rekan kerja tersebut. Hmmmm… mungkin nggak yaaa… Lucy dan Lockwood akhirnya jadi lebih dari sekadar teman kerja? 😀

 

 

The Narrative of John Smith by Arthur Conan Doyle

05 Wednesday Mar 2014

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 7 Comments

Tags

classic, english, fiction, name challenge 2014, review 2014, whats in a name 2014

narrative-john-smith-coverTitle: The Narrative of John Smith

Writer: Arthur Conan Doyle

Publisher/Edition: The British Library/Hardcover (2011)

Pages: 138p

Bought at: The Book Depository 25hrs sale (USD 5,34)

The words “His unpublished first novel” caught me fast, and I impulsively (like I always did everytime there’s this 25 hrs sale in Book Depository) bought it. This book is perfect to put into your collection, if you are a hardcore fan of Sir Conan Doyle. It has so many historical points, from the fact that this book was written before any of Conan Doyle’s other novels, and also the fact this book had never been published before- due to some lost and incomplete manuscripts. Oh, and not to mention that lots of the narratives here would be used by Conan Doyle in his more famous novels later, including several Sherlock Holmes ones.

The story itself is pretty simple.

A 50-year-old man named John Smith was confined to his room due to an attack of gout. And because he’s an outdoor kind of guy, being confined became really hard for him. Smith then tried to occupy himself, by writing his thoughts about many things- from religions, creation theory, his views of medical issues, world peace and even literature and science. Sometimes, he also had conversation with several people- his doctor, his landlady, and his neighbors.

It’s funny to think that before the brilliant Sherlock Holmes stories, Conan Doyle was a young guy (he’s 23 years old when writing this story) with a very raw and complicated mind. He seemed to want to express his many opinions throughout this book but sometimes it turned out to be lots of chaos.

Some of his thoughts, though, were quite controversial for his time, especially regarding his agnostic/atheist view, his disappointment with Christianity and other organized religions, and the simplicity of human minds to believe something we called God.

For me, this book contained lots of rubbish. Conan Doyle seemed like a snobbish young guy who happened to know-it-all, wanted to impress his readers with so many new ideas. I don’t like the way he expressed his opinions here, and frankly speaking I don’t agree with some of his ideas. I don’t like the way he – through John Smith- judged people who chose to trust God, and I don’t share his opinions about science as the core of human existence.

For me, this is a proof of Conan Doyle’s younger days: immature, reckless and unorganized. I’m glad he finally wrote many incredible classics (although Sherlock Holmes’s mind, if you think about it, did resemble Conan Doyle a bit), and became more mature at his older age.

Like I said before, this book is a precious thing for you Conan Doyle’s biggest fans, but if you expected something genius, incredible, something like Sherlock, hmmm you better skip this one.

Submitted for:

aname-1

"Forename/names" category

“Forename/names” category

We Need to Talk About Kevin by Lionel Shriver

24 Monday Feb 2014

Posted by astrid.lim in adult, fiction

≈ 8 Comments

Tags

america, dramatic, dysfunctional family, english, fiction, name challenge 2014, psychology, review 2014, tragedy

we need to talkJudul: We Need To Talk About Kevin

Penulis: Lionel Shriver

Penerbit/Edisi: The Text Publishing Company, Paperback (2006)

Halaman: 468p

Beli di: @Balibooks (IDR 50k)

Untuk setiap orang tua, salah satu mimpi terburuk adalah mendapati anaknya menjadi seorang pembunuh massal, yang mengakibatkan kematian tujuh orang teman sekolahnya. Hal itulah yang harus ditanggung oleh Eva Khatchadourian, setelah anak laki-lakinya Kevin dipenjara akibat penembakan massal di sekolah yang dilakukannya.

Dua tahun setelah Kevin dipenjara, Eva mulai menulis surat pada suaminya, Franklin, menyusuri awal hubungan mereka, pernikahan dan masa kecil Kevin. Sebagai orang tua, Eva bertanya-tanya, What could’ve been wrong? What did she do to deserve this?

Apakah menjadikan Kevin si pembunuh merupakan hasil perbuatannya dan Franklin selama bertahun-tahun, pola parenting yang salah dan menjerumuskan? Ataukah Kevin memang sudah dilahirkan dengan hati yang dingin, moral yang beku, dan keinginan untuk merusak bahkan sejak kecil?

Eva mengingat-ingat pergumulannya saat memutuskan ingin memiliki anak, dilemanya memilih antara keluarga atau karier (Eva memiliki perusahaan buku panduan traveling sejenis Lonely Planet), dan peperangannya dengan Franklin tentang cara terbaik membesarkan Kevin. Franklin sangat mengakomodir Kevin sementara Eva selalu memiliki prasangka buruk terhadap anaknya. Manakah yang lebih baik? Mana yang berpengaruh fatal?

Buku ini adalah salah satu buku paling gelap, paling berat, dan paling membuat depresi yang pernah saya baca, terutama setelah berstatus sebagai orang tua. Hingga batas apa orang tua dapat menentukan masa depan anaknya? Hingga batas apa orang tua bisa disalahkan atas perilaku anaknya?

Kontemplasi Eva sepanjang buku ini terasa sangat real, di satu sisi saya bisa bersimpati padanya,meski di sisi lain saya menganggap beberapa hal memang merupakan kesalahannya. Tapi yang paling misterius adalah Kevin. Bagaimana rasanya memiliki anak yang tidak bisa kita percaya? Saya hanya bisa merinding bila memikirkan kejadian ini dapat menimpa siapa saja. Seorang anak yang berasal dari darah daging kita mendadak menjadi sosok yang asing dan menyeramkan.

Satu-satunya komplain saya adalah gaya bahasa Lionel Shiver yang terasa sangat sophisticated. Eva memang digambarkan sebagai perempuan yang snob, keturunan imigran Armenia yang berusaha melakukan pembuktian diri di Amerika, dan mungkin gaya bahasa ini disengaja untuk memperkuat karakter Eva, apalagi sepanjang buku ini yang digunakan adalah sudut pandang Eva melalui surat-suratnya pada Franklin. Namun tetap saja saya tidak bisa menikmatinya. Kalimat-kalimat yang terlalu panjang dengan vocab yang seolah dipadukan dari berbagai kamus membuat saya menjadi kurang sabar terhadap Eva dan sulit bersimpati dengannya.

Meski demikian, saya mengacungi jempol untuk issue berat yang diangkat oleh Lionel Shriver dalam buku ini, yang terasa sangat relevan khususnya di belahan dunia Amerika. Saya ingat, seorang kerabat yang sekarang tinggal di Amerika, mengaku selalu ketar-ketir kalau di sekolah anaknya sudah mulai ada “code red alert” yang biasanya terjadi kalau sudah ada kasus penembakan di sekolah lain. Sepertinya selain maraknya kasus bullying, ijin penggunaan senjata juga menjadi issue yang masih sering diperdebatkan.

Trivia

  • Di enam minggu pertama tahun 2014, tercatat sudah ada 13 kasus penembakan sekolah di Amerika Serikat. Sedangkan sejak Desember 2012, sudah ada 44 kasus penembakan dengan total korban meninggal sebanyak 28 orang, mayoritas dari mereka adalah siswa sekolah yang bersangkutan.
  • Yang mengerikan, sebagian besar dari kasus tersebut dilakukan oleh siswa yang berusia di bawah 18 tahun.
  • Penembakan di sekolah bukanlah hal baru di Amerika, karena sudah pernah terjadi sejak tahun 1927 di Bath Township, Michigan (dengan korban tewas mencapai 45 orang). Namun jumlah dan skalanya pun bertambah seiring perkembangan jaman, termasuk peraturan penggunaan senjata di Amerika Serikat yang dianggap semakin bebas.
  • We Need To Talk About Kevin sudah diangkat ke layar lebar tahun 2011, dengan Tilda Swinton sebagai Eva, dan Ezra Miller sebagai Kevin.
Ezra Miller looks so chilling as the twisted Kevin.

Ezra Miller looks so chilling as the twisted Kevin.

Submitted for:

aname-1

← Older posts

From the bookshelf

Categories

Looking for Something?

Enter your email address to follow Books to Share and receive notifications of new posts by email.

Join 1,036 other subscribers

Currently Reading

I’m a Proud Member! #BBI 1301004

Wishful Wednesday Meme

Fill your Wednesdays with wishful thinking =)

Popsugar Reading Challenge 2018

bookworms

  • aleetha
  • althesia
  • alvina
  • ana
  • annisa
  • bzee
  • dewi
  • dion
  • fanda
  • Ferina
  • helvry
  • inne
  • Kobo
  • maya
  • mei
  • melmarian
  • mia
  • ndari
  • nophie
  • oky
  • peri hutan
  • ren
  • Reygreena
  • sel sel kelabu
  • sinta
  • tanzil
  • tezar
  • yuska

shop til you drop

  • abe books
  • Amazon
  • better world books
  • book depository
  • BukaBuku
  • Buku Dedo
  • bukukita
  • vixxio

Top Posts & Pages

  • Red, White & Royal Blue by Casey McQuiston
    Red, White & Royal Blue by Casey McQuiston
  • The Secret History
    The Secret History
  • Klara and the Sun by Kazuo Ishiguro
    Klara and the Sun by Kazuo Ishiguro
  • The Monogram Murders by Sophie Hannah
    The Monogram Murders by Sophie Hannah
  • Puddin' by Julie Murphy
    Puddin' by Julie Murphy

Recent Comments

Puddin’ by Jul… on Dumplin’ by Julie M…
jesica on Abarat 2: Days of Magic, Night…
jesica on Abarat 2: Days of Magic, Night…
When the Stars Go Da… on The Paris Wife
Hapudin Bin Saheh on Insomniac City: New York, Oliv…

Blog at WordPress.com.

Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
  • Follow Following
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Join 1,036 other followers
    • Already have a WordPress.com account? Log in now.
    • perpuskecil.wordpress.com
    • Customize
    • Follow Following
    • Sign up
    • Log in
    • Report this content
    • View site in Reader
    • Manage subscriptions
    • Collapse this bar
 

Loading Comments...