Buku ini pertama kali diterbitkan tahun 1955, dan kesan klasiknya memang langsung terasa. Ditulis oleh Eleanor Farjeon, penulis berkebangsaan Inggris yang karya-karyanya sangat underrated, The Little Bookroom adalah sebuah kumpulan kisah-kisah pendek dan fairytales yang menghangatkan hati dan sangat kental nuansa nostalgianya.
Saya belum pernah membaca karya Farjeon sebelumnya, namun pengalaman pertama ini cukup menyenangkan buat saya. Kisah-kisah dalam buku ini cukup bervariasi, mulai dari dongeng atau fairy tales, hingga children realistic fiction. Semacam kombinasi antara Hans Christian Andersen dan Enid Blyton.
Beberapa cerita memang agak terlalu panjang, dan gaya bahasanya, meski masih termasuk mudah dimengerti, lumayan terasa old style, dengan setting yang kebanyakan mengambil periode abad ke-19. Jadi saya tidak terlalu yakin kalau buku ini akan menarik untuk anak-anak yang menjadi target pembacanya. Menurut saya, buku ini akan lebih menarik untuk pembaca dewasa yang ingin bernostalgia tentang masa kecilnya.
The Little Bookroom yang menjadi judul buku ini bukan merupakan kisah utama ataupun tema dari buku ini. Awalnya, saya sangka kebanyakan kisah akan berlatarkan buku, atau bercerita tentang buku dan dunia membaca. Namun ternyata, Little Bookroom adalah ruang membaca yang menjadi tempat favorit Farjeon saat kecil. Di ruang itulah ia menumbuhkan kecintaannya akan buku dan membaca, dan The Little Bookroom, yang berisi kumpulan kisah nostalgia masa kanak-kanak, menjadi tribute untuk ruangan bersejarah tersebut.
Meski kebanyakan cerita memiliki tema yang mirip bahkan ada yang cenderung klise, beberapa kisah menyimpan kejutan dan ending yang tak terduga. Favorit saya termasuk Westwoods, tentang persahabatan Raja dengan housekeepernya, yang berkembang menjadi lebih dari sekadar teman, namun dengan gaya acuh tak acuh yang kocak. Lalu ada juga The Little Dressmaker, yang sepertinya akan menjadi seperti kisah Cinderella standar, namun menyimpan kejutan di bagian akhir untuk sang penjahit pakaian.
Ilustrasi dalam buku ini juga khas ilustrasi buku anak klasik, mengingatkan saya dengan buku-buku Lima Sekawan dan teman-temannya, sehingga semakin menambah kesan nostalgia yang menyenangkan. Overall, a wonderful experience indeed.
Rating: 4/5
Recommended if you like: children stories, fairy tales, British classics, Enid Blyton vibes, cheeky endings
Ini adalah buku pertama yang ditulis Agatha Christie untuk Miss Marple, dan saya menyarankan pembaca yang memang baru mau mulai berkenalan dengan buku-buku Christie, khususnya Miss Marple, untuk memulai dari Murder at the Vicarage.
Dalam buku ini, Chirstie memperkenalkan setting desa kecil St. Mary Mead, tempat tinggal Miss Marple dan sejumlah “perawan tua” yang memiliki sifat khas wanita terhormat yang hidup di pedesaan Inggris dan masih memegang teguh norma-norma kesopanan.
Narator buku ini, sang vicar, terasa sangat tepat membawakan kisah misteri pembunuhan di St. Mary Mead. Keluguannya berpadu pas dengan ketajaman Miss Marple, didampingi oleh sejumlah karakter memorable yang nantinya akan menjadi penghuni tetap kisah-kisah Miss Marple, seperti tiga sekawan Miss Hartnell, Mrs. Price Ridley, dan Miss Wetherby yang selalu tahu gosip terbaru, juga Dr. Haydock yang setia, yang merupakan kawan lama Miss Marple.
Misterinya sendiri bisa dibilang cukup seru, dengan red herring yang cerdas, dan formula yang nantinya akan dipakai lagi oleh Christie di beberapa bukunya. Kolonel Proterhoe, yang dibenci semua orang, ditemukan mati terbunuh di ruang kerja sang vicar. Yang dicurigai tentu saja istrinya, Anne Proterhoe, serta seniman muda yang dicurigai memiliki affair dengannya, Lawrence Redding. Namun, mereka sama-sama memiliki alibi kuat, sementara fakta tentang waktu kematian tidak dapat diganggu gugat.
Kecurigaan beralih pada orang-orang di sekitar sang kolonel: Lattice, anak perempuannya yang jauh lebih cerdas dibanding yang ia tunjukkan, Dr. Stone, arkeologis misterius yang sedang ada proyek di dekat rumah Kolonel, Mrs. Lestrange, pendatang baru yang menyimpan rahasia masa lalu, bahkan Griselda, istri vicar yang masih muda.
Murder at the Vicarage merupakan salah satu karya Christie yang paling kaya akan karakter, karena semua karakter memiliki porsi yang sama, dan peran masing-masing dalam drama yang terjadi. Setiap gosip, rumor, penggalan percakapan, bahkan suara mencurigakan, memiliki penjelasannya sendiri. Dan di sini Miss Marple, yang berpartner dengan vicar, menunjukkan kepiawaiannya dalam mengobservasi, sekaligus ketajamannya dalam menganalisis setiap peristiwa.
Sifat manusia, adalah salah satu hal yang menjadi favorit Miss Marple, dan memang merupakan keahliannya yang akan terus berguna dalam memecahkan kasus-kasus di buku-buku berikutnya. Namun, di buku pertama inilah, kita diajajk untuk mengenal Miss Marple lewat lingkungannya yang paling dekat, yang akan membantunya membentuk gaya khasnya dalam memecahkan misteri.
Rating: 4/5
Recommended if you like: Agatha Christie, cozy mysteries, OG characters, British village settings, red herrings, lots of them!, quirky narrator
Judul: The It-Doesn’t-Matter-Suit and Other Stories
Penulis: Sylvia Plath
Penerbit: Faber & Faber Limited (2001)
Halaman: 86p
Beli di: @post_santa (IDR 210k)
What? Sylvia Plath has written a children book? Itu reaksi pertama saya saat melihat buku ini dipajang di Instagram @post_santa. Masih terbayang jelas suramnya The Bell Jar yang sempat saya baca tahun lalu, dan saya tidak menyangka Sylvia Plath yang identik dengan prosa kelam dan depresif, serta kehidupan pribadi yang juga tragis, sempat menelurkan buku anak-anak.
Buku ini hanya terdiri dari tiga kisah pendek, salah satunya adalah It-Doesn’t-Matter-Suit yang dipakai menjadi judul buku. Ceritanya Max yang mengidam-idamkan jas miliknya sendiri, tapi terpaksa menunggu karena ia adalah anak paling bontot, dengan enam orang kakak laki-laki yang selalu mendapatkan segala hal lebih dahulu daripada Max.
Metode cerita dengan pengulangan, ditambah unsur penekanan karakter yang kocak, menjadi ciri khas Sylvia Plath dalam menulis kisah anak. Hal ini juga terlihat pada The Bed Book, yang sebenarnya lebih berupa puisi berima, mengingatkan saya dengan kisah Dr. Seuss yang absurd namun memorable.
Sedangkan Mrs. Cherry’s Kitchen malah membuat saya teringat dengan Enid Blyton, terutama buku-bukunya yang ditujukan untuk anak-anak yang lebih muda. Sosok peri di dapur yang bertanggung jawab terhadap semua peralatan yang memiliki karakter bermacam-macam, diolah menjadi kisah yang seru dan lucu.
Saya sendiri berharap buku ini memuat lebih banyak cerita, tetapi sayangnya memang Sylvia Plath tidak banyak menerbitkan kisah untuk anak-anak. Bahkan, cerita dalam buku ini juga sebenarnya ditulis untuk anak-anaknya sendiri. Bagaimanapun, this was such a gem, dan saya bersyukur bisa melihat sisi lain dari Sylvia Plath lewat kisah-kisah penuh kepolosan dalam buku ini.
Rating: 3.5/5
Recommended if you like: classics children stories, getting to know more of Sylvia Plath, short book for bed time reading, Dr. Seuss/Roald Dahl/Enid Blyton vibes
Submitted for:
Category: The shortest book (by pages) on your TBR list
Penerbit: Modern Library (2009, first published 1862)
Halaman: 1329p
Beli di: Books and Beyond (IDR 130k, bargain!)
Sejujurnya, saya bingung bagaimana mereview buku legendaris setebal lebih dari 1000 halaman ini. Where should I start?
Mungkin, yang paling mudah dan masuk akal adalah membuat summary singkat setiap volume, kemudian menyampaikan kesan-kesan saya secara keseluruhan di bagian akhir review ini 🙂 I hope that’s okay.
Kali ini kita beralih ke Cosette, setelah bertahun-tahun hidup menderita, akhirnya dipertemukan dengan Jean Valjean, dan mereka berusaha bertahan hidup sebagai keluarga, meski Javert tetap mengejar Jean Valjean akibat masa lalunya yang suram.
PART THREE: MARIUS
Cosette tumbuh menjadi gadis cantik, yang memikat hati seorang pemuda bernama Marius. Namun, Marius dalam keadaan galau, antara mengikuti jejak ayahnya, pendukung Republik, atau tetap setia dengan kakek yang mengurusnya dari kecil, yang merupakan bagian dari kaum elite. Marius pun bertemu dengan sekelompok pemuda yang sedanng berkobar-kobar ingin melancarkan revolusi terhadap pemerintah Prancis saat itu.
PART FOUR: THE IDYLL OF THE RUE PLUMET AND THE EPIC OF THE RUE SAINT-DENIS
Di tengah kisah cinta Marius dan Cosette yang penuh drama, termasuk tentangan dari Jean Valjean (yang tidak rela kehilangan Cosette), Marius ikut serta dalam demonstrasi yang digagas teman-temannya. Klimaks yang terjadi kemudian melibatkan juga Jean Valjean serta Javert, yang berada di tengah situasi penuh bahaya tersebut.
PART FIVE: JEAN VALJEAN
Bagaimanakah Jean Valjean akan mengakhiri kisahnya? Apakah dengan kejujuran, penerimaan terhadap identitasnya, meski itu artinya ia akan kehilangan Cosette, satu-satunya orang paling berarti di hidupnya? Dan bagaimanakah akhir perseteruan Jean Valjean dengan Javert?
Tema yang (sebetulnya) sederhana ini, dibuat rumit oleh Victor Hugo karena kecenderungannya untuk menulis dengan panjang lebar, terutama untuk hal-hal yang menjadi passionnya. Misalnya, di Part One, ada satu bagian yang amat panjang, yang bercerita tentang Bishop Bienvenu, yang tidak akan muncul lagi di sepanjang buku, tapi karena memiliki peran cukup penting dalam turning point Jean Valjean, maka kisah sang Bishop ditulis dengan amat detail, hingga ke masa lalu dan latar belakangnya yang panjang.
Pada akhirnya, saya bersyukur berhasil menyelesaikan buku ini, yang – eventhough indeed a monster- terasa epik, menakjubkan, dan menyajikan salah satu pengalaman membaca luar biasa yang sudah jarang saya temui dari buku fiksi kontemporer.
Sekarang, tinggal menonton filmnya, untuk melihat whether they do this book justice? 😀
Rating: 4/5
Recommended if you like: history, French, epic drama, brick books, everlasting classics
Submitted for:
Category: The longest book (by pages) on your TBR list
Sing a song of sixpence, A pocket full of rye, Four and twenty blackbirds Baked in a pie.
When the pie was opened The birds began to sing— Wasn’t that a dainty dish To set before the king?
The king was in the counting-house Counting out his money, The queen was in the parlor Eating bread and honey
The maid was in the garden Hanging out the clothes. Along came a blackbird And snipped off her nose.
Nursery rhyme adalah salah satu tools yang sering dipakai oleh Agatha Christie, dengan hasil yang cukup beragam. Ada yang berhasil karena temanya pas, ada juga yang agak sedikit maksa.
Menurut saya, A Pocket Full of Rye masuk ke kategori pertama, karena antara nursery rhyme dengan plot kisah pembunuhan dalam buku ini sangat berkaitan erat.
Kisahnya diawali dari Rex Fortescue, pengusaha kaya yang meninggal mendadak di kantornya setelah minum secangkir teh. Hasil autopsi mendapatkan jejak tanaman yew yang beracun di tubuh Rex. Siapa yang ingin membunuh Rex Fortescue?
Jawabannya, ternyata: banyak. Ada istrinya yang masih muda dan disinyalir memiliki affair dengan laki-laki lain, ada anak sulungnya yang merasa sang ayah merugikan perusahaan, ada anak laki-laki yang sudah sekian lama menghilang dan kini kembali untuk memulihkan hubungannya dengan keluarganya, dan ada dendam masa lalu dari sosok misterius yang sepertinya kembali menghantui keluarga Rex Fortescue.
Ketika setelahnya kembali terjadi beberapa pembunuhan, sesuai dengan skenario nursery ryhme di atas, Miss Marple, yang mengenal salah satu korban, akhirnya mendatangi Yew Lodge dan bertekad akan menyelidiki kasus tersebut. Serunya, kali ini ia bekerja sama dengan Inspektur Neele, yang tidak seperti kebanyakan polisi yang ditemui Miss Marple dalam kasus-kasus lain, cukup menghargai kehadiran Miss Marple dan bahkan menganggapnya sebagai partner yang setara.
Di buku ini, peran Miss Marple juga cukup berarti, dan seperti biasa, deduksi dan analisisnya benar-benar on point. Kalau dibandingkan dengan kasus-kasus Poirot yang seringkali spektakular dan pemecahannya out of the box, biasanya kasus-kasus Miss Marple lebih down to Earth, semua memiliki penjelasan dan pemecahannya pun sebenarnya tidak terlalu aneh, hanya saja kelengahan kita membuatnya tetap menjadi twist yang mengejutkan.
Keluarga Fortescue adalah keluarga kaya dysfunctional yang tidak bahagia, salah satu ciri khas keluarga ciptaan Christie yang juga muncul di beberapa kisah lain.
Penerbit: HarperCollinsPublishers LTD (2017, first published in 1938)
Halaman: 261p
Beli di: Kinokuniya iStyle (IDR 129k)
Luke Fitzwilliam sedang dalam perjalanan dengan kereta api ke London sepulangnya dari bertugas di Selat Mayang, ketika ia bertemu dengan Miss Pinkerton. Miss Pinkerton bercerita tentang kejadian-kejadian aneh di desanya, Wychwood, di mana banyak terjadi kematian tak terjelaskan, yang menurut Miss Pinkerton sebenarnya adalah pembunuhan yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki reputasi baik. Karena itulah Miss Pinkerton hendak pergi ke Scotland Yard dan berkonsultasi di sana.
Luke awalnya hanya menganggap Miss Pinkerton sebagai wanita tua nyentrik. Namun ketika ia melihat berita kematian Miss Pinkerton karena kecelakaan tabrak lari di London, rasa ingin tahunya terusik. Ia memutuskan untuk berkunjung ke desa Wychwood, menyamar sebagai penulis buku sambil menyelidiki ada rahasia apa sebenarnya di desa tersebut. Dan semakin Luke mengenal penduduk Wychwood, mulai dari Bridget, perempuan yang gayanya seperti tukang sihir, Ellsworthy pemilik toko antik yang memiliki rahasia terselubung, sampai Dr. Thomas muda yang penuh ide-ide progresif, Luke semakin curiga, karena desa yang tampak adem ayem ini menyimpan kekejian yang luar biasa.
Murder is Easy mengingatkan saya akan kisah-kisah Miss Marple. Settingnya di desa Inggris, karakter-karakternya yang khas (dokter, pemilik toko, petinggi desa/orang kaya, pendeta, pensiunan tentara, dan tentu saja – perawan tua). Pembunuhannya pun dilakukan oleh orang biasa, dengan metode yang juga tidak luar biasa, sesuai dengan judul buku ini. Murder is indeed easy!
Ketidakhadiran Poirot maupun Miss Marple digantikan oleh Luke Fitzwilliam, mantan polisi yang baru selesai bertugas di daerah koloni Inggris. Luke sendiri agak mengingatkan saya dengan Hastings sebenarnya, karena agak slow dan naif, hahaha. Malah Bridget yang lebih sharp, meski plot romansnya dengan Luke agak sedikit menjadi distraksi.
Twist buku ini sebenarnya adalah salah satu yang paling melodramatik di antara buku-buku Christie, dengan motif pembunuhan yang tak kalah dramatisnya. Tapi menurut saya bukunya sendiri cukup enjoyable, memberikan sedikit kesegaran bila kita ingin mencoba kisah Christie tanpa Poirot maupun Miss Marple.
Rating: 3/5
Recommended for readers who like: mystery with romance plot, melodramatic twist, idyllic setting, English post WWI, underrated Christie books
Beli di: Bookdepository.com (Part of Newbery Boxset)
“On your honor?” Joel’s father said.
“You won’t go anywhere except the park?”
“On my honor,” Joel repeated.
Kisah yang sederhana ini memiliki kekuatan justru karena kesederhanaannya. Joel dan sahabatnya, Tony, berencana untuk bersepeda ke taman Starved Rock yang letaknya cukup jauh dari rumah mereka. Meski awalnya ragu, ayah Joel akhirnya mengizinkan mereka pergi, dengan catatan mereka berjanji hanya akan pergi ke taman tersebut, dan bukan tujuan lainnya. Joel pun berjanji “On my honor”, yang merupakan janji tertinggi yang bisa ia ucapkan.
Namun di tengah jalan, saat melewati sungai Vermillion, Tony tergoda untuk berhenti, meski Joel sudah mengingatkannya akan bahaya sungai yang berarus deras tersebut. Seperti biasa, Tony yang memang suka menantang bahaya tidak menggubris peringatan Joel, malah mengajaknya balapan berenang ke tengah sungai. Joel yang tidak mau dicap sebagai penakut akhirnya mengikuti Tony, dan terlambat menyadari kalau Tony sebenarnya tidak bisa berenang.
On My Honor merupakan buku yang amat singkat, padat, dan to the point, dengan sasaran anak-anak seusia Joel dan Tony. Setting kisah tahun 1980-an terasa jelas di buku ini, di mana anak-anak masih bebas berkelana dan kadang mengambil keputusan tak bertanggung jawab yang akan mempengaruhi hidup mereka.
Buat saya, yang menjadi kekuatan buku ini mungkin bukan hanya pesan moralnya (yang tidak disampaikan dengan nada menggurui), namun justru agony, pergumulan Joel saat menyadari kesalahan besar yang ia lakukan, yang awalnya terasa hanya sekadar melanggar sebuah janji yang tak terlalu berarti, namun ternyata berkembang menjadi penyesalan seumur hidup.
Saya amat suka analisis Katherine Paterson di bagian awal buku, yang menelaah tentang pergumulan Joel dari sudut pandang “korban”. Korban perasaaan bersalah yang tidak akan pernah hilang seumur hidupnya. Dan memang, On My Honor, dengan segala kesederhanaannya, tetap terasda relevan sampai sekarang karena mengandung pesan moral yang timeless. No wonder buku ini menggondol Newbery Honor. Hanya saja, memang buku ini terasa amat singkat, dan saya berharap ada versi yang lebih panjang dari kisah perjalanan hidup Joel selanjutnya.
Rating: 3.5/5
Recommended if you want to read: classic middle grade books, Newbery book, straightforward story, one seating book, something to read with your kids
Submitted for:
Category: The book on your TBR list with the ugliest cover
Penerbit: Penguin Essentials (2011, first publshed 1932)
Halaman: 233p
Beli di: Bookdepository (IDR 92k)
Flora Poste resmi menjadi yatim piatu di usia 20 tahun. Berbekal pendidikan (yang menurutnya terlalu berlebihan tapi tidak bisa membantunya mendapatkan uang) dan sederet kerabat yang tidak terlalu ia kenal, Flora memutuskan satu-satunya jalan yang paling praktis adalah menumpang di rumah salah satu kerabatnya tersebut.
Setelah melalui serangkaian proses seleksi ketat, Flora memilih keluarga Starkadders di Sussex sebagai calon tempat tinggalnya yang baru. Keluarga Starkadders memiliki pertanian bernama Cold Comfort Farm, dan Flora bertekad akan menemukan rumah yang nyaman di tengah iklim pedesaan tersebut.
Ternyata keluarga Starkadders memiliki berbagai masalah yang menjadikan mereka orang-orang paling tidak bahagia yang pernah Flora kenal. Judith, sepupu Flora, terobsesi dengan anak laki-lakinya, Seth. Seth sendiri dikenal sebagai playboy di desa, yang kerap menimbulkan masalah di antara para gadis desa. Amos, suami Judith yang seharusnya menjadi kepala keluarga, malah lebih fokus dengan kegiatannya sebagai penginjil dan terus menghakimi keluarganya yang penuh dosa. Dan di tengah semua kekacauan keluarga Starkadders, ada Ada Doom, yang mengutuk keluarga ini sehingga tidak ada yang bisa meninggalkan pertanian selamanya.
Tapi bukan Flora namanya kalau menyerah dengan situasi. Ia malah tertantang untuk memperbaiki kondisi keluarga Starkadders dan membuat pertanian Cold Comfort menjadi tempat yang paling hangat dan nyaman sedunia. Sifatnya yang praktis dan berkepala dingin membantunya menghadapi setiap masalah, dan Flora selalu memiliki ide yang fresh untuk setiap anggota keluarga dan permasalahan mereka.
Tentu saja awalnya kehadiran Flora ditolak mentah-mentah oleh keluarga Starkadders. Ia dianggap sebagai pengganggu yang menyebalkan, perempuan sok tahu yang ingin mengacaukan keluarga mereka (yang sebenarnya sudah sangat kacau). Tapi lama kelamaan, keluarga Starkadders mulai mempercayai Flora, dan satu demi satu, mereka tunduk pada rencana Flora.
Buku ini adalah salah satu buku klasik yang tidak pernah saya dengar sebelumnya, dan satu-satunya alasan saya membeli buku ini adalah karena ingin melengkapi koleksi Penguin Essentials saya. Ternyata, unexpectedly, I enjoyed this book a lot! Awalnya saya kira buku ini akan sedikit membosankan, apalagi dengan latar belakang pertanian di pedesaan, dan tokoh utamanya sepertinya agak menyebalkan. Tapi ternyata, dugaan saya meleset jauh! Cold Comfort Farm ditulis dengan penuh humor satir khas penulis Inggris, yang senang menertawakan diri sendiri. Sifat tipikal orang Inggris dibahas tuntas di sini, terutama di era 1930-an, sambil memperlihatkan betapa konyolnya orang-orang yang ingin mempertahankan tradisi sikap dan budaya yang tidak ada faedahnya.
Flora sendiri digambarkan sebagai perempuan praktis, apa adanya, sehingga tidak ada kesan sok tahu atau sok ikut campur, dan kita mau tidak mau malah jadi ikut mendukungnya untuk memperbaiki keluarga Starkadders. Setiap anggota keluarga memiliki karakter yang tidak dua dimensi – dan saya suka cara Stella Gibbons memperkenalkan mereka lewat anekdot, kisah selewat, gosip, atau gambaran gerak-gerik yang awalnya tidak terkesan penting, namun ternyata menyimpan arti yang mendalam. Dan pada akhirnya, saya pun ikut terlibat dan jatuh hati dengan keluarga aneh ini.
As a reader, once in a while we stumbled into something unknown, without much expectations, but turned out, it was one of the best encounters we’ve ever had.
Rating: 4/5
Recommended if you like: British humor and satire, subtle funny moments, classics British story, dysfunctional family with happy ending 🙂
Celie adalah seorang perempuan kulit hitam yang tinggal di Georgia di era 1930-an, tahun-tahun yang amat sulit karena perempuan kulit hitam masih dianggap sebagai kasta terendah di masyarakat. Cellie menjadi korban perkosaan keluarganya sendiri, dipaksa menyerahkan anak-anak yang dilahirkannya, kemudian dipaksa menikah dengan Mr. — yang amat dibencinya (hingga ia tidak mau menyebut nama laki-laki itu di sepanjang buku), dan dipisahkan dari Nettie, adik kandung yang amat disayanginya.
Membaca kisah Celie yang penuh penderitaan ini mengingatkan saya dengan kisah Oshin (hidup 80-an!) yang sarat akan air mata. Namun, Celie digambarkan seorang perempuan yang tangguh, yang tidak menjadikan penderitaan dan kesusahan sebagai penghalang baginya mencari akhir yang bahagia.
Hidup Celie berubah drastis saat ia bertemu dengan Shug Avery, penyanyi yang juga mantan pacar suaminya, Mr. —. Shug yang sedang sakit tidak memiliki seorangpun yang bisa merawatnya, sehingga Mr. menyuruh Shug untuk tinggal di rumahnya, dengan Celie sebagai perawatnya. Mungkin perempuan lain sakit hati bila diminta merawat mantan pacar suaminya. Namun bagi Celie, kedatangan Shug adalah berkah tersendiri. Ia mengagumi Shug yang berani mengambil jalan hidup tanpa peduli apa kata orang lain. Dan perlahan-lahan, persahabatan tumbuh di antara mereka, yang bahkan berkembang menjadi hubungan yang lebih dalam dari sekadar teman.
Celie belajar banyak dari perempuan di sekitarnya. Selain Shug, ada juga menantunya, Sofia, yang kekuatan fisik maupun emosionalnya mengalahkan laki-laki manapun, termasuk suaminya sendiri. Dan tentu saja ada Nettie- adik perempuan Celie yang terpisah sejak mereka masih remaja, dan mengikuti jalan hidupnya sendiri sebagai misionaris di Afrika, yang memiliki tantangan yang tak kalah hebatnya.
Buku ini ditulis dengan format surat, yang pertama adalah surat Celie kepada Tuhan, dan bagian kedua adalah surat-menyurat antara Celie dengan Nettie. Bahasa yang digunakan Celie awalnya lumayan susah dimengerti, dan membuat buku ini terasa lambat di bagian awal karena kita harus menyesuaikan dengan gaya bercerita Celie yang terkadang suka melompat-lompat dan memiliki istilah sendiri untuk banyak hal. Namun setelah terbiasa, kita bisa dengan mudah masuk ke dalam dunia Celie, cara berpikirnya yang sederhana namun selalu ingin yang terbaik untuk setiap orang.
Bagian surat-surat Nettie memiliki topik yang tak kalah menarik dengan perjuangan Celie, yaitu topik tentang misionaris di Afrika. Nettie adalah satu dari segelintir misionaris kulit hitam yang bertugas di Afrika, dan pengalamannya membawa banyak sekali thought provoking dan eye opening moments di buku ini.
Secara keseluruhan, buku ini memang layak diberi predikat klasik, karena temanya yang begitu kaya akan peran perempuan kulit hitam di belahan selatan Amerika Serikat, dan kental dengan karakter-karakter yang memorable, terutama Celie dan Shug Avery.
The Color Purple, The Movie
Satu hal yang menggelitik saya saat membaca buku ini adalah introduction letter versi terbaru dari sang penulis, Alice Walker. Di kata pengantarnya, Walker banyak menyinggung tentang film The Color Purple, yang ketenarannya menyamai bukunya. Seperti kebanyakan penulis, Walker tampak tidak puas dengan eksekusi film The Color Purple yang dianggapnya membingungkan dan banyak menghilangnya poin penting dari bukunya.
Poster film The Color Purple
Saya sendiri belum menonton film The Color Purple, meski banyak mendengar pujian dan review bagus tentang film tersebut. Dibintangi oleh Whoopi Goldberg sebagai Celie, Margaret Avery sebagai Shug, dan Oprah Winfrey sebagai Sofia, tak heran film ini mendapatkan banyak nominasi Oscar dan memenangkan penghargaan lainnya. Saya memasukkan film The Color Purple ke dalam daftar to watch saya, meski belum tahu apakah akan “tega” menonton penderitaan Celie yang pasti tampak lebih tragis di film dibandingkan di dalam buku.
Rating: 3.5/5
Recommended if you want look for: classics, Southern America in the 30s, Black history, women’s roles in the 30s, tearjerkers, strong characters, sympathetic narrator
Submitted for:
Category: A book from your TBR list chosen at random
Penerbit: HarperCollins (2017, first published in 1934)
Halaman: 260p
Beli di: Kinokuniya (IDR 135k)
Bulan Februari kemarin, tema #readchristie2021 adalah bukua Agatha Christie yang memiliki unsur romens atau percintaan, dan pilihan resmi dari @officialagathachristie adalah Parker Pyne Investigates. Saya sendiri sudah pernah membaca buku ini versi terjemahan Bahasa Indonesia-nya, tapi ini kali pertama saya membacanya dalam versi bahasa Inggris.
Mr. Parker Pyne adalah pensiunan pegawai negeri, tepatnya departmen statistik, yang membuka biro konsultasi pribadi. Iklan yang ia pasang di koran sangat singkat namun mengena:
Are you happy? If not, consult Mr. Parker Pyne, 17 Richmond Street.
And that’s it! Tidak ada keterangan apa pun, tapi justru karena itulah orang jadi penasaran, dan untuk mereka yang merasa tidak berbahagia (dengan berbagai alasan), terinspirasi untuk menyambangi Mr.Pyne. Menurut Mr. Pyne, ada 5 penyebab utama seseorang tidak bahagia, dan meski ia menyebutkan beberapa di antaranya, Mr. Pyne tidak pernah menerangkan dengan jelas apa 5 penyebab ini, membuat saya bertanya-tanya di sepanjang buku.
Kisah-kisah dalam buku ini merupakan kumpulan kasus-kasus yang pernah ditangani oleh Mr. Pyne, dan meski judul buku ini menyiratkan kasus-kasus yang melibatkan penyelidikan, tidak semua cerita mengandung unsur misteri atau kriminal. Beberapa kisah (yang super hilarious) justru lebih kental nuansa dramanya, baik itu percintaan, rumah tangga atau domestik hubungan ibu dan anak. Meski demikian, semuanya masih tetap bisa dinikmati meski sedikit berbeda dari kisah Agatha Christie pada umumnya.
Bagian kedua buku ini mengambil setting di Timur Tengah, karena Parker Pyne sedang berlibur. Dan seperti juga Poirot, Mr, Pyne tidak bisa berlibur dengan tenang karena pasti dihadapkan pada kasus, dari mulai pembunuhan hingga penipuan.
Buku Parker Pyne Investigates mungkin adalah salah satu buku Christie yang tidak terlalu “aging well” – karena beberapa cerita di dalamnya memang cukup ketinggalan jaman, dan tidak semua metode Mr. Pyne terasa masuk akal bila dilihat dari perspektif masa kini. Karena itu, saya menyarankan pembaca untuk menikmati buku ini with a grain of salt. Tidak usah terlalu kritis, karena ingat saja kalau buku ini diterbitkan pertama kali tahun 1934. Beberapa contoh kisah yang agak absurd misalnya adalah kisah penukaran identitas di “The Case of the Rich Woman” – terasa mustahil bila dilakukan saat ini, dan bahkan bisa dituntut karena memalsukan identitas dianggap sebagai tindakan penipuan. Lalu di kisah “The Case of Discontented Soldier”, Christie memakai tokoh kulit hitam (yang disebut Negroes atau Darkies) sebagai penjahat yang sangat stereotype.
Namun, ada beberapa kisah yang termasuk favorit saya – seperti “The Case of Middle-Aged Wife” dan “The Case of rge Discontented Husband” yang lumayan mirip, namun berbeda sudut pandang saja (sama-sama tentang pernikahan yang tidak memuaskan, satu dari sudut pandang sang istri dan satu dari suami). Saya juga lumayan suka beberapa kisah misteri berlatar belakang Timur Tengah, yang mengingatkan saya akan kisah-kisah Poirot.
Yang juga unik, ada beberapa tokoh di buku ini yang nantinya juga akan muncul di kisah-kisah Poirot – Mrs. Oliver membantu Mr. Pyne membuatkan skrip untuk kasus-kasusnya, sementara Miss Lemon muda yang sudah terlihat efisien berperan sebagai sekretaris Mr. Pyne. Saya menyayangkan Mr. Pyne tidak diberi kesempatan bertemu dan berkolaborasi dengan Poirot, karena pasti akan seru juga melihat kedua pria brilian ini bekerja sama memecahkan kasus-kasus!
Rating: 3/5
Recommended if you want to try: lighter Agatha Christie, cheeky short stories, delightful mysteries, Roald Dahl plot twist vibes, funny characters