Judul: In the Garden of Beasts
Penulis: Erik Larson
Penerbit: Broadway Paperbacks (2011)
Halaman: 448p
Beli di: Better World Books (USD 7.48, disc 20%)
Erik Larson adalah satu dari sedikit penulis yang berhasil menghilangkan ketakutan saya pada buku-buku non fiksi, khususnya buku sejarah. Setelah terhanyut dalam kisah nyata pembunuh berantai di Devil in the White City, kini saya masuk ke dalam dunia yang sebelumnya bahkan tidak pernah saya pikirkan: dunia diplomat di Berlin menjelang kebangkitan Hitler dan kejayaan Nazi yang berlanjut pada Perang Dunia II.
Larson membawa kita mengikuti keluarga Dodd. William Dodd baru diangkat menjadi Duta Besar Amerika Serikat di Berlin, dan ia membawa serta istrinya serta kedua anaknya yang sudah dewasa: Martha dan Bill Jr. Mereka tinggal di daerah Tiergarten (Garden of Beasts), taman luas serupa Central Park NY yang menjadi pusat kedutaan besar dan kantor-kantor pemerintah.
Dodd sendiri berasal dari latar belakang akademis dan merupakan sejarawan andal, obsesinya adalah menulis buku sejarah tentang negara bagian Amerika di sebelah Selatan tempat ia lahir dan dibesarkan. Di usia yang sudah terbilang cukup senior, Dodd akhirnya memenuhi permintaan Presiden Roosevelt untuk bertugas di Berlin, meski ia bukan seorang diplomat karier dan bahkan tidak disukai oleh orang-orang di US Department of State.
Buku ini menelusuri perjalanan karier Dodd selama di Berlin, dan kesadarannya sedikit demi sedikit tentang pengaruh Hitler yang makin menguat dan berbahaya. Dari sini juga saya baru melihat jelas bahwa Hitler tidak muncul secara tiba-tiba dan Nazi pun tidak langsung berkuasa. Ada masa-masa transisi yang krusial yang sebenarnya -bila dihadapi dengan berbeda- bisa mengubah sejarah dunia yang kelam dan mencegah terjadinya Holocaust dan Perang Dunia II. Namun bagaimana para diplomat malah menghargai dan menyambut Hitler sebelum masa jayanya itulah yang menjadi fakta mengejutkan yang membuka mata saya saat membaca buku ini.
Yang lumayan seru juga adalah mengikuti sepak terjang Martha, anak perempuan Dodd yang surat-surat serta buku hariannya banyak dijadikan sumber tulisan di buku ini. Martha adalah seorang pemberontak yang dianggap tidak pantas mewakili keluarga diplomat Amerika. Affairnya dengan berbagai kalangan (termasuk official Nazi dan Gestapo) hingga pertemanannya dengan para penggagas gerakan bawah tanah menjadi bumbu yang cukup menyegarkan di sepanjang kisah ini.
Dibandingkan The Devil in the White City, In the Garden of Beasts memang lebih slow, tidak terlalu engaging dan bahkan agak membosankan di beberapa bagian. Buku ini lebih terasa benar-benar sebagai buku non fiksi sejarah, bukan ‘historical fiction’ seperti kesan yang saya dapat di buku Devil. Namun karena topiknya tetap relevan hingga sekarang, saya merasa buku ini masih penting untuk dibaca dan bisa mengingatkan kita akan pelajaran yang diperoleh puluhan tahun lalu itu. Betapa cara memandang dan menangani suatu masalah, terutama politik luar negeri, benar-benar akan berpengaruh terhadap keseluruhan sejarah dunia. Dan betapa kecewanya saya (mseki tidak terkejut) terhadap reaksi Amerika Serikat saat Dodd mulai menyatakan kecurigaannya akan ancaman kebangkitan Hitler.
Hal ini mengingatkan saya juga dengan kondisi dunia saat ini. Terutama dengan berkembangnya lagi isu rasisme dan kebencian terhadap ras tertentu (Trump di Amerika, Rohingya di Myanmar); yang sebenarnya tidak ada bedanya dengan apa yang terjadi di zaman Hitler berkuasa. Mudah-mudahan saja kini dunia bisa lebih bijaksana menghadapi situasi tersebut, dan tidak ignorant seperti saat kekuasaan Hitler menanjak di awal tahun 1930an dulu.
Submitted for:

Kategori Ten Points: Historical Non Fiction
Pingback: 2017: A Year in Books |