Tags
agatha christie, bahasa indonesia, fiction, Gramedia, mystery/thriller, review 2014, series, terjemahan
Penulis: Sophie Hannah
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2014)
Halaman: 376p
Beli di: HobbyBuku (IDR 78k, disc 20%)
Tiga pembunuhan terjadi di malam yang sama, di tiga kamar berbeda di Hotel Bloxham, London. Para korban ditemukan dalam posisi yang sama, dengan manset bermonogram dijejalkan ke dalam mulut mereka.
Sementara itu, di malam naas tersebut, Hercule Poirot- yang sedang menikmati makan malamnya di kedai kopi Pleasant’s Coffee House, terganggu dengan kehadiran seorang wanita bernama Jennie yang terlihat sangat ketakutan dan yakin dirinya akan menjadi korban pembunuhan. Apakah rasa takut wanita itu berhubungan dengan pembunuhan di Hotel Bloxham?
Poirot bertekad untuk menyelidiki kejadian misterius tersebut, membantu teman satu kosnya, Edward Catchpool, yang juga seorang polisi Scotland Yard.
The Monogram Murders adalah buku pertama yang menggunakan tokoh Hercule Poirot setelah Agatha Christie meninggal dunia- dan ditulis oleh penulis lain, serta diakui secara resmi oleh Agatha Christie’s Estate-yang mewakili pihak keluarga dan ahli waris Christie. Tidak seperti buku-buku Sherlock Holmes yang sudah banyak spinoff serta direka ulang oleh berbagai penulis, buku tentang Poirot justru tidak pernah muncul setelah “Tirai” diterbitkan.
Saya sendiri, fans besar Agatha dan khususnya Poirot, harap-harap cemas menanti The Monogram Murders beredar. Apakah bisa memuaskan rasa haus dan kangen saya terhadap kisah bercita rasa Hercule Poirot?
Sayangnya, jawaban saya adalah: Tidak. (Atau mungkin, belum.) Untuk sebuah kisah misteri biasa, The Monogram Murders termasuk decent. Sophie Hannah bukanlah nama baru di genre ini, sehingga tulisannya tidak bisa dibilang amatir juga.
Tapi kalau untuk kisah Poirot, saya belum mendapatkan “feel” nya. Saya kehilangan karakter kuat Poirot di sini, meski Hannah sudah mencoba memasukkannya lewat beberapa adegan: cara Poirot merapikan benda-benda, sarkasmenya menghadapi Catchpool yang telmi, serta kalimat-kalimat bahasa Perancis-nya yang flamboyan.
Hanya saja, karakter Poirot ini kok rasanya lebih seperti tempelan, seolah-olah ketahuan KW2 nya XD Seperti dibuat terlalu berhati-hati, begitulah, sampai akhirnya terasa kurang wajar.
Ditambah lagi, karakter pendukung buku ini, terutama naratornya, Edward Catchpool, kurang bisa mengundang simpati. Bahkan dibandingkan Catchpool, Hastings tiba-tiba terlihat begitu pintar! Catchpool adalah tipe narator yang tidak percaya diri (padahal profesinya sebagai polisi menuntut kecerdasan dan kepercayaan diri yang tinggi!), dan terus terang saja, sangat membosankan. Tidak ada satupun kesimpulan yang ia ambil yang terlihat mengagumkan.
Sementara itu, bagaimana dengan kisah misterinya sendiri?
Hmmm… to be honest, menurut saya, tipe cerita seperti ini terasa kurang cocok dengan tipikal kisah Poirot. Drama yang ada terlalu berlebihan (apalagi setting tambahannya adalah di desa kecil), lebih cocok untuk kisah-kisah Miss Marple, misalnya. Selain itu, melodrama yang ada tidak diimbangi oleh kekuatan misteri, unsur twist ataupun kecemerlangan Poirot. Jadi rasanya terlalu datar, dan twist yang ada pun terasa agak dipaksakan, dengan kerumitan yang tidak perlu.
Jadi, kesimpulannya bagaimana, puas atau tidak?
Dari skala 1-10, mungkin kepuasan saya membaca Monogram Murders berada di angka 5. Saya suka terjemahannya, dan beberapa adegannya masih ada yang membuat penasaran. Tapi saya kangen gaya klasik Agatha Christie yang straight to the point tanpa berputar-putar, dan tentunya, cita rasa orisinil Poirot.
Karena Hannah akan meneruskan serial The New Hercule Poirot Mystery ini, saya masih memberinya kesempatan, dan akan terus membaca buku-buku selanjutnya. Bagaimanapun, rasanya tidak banyak kesempatan yang ada untuk mengobati kekangenan dengan sosok berkepala telur ini 🙂
Jadi kayak lanjutannya Gone With The Wind ya, pasti ada rasa yang hilang, yah namanya juga ditulis oleh orang yang berbeda di mana punya ciri khas tersendiri, mau niru yang kayak gimana pasti ada pembedanya. Belum pernah baca cerita Poirot, penasaran iya 🙂
bener, rasa orisinal nya ilang lis 🙂 cobain baca ajaaa…banyak yang ada unsur romance nya loh 😀
Permisi,saya ikut nimbrung 🙂 Saya juga penggemar beratnya novel2 karya A.C terutama yg tokohnya Poirot.Kalo dari komennya sis,aduuuuh,sayang sekali,ya,padahal saya kangen bgt membaca tntg Poirot 😦
Sepertinya mungkin JK.Rowling akan lebih cocok sebagai penulis pengganti A.C utk Poirot. Gaya tulisannya menarik.Lucu dan cerdik 🙂
hai hai sesama penggemar AC!! salam kenal 😀 tapi cobain baca dulu siapa tau kamu suka XD
Wah! Paling setuju dengan point latar tambahan kisah ini lebih cocok untuk kisah Marple XD Satu lagi, selipan kalimat2 Bahasa Prancis dari Poirot yg menurutku kurang mengalir…
bener, kalimat bahasa prancisnya kayak kaku dan agak dipaksain ya…semoga buku 2 lebih nendang lagi 🙂
Pingback: Resensi The Monogram Murders | Cerita Detektif Webzine
Nice review. Kami belum sempat baca nih. Rencana beli tertunda terus :). Hmm, berarti cerita lebih “cozy” yah dibandingkan dgn cerita Poirot kebanyakan? Malah penasaran pengen beli nih
iyaaa ceritanya agak kurang cocok sebagai cerita Poirot… kurang sreg gitu lho penokohan dan alurnya XD
Pingback: Wishful Wednesday [204] |