Tags
bahasa indonesia, classic, fiction, Gramedia, mystery reading challenge, mystery/thriller, series, terjemahan
Penulis: Sir Arthur Conan Doyle
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2012)
Pages: 408p
Beli di: Gramedia Trans Studio Mall Bandung (IDR 40k)
Kalau bicara tentang kisah-kisah misteri dan detektif terkenal, aku pasti lebih fasih berbicara mengenai Hercule Poirot dan Miss Marple dibandingkan Sherlock Holmes dan Dr. Watson. Pengetahuanku sangat terbatas karena buku-buku Sherlock yang kubaca juga masih sedikit, aku bahkan belum sempat mengecek serial Sherlock yang direkomendasikan semua orang.
Syukurlah Gramedia menerbitkan ulang serial Holmes dengan cover baru yang keren bergaya minimalis, membuatku semangat membaca dan mengumpulkan karya-karya sang maestro Conan Doyle. Memoar Sherlock Holmes sebenarnya bukan buku yang tepat untuk mengawali petualangan dengan Sherlock, karena justru di buku inilah terdapat kisah yang merupakan klimaks kehidupan Sherlock Holmes, yaitu pertemuan dan duelnya yang terakhir dengan Profesor Morriarty, musuh bebuyutan yang dianggapnya memiliki otak yang setara dengannya.
Namun sepuluh kisah lain di buku ini merupakan koleksi berharga yang diceritakan kembali oleh Watson dengan gemilang. Semua misteri tentu dipecahkan Holmes berdasarkan metode deduksinya yang terkenal. Beberapa kisah seperti “Si Bungkuk” dan “Ritual Keluarga Musgrave” memiliki unsur gothic yang cukup mencekam. “Si Bungkuk” melibatkan sosok misterius yang membawa-bawa binatang aneh dan dicurigai sebagai pembunuh. Sedangkan “Ritual Keluarga Murgrave” bersetting di gedung kuno yang suram, dimana harta peninggalan keluarga justru berakhir pada tragedi maut.
Yang menarik, beberapa kisah justru menunjukkan Sherlock pun bisa salah, karena ternyata kunci misteri tidak sesuai dengan perkiraannya. “Wajah Kuning Yang Mengerikan”, misalnya, seolah menjanjikan kisah konspirasi kejahatan luar biasa, namun ternyata akhirnya sangat sederhana dan humanis. Kerendahan hati Holmes diuji betul disini. Koleksi kisah yang ada di buku ini juga bervariasi dari periode waktu, ada yang merupakan kasus awal saat Holmes pertama kali memutuskan terjun sebagai detektif, juga ada yang merupakan kasus fenomenal di puncak kariernya.
Namun ada satu hal yang terasa hilang saat membaca kasus-kasus ini. Penuturan Watson memang detail dan sangat akurat. Penggambarannya terhadap suatu karakter atau situasi juga cukup meyakinkan. Namun unsur melodrama yang begitu kental dalam kisah misteri klasik, seperti yang kerap dimunculkan oleh Agatha Christie, tidak terasa disini. Mungkin karena penulisnya laki-laki, dan kebanyakan tokoh utamanya juga laki-laki, aura maskulin sangat terasa dalam buku ini. Tidak ada kejahatan karena iri hati, cemburu, kisah cinta tak kesampaian dan berbagai sifat dasar manusia lainnya. Semuanya terasa datar, runut dan penuh presisi. Seperti metode Holmes sendiri.
Posting ini diikutsertakan juga dalam TBRR Mystery Reading Challenge yang dihost oleh Hobby Buku, untuk kategori classic mystery.
udah baca ini. Tapi udah nggak begitu ingat kasusnya. Baca ini jadi ngerasa Sherlock yang di pilem tuh lebay. *ninja*
ahhh belum nonton Sherlock…pengeeen =D
Aku juga lebih kenal Hercule Poirot dan Miss Marple >.< Pernah coba baca Sherlock tapi buat saya cara bertutur Conan Doyle membosankan ._.
samaaaa…aku masih lebih suka agatha christie sih. tapi penasaran juga sama conan doyle yg fenomenal.
Reblogged this on Baca Klasik.
Bahkan Irene Adler pun pemuja logika, Tp lumayan lah nambah2 romansa walau absurd ^^
beneeer….gak ada romantis2nya…hahaha
Pingback: TBRR Pile Mystery Reading Challenge – Wrap Up | books to share